LEMBAGA PESANTREN DI KALIMANTAN BARAT: STUDI ATAS PENDIRI, SEJARAH DAN KEGIATAN PENDIDIKAN DI PESANTREN AL-AZIZ, DESA PASAK, KUBU RAYA

 

Wendi Parwanto*

Sulaiman**

*Doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen IAIN Pontianak, Indonesia

** IAIN Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia

*E-mail: wendiparwanto2@gmail.com

**E-mail: sulaiman1234@gmail.com

 

Abstract

Some researchers have researched Islamic boarding schools in West Kalimantan. However, their research tended to be descriptive-exploratory, and they did not attempt to read these themes from a social theory perspective. Therefore, this research will use social theory, namely Michel Foucault’s genealogical theory of knowledge and Peter L. Berger’s sociological theory of knowledge. This study aims to describe the founder, history, and educational activities of the Al-Aziz Islamic boarding school in Pasak village, Kubu Raya. The type of this study is field research, employing a descriptive and analytical method. The results of this article are as follows: first, the scientific genealogy of K.H. Marzuki was shaped by his family environment, his teachers, life experiences, and reading sources. Second, K.H. Marzuki’s work in Al-Aziz Islamic Boarding School is summarised in the sociology of knowledge theory, which includes three variables, namely 1) Externalisation, this phase is the process of outpouring the knowledge that K.H. Marzuki has obtained in social and educational realities, 2) Objectification, is the knowledge that he has poured out in social reality entering the stage of institutionalization and legitimacy, and 3) Internalisation, is the process of socialization, both primary socialization (in the family environment) and secondary (in the broader environment, including in social and educational realities and taking place continuously for a long time).

Keywords: Inisiator, History, Al-Aziz Islamic Boarding School, Kubu Raya, West Kalimantan

 

Abstrak

Beberapa peneliti telah melakukan riset atau kajian tentang pesantren di Kalimantan Barat. Namun penelitian yang mereka lakukan cenderung bersifat deskriptif-eksploratif, dan belum berusaha membaca tema-tema tersebut dengan perspektif teori sosial. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teori sosial, yaitu teori genealogi pengetahuan Michel Foulcault dan teori sosiologi pengetahuan Peter L. Berger.  Jenis penelitian ini adalah studi lapangan dengan metode deskriptif analisis. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan studi atas pendiri, sejarah dan kegiatan pendidikan di pesantren al-aziz, desa pasak, kubu raya Hasil dari artikel ini adalah: pertama, genealogi keilmuan K.H. Marzuki dibentuk mulai dari lingkungan keluarga, guru-gurunya, pengalaman hidupnya, hingga sumber-sumber bacaannya. Kedua, kiprah K.H. Marzuki dalam pesantren Al-Aziz terangkum dalam teori sosiologi pengetahuan, yangmencakup tiga variabel, yaitu 1) Eksternalisasi, fase ini adalah proses pencurahan keilmuan yang telah didapatkan oleh K.H. Marzuki dalam realitas sosial dan pendidikan, 2) Objektivikasi, adalah keilmuan yang telah beliau curahkan dalam realitas sosial memasuki tahap institusionalisasi dan legitimasi, dan 3) Internalisasi, adalah proses sosialisasi, baik sosialisasi primer (dalam lingkungan keluarga) maupun sekunder (dalam lingkungan yang lebih luas, termasuk dalam realitas sosial dan pendidikan serta berlangsung secara terus-menerus dalam waktu yang lama).

Kata Kunci:  Sejarah, Pendiri, Pesantren Al-Aziz, Desa Pasak, Kubu Raya, Kalimantan Barat.


PENDAHULUAN

Di antara elemen sentral dalam dunia atau lembaga pesantren adalah seorang kiai (Adnani, 2021; Falikul Isbah, 2020). Banyak pesantren yang diawali atau dirintis seorang kiai atau guru ngaji mulai dari lembaga pendidikan Al-Qur`an yang sederhana, misalnya pengajian yang dilakukan di rumah guru, Ustadz atau kiai, sehingga lambat laun, siswa atau murid yang datang dan berminat untuk mengaji semakin banyak (Mujahid, 2021; Rahman, 2022). Hingga dengan dukungan dan sokongan pendanaan, umumnya memunculkan inisiatif untuk membangun sebuah Lembaga (Ni’mah et al., 2019). Demikian juga di Desa Pasak, Kubu Raya, Kalimantan Barat, dikenal seorang K.H. Marzuki, seorang Kyai yang dari Malang, kemudian merantau ke Kalimantan Barat, dan cukup banyak berkiprah di sejumlah lembaga pendidikan dalam historisitas kehidupannya. K.H. Marazuki juga yang berperan penting dalam historisitas berdirinya lembaga Pesantren Al-Aziz, di Desa Pasak, Kubu Raya, Kalimantan Barat, dan pesantren tersebut masih eksis beroprasi hingga saat ini.

Sebenarnya, penelitian tentang dinamika kehidupan pesantren, khususnya pesantren di Kalimantan Barat telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, di antaranya seperti penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Tisna Nugraha, dkk. Ia meneliti tentang “Formulasi Kebijakan Pendidikan di Pondok Pesantren Hidayatul Muhsinin Kubu Raya” dalam penelitian ini, ia menjadikan pondok pesantren Hidayatul Muhsinin sebagai objek penelitian. Penelitian tersebut difokuskan pada formulasi dan adopsi kebijakan pendidikan di pondok pesantren Hidayatul Muhsinin dilakukan melalui enam tahapan yaitu identifikasi masalah kebijakan, penyusunan agenda, perumusan kebijakan, pengesahan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Nugraha et al., 2021).

Kemudian Syaiful Ilmi dan Ardiansyah, ia meneliti tentang “Peran Pesantren dalam Mencegah Gerakan Radikalisme di Kalimantan Barat”, dalam penelitian ini, ia menjadikan empat pesantren sebagai objek penelitian, yaitu Pesantren Darul Khairat, Pesantren Makarim al-Akhlak, Pesantren Darul Ulum dan Pesantren Darussalam. Penelitian tersebut difokuskan pada analisis strategi pesantren di Kalimantan Barat dalam menanggulangi gerakan radikalisme dengan paradigma AGIL (Ilmi & Ardiansyah, 2020). Tatang Luqman Hakim dan Iwan Sopwandin, ia meneliti tentang “Peran Kiai Dalam Pembinaan Akhlak Sanxtri di Pondok Pesantren”, dalam penelitian ini, ia mengambil objek penelitian di pondok pesantren Manarul Huda. fokus kajian yang dibidiknya adalah pada aspek peranan kiai dalam proses pembinaan akhlak santri (Adnani, 2021).

Selanjutnya penelitian dalam dunia pesantren di Kalimantan Barat juga dilakukan oleh Khairuman, dkk dengan judul “Peran Pondok Pesantren Hidayatul Muhsinin Dalam Dunia Pendidikan di Kalimantan Barat Sejak 1998-2019” fokus utama yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah sejarah awal berdirinya pondok pesantren Hidayatul Muhsinin, 2) Bagaimanakah kultur santri Hidayatul Muhsinin, dan 3) Bagaimana pola pendidikan pondok pesantren Hidayatul Muhsinin (Jaya et al., 2021).

Jadi dari empat tema penelitian tentang dunia pesantren di atas, cukup merepresentasikan bahwa belum ada penelitian yang secara khusus menjadikan Pesantren Al-Aziz, Kubu Raya dan Kyai Marzuki sebagai objek utama kajian. Di samping itu, pada sejumlah penelitian di atas belum ada penelitian yang memotret realitas pesantren dari teori-teori filsafat sosial, karena memang yang menjadi titik fokus kajian atau penelitian yang mereka lakukan adalah sifatnya deskriptif-eksploratif. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis berupaya mengkaji realitas sosio-biografis dan kiprah K.H. Marzuki melalui pendekatan filsafat sosial, dengan fokus pada dua rumusan utama, yakni 1) mengeksplorasi bagaimana realitas sosio-biografis K.H. Marzuki Asad Malik dan setting historis Pesantren Al-Aziz; dan 2) Membaca tentang bagaimana kiprah KH. Marzuki dengan teori konstruksi sosial (social construction) yang diintrodusir oleh Peter L. Berger.

Untuk menjelaskan rumusan masalah pertama, tentang konstruksi biografi K.H. Marzuki, penulis akan menggunakan teori genealogi Michel Foucault. Teori ini yang secara sederhana dapat didefiniskan bahwa – dalam melihat pemikiran seorang tokoh, tentunya tidak terlepas dari penelitian tentang sejumlah variabel yang ikut andil dalam membentuk karakter, pemikiran dan tingkah lakunya; seperti lingkungan keluarga, sosial-kultural-keagamaan, guru-gurunya, literatur bacaannya, agen-agen yang ia apresiasi, pengalaman hidupnya dan sejumlah variabel linier lainnya (Michel Foulcault, 1976). Oleh karena itu, dalam melihat konstruksi atau konfigurasi pemikiran K.H. Marzuki, penulis akan mengeksplorasi sejumlah variabel tersebut.

Kemudian untuk menjelaskan dan menjawab rumusan masalah kedua, penulis akan memetakan kiprah K.H. Marzuki Asad Malik dengan teori Sosiologi Pengetahuan yang diproklamirkan oleh Peter L. Berger. Dalam teori ini, ada tiga variabel utama yang harus dieksplorasi, yaitu: Eksternalisasi, Objektivikasi dan Internalisasi (Berger & Luckmann, 1966).

Kontribusi penelitian ini adalah: Pertama secara teoritis, bahwa penelitian ini menjadi titik beda dari penelitian yang telah dilakukan oleh sejumlah peneliti di atas tentang perkembangan pesantren dan Kyai di Kalimantan Barat, Fokus kajiannya adalah pada kontribusi teori-teori filsafat sosial dalam menafsirkan wacana bahasan yang disuguhkan, karena selama ini penelitian tentang dunia Pesantren khususnya di Kalimantan Barat, cenderung berkisar pada wilayah deskriptif-eksploratif dan belum terlalu menyentuh aspek-aspek aksentuasi teori filsafat sosial dalam membidik problem yang diusung. Kedua secara praktis, tentunya memberikan informasi bahwa ada seorang Kyai di pedalaman Kubu Raya yang berasal dari Malang, kemudian mendirikan Pesantren Al-Aziz – yang pesantrennya masih eksis sampai saat ini. Di sisi lain, tentunya pesantren tersebut dapat dijadikan studi banding dengan pesantren-pesantren lainnya, khususnya yang ada di Kalimantan Barat, baik dalam hal manajemen operasional, pendidikan dan lain sebagainya.

 

METODE

Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian lapangan. Penelitian lapangan (field research) adalah penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan data lapangan baik dengan wawancara, observasi dan dokumentasi (Albi Anggianto dan Johan Setiawan, 2018; Parwanto & Antika, 2024). Sedangkan metode yang digunakan adalah dengan metode deskriptif-analisis, yang kemudian dikuatkan dengan menggunakan teori dalam ilmu filsafat sosial, yakni teori genealogi pengetahuan Michel Foucault dan teori sosiologi pengetahuan Peter L. Berger.

Lokasi dalam penelitian ini adalah di lembaga pendidikan Pesantren Al-Aziz, yang terletak di Desa Pasak, kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Rentang waktu penelitian atau pengumpulan data lapangan dilakukan pada bulan Januari tahun 2025. Teknik pengumpulan data ada dengan wawancara tidak terstruktur, kemudian dikuatkan dengan observasi non-partisipan dan dokumentasi (Nanang Martono, 2011; Parwanto, Wendi, Sulaiman, 2024). Sumber data primer adalah tokoh-tokoh otoritatif yang berkecimpung dalam pesantren atau tokoh-tokoh yang mempunyai kedekatan dengan sumber utama yang dikaji. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber relevan lainnya baik cetak maupun online yang dapat memperkuat konstruksi teoritis, metodologi maupun analisis yang dilakukan.

Teknik penentuan sumber data utama dalam kajian ini adalah dengan model purposive sampling, teknik ini dipilih adalah karena menginginkan data yang diperoleh adalah data-data yang akurat dan representatif dari sumber kredibel karena orang-orang yang memberikan dianggap mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang objek yang diteliti (Ramdhan, 2021). Kemudian teknik penyajian data adalah:

Pertama, Reduksi data (reduction of data), yakni memilih atau memilih data serta memfokuskan pada data-data utama untuk disajikan, artinya data-data yang diperoleh di lapangan disederhanakan menjadi data utama yang siap disajikan. Jadi, dalam penelitian ini jawaban-jawaban yang diberikan oleh para narasumber dipilah dan diambil yang sesuai dengan fokus penelitian yang dilakukan.

Kedua, Penyajian data (display of data), menyajikan atau mendeskripsikan data utama dalam bentuk naratif, deskriptif, tabel yang siap untuk dianalisis dengan pisau analisis yang sudah dipilih. Dalam tulisan ini, data lapangan yang sudah didapatkan disajikan dalam bentuk narasi deskriptif. Ketiga, analisis dan penarikan kesimpulan (analysis and conclusion), melakukan analisis atau data yang disajikan dan menarik sebuah kesimpulan (Sugiyono, 2017). Jadi dari data yang sudah disajikan dalam bentuk narasi deskriptif, lalu data-data tersebut dianalisis menggunakan dua teori utama, yakni genealogi pengetahuan dan konstruksi sosial.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendiri: Rantai Nasab dan Sosio-Biografi K.H. Marzuki Asad Malik

Nama lengkap K.H. Marzuki adalah K.H. Marzuki Asad Malik b. K.H. Dahri b. K.H. Abdul Bani Mbah Fatimah Binti K.H. Abdul Qadir b. Maulana Sayyid Karimullah Ba’syiban b. Muhammad Ali Ba’syiban b. Sayyid Abdullah Ba’syiban b. Sayyid Abdurrahim Ba’syiban b. Sayyid Abdurrahman Ba’syiban b. Sayyid Umar Ba’syiban.

Sedangkan dari keturunan marga Adzmatkhon K.H. Marzuki Asad Malik b. K.H. Dahri b. K.H. Abdul Bani Mbah Fatimah Binti K.H. Abdul Qadir b. Maulana Sayyid Qarimullah b. Nyai Arumi Binti Syaikh Muzaki (Bujuk Batu Kolong) b. Syaikh Abdul Hadim Shohib b. Syaikh Abdul Mufid b. Syaikh Abdullah b. Syaikh Hasan b. Syaikh Abdurrahman b. Syaikh Ribet b. Pangeran Keba b. Sayyid Ali Khairul Fatihin (Sunan Kulon) b. Maulana Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Jadi berdasarkan rantai nasab di atas, terlihat bahwa rantai nasab keturunan KH. Marzuki sampai kepada Muhammad Ainul Yaqin, yaitu Sunan Giri, sedangkan rantai nasab Sunan Giri adalah bersambung kepada Rasulullah Saw dari jalur Husein b. Ali. Dengan demikian, membuktikan bahwa rantai nasab KH. Marzuki bersambung hingga Nabi Muhammad Saw. (Bibit Suprapto, 2009; Soekma Karya, 1996).

K.H. Marzuki Asad Malik lahir, Jum’at, 01 April 1969 di Dusun Prangas, Desa Kampung Anyar, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang. Beliau lahir dari pasangan Kyai Dahri dan Nyai Hajjah Ratemi. Beliau memiliki dua gelar marga yaitu Ba’syaiban dan Adzmatkhon. Beliau lebih menggunakan marga Ba’Syiban, karena gelar ini dinisbatkan kepada orang dari pihak bapaknya. Beliau memulai jenjang pendidikannya dari sekolah SR (Sekolah Rakyat) setelah lulus, beliau melanjutkan jenjang pendidikan MTs dan SMA di kampung halamannya (Aziz, 12 Januari 2025).

Setelah KH. Marzuki menyelesaikan pendidikan tingkat atas (SMA), beliau melanjutkan pendidikannya di jenjang perguruan tinggi yaitu di IKIP/PGRI Malang. Dengan masa kuliah selama empat tahun, beliau mendapatkan ijazah serta gelar akademis D2 dengan nilai yang bagus. Kemudian selang beberapa bulan kemudian, beliau melanjutkan rihlah intelektualnya dalam bidang keagamaan, yaitu di lembaga pendidikan PPAI (Pendidikan Pondok Pesantren dan Pendidikan Agama), lembaga pendidikan ini terletak di Desa Sukoraharjo Dusun Ketapang Kepanjen, yang didirikan dan diasuh langsung oleh K.H. Muhammad Said (Aziz, 12 Januari 2025).

Selain menimba ilmu agama, K.H. Marzuki juga mendapatkan amanah dari K.H. Mohammad Sa’id untuk membantu para Ustadz mengajar di pesantren tersebut, dan hal ini dilakukannya selama 15 tahun. Melihat ke-tawadhu-an beliau selama di pesantren tersebut, maka Ketekunan tersebut mendorong K.H. Mohammad Sa’id untuk menikahkan keponakan perempuannya yang bernama Nyai Ummu Kalsum dengan K.H. Marzuki. Kemudian pada tahun 1978, K.H. Marzuki menikah dengan Nyai Ummu Kalsum. Nyai Ummu Kalsum berasal dari Dusun Banjar Patoman, Desa Amadanom, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, dan alamat ini tidak jauh dari tempat kelahiran K.H. Marzuki.

Lalu buah dari  pernikahan K.H. Marzuki Asad Malik Ba’syaiban dan Nyai Ummu Kalsum, keduanya dikarunia empat orang anak, tiga putra dan satu orang putri, yaitu : Burhanuddin Aziz, Badruddin Aziz, Nasyiruddin Aziz, Siti Nur Fatimatul Azizah. Putra-putra beliau tersebut lahir di Malang, kecuali Siti Nur Fatimatul Azizah, ia lahir di Dusun Pasak Piang, Desa Parit Timur, Kalimantan Barat (Aziz, 12 Januari 2025).

Setelah mengabdi selama 15 tahun di PPAI Malang, maka pada tahun 1992 K.H. Marzuki merantau ke Kalimantan Barat. Selama di Kalimantan Barat, beliau sempat mengasuh lembaga pendidikan Dar Ad-Dakwah wa Al- Irsyad, yang terletak di Desa Pasak, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Di samping sebagai pengasuh lembaga pendidikan tersebut, beliau juga sempat melanjutkan pendidikan S1 di STAIN (sekarang IAIN) Pontianak, fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam. Kedekatan beliau dengan para dosen maupun para pegawai STAIN beliau sempat mengajukan program kuliah dua hari yaitu, Sabtu dan Minggu. Program ini cukup lama berjalan bahkan berkembang begitu pesat sehingga banyak dari kalangan mahasiswa yang ikut kuliah pada dua hari tersebut.

Genealogi Keilmuan KH. Marzuki Asad Malik

Dalam sebuah teori genealogi, Michel Foulcault mengatakan bahwa dalam melihat keilmuan seseorang, tentunya tidak terlepas dari penelusuran tentang guru-gurunya, basis sosial-kemasyarakatan, sumber bacaannya, tokoh-tokoh atau agen-agen yang ia kagumi dan hal linier lainnya. Semua hal tersebut membentuk pola pikir dan pengetahuan K.H. Marzuki, yang kemudian memengaruhi perilaku serta pemikirannya secara mendalam (Michel Foulcault, 1976; Parwanto et al., 2022; Parwanto & Riyani, 2022). Oleh karena itu, maka penting menelusuri serta melihat bagaimana konstruksi genenealogi keilmuan K.H. Marzuki yang nantinya akan ia realisasikan, khususnya dalam bidang lembaga pendidikan serta sistem pengajaran di dalamnya.

K.H. Marzuki adalah seorang tokoh yang cukup luas keilmuannya, baik dalam bidang ilmu agama seperti bidang tafsir, akhlak, pendidikan dan sebagainya bahkan juga cukup piawai bidang ilmu pertanian. Keluasan ilmu yang beliau miliki tentunya tidak terlepas dari peran guru-guru beliau, sumber bacaan beliau serta peran sosio-kultural dalam masa rihlah intelektualnya. Adapun sejumlah guru K.H. Marzuki Asad Malik di antaranya adalah seperti : K.H. Madrani Ba’Syiban (tempat beliau belajar agama dan pertanian), K.H. Muhammad Said (pendiri sekaligus pengasuh PPAI), K.H. Tauhid Asad Malik, K.H. Muhammad Saidi dan K.H. Abdullah, dan bahkan beliau sering berdiskusi atau bertanya kepada K.H. Tauhid Asad Malik, karena K.H. Tauhid Asad merupakan santri dari Syaikh Ihsan b. Dahlan pengarang kitab Siraj ath-Thalibin. K.H. Tauhid Asad Malik memberikan pelajaran kepada K.H. Marzuki Asad Malik secara tatap muka (Muzammil, 13 Januari 2024).

Kemudian dalam kesehariannya, K.H. Marzuki Asad Malik juga menyempatkan diri untuk membaca karya atau literatur dari sejumlah ulama terkenal, baik kitab fikih, tasawuf, tafsir dan lain sebagainya, sebabnya, beliau sangat mengagumi sejumlah tokoh terkemuka seperti Imam Al-Ghozali, Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Imam Jalaluddin As-Syuthi, Syaikh Nawawi Al-Bantani, Muhammad Arsyad Al-Banjari, K.H. Muhammad Sa’id, dan Syaikh Ihsan b. Dahlan (Muzammil, 13 Januari 2024).

Menurut penuturan Nyai Hj. Ummi Kalsum (istri beliau) bahwa K.H. Marzuki Asad Malik saat membaca kitab beliau sangat teliti bahkan ketika penjelasan yang dalam kitab tersebut tidak begitu beliau pahami, maka beliau mencari penjelasannya di kitab-kitab yang lain. Adapun waktu yang beliau pilih untuk membaca kitab-kitab, adalah menjelang waktu Subuh sesudah melaksanakan Shalat malam. Jadi, beliau sangat disiplin dalam mengatur waktu di kehidupan dan kesehariannya. Ada beberapa kitab yang paling sering beliau baca, yaitu kitab Tafsir Jalalain, kitab Riyadh ash-Shalihin dan Durrah an-Nasyihin, inilah kitab-kitab yang beliau sering dibaca pada waktu subuh, biasanya dalam sekali baca, beliau membaca sekitar 3-4 halaman (Kalsum, 12 Januari 2023).

Jadi dari eksplorasi genealogi intelektual K.H. Marzuki di atas, terlihat bahwa guru-guru beliau merupakan tokoh-tokoh yang mumpuni dalam ilmu keislaman. Kemudian selain menuntut ilmu agama, K.H. Marzuki juga sempat mengabdikan diri dan keilmuannya dalam lembaga pendidikan Islam, seperti pernah menjadi tenaga pendidik di PPAI dan lembaga pendidikan Dar Ad-Dakwah wa Al-Irsyad . Selain aktif sebagai pengajar, terlihat juga bahwa rutinitas keseharian beliau juga diisi dengan membaca sejumlah literatur keislaman, seperti tafsir Jalalain, kitab Riyadh ash-Shalihin dan kitab lainnya, yang mana kitab-kitab tersebut atau literatur tersebut sangat familiar di dunia pesantren.

Dengan demikian, maka wajar jika beliau termotivasi untuk membangun atau mendirikan lembaga pendidikan pesantren, karena dalam konteks sosial, budaya, dan intelektual yang beliau alami, beliau selalu berada dalam ilmu keagamaan atau pesantren, bukan hanya dari guru-guru beliau dan realitas sosio-kultural beliau, termasuk dari realitas konsumsi bacaan beliau. Maka tidak heran jika ke depannya beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam, yang dikenal dengan pesantren al-Aziz, sebuah pesantren yang terletak di desa Pasak, dusun Parit Timur, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Gambaran Umum Pesantren Al-Aziz

Potret Historis Berdirinya Pondok Pesantren Al-Aziz

Berdirinya sebuah lembaga pendidikan termasuk pesantren, tentunya memiliki cara tersendiri serta tidak bisa terlepas dari peran seorang ulama atau Kyai (Abdurrahman Wahid, 2001; Mijamil Qomar, n.d.). Demikian juga dengan berdirinya pesantren Al-Aziz – tentunya tidak terlepas dari sejarah panjang perjuangan dan peran K.H. Marzuki Asad Malik. Motivasi awal berdirinya pesantren tersebut adalah diprakarsai oleh permintaan dari sejumlah tokoh masyarakat dan lembaga pendidikan Dar Ad-Dakwah wa Al-Irsyad  (DDI), agar K.H. Marzuki mengelola dan sekaligus menjadi pengajar di lembaga Dar Ad-Dakwah wa Al-Irsyad , karena lembaga tersebut masih kekurangan tenaga pengajar.  Pada saat itu, lembaga pendidikan Dar Ad-Dakwah wa Al-Irsyad  berada di bawah yayasan Haji Baddu dan Haji Ya’kub.

Kemudian ketika beliau menjadi pengelola lembaga pendidikan Dar Ad-Dakwah wa Al-Irsyad , ada beberapa murid yang mengaji kepada beliau pada waktu malam hari, sehingga murid-murid tersebut – biasanya menginap di tempat K.H. Marzuki. Lalu lambat laun murid beliau semakin banyak dan bertambah, sehingga masyarakat mengusulkan K.H. Marzuki untuk mendirikan pesantren, dan usulan tersebut diterima baik oleh beliau. Selain motivasi dari masyarakat untuk mendirikan pesantren, sebelumnya juga K.H. Marzuki pernah mendapatkan isyarat dalam sebuah mimpi, beliau bermimpi bertemu dengan gurunya Alm. K.H. Muhammad Said – dan K.H. Muhammad Said berpesan kepada K.H. Marzuki untuk  mendirikan pondok pesantren (Aziz, 12 Januari 2025).

Lalu pada pagi harinya, K.H. Marzuki menceritakan mimpinya tersebut kepada istrinya (Nyai Hj. Ummu Kalsum) bahwa beliau mendapatkan petunjuk dari gurunya untuk membangun atau mendirikan lembaga pesantren. Mendengar cerita dari suaminya, Nyai Ummu Kalsum tidak keberatan jika suaminya ingin mendirikan pesantren, namun realitasnya bahwa keuangan mereka belum cukup untuk mendirikan lembaga pesantren tersebut. Walaupun demikian, K.H. Marzuki tetap meyakinkan istrinya bahwa ketika mereka menolong agama Allah, pasti Allah akan mempermudah segala niat baik yang telah dicita-citakan tersebut (Aziz, 12 Januari 2025).

Walaupun telah mendapatkan berbagai suntikan dorongan dari berbagai pihak, hingga amanah melalui isyarat sebuah mimpi dari guru beliau (Muhammad Said), namun hal tersebut belum mampu membuat beliau mendirikan lembaga pesantren yang telah lama diidam-idamkannya bersama sang istri, Kesulitan tersebut terjadi karena keterbatasan dana yang mereka miliki. (Muzammil, 13 Januari 2025).

Selama mengajar di lembaga Dar Ad-Dakwah wa Al-Irsyad  (DDI), beliau juga mengumpulkan dana guna mendirikan pesantren. Dan setelah beberapa tahun mengabdikan diri di lembaga Dar Ad-Dakwah wa Al-Irsyad  (DDI), beliau kembali mendapatkan dorongan dari Kyai Abdussalam, (seorang tokoh elit agama dari Parit Surabaya, Kubu Raya, Kalimantan Barat) untuk mendirikan sebuah lembaga pesantren di dusun Parit Timur, desa Pasak, Kubu Raya. Kebetulan tempat yang diusulkan oleh K.H. Abdussalam adalah tempat yang diyakini mitologinya oleh masyarakat sebagai tempat yang angker dan berhantu. Dengan demikian, boleh jadi usulan tempat tersebut oleh K.H. Abdussalam adalah salah satu upaya beliau untuk merekonstruksi ‘kepercayaan primitif’ masyarakat saat itu – dan orang yang dipercayai beliau dan cukup kompeten untuk mengemban dan melakukan hal tersebut adalah K.H. Marzuki (Kholip, 13 Januari 2025).

Dengan berbagai usulan dan dorongan dari banyak pihak, dan dengan berbekal dana seadanya, maka tepatnya pada tahun 1994, K.H. Marzuki dan istrinya (Nyai Hj. Ummu Kalsum) mendirikan sebuah lembaga pesantren yang nantinya diberi nama pesantren al-Aziz. Pada awal berdiri pesantren ini, bahan bangunan yang digunakan masih sederhana, yaitu alas dan dinding bangunan dengan menggunakan papan, sedangkan untuk atapnya menggunakan daun (Kalsum, 12 Januari 2025).

Kemudian pengistilahan nama Al-Aziz untuk pesantren yang didirikan oleh K.H. Marzuki dan istrinya adalah diberikan oleh K.H. Abdullah dari Malang, beliau adalah paman dari Nyai Ummu Kalsum (istri K.H. Marzuki). Al-Aziz ini diambil dari nama seorang Kyai yang sangat berpengaruh dalam mendidik dan mentransformasikan pengetahuan agamanya kepada K.H. Abdullah. K.H. Abdul Aziz ini adalah putra dari Kyai Samsuddin, dan K.H. Abdul Aziz merupakan adalah ipar dari K.H. Darwis, beliau adalah pemegang tarekat serta seorang ulama yang sangat alim (Kholip, 13 Januari 2025). Jadi, kekaguman K.H. Abdullah (guru dari K.H. Marzuki dan Ummu Kalsum) kepada K.H. Abdul Aziz, maka hal itu memotivasinya untuk menamai pesantren yang didirikan oleh kedua muridnya tersebut dengan nama Pesantren Al-Aziz, dengan harapan pesantren tersebut dapat memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan pendidikan Islam di Kalimantan Barat, khususnya di di dusun Parit Timur, desa Pasak, Kubu Raya.

Deskripsi Kegiatan di Pondok Pesantren Al-Aziz

Berikut penulis deskripsikan tentang beberapa kegiatan yang ada di Pesantren Al-Aziz berserta para pembinanya (Kalsum, 12 Januari 2025):

Pertama, latihan hadrah: kegiatan latihan hadrah ini dilakukan pada hari Selasa dan Kamis, dan dilaksanakan pada pukul 15 : 30 sampai pukul 17:10 WIB, dan latihan hadrah ini dibina oleh Ustadz Jamal dan Ustadz Faizin. Kedua, Pencak Silat: kegiatan pecak silat ini sudah ada pada masa K.H. Marzuki Asad Malik, bahkan beliau mewajibkan kepada para santri untuk ikut dalam kegiatan tersebut. Kemudian pasca wafatnya K.H. Marzuki, kegiatan ini dilatih oleh Bapak Saridin, dan kegiatan pencak silat ini dilaksanakan pada hari kamis pukul 20 : 20 sampai 23 : 00 WIB.

Ketiga, Kegiatan agraria (bertani): layaknya pesantren secara umum, bahwa kegiatan bertani adalah salah satu kegiatan yang biasa dilakukan oleh sejumlah pesantren yang ada di Indonesia, termasuk pesantren Al-Aziz. Kegiatan bertani di Pesantren Al-Aziz telah dilakukan sejak K.H. Marzuki sebagai pimpinan pondok, bahkan beliau mewajibkan kepada seluruh santrinya untuk turun ke ladang/sawah, hal ini tentunya dilatar-belakangi oleh kepiawaian beliau dalam bertani yang beliau dapatkan dari gurunya yaitu K.H. Madrani BaSyiban, sehingga pengetahuan tersebut diaktualisasikannya dalam kegiatan pesantren yang beliau dirikan. Adapun jenis tanaman yang ditanam seperti sahang (lada) dan sayur-sayuran, kegiatan ini dilakukan pada setiap hari Jumat pukul 05 : 30 – selesai.

Keempat, Kegiatan Pendalaman Literatur Turats (kitab kuning): Layaknya dunia pesantren secara umum, bahwa di antara basic point yang ditanamkan kepada, para santri adalah kemampuan mereka dalam memahami literatur turats. Termasuk di pesantren Al-Aziz, kegiatan pemahaman dan pendalaman literatur-literatur klasik dilaksanakan pada malam Senin, Selasa dan Rabu, pukul 21 : 00 sampai 22 : 00 yang dipimpin langsung oleh Kyai Badruddin Aziz (putra K.H. Marzuki). Adapun literatur serta materi yang dipelajari seperti kitab Ihya Ulum Ad-Din karya Imam Al-Ghazali (kitab yang sering dibaca oleh K.H. Marzuki – terlihat adanya legalisasi-genealogi pemikirannya dengan fase-fase berikutnya), serta materi seperti pembelajaran ilmu nahwu (syntax), sharaf (morphology) dan fiqh (Islamic jurisprudence); dan Kelima, Kegiatan Drum Band: Kegiatan latihan drum band dilaksanakan pada hari Jumat, pukul 15 : 10 sampai 17 : 10, dan dilatih oleh Cak Ahmad.

Kurikulum Pelajaran Agama di Pondok Pesantren Al-Aziz dalam Lintas Generasi

Berikut penulis sajikan kurikulum pelajaran beserta pengajarnya di Pesantren Al-Aziz dari generasi ke generasi dalam bentuk tabel:

 

Tabel 1. Kurikulum Pembelajaran Tahun 1994-2012.

Pengajar

Materi

K.H. Marzuki Asad Malik

Kitab Sullam Safinatunnaja, & Tafsir Jalalain

Kyai Efendi

Nahwu (syntax), Shorof (morfology)

Ustadz Khaliq

Ilmu Musthalah al-Hadits

Ustadz Aman

Al-Qur`an dan Penjelasannya

Ustadz Khairunniam

Mubadi al-Fiqh

Ustadz Sirli

Wasiah al-Abni

Nyai  Ummu Kalsum

Al-Qur`an wa al-Qira`ah

Ustadzah Siti Mahmudah

Al-Ahklaq Kulli Banin

 

Tabel 2. Kurikulum Pembelajaran Tahun 2012-Sekarang

Pengajar

Materi

Kyai Badruddin Aziz

Ubudiyah & Fiqh

Kyai Efendi

Tafsir Jalalain & Kitab Bidayah al-Hidayah

Ustadz Burhanuddin Aziz

Nahwu, Shorof, Maqalah

Ustadz Nasyiruddin Aziz

Al-Qur`an dan Penjelasannya

Nyai Ummu Kalsum

Al-Qur`an wa al-Qira`ah

Ustadzah Maysaroh

Ilmu Tajwid, Fiqh dan Kitab Sullam Taufiq

Ustadzah Siti Mahmudah

Fashalatan & Ahklak

Ustadzah Maysaroh

Fiqh Wanita

Sumber: Diolah Peneliti dari Data Lapangan, 2025.

Membaca Kiprah K.H. Marzuki Asad Malik dalam Lembaga Pendidikan Pesantren

Berdasarkan eksplorasi tentang kiprah K.H. Marzuki Asad Malik di atas, baik kiprahnya dalam setting historis-biografinya maupun kiprahnya dalam realitas Pesantren Aziz, maka penulis akan menyuguhkan potret kiprah beliau tersebut dengan kacamata teori sosiologi pengetahuan yang diintroduksi atau diproklamirkan oleh Peter L. Berger. Berger merupakan salah satu pemikir cerdas dalam melihat relasi antara pemikiran manusia dengan konteks sosial di mana pemikiran itu lahir, berkembang, dan dilembagakan. Menurutnya, masyarakat yang hidup dalam konteks sosial tertentu, melakukan proses interaksi secara bersamaan dengan lingkungannya (Berger & Luckmann, 1966; Sulaiman, 2016).

Melalui proses interaksi, manusia mempunyai dimensi kenyataan sosial ganda yang bisa saling membangun, tetapi juga bisa saling meruntuhkan. Masyarakat hidup pada dimensi-dimensi dan realitas objektif yang dikonstruksi melalui momen eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. Ketiga elemen tersebut akan senantiasa berproses secara dialektis. Proses dialektika pada yang terjadi pada tiga elemen di atas dapat dipahami dalam konteks sebagai berikut:

Eksternalisasi

Eksternalisasi merupakan suatu pencurahan diri manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Eksternalisasi juga berarti proses penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Dalam proses eksternalisasi, mula-mula manusia menjalankan tindakan, bila tindakan tersebut dirasa tepat dan berhasil, maka tidakan yang dilakukan itu akan diulang-ulang (Berger & Luckmann, 1966; Geger Riyanto, 2009). Jadi jika melihat kiprah K.H. Marzuki Asad Malid di atas maka bagian eksternalisasinya adalah ketika beliau mulai bersentuhan dengan realitas dunianya, baik realitas lingkungan keluarganya, realitas dunia pendidikannya dan realitas pengalaman hidupnya. Latar belakang kehidupan K.H. Marzuki bahwa beliau lahir dari rahim keluarga yang agamis, sehingga wajar selain menekuni bidang pendidikan umum, beliau juga mendalami pengetahuan agama.

Ketertarikannya dengan ilmu agama, membuatnya merasa nyaman dan cenderung melakukan kontinuitas kiprahnya dalam bidang keagamaan. Dengan berbekal pengalaman dan pendidikan yang telah beliau lalui, beliau juga mengaktualisasikan ilmunya di berbagai lembaga pendidikan. Tindakan ini menunjukkan konsistensinya dalam bidang yang menjadi minatnya, yaitu pendidikan keislaman, yang terus ia tekuni sepanjang hidupnya, karena beliau lahir dari realitas keluarga agamis, berguru dengan sejumlah Kyai, nyantri,  maka hal tersebut yang memberikan stimulus dan motivasi beliau untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan kecenderungan akademik yang beliau miliki.

Objektivikasi

Setelah proses eksternalisasi mengalami pengulangan yang konsisten, kesadaran logis manusia akan merumuskan bahwa fakta tersebut terjadi karena ada kaidah yang mengaturnya, sehingga muncullah objektivikasi. Objektivikasi adalah proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang telah dilembagakan dan mengalami proses institusionalisasi (perlembagaan) dan legitimasi  (Berger & Luckmann, 1966; Riyanto, 2009). Jadi dalam melihat kiprah K.H. Marzuki pada fase objektivikasi adalah – bagaimana keilmuan yang telah ditekuni oleh beliau ditempatkan dalam dua variabel objektivikasi, yaitu pada aspek institusionalisasi dan legitimasi.

Pertama, institusionalisasi (perlembagaan); institusionalisasi adalah objektivikasi yang dibuat dan dibangun oleh manusia, di mana proses produk-produk aktivitas manusia yang dieksternalisasikan itu memperoleh sifat objektif (Berger & Luckmann, 1966; Riyanto, 2009).  Jadi pada fase ini, keilmuan yang telah ditekuni oleh K.H. Marzuki dalam realitas rihlah intelektualnya, baik pengetahuan maupun pengalamannya, Praktik tersebut dilakukan secara konsisten oleh beliau (baca: pada poin eksternalisasi), artinya bahwa setelah beliau menimba ilmu di sejumlah lembaga pendidikan Islam, beliau juga mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan Islam, khususnya dunia pesantren. Konsistensi kiprah keilmuan K.H. Marzuki memberikan dorongan dalam ruang intersubjektif, yang kemudian memotivasi beliau mendirikan Pesantren Al-Aziz. Dengan artinya bahwa, proses institusionaliasi (perlembagaan) Pesantren Al-Aziz merupakan buah dari interaksi dan konsistensi dari aktualiasasi keilmuan yang beliau lakukan sepanjang perjalanan karir intelektual beliau.

Kedua, legitimasi ; legitimasi adalah proses lanjutan dari objektivikasi-institusionalisasi, artinya bahwa untuk menjelaskan dan membenarkan makna objektivikasi-institusionalisasi adalah dengan melalui agen-agen atau tokoh-tokoh yang dipercaya dan dinilai legitimatif serta memiliki wewenang, seperti tokoh agama, budaya dan sebagainya (Berger & Luckmann, 1966; Geger Riyanto, 2009). Jadi pada fase legitimasi ini bahwa institusionalisasi dalam bentuk pesantren yang didirikan oleh K.H. Marzuki memiliki dasar legitimasi dari agen-agen otoritatif keagamaan, dalam hal ini adalah guru-guru beliau. Dengan demikian, kiblat legitimasi lembaga yang beliau dirikan bergenealogi dengan keilmuan yang telah ditransformasikan oleh guru-guru beliau sehingga hal ini memantapkan hati beliau untuk mendirikan lembaga pesantren.

Internalisasi

Internalisasi adalah peresapan kembali realitas oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif. Dalam proses internalisasi ini tidak bisa terlepas dari proses sosialisasi, baik sosialisasi primer maupun sekunder (Berger & Luckmann, 1966; Riyanto, 2009). Sosialiasi primer ini telah dilakukan selama seseorang berada dalam lingkungan yang kecil, misalnya lingkungan keluarga, sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses sosialisasi yang lebih luas dan panjang, dan nantinya bukan hanya melibatkan diri individu, tetapi termasuk juga jaringan sosialisasi antar individu. Jadi proses internalisasi ini adalah penyerapan kembali dari dua realitas proses sebelumnya (eksternalisasi dan objektivikasi) sehingga membentuk jaringan semula (eksternalisasi).

Berdasarkan paparan tersebut, maka dalam melihat peran K.H. Marzuki pada fase internalisasi ini adalah dengan melihat realitas kehidupan beliau dalam dua bentuk sosialisasi dalam internalisasi, yaitu, sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Pertama, sosialisasi primer; dalam sosialisasi primer tentunya pihak keluargalah yang memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk pola pikir dan perilaku anaknya. Dengan demikian, maka penekunan disiplin ilmu keislaman yang dilakukan oleh K.H. Marzuki tidak bukan adalah karena beliau dilahirkan dalam ruang keluarga yang agamis, yang kemudian ditopang oleh sejumlah sejumlah guru-guru beliau yang merupakan orang yang cukup berperan penting dalam membentuk pemikiran dan kepribadian beliau.

Kedua, sosialisasi sekunder; setelah digembleng dalam tahap sosialisasi primer, maka K.H. Marzuki memasuki tahap sosialisasi sekunder , artinya bahwa – bagaimana beliau melakukan sosialisasi pada tahap yang lebih luas dan berkelanjutan. Jadi dalam hal ini, keilmuan yang telah beliau dapatkan beliau sosialisasikan – termasuk dengan mendirikan lembaga pesantren. Kemudian dalam lembaga pesantren tersebut terdapat sejumlah pengajar baik dari lingkungan keluarga pendiri maupun orang lain termasuk santri-santri. Proses dialektika dan relasi antara pengajar dan santri akan terus terjadi secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang, walaupun pendiri pesantren tersebut telah meninggal. Namun, proses sosialisasi sekunder akan terus berjalan dan berlangsung, yang pada akhirnya membentuk corak yang beragam dalam realitas dan lintas waktu yang di laluinya, sehingga kembali lagi para proses eksternalisasi, yaitu suatu proses penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia.

 


 

KESIMPULAN

K.H. Marzuki Asad Malik lahir, Jumat, 01 April 1969 di Dusun Prangas, Desa Kampung Anyar, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang. Konstruksi genealogi keilmuan beliau, dalam hal ini fokus terhadap pendidikan keislaman sehingga mendirikan Pesantren Al-Aziz adalah terbentuk mulai dari lingkungan keluarga beliau yang agamis, kemudian dari sejumlah guru-guru beliau, realitas pengalaman dan karier intelektual beliau, termasuk sumber-sumber konsumsi bacaan beliau. Selanjutnya, potret kiprah beliau dalam teori sosiologi pengetahuan Pater L. Berger adalah : 1) Eksternalisasi, fase ini adalah proses pencurahan keilmuan yang telah didapatkan oleh K.H. Marzuki dalam ruang sosial, 2) Objektivikasi, adalah keilmuan yang telah beliau curahkan dalam ruang sosial memasuki tahap institusionalisasi dan legitimasi, dan 3) Internalisasi, adalah proses sosialisasi, baik sosialisasi primer (dalam lingkungan keluarga) maupun sekunder (dalam lingkungan yang lebih luas dalam berlangsung secara terus-menerus dalam waktu yang lama). Kemudian pada akhirnya kembali membentuk formasi semula, yaitu tahap eksternalisasi.

Studi ini diharapkan dalam menambah khazanah pengetahuan para pembaca tentang perkembangan dan historisitas salah satu pesantren yang ada di Desa Pasak, kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat serta dapat menjadi rujukan dan referensi bagi para pengkaji berikutnya untuk memotret sejumlah pesantren yang ada di Kalimantan Barat khususnya. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya dapat memperluas cakupan penelitian di Kalimantan Barat, baik dalam konteks dunia pesantren ataupun dalam lingkup keagamaan secara luas, karena Kalimantan Barat memiliki banyak objek penelitian yang bisa dikaji dengan berbagai teori yang ada. Kajian tentang dunia pesantren, khususnya di Kalimantan Barat atau umumnya di Indonesia masih cukup layak dikaji dengan tawaran teori-teori dan pendekatan yang mutakhir sehingga hasil yang didapatkan akan lebih menarik dan representatif. 


 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdurrahman Wahid. (2001). Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren. LKiS.

Adnani, L. S. (2021). Peran Kiai Dalam Pembinaan Akhlak Santri Di Pondok Pesantren Alfurqon Mranggen Demak. UIN Walisongo Semarang, 3(2), 20–21.

Albi Anggianto dan Johan Setiawan. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jejak Press.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: treatise in the sociology. 249.

Bibit Suprapto. (2009). Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Gelegar Media Indonesia.

Falikul Isbah, M. (2020). Pesantren in the changing indonesian context: History and current developments. Qudus International Journal of Islamic Studies, 8(1), 65–106. https://doi.org/10.21043/QIJIS.V8I1.5629

Geger Riyanto. (2009). Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran. LP3ES.

Ilmi, S., & Ardiansyah, A. (2020). Peran Pesantren dalam Mencegah Gerakan Radikalisme di Kalimantan Barat. Cakrawala: Jurnal Studi Islam, 15(1), 67–85. https://doi.org/10.31603/cakrawala.v15i1.3378

Jaya, E., Utama, P., & Wibowo, B. (2021). PERAN PONDOK PESANTREN HIDAYATUL MUHSININ DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI KALIMANTAN BARAT SEJAK 1998 – 2019. Historica Disaktika, 1(1), 10–22.

Michel Foulcault. (1976). The Archaeology of Knowladge. Row Publisher.

Mijamil Qomar. (n.d.). Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Intitusi. Erlangga.

Mujahid, I. (2021). Islamic orthodoxy-based character education: creating moderate Muslim in a modern pesantren in Indonesia. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 11(2), 185–212. https://doi.org/10.18326/ijims.v11i2.185-212

Nanang Martono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif. Rajawali.

Ni’mah, Z., Putri, N., Zakiyah, N., & Nurhaeni. (2019). Revitalizing Modern Pesantren Education: A Comparison Of Wahid Hasyim And Yudian Wahyudi Perspective. Jurnal At-Tarbiyat: Jurnal Pendidikan Islam, 6(1), 159–176. https://doi.org/10.37758/jat.v6i1.644

Nugraha, M. T., Pandi, A., Supiana, S., & Zaqiah, Q. Y. (2021). Formulasi Kebijakan Pendidikan di Pondok Pesantren Hidayatul Muhsinin Kubu Raya. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 3(1), 36–43. https://doi.org/10.31004/jpdk.v2i2.1341

Parwanto, W., & Antika, Y. (2024). NILAI PENDIDIKAN PROFETIK DALAM TRADISI SEDEKAH SUKA-RELA PADA RITUS KEMATIAN MASYARAKAT. Wawasan, 5(1), 118–134.

Parwanto, W., & Riyani, R. (2022). Visualisasi Nalar Esoteris dalam Tafsir Melayu-Jawi (Studi Interpretasi QS. Al-Fatihah dalam Manuskrip Tafsir M. Basiuni Imran Sambas Dan Tafsir Nurul Ihsan Said bin Umar Al-Kedah). Refleksi Jurnal Filsafat Dan Pemikiran Islam, 22(1), 27. https://doi.org/10.14421/ref.2022.2201-02

Parwanto, W., Sahri, S., Busyra, S., Riyani, R., & Nadhiya, S. (2022). Religious Harmonization on Ethno-Religious Communities of Muslim and Dayak Katab-Kebahan in Tebing Karangan Village, Melawi District, West Kalimantan. Harmoni, 21(2), 184–200. https://doi.org/10.32488/harmoni.v21i2.638

Parwanto, Wendi, Sulaiman, R. (2024). Gender in Social Media: A Comparative Study of Abd . Somad and Adi Hidayat s Interpretation on Gender Equality. Jurnal Ilmiah Widya Borneo, 7(2), 91–102. https://doi.org/10.56266/widyaborneo.v7i2.330

Rahman, B. A. (2022). Islamic revival and cultural diversity: Pesantren’s configuration in contemporary Aceh, Indonesia. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 12(1), 201–229. https://doi.org/10.18326/ijims.v12i1.201-229

Ramdhan, M. (2021). Metode Penelitian. Cipta Media Nusantara.

Soekma Karya, dkk. (1996). Ensiklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam. Logos Wacana Ilmu.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Alfabeta.

Sulaiman, A. (2016). Memahami Teori Konstruksi Sosial-Peter L. Berger. Jurnal Society, VI(1), 15–22.

 

Sumber Wawancara

Badruddin Aziz, 12 Januari 2025.

Muzammil, 13 Januari 2024.

Kholip, 13 Januari 2025.

Ummi Kalsum, 12 Januari 2023.