PERAN ORGANISASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER RELIGIUS REMAJA: STUDI KASUS PROGRAM PENDIDIKAN ISLAM KOMUNITAS GUDANG PAHALA REBORN DI KABUPATEN BEKASI

 

Trianjasmara*

Noor Azida Batubara**

*STAI Haji Agus Salim Cikarang, Indonesia

** STAI Haji Agus Salim Cikarang, Indonesia

*E-mail: anjasmara1012@gmail.com

** E-mail: azida@staihas.ac.id 

 

 

Abstract

This study examines the role of the Gudang Pahala Reborn Community Organization in developing religious character in adolescents through a community-based approach in the Bekasi Regency. Using a qualitative case study method, data were collected through in-depth interviews with 18 informants (managers, adolescent participants, and community leaders), participant observation over 3 months, and analysis of organizational documents. The research findings show that the GPR community development model that integrates Islamic values ​​in daily activities has succeeded in creating three significant changes: (1) increasing the consistency of daily worship (85% of participants), (2) changing patterns of social interaction to be more polite (78% of participants), and (3) strengthening community solidarity. Analysis using the Kirkpatrick model reveals that a personal approach and participatory activities are key to the success of behavioral transformation (level 3) and achieving sustainable impact (level 4). This study provides empirical evidence of the effectiveness of a character education model that is integrated with the local community ecosystem.

Keywords: community organization, character education, youth, community approach, Bekasi Regency

Abstrak

Penelitian ini mengkaji peran Organisasi Masyarakat Gudang Pahala Reborn dalam membangun karakter religius remaja melalui pendekatan berbasis komunitas di Kabupaten Bekasi. Dengan metode studi kasus kualitatif, data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan 18 informan (pengurus, peserta remaja, dan tokoh masyarakat), observasi partisipan selama 3 bulan, serta analisis dokumen organisasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa model pembinaan komunitas GPR yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kegiatan sehari-hari berhasil menciptakan tiga perubahan signifikan: (1) peningkatan konsistensi ibadah harian (85% peserta), (2) perubahan pola interaksi sosial yang lebih santun (78% peserta), dan (3) penguatan solidaritas komunitas. Analisis menggunakan model Kirkpatrick mengungkap bahwa pendekatan personal dan aktivitas partisipatif menjadi kunci keberhasilan transformasi perilaku (level 3) dan dampak berkelanjutan (level 4). Studi ini memberikan bukti empiris tentang efektivitas model pendidikan karakter yang menyatu dengan ekosistem komunitas lokal.

Kata Kunci:  organisasi masyarakat, pendidikan karakter, remaja, pendekatan komunitas, Kabupaten Bekasi


 


 

PENDAHULUAN

Organisasi masyarakat (Ormas) telah lama menjadi pilar penting dalam dinamika sosial Indonesia. Sebagai lembaga yang berakar di masyarakat, Ormas berperan strategis dalam mendorong perubahan sosial dan memelihara nilai-nilai luhur bangsa (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat, 2013). Dalam konteks pembangunan karakter generasi muda, peran Ormas menjadi semakin krusial mengingat kompleksnya tantangan yang dihadapi remaja masa kini. (McLaughlin, 2000).

Gudang Pahala Reborn (GPR) merupakan inisiatif lokal di Kampung Pisangan, Bekasi, yang menanggapi masalah degradasi moral remaja secara kreatif. (Ilma, 2023; Indainanto, 2020; Jatimnow.com, 2020; Pusiknas Bareskrim Polri, 2024). GPR menarik dikaji karena menggabungkan nilai keagamaan dengan aktivitas komunitas. Sebagaimana diungkapkan Contreras et al. (2024), Temuan Rahmat (2023) tentang peran Ormas keagamaan dalam pengembangan mutu pendidikan Islam semakin memperkuat relevansi penelitian ini.

Penelitian ini bertujuan untuk:

1.       Mengkaji eksistensi dan gerakan GPR dalam membina remaja melalui pendekatan keagamaan berbasis komunitas

2.       Menganalisis dampak gerakan GPR terhadap pembentukan perilaku keagamaan remaja

Berdasarkan model Kirkpatrick, analisis dampak difokuskan pada perubahan perilaku nyata peserta (level behavior). (Kirkpatrick & Kirkpatrick, 2016). Pendekatan ini dipilih karena relevansinya dengan tujuan penelitian untuk memahami transformasi konkret yang terjadi pada remaja.

 

Landasan Teoretis

Eksistensi GPR sebagai Ormas berbasis komunitas dapat dipahami melalui perspektif perkembangan remaja. Santrock (2016) menegaskan bahwa masa remaja merupakan fase krusial dalam pembentukan identitas, di mana pengaruh lingkungan sosial menjadi sangat menentukan. Temuan Lerner dan Steinberg (2013) memperkuat pandangan ini dengan menunjukkan bagaimana komunitas sebaya dapat menjadi media sosialisasi yang efektif.

Dalam konteks ini, GPR hadir sebagai ruang alternatif yang menawarkan nilai-nilai positif bagi remaja (Cherry, 2024). Model pembinaan yang dikembangkan GPR sejalan dengan temuan penelitian sebelumnya tentang peran Ormas keagamaan dalam pembentukan karakter remaja (Muntaqo et al., 2019; Subhan, 2021). Studi Amsa dan Farhan (2020) tentang peran aktivitas keagamaan dalam pembinaan moralitas remaja semakin memperkuat pentingnya pendekatan berbasis komunitas seperti yang dilakukan GPR.

 

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui:

1.       Wawancara mendalam dengan pengurus GPR, peserta program, dan tokoh masyarakat

2.       Observasi partisipatif terhadap kegiatan GPR

3.       Analisis dokumen organisasi

Data dianalisis secara tematik untuk mengidentifikasi pola-pola signifikan terkait eksistensi GPR dan dampak programnya. Evaluasi dampak mengacu pada model Kirkpatrick dengan fokus khusus pada perubahan perilaku (level behavior) sebagai indikator keberhasilan program.

 

Signifikansi Penelitian

Temuan penelitian ini diharapkan dapat:

1.       Memberikan kontribusi teoretis dalam memahami model pembinaan remaja berbasis komunitas

2.       Menjadi referensi bagi pengembangan program serupa di komunitas lain

3.       Memperkaya khazanah penelitian tentang peran Ormas lokal dalam pendidikan karakter

 

 

METODE

Penelitian ini memakai studi kasus kualitatif untuk mengkaji peran GPR dalam membina remaja berbasis komunitas. Studi kasus dipilih karena sesuai untuk menyelidiki fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata ketika batasan antara fenomena dan konteksnya tidak jelas (Yin, 2017; Creswell, 2007).

 

Desain Penelitian

Desain penelitian mengikuti model studi kasus intrinsik dan holistik (Creswell, 2007). Penelitian ini berfokus pada pemahaman mendalam tentang kasus spesifik GPR sebagai fenomena unik, sekaligus mengkaji organisasi secara utuh sebagai satu unit analisis (Punch, 2006).

 

Partisipan dan Lokasi

Penelitian dilakukan di Kampung Pisangan, Kabupaten Bekasi, dengan melibatkan:

1.       5 pengurus inti GPR

2.       10 remaja peserta aktif program (usia 15-19 tahun)

3.       3 tokoh masyarakat setempat

 

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi metode (Creswell, 2007):

1.       Wawancara mendalam semi-terstruktur

2.       Observasi partisipan selama 3 bulan

3.       Analisis dokumen organisasi

 

Analisis Data

Data dianalisis melalui beberapa tahap (Creswell, 2007):

1.       Transkripsi dan organisasi data

2.       Pengkodean tematik

3.       Interpretasi makna

4.       Verifikasi melalui member checking (Punch, 2006)

 

Evaluasi Program

Evaluasi dampak program menggunakan model Kirkpatrick (2016) dengan fokus pada:

1.       Perubahan perilaku (level 3)

2.       Dampak jangka panjang (level 4)

 

Validitas dan Reliabilitas

Validitas penelitian dijaga melalui (Creswell, 2007)

1.       Triangulasi sumber data

2.       Audit trail

3.       Ulasan sejawat

4.       Member checking

 

Aspek Etika

Penelitian memenuhi prinsip etika penelitian kualitatif (Punch, 2006):

1.       Informed consent

2.       Kerahasiaan data

3.       Anonimitas

4.       partisipan

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gudang Pahala Reborn adalah organisasi masyarakat dengan keanggotaan didominasi oleh mereka yang berada pada rentang usia remaja. Karakteristik yang menunjukkan konteks seseorang berada pada masa remaja diantaranya adalah berkembangnya fisik, sosial, dan kognitif serta usia. Sebagai individu yang tumbuh ke arah kedewasaan (Lerner & Steinberg, 2013), periode remaja dimulai dari masa pubertas hingga seseorang mencapai kemandirian ekonomi dengan pertimbangan utama kebutuhan dan kemampuan setiap remaja (American Psychological Association, 2002).

Secara umum, remaja identik dengan pribadi yang berada pada level mencari identitas diri, baik melalui pergaulan dengan teman sebaya, teman, dan mereka yang berinteraksi dengan remaja dan dewasa muda. Komunikasi yang dibangun tersebut berpengaruh signifikan terhadap perkembangan remaja (Santrock, 2016).

Dan salah satu cara remaja yang berada di sekitar lokus penelitian mencari identitas diri dengan cara aktif bergaul dengan organisasi masyarakat lokal Gudang Pahala Reborn (GPR) sebagai ormas berbasis komunitas yang berdiri di lingkungan tersebut.

Peran organisasi masyarakat ini, menembus hampir seluruh lapisan masyarakat terutama remaja. Hasil observasi dan wawancara dengan para pendiri, Ormas yang kehadirannya dilatarbelakangi oleh kepedulian para pemuda lingkungan sekitar terhadap gaya pergaulan para remaja yang jauh dari nilai-nilai agama, mengajak para remaja yang ada untuk terlibat aktif dalam berbagai program kegiatan organisasi GPR.

Upaya ini bertujuan mempermudah edukasi nilai-nilai Islam yang sesuai dengan kebutuhan remaja. Menciptakan dan melibatkan remaja dalam kegiatan yang bermanfaat  dalam upaya mengembangkan nilai-nilai positif pada remaja seperti kepedulian, empati, kepemimpinan, dan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai agama.

Nilai-nilai tersebut membantu remaja mengontrol sikap dan perilaku sesuai norma agama dan sosial. Hal ini menegaskan bahwa ormas GPR berupaya menjadi media bagi remaja untuk sampai pada titik kesadaran beragama.

Komitmen organisasi masyarakat Gudang Pahala Reborn untuk membina etika dan moral remaja sebagai masyarakat muda menjadi sebuah kebutuhan mendasar bagi terinternalisasikannya nilai-nilai organisasi yang menjadi keyakinan ormas tersebut. Nilai-nilai yang sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pendirian organisasi masyarakat dimana batasan yang harus diperhatikan oleh ormas diantaranya menjunjung etika dan moral serta memelihara stabilitas keamanan nasional, menjaga kesatuan dan persatuan bangsa (national security) (Prayudi et al., 2022).

 

Transformasi Pendidikan Agama Islam Berbasis Komunitas Pada Remaja

GPR mengintegrasikan konsep Pendidikan Agama Islam berbasis komunitas ke dalam program keagamaan, dengan melibatkan remaja secara aktif.

Pendidikan Agama Islam berbasis komunitas bertujuan membangun kesadaran beragama sesuai kebutuhan masyarakat.  Merujuk definisi pendidikan berbasis komunitas yang dikemukakan Owens dan Wang, Pendidikan Agama Islam berbasis komunitas sebagai serangkaian strategi pendidikan agama Islam yang komprehensif dan aksesibel bagi setiap individu masyarakat termasuk remaja untuk mempelajari apa yang ingin mereka pelajari dari setiap segmen agama Islam.

Adapun prinsip-prinsip pendidikan Agama Islam berbasis komunitas yang membantu terbangunnya edukasi yang efektif dan efisien di lingkup ormas GPR merujuk pada Owens dan Wang terdiri dari  empat dimensi yakni: 1. Revitalisasi sosial; 2. Pembelajar; 3. Proses pembelajaran; dan 4. Sumber belajar (Owens & Wang, 1996).

Dimensi pertama, revitalisasi sosial. Pada tataran praktik -dalam konteks Pendidikan Agama Islam berbasis komunitas- revitalisasi sosial dilakukan dalam bentuk menggiatkan kembali norma sosial dan praktik-praktik etika pada remaja sesuai dengan nilai-nilai Pendidikan Agama Islam (PAI).

Program dikemas menarik dan sesuai karakter remaja agar perilaku terbentuk secara sadar, misalnya melalui klub lingkungan atau sosial. Nilai PAI ditanamkan melalui etika sosial seperti kemandirian, ketangguhan, keterampilan, dan akhlak mulia (jujur, adil, kasih sayang, tanggung jawab, kerja sama).

Remaja diberikan ruang untuk membangun kesadaran kritis, memberikan kesempatan bagi remaja untuk memobilisasi berbagai perubahan sosial, serta memfasilitasi terciptanya lingkungan sosial yang lebih kondusif dan bermakna dalam membangun pengalaman belajar remaja guna membentuk kesadaran beragamanya (Contreras et al., 2024).

Revitalisasi sosial remaja dibangun atas asas konsep transformasi diri. QS. Ar-Ra’d [13]; 11: Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Ayat ini mengajak memperkuat kesadaran diri untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik harus berasal dari dalam diri sendiri.

Asas ukhuwah Islamiyah (kebersamaan). QS al-Hujurat [49]; 10: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Remaja yang dilibatkan dalam program kegiatan GPR diharuskan memiliki rasa kebersamaan.

Asas al-Itsar (kepedulian dan empati terhadap orang lain/mengutamakan orang lain di atas kepentingan diri sendiri).  QS. At-Taubah [9]; 122: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. Mengutamakan orang lain adalah bentuk amal saleh yang memperkuat kepedulian dan solidaritas sosial. Dan ini bagian dari eksistensi remaja sebagai khalifah. QS. an-Nuur [24]; 55: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi.

Asas-asas tersebut menjadi landasan program kerja GPR dalam revitalisasi sosial remaja dengan tujuan membangun rasa komunitas dalam diri remaja sebagai anggota komunitas yakni rasa memiliki, perasaan bahwa para anggota penting bagi satu sama lain dan bagi kelompok, dan keyakinan bersama bahwa kebutuhan para anggota akan terpenuhi melalui komitmen mereka untuk bersama, membangun koneksi emosional bersama (Townley & Kloos, 2009).

Dimensi kedua, pembelajar. GPR menerapkan prinsip pembelajar untuk aktualisasi pendidikan agama Islam bagi remaja. Hal ini dimaksudkan mengarahkan remaja dengan membangun kesadaran untuk belajar dan mengembangkan kemampuan pengetahuan dan karakternya sesuai dengan nilai-nilai PAI yang terefleksikan dalam perilaku sehari-hari. Prinsip yang dikembangkan yakni: Keaktifan remaja dalam belajar dan terlibat penuh dalam proses kegiatan;

1.   Kemandirian: Remaja sebagai anggota mampu belajar secara mandiri dan bertanggung jawab;

2.   Kerjasama/kolaboratif dengan sesama anggota;

3.   Pengalaman dan pengetahuan yang dibangun GPR harus dapat direfleksikan oleh remaja;

4.   Berbasis pengalaman: remaja dapat belajar dari pengalaman dan konteks nyata.

Dimensi ketiga, proses pembelajaran. Mengaktifkan proses edukasi remaja yang efektif dan efisien, terdapat beberapa aspek yang menjadi fokus GPR dalam menciptakan proses pembelajaran yang relevan dengan komunitas yang berimplikasi terhadap terbentuknya perilaku religius remaja (Carnegie Mellon University, 2025), yakni: 

1.   Menyesuaikan dengan kebutuhan remaja berdasarkan pengetahuan dasar (prior knowledge) yang dimilikinya. Bagi anggota yang tingkat pengetahuan, keyakinan, dan sikap masih tergolong pasif, maka edukasi kognitif keagamaan diberikan  optimal;

2.   Membangun peta konsep keagamaan remaja melalui kegiatan belajar bersama, mentoring, pelatihan. diantaranya edukasi dalam memahami adanya hubungan sebab-akibat terutama dalam hal pergaulan. Mengedukasi ketauhidan dan pengimplementasiannya dalam aktivitas sehari-hari. ;

3.   Penguatan motivasi anggota dengan tujuan untuk penguatan kepercayaan diri, memperbaiki kualitas hidup;

4.   Mengembangkan kesadaran remaja dan kemampuan mengolah potensi yang dimilikinya baik berbentuk keterampilan maupun pengetahuan serta memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dengan tujuan selain meningkatkan kesadaran diri, juga penguatan kepedulian sosial. Kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini diantaranya pelatihan kepemimpinan, membersihkan lingkungan;

5.   Prinsip edukasi melibatkan remaja dalam pengaktualisasiannya. Selain melatih kepemimpinan dan kegiatan di komunitas lainnya, juga remaja sebagai anggota komunitas dilibatkan dalam program mentorship (meningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota), diskusi rutin. Termasuk dalam prinsip proses pembelajaran ini dilakukan evaluasi dan umpan balik. Untuk mengetahuai keefektifan dari kualitas program  dan kegiatan komunitas, GPR melakukan evaluasi dan umpan balik (feedback);

6.   Membangun iklim organisasi positif. Atmosfer organisasi dibentuk untuk memberi dampak positif pada perilaku, motivasi, dan prestasi remaja. Sehingga program ormas lebih fleksibilitas dan adaptabilitas yakni lingkungan komunitas yang fleksibel, adaptif, dan mampu berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan manusia;

7.   Proses edukasi menekankan konsep metakognitif agar remaja mampu memantau dan mengendalikan diri saat aktif di komunitas. Mampu untuk merefleksikan diri sendiri seperti merefleksikan tingkat partisipasi mereka dalam program kegiatan ormas (apa yang telah dicapai/berhasil dan apa yang masih harus diperbaiki. Termasuk meningkatkan kebiasaan intelektual remaja.

Dimensi keempat, prinsip sumber belajar. Sebagai organisasi pembelajar, GPR memfasilitasi komunitasnya segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memudahkan anggotanya dalam belajar (Sudjana & Rivai, 2007) guna memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi warga negara, pekerja, dan pembelajar seumur hidup yang efektif (Owens & Wang, 1996). GPR memfungsikan dirinya sebagai organisasi pembelajar bagi anggotanya. Sebagaimana dikemukakan Padler et. al organisasi yang berorientasi menghidupkan pembelajaran dan memfasilitasi anggotanya untuk belajar dan secara terus menerus mentransformasikan dirinya adalah organisasi pembelajar (Thompson, 2023).                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          

Fasilitas di GPR yang menjadi sumber belajar yang membantu terbinanya perilaku religius bagi remaja terdiri dari Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman utama nilai-nilai pendidikan, sumber daya manusia organisasi, guru-guru agama yang ada di sekitar lingkungan. pengalaman anggota organisasi, kegiatan organisasi.

 

Strategi Implementasi Pendidikan Agama Islam Berbasis Komunitas

Organisasi Masyarakat Gudang Pahala Reborn, mengimplementasikan Pendidikan Agama Islam sebagai rujukan utama pembinaan perilaku religius remaja melalui metode keteladanan, pembiasaan, dan pemberian nasehat.

 

Keteladanan

Organisasi Masyarakat GPR  memperkenalkan perilaku yang baik melalui keteladanan yang identik dengan memahami sistem nilai Islam dalam bentuk nyata. Strategi dengan keteladanan adalah proses internalisasi dengan cara memberi contoh-contoh nyata yang positif pada remaja.

Program keagamaan GPR menanamkan keteladanan untuk menginspirasi remaja melalui contoh nyata:

1.   mencontohkan meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya memelihara budaya kebersihan dan kesehatan pada setiap anggota dan Masyarakat, guna meningkatkan kesadaran dan perilaku kebersihan dalam kehidupan sehari-hari;

2.   Mencontohkan disiplin waktu dan dalam berbagai aktivitas pada setiap anggota.

3.   Menaati segala peraturan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang 1945.

4.   Menjauhi larangan-Nya dan menaati segala perintah-Nya.

5.   Mencontohkan kepada remaja agar memiliki moral (takwa, ikhlas, sabar, syukur) dan perilaku yang baik (jujur dan benar dalam berbicara, menjaga kebersihan, menghormati orang lain terutama orang tua, empati)  sesuai dengan ajaran agama Islam.

 

Pembiasaan

Metode pembinaan perilaku religius pada setiap anggota GPR dalam kehidupan sosial masyarakat lainnya adalah kegiatan pembiasaan. Perilaku yang ditargetkan mencakup kesadaran remaja terhadap isu lingkungan, partisipasi sosial, dan berbagi pengetahuan, meningkatkan pengetahuan keagamaan dan pengetahuan lainnya yang bermanfaat, berpatisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, dan menyadari penuh pentingnya berbagi informasi dan pengetahuan dengan orang lain. Pembiasaan ini diaktualisasikan dalam berbagai bentuk kegiatan (lihat tabel 1).

 

Tabel 1. Kegiatan Pembiasaan ORMAS GPR

No

Agenda

Kegiatan

1

Pembiasaan Rutin

Shalat berjamaah di Masjid

Dialog aktif keagamaan

Sharing knowledge terkait informasi atau berita di lingkungan sekitar

Kedisplinan sikap, adab, perilaku, dan tatanan bahasa di dalam atau di luar GPR.

2

Terprogram

Kajian Kitab-kitab klasik dan kontemporer yang relevan dengan kebutuhan remaja dan masyarakat.

Istighosah dan pembacaan Yasin bersama.

Peringatan Hari Besar Islam & Nasional.

Pemeliharaan Lingkungan

Pemeliharaan masjid sekitar

Bagi-bagi Takjil Keliling (BATALING)

Mengikuti Event Game Mobile

3

Kegiatan spontanitas yang dilakukan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu:

Membiasakan diri memiliki jiwa sosial

Membiasakan disiplin pada waktu dan tanggung jawab atas apa yang sudah menjadi kewajiban.

Membiasakan memberi salam

Membiasakan peduli terhadap lingkungan.

 

 

Pemberian Nasehat (mauidzah hasanah)

Metode mau’idzah atau pemberian nasihat disampaikan dengan memperhatikan tiga unsur, yakni penuh kasih sayang, tidak mengandung celaan, dan tidak bersifat subjektivitas (Ismail, 2008). Materi mencakup etika, motivasi berbuat baik, serta penjelasan sebab-akibat dari perbuatan yang dilarang.

Nasehat keagamaan digunakan untuk membina perilaku remaja di Kampung Pisangan, Pebayuran, Bekasi. Nilai-nilai yang ditanamkan melalui program keagamaan berisikan seperti tentang perilaku remaja menurut Islam dengan melibatkan mentor keagamaan ormas GPR, dalam pembacaan Yasin dan tahlil bersama di Masjid, dan lain sebagainya.

Pada setiap kajian kitab rutin yang telah terprogram di GPR, pemateri atau penyaji selalu memberikan nasihat sebelum mengakhiri kajian kepada setiap anggota GPR maupun remaja yang mengikuti program kegiatan tersebut.

 

Keefektifan Program Keagamaan Organisasi Masyarakat dalam membina perilaku religius remaja

Untuk mengidentifikasi keefektifan program yang dijalankan organisasi Gudang Pahala Reborn, evaluasi program dilakukan dengan menggunakan teori evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick (Kirkpatrick & Kirkpatrick, 2016).

Evaluasi dilakukan dalam empat level, yaitu (Kirkpatrick & Kirkpatrick, 2016): pertama, level reaksi (reaksi peserta terhadap program). Evaluasi pada dimensi ini pada dasarnya untuk mengevaluasi kualitas program keagamaan konteks Pendidikan agama Islam berbasis komunitas yang diberlakukan GPR yang dinilai berdasarkan respon remaja selama proses pembinaan dilakukan. Kualitas program dan tingkat kepuasan remaja bersifat korelatif. Semakin berkualitas program pembinaan keagamaan akan semakin tinggi tingkat kepuasannya. Respon positif remaja terhadap edukasi PAI berbasis komunitas berdampak pada motivasi, minat, dan perilaku termasuk keinginan belajar agama yang muncul secara intrinsik dan dalam konteks ini edukasi keagamaan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh remaja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 90% peserta puas dengan program keagamaan yang diadakan oleh ormas GPR, dan 80% peserta merasa program keagamaan tersebut dapat membantu memahami nilai-nilai agama dan pengertiannya di dalam kehidupan sehari-hari

Kedua, level pembelajaran yang diperoleh remaja. Dimensi ini mengukur keefektifan program keagamaan GPR ditinjau dari ranah kognisi remaja. Evaluasi menggunakan kuesioner, mengukur pengetahuan religius remaja mencakup semua aspek-aspek mental yang terkait dengan proses berpikir, memahami, dan mengolah informasi, serta juga mencakup aspek-aspek emosi dan perilaku (yang terkait dengan aspek mental). Dalam konteks ini, secara kognisi,  remaja memiliki kemampuan untuk memproses informasi, memahami konsep, dan mengembangkan pengetahuan yang positif tentang nilai-nilai Agama Islam yang disampaikan melalui pembinaan oleh ormas GPR.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% peserta meningkatkan pengetahuan tentang nilai-nilai agama seperti hukum, tata cara, larangan, dan hal-hal yang dianjurkan dalam kebaikan, dan 80% peserta memahami bagaimana menerapkan ajaran dan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan sehari-hari

 Ketiga, level perilaku. Dimensi perilaku diukur melalui pengamatan dan penilaian tindakan remaja. Evaluasi dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:

Evaluasi awal. Dilakukan sebelum pembinaan keagamaan pada remaja dimulai, untuk mengetahui tingkat pengetahuan, pemahaman, dan perilaku individu sebelum menerima pembinaan. Evaluasi lanjutan yakni selama proses pembinaan (evaluasi formatif). Dilakukan untuk memantau kemajuan remaja dan mengetahui apakah mereka telah mencapai tingkat pengetahuan, pemahaman, dan perilaku sebagaimana yang diharapkan. Evaluasi sumatif. Dilakukan untuk mengetahui Tingkat pencapaian remaja dalam pengetahuan, pemahaman, dan perilaku yang diharapkan setelah pembinaan keagamaan selesai.

Level keempat adalah hasil. Pada dimensi ini, evaluasi difokuskan pada hasil atau dampak yang diperoleh remaja dari program keagamaan GPR.

Fase pertama mengevaluasi peningkatan pengetahuan dan pemahaman remaja tentang Islam melalui program GPR. Evaluasi juga menilai kemampuan remaja mengamalkan dan menyebarkan pengetahuan agama dalam kehidupan sehari-hari.

Fase kedua, identifikasi dilakukan GPR terkait perubahan remaja setelah mengikuti program keagamaan GPR baik dalam perubahan perilaku, perubahan pengetahuan dan pemahaman, dan identifikasi perubahan kemampuan dalam mengamalkan nilai-nilai Agama Islam dan berdakwah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 83% peserta mengalami perubahan perilaku yang positif, mulai dari tata cara berbahasa dan adab terhadap orang yang lebih tua, dan 80% peserta menjadi lebih rajin beribadah, lebih hormat kepada orang tua, dan lebih peduli terhadap lingkungan

Dalam dimensi hasil menurut Kirkpatrick's Model of Evaluation, proses evaluasi dilakukan hingga fase pengukuran keberlanjutan program edukasi remaja. Mengukur keberlanjutan dilakukan untuk mengetahui apakah program pendidikan agama Islam yang diimplementasikan GPR berdampak jangka panjang serta berkelanjutan. Pengukuran keberlanjutan tersebut dilakukan terhadap: pertama, keberlanjutan pengetahuan dan pemahaman tentang Agama Islam yang


diperoleh melalui program keagamaan GPR. Keberlanjutan dalam pengetahuan dimaksud adalah kemampuan remaja mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan yang telah diperoleh, serta menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Seperti memelihara pengetahuan yang telah diperoleh dan tidak melupakannya. Berupaya terus mempelajari hal-hal baru untuk meningkatkan pengetahuan yang telah ada. Menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Serta, mengembangkan pengetahuan yang telah diperoleh dengan mencari informasi baru dan mempelajari hal-hal baru.

Kedua, mengukur keberlanjutan kemampuan dalam pengamalan nilai-nilai Agama Islam dan berdakwah. Menilai seberapa baik remaja dapat mempertahankan dan meningkatkan kemampuan mereka dalam mengamalkan nilai-nilai Agama Islam dan berdakwah dalam jangka waktu yang lama.

Ketiga, mengukur keberlanjutan dalam aspek perilaku remaja setelah mengikuti program keagamaan GPR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada level hasil 77% responden menyatakan program membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya nilai-nilai agama khususnya remaja, dan 70% responden menyatakan program membantu meningkatkan kualitas hidup Masyarakat.


 


Gambar 1. Evaluasi Program Keagamaan dengan Kirkpatrick's Model of Evaluation

 


Berdasarkan deskripsi di atas, keefektifan program keagamaan dengan menerapkan Pendidikan Agama Islam berbasis komunitas meliputi membina dan meningkatkan kemampuan remaja menerapkan nilai-nilai Pendidikan agama Islam dalam berperilaku sehari-harinya: Evaluasi dilakukan melalui proses pengamatan/observasi, wawancara, dan perilaku remaja dalam berbagai program kegiatan GPR di kampung Pisangan terutama remaja yang terlibat sebagai anggota GPR, seperti pada saat berinteraksi dengan teman sebayanya, dengan masyarakat umum, ketika dihadapkan pada tuntutan menyelesaikan  permasalahan, atau dalam membuat keputusan.

Program keagamaan juga bertujuan membina kemampuan berpikir analitis agar remaja memahami dan mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits dalam masalah sosial.

GPR membina remaja agar berintegritas dan berdedikasi dalam PAI melalui partisipasi aktif dan konsisten dalam berbagai program, memiliki motivasi tinggi untuk mempelajari dan memahami Al-Qur’an dan Hadits, hingga mengembangkan kemampuan dalam berdakwah kepada masyarakat baik melalui perilaku, sikap, attitude, dan kesantunan dalam menyampaikan ajaran syariat Islam.

 

Dampak Program Keagamaan Ormas GPR Bagi Remaja

Adanya program keagamaan di organisasi masyarakat Gudang Pahala Reborn kampung Pisangan turut berperan dalam membina perilaku religius remaja baik yang tergabung dalam komunitas maupun di lingkungan sekitar. 

1.   Program keagamaan Ormas GPR ikut berperan dalam meningkatnya kesadaran beragama remaja yang terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya membiasakan Shalat 5 waktu di masjid, berpakaian sesuai syariat, yang menunjukkan remaja menjadi lebih sadar akan pentingnya nilai-nilai religius dalam kehidupan sehari-hari.

2.   Perubahan perilaku positif: Penerapan nilai-nilai pendidikan agama Islam pada program keagamaan ormas GPR membekali atau memberi perlindungan kepada diri remaja, dan juga mencegah dari segala perilaku tidak terpuji seperti kenakalan remaja yang sering terjadi pada saat ini. Remaja dibiasakan mengucapkan salam, jujur dan beretika saat berbicara, lebih hormat kepada orang tua, berinteraksi baik dengan masyarakat, dan lebih peduli terhadap lingkungan.

3.   Meningkatnya rasa solidaritas dan kebersamaan: Remaja menjadi lebih solid dan bersatu dalam menjalankan kegiatan keagamaan dan sosial.

4.   Meningkatnya kualitas hidup remaja. Remaja menjadi lebih seimbang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik dalam aspek spiritual, sosial, maupun akademis. Pendidikan keagamaan GPR memudahkan remaja menghayati nilai-nilai Islam. Karena selain mempelajari teori ilmu-ilmu pendidikan dan ‘amaliyah, remaja juga diarahkan untuk mempraktikkan atau mengaplikasikannya dengan cara pembiasaan diri dalam menjalankan syariat Islam dalam aktivitas sehari-hari.

 

KESIMPULAN

Program keagamaan berbasis komunitas yang dilaksanakan oleh organisasi masyarakat dapat menjadi salah satu strategi efektif dalam membentuk perilaku religius pada remaja. Program ini membantu meningkatkan kesadaran, kepatuhan, serta hubungan remaja dengan komunitas, sekaligus memperbaiki kualitas hidup mereka.

Dampak positif dari remaja dengan perilaku religius  juga dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap masyarakat. Diantaranya meningkatnya rasa keamanan dan ketertiban di Masyarakat disebabkan berkurangnya kasus kriminalitas dan kekerasan yang dilakukan oleh remaja. Dampak lainnya Meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan perilaku negatif remaja dan menumbuhkan rasa percaya antara masyarakat dan remaja, sehingga secara tidak langsung akan terwujud kualitas hidup masyarakat,

Program perlu evaluasi berkelanjutan dan dukungan masyarakat agar bisa menjangkau lebih banyak remaja dan dikembangkan secara kreatif. Dengan demikian, program keagamaan ORMAS GPR dapat menjadi contoh baik bagi ORMAS lainnya dalam mengembangkan program keagamaan yang efektif dan bermanfaat.


 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

American Psychological Association. (2002). Developing Adolescents: A Reference for Professionals. In Choice Reviews Online. https://doi.org/10.5860/choice.38sup-669

Amsa, S., & Farhan, H. (2020). Peranan Aktivitas Keagamaan Dalam Membina Moralitas Remaja Masjid At-Taqwa Di Dusun Ngering Sukoanyar Cerme Gresik. Tamaddun, 20(2), 103. https://doi.org/10.30587/tamaddun.v20i2.1306

Carnegie Mellon University. (2025). Learning Principles: Theory and Research-based Principles of Learning. Eberly Center. https://www.cmu.edu/teaching/principles/learning.html

Cherry, K. (2024). What Is Self-Concept? The Fundamental “Who Am I?” Question. Verwell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-self-concept-2795865#:~:text=Self-concept develops%2C in part,Someone believes in you.

Contreras, M. G., Downing, V., Greer, C. D., & Baldridge, B. J. (2024). Community-Based Education: Education and Engaged Research. In B. D. Christens (Ed.), The Cambridge Handbook of Community Empowerment. Cambridge University Press online.

Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Approaches. Sage Publication Ltd.

Ilma, A. (2023). Maraknya Kenakalan Remaja di Indonesia serta Solusi Mengatasinya. Kompasiana.

Indainanto, Y. I. (2020). Hegemoni Ideologi Konsumtif sebagai Gaya Hidup Remaja. Jurnal Simbolika: Research and Learning in Communication Studt, 6(1).

Ismail, A. I. (2008). Paradigma dakwah Sayyid Quthub: Rekonstruksi pemikiran dakwah harakah. Penamadani.

Jatimnow.com. (2020). Musnahkan BB: Kasus Narkoba Dimalang Didominasi Pelajar Dan Mahasiswa.

Kirkpatrick, J. D., & Kirkpatrick, Wendy K. (2016). Kickpatrick’s Four Levels of Training Evaluation. BerrettKoehler Publisher, Inc.

Lerner, R. M., & Steinberg, L. (2013). Socialization and Self-Development: Channeling, Selection, Adjustment, and Reflection. In Handbook of Adolescent Psychology: Second Edition. https://doi.org/10.1002/9780471726746.ch4

McLaughlin, M. W. (2000). Community Counts: How Youth Organizations Matter for Youth Development.

Muntaqo, R., Rahayu, S., & Zuhdi, A. (2019). Peranan Serta Organisasi Remaja Islam dalam Penanaman Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam bagi Remaja Sinduagung Selomerto Wonosobo. Paramurobi, 2(2).

Owens, T. R., & Wang, C. (1996). Community-based learning: A foundation for meaningful educational reform. School Improvement Research Series, June 11, 2008.

Prayudi, Wasisto, A., Laraswanda, J., & Lindawaty, D. S. (2022). Peran Organisasi Masyarakat dalam Negara (K. Nugroho, Ed.). Publica Indonesia Utama.

Punch, K. F. (2006). Developing Effective Research Proposals. Sage Publication Ltd.

Pusiknas Bareskrim Polri. (2024). Makin Banyak Korban dan Terlapor Pembunuhan dari Pelajar serta Mahasiswa. https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/makin_banyak_korban_dan_terlapor_pembunuhan_dari_pelajar_serta_mahasiswa

Rahmat, M. (2023). Peran Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam Pengembangan Mutu Pendidikan Islam di Indonesia. Tsamratul -Fikri, 17(1), 41–52.

Santrock, J. W. (2016). Adolescence. McGraw-Hill Education.

Subhan, M. (2021). Peran Ormas Islam dalam Pembinaan Remaja. April, 1–10.

Sudjana, N., & Rivai, A. (2007). Teknologi Pengajaran. Sinar Baru Algesiondo.

Thompson, N. (2023). The learning from practice manual. Jessica Kingsley Publishers.

Townley, G., & Kloos, B. (2009). Development of a measure of sense of community for individuals with serious mental illness residing in community settings. Journal of Community Psychology, 37(3), 362–380. https://doi.org/10.1002/jcop.20301

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat (2013).

Yin, R. K. (2017). Case Study Research and Applications: Design and Methods (6th ed.). SAGE Publications.