NILAI-NILAI SOSIAL
PROFETIK DALAM RITUALITAS
IBADAH PUASA RAMADHAN
Athoillah Islamy*
*Institut Agama Islam Negeri Pekalongan,
Indonesia
*E-mail:
athoillahislamy@yahoo.co.id
Abstract
Ramadan
fasting rituals have a big mission in shaping the social personality of a
Muslim. This is because the obligation of fasting is a theocentric-oriented
category of worship and an anthropocentric orientation. This study seeks to
explore the predictive social values contained in the mandatory religious
fasting of Ramadan. This is library research with a philosophical normative
approach. Meanwhile, the analytical theory used, namely the theory of social
science (ISP), which Kuntowijoyo put forward, was in
the form of values of humanization, liberation, and
transcendence. The study concludes that three prophetic social values can be
taken from the spirituality of Ramadan fasting, including (1) faith commitment
as a manifestation of transcendent values , (2) fostering social piety character as a
manifestation of liberation, (3) Social care as a manifestation of
humanization.
Keywords: value,
social prophetic, Ramadan fasting
Abstrak
Ritualitas ibadah puasa ramadhan memiliki misi besar dalam pembentukan kepribadian
sosial seorang muslim. Hal demikian disebabkan kewajiban ibadah puasa bukanlah
sekedar kategori ibadah yang berorientasi teosentris,
melainkan juga berorientasi antroposentris. Penelitian ini berupaya untuk
mengeksplorasi nilai-nilai sosial profetik yang termuat dalam perintah
kewajiban ritualitas ibadah puasa ramadhan.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
berupa kajian pustaka (library research)
dengan pendekatan normatif filosofis. Sementara itu, teori analisis yang
digunakan, yakni teori Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo berupa nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Hasil penelitian menyimpulkan terdapat tiga
nilai sosial profetik yang dapat diambil dari ritualitas
ibadah puasa ramadhan, antara lain (1) Komitmen
keimanan sebagai manifestasi nilai transendensi (2)
Pembinaan karakter kesalehan sosial sebagai manifestasi liberasi (3) Kepeduliaan sosial sebagai manifestasi humanisasi.
Kata
Kunci: nilai, sosial profetik,
puasa ramadhan
PENDAHULUAN
Tidak dipungkiri di era gobalisasi
yang melanda segala aspek kehidupan
dewasa ini, kontestasi ideologi
dan beragam pemikiran di tengah kehidupan sosial masyarakat modern menjadi hal
yang tidak terelakan. Dalam kondisi tersebut, desakan berbagai nilai sosial
budaya yang bersumber dari peradaban dunia
Barat modern, baik yang berdampak positif maupun negatif dapat mempengaruhi prilaku masyarakat modern
Salah satu dampak negatif dari adanya globalisasi, yakni
degradasi moral maupun sosial yang menjadi keprihatinan dan perhatian serius oleh seluruh elemen masyarakat di suatu bangsa dan
negara
(Ida Bagus Suradarma, 2018: 51).
Merespons problem moral dan sosial sebagaimana di atas,
maka keberadaan penguatan kepribadian diri individu
yang bermoral melalui basis berbagai nilai dalam ajaran agama merupakan hal niscaya dan sangat dibutuhkan. Dalam
konteks inilah, peran pendidikan agama diharapkan dapat mengejawantahkan
nilai-nilai spritual sekaligus etika sosial dalam
mengikis potensi terjadinya degaradasi moral yang
rawan terjadi dalam konteks kehidupan sosial pada masyarakat global (Sofa
Muthohar, 2013: 323).
Pada konteks ajaran agama Islam, berbagai nilai
pendidikan spritual dan sosial sejatinya dapat ditemukan
dalam berbagai bentuk ibadah, terutama pada ritualitas ibadah mahdhah, seperti ritualitas ibadah puasa ramadhan
Penting disadari
bahwa sebagai salah satu pilar dalam rukun Islam keberadaan ibadah puasa (puasa
ramadhan) bukanlah aktifitas
ibadah simbolik tahunan tanpa nilai dan makna melainkan memiliki misi besar
dalam pembentukan kepribadian seorang muslim (Mufaizin,
2018: 114-124, Ramli Abdul Wahid, 2010: 4-5, Nurjannah, 2014: 37). Hal demikian tidak lain disebabkan kewajiban ibadah
puasa bukanlah sekedar kategori ibadah yang berorientasi teosentris,
melainkan juga berorientasi antroposentris (Umairso,
2018 :151). Dalam konteks inilah pentingnya kesadaran seorang muslim
atas penyahatan nilai-nilai spritual
dan sosial yang termuat dalam pelaksanaan ibadah puasa.
Pemaknaan teosentris an sih
terhadap perintah kewajiban puasa ramadhan merupakan pemaknaan sempit yang bermuara pada
model penalaran teologis yang dikotomis dalam
kehidupan keberagamaan. Ciri model penalaran teologis tersebut, yakni
terjadinya pemusatan segala aktifitas kehidupan
seorang muslim difokuskan pada relasinya terhadap Tuhan, tanpa menghiraukan
harkat dan martabat manusia dan problem kemanusiaan dalam kehidupan lingkungan
dan sosial sekitar. Dengan kata lain, akan melahirkan wujud keberagamaan yang
bersumber dari pemahaman ajaran agama yang tidak utuh sehingga menjadikan
ajaran agama hanya memberi janji pahala dan surga dengan mengabaikan dimensi
ajaran kemanusiaannya. Oleh sebab itu, ibadah puasa diharapkan dapat menjadi
medium bagi seorang muslim dalam mewujudkan relasi manusia dengan Tuhannya,
relasi manusia dengan sesama manusia serta relasi lingkungannya berjalan baik. Jika tidak, manifestasi
ajaran yang menjadi pesan dalam ibadah puasa akan pincang dan distorsif (Cholil Nafis,
2015:140). Muhammad Mutawalli As-Sya’rowi sebagaimana
yang dikutip oleh Sansan Ziaul Haq menuturkan
bahwa esensi ibadah puasa bertujuan agar
seorang muslim dapat beristiqomah menghidupkan
nilai-nilai puasa tidak hanya selama bulan suci Ramadhan, melainkan tetap
berlanjut setelah berakhirnya bulan suci Ramadhan (Sansan Ziaul
Haq, 2016: 199).
Berdasarkan uraian
latar belakang yang telah penulis uraikan sebelumnya, maka dirumuskan sebuah
pertanyaan penelitian, yakni “Apa saja nilai-nilai sosial profetik yang termuat
dalam ritualitas ibadah puasa ramadhan?”
Sementara itu, tujuan dari penelitian ini, yakni untuk melakukan analisis
eksploratif terkait nilai-nilai sosial profetik yang termuat dalam ritualitas ibadah puasa ramadhan.
METODOLOGI
Jenis penelitian ini masuk kategori penelitian kualitatif yang berupa
kajian pustaka (library research).
Sumber data utama
penelitian ini, yakni buku Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan karya Cholil
Nafis (2015). Sementara itu, sumber data
sekunder penelitian yang
digunakan, yakni berbagai literatur ilmiah
yang relevan dengan fokus objek pembahasan penelitian ini.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa pendekatan
normatif filosofis dengan menggunakan teori analisis, yakni teori Ilmu Sosial
Profetik (ISP) yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo
berupa nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Adapun
sifat pendekatan penelitian ini, yakni deskriptif-analitik.
Namun tidak hanya bersifat deskriptif- analitik, melainkan juga
bersifat preskriptif dalam memberikan
saran yang berpijak dari analisis pembahasan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Mengenai Puasa
Penulis menyadari
bahwa kajian atau penelitian ilmiah terkait nilai-nilai fislosofis
yang termuat dalam ritualitas ibadah puasa telah
cukup banyak diuraikan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, dalam sub bab literature review ini,
akan penulis uraikan beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi
dengan objek inti pembahasan dalam penelitian ini. Hal demikian dimaksudkan
agar dapat menunjukan distingsi penelitian ini dari
berbagai penelitian sebelumnya. Penjelasan lebih sebagai berikut.
Diawali oleh penelitian Very Julianto dan Pipih Muhopilah (2015) dengan Judul “Hubungan Puasa dengan Tingkat Regulasi Kemarahan,” Penenlitian tersebut
menyimpulkan terdapat relasi antara pelaksanaan
ibadah puasa dengan tingkat regulasi kemarahan individu yang melaksanakannya. Di mana individu
yang sering menjalankan puasa, maka pasokan
karbohidrat dalam tubuhnya lebih rendah, sehingga memiliki potensi tingkat kemarahan yang tinggi (Very Julianto dan Pipih Muhopilah. 2015:3). Penelitian Very dan Pipih ini lebih
menekankan pada aspek hubungan ibadah puasa secara medis dengan
kondisi emosional kejiawaan dalam diri seorang yang berpuasa.
Kemudian penelitian Umiarso
dan Makhful (2018) dengan judul “Puasa dan Pendidikan
Agama Islam dalam Membangun
Manusia Penaka “Tuhan”: Tinjauan Kritis Terhadap Sisi Epistemologik dan Aksiologik (Pembelajaran) Pendidikan Agama Islam,” Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa eksistensi ibadah puasa dapat menjadi medium dalam membentuk jati diri manusia
yang memiliki potensi kemanusiaan dan ketuhanan. Hal demikianyang kemudian menjadi basis paradigmatic model pembelajaran
humanis yang meletakkan subjek dan objek pendidikan agama Islam menjadi manusia pembelajar (Umiarso dan Makhful,2018: 129). Penelitian Umiarso dan Makhful ini lebih mengfokuskan
pada aspek epsitemologi dan
aksiologi terkait korelasi antara ritualitas ibadah puasa dengan pembelajaran materi Pendidikan Agama Islam (PAI).
Berikutnya, bertolak
belakang dari hasil penelitian Very dan Pipih sebagaimana yang telah diuraikan di atas, penelitian Pipih Muhopilah, Witrin
Gamayanti dan Elisa Kurniadewi (2018) dengan judul
“Hubungan Kualitas
Puasa dan Kebahagiaan Santri Pondok Pesantren
Al-Ihsan,” justru menunjukan
bahwa terdapat relasi kualitas ibadah puasa dengan kebahagiaan
seorang yang menjalankannya.
Di mana pada saat berpuasa seorang individu termotivasi untuk selalu bersikap sabar, berperilaku baik yang kemudian sikap tersebut berimplikasi pada emosi positif dan kepuasan. Kondisi demikianlah yang kemudian dapat meningkatkan kualitas puasa dan juga rasa kebahagiaan
yang dialaminya. Pipih Muhopilah, Witrin
Gamayanti, Elisa Kurniadewi, 2018:
53).
Selanjutnya, Mufaizin (2018) dengan judul “Kearifan Syariat dan
Hikmah dalam Puasa,” Penelitian tersebut
menyatakan bahwa studi terkait hikmah dibalik pensyariatan
ibadah puasa akan senantiasa dinamis seiring kondisi Ilmu Pengetahuan yang
berkembang. Kondisi demikian yang kemudian dapat berimplikasi pada fakta-fakta baru yang dapat menjadi anugerah
bagi kehidupan umat Islam (Mufaizin,2018:125).Penelitian
Mufaizin ini menekankan pada penggalian nilai-nilai hikmah ibadah puasa dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Safria Andy (2018) dengan judul “Hakikat Puasa Ramadhan dalam Perspektif Tasawuf (Tafsir
Q.S Al-Baqarah: 183).” Penelitian tersebut menunjukan
bahwa ritualitas ibadah puasa mengandung berbagai nilai
dalam kehidupan tasawuf, antara lain sikap kejujuran, pengakuan kepemilikian Allah Swt atas alam
semesta, kesadaran atas kelemahan seorang hamba yang senantiasa membutuhkan
pertolongan Allah Swt, dan rasa hina seorang hamba
yang senantiasa dapat memperbaiki prilakunya (Safria Andy, 2018:16). Penelitian yang dilakukan Safria
ini cenderung menggunakan perspektif tasawuf dalam menggali nilai-nilai hikmah
yang termuat dalam ritualitas ibadah puasa.
Berpijak dari berbagai
penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
berbagai penelitian terdahulu tersebut memiliki sisi distingsi perspektif
sekaligus temuan masing-masing. Ada yang menggunakan perspektif tasawuf, medis,
psikologi, bahkan sains.
Berbeda dengan berbagai
penelitian di atas yang memiliki kecenderungan perspektif secara parsial,
penelitian ini berupaya menggali berbagai nilai falsafah yang termuat dalam ritualitas ibadah puasa melalui paradigma nilai Ilmu Sosial
Profetik yang dietuskan Kuntowijoyo
meliputi nilai humanisasi, liberasi dan transendensi.
Melalui paradigma tersebut, penelitian ini diharapakan
dapat mengeksplorasi sekaligus mengidentifikasi berbagai nilai sosial profetik
dalam aktifitas ibadah puasa.
Paradigma Ilmu Sosial Profetik (ISP)
Ketika terjadi polemik perdebatan antara berbagai ilmu sosial Barat sekuler dan ilmu sosial Islam, muncullah sosok
intelektual muslim Indonesia yang bernama Kuntowijoyo
(Putri Wulansari dan Nurul Khotimah, 2019: 224). Ia hadir dengan menawarkan ide orisinal dan kritis sebagai
pengembangan paradigma ilmu sosial yang disebutnya dengan istilah Ilmu Sosial Profetik (ISP). Ide ISP
merupakan upaya saintifikasi (pengilmuan)
ajaran Islam yang bersumber dari landasan teologis Islam, baik al-Quran maupun Hadis (Athoillah Islamy,2020 :177) Melalui ide ISP yang dicetuskannya tersebut, Kuntowijoyo
membangun jalan penghubung antara ilmu sosial sekuler dengan gerakan Islamisasi
ilmu sosial (Perdana Boy
ZTF, 2011: 95-96).
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa Ide Ilmu Sosial Profetik (ISP) memiliki
tujuan untuk menjadikan ilmu sosial memiliki landasan nilai teologis dalam hal orientasi yang akan dicapainya. Oleh sebab itu, ide ISP bukan hanya untuk memahami realitas secara apa adanya, melainkan lebih dari itu, yakni mentransformasikan berbagai cita atau nilai luhur yang didambakan dalam kehidupan sosial kolektif. Atas dasar inilah, dirumuskan tiga nilai landasan paradigmatik dalam ide ISP, yakni nilai humanisasi (amar makruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (keimanan)
yang diderivasikan dari misi ajaran Islam dalam Qs. Ali Imran, ayat 110 (Husnul Muttaqin, 2015: 221-222). Ketiga landasan nilai tersebut bukan hal
yang bersifat dikotomis melainkan integratif dalam membumikan
nilai-nilai ajaran Islam
dalam konteks kehidupan social (Maskur, 2012: 127). Adapun uraian penjelasan lebih lanjut tentang tiga landasan nilai dalam ide ISP, sebagai berikut.
Humanisasi
Humanisasi menjadi landasan nilai yang berpijak pada pemaknaan ajaran Islam berupa
amar ma’ruf (Husnul Muttaqin, 2015:225). Dalam ide Ilmu Sosial Profetik (ISP), manifestasi nilai humanisasi berorientasi untuk memanusiakan
manusia dengan cara
menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia (Muhammad Zainal Abidin, 2016: 155). Dalam konteks inilah, pada dasarnya humanisasi memiliki titik temu dengan gerakan liberalisme Barat. Namun demikian, terdapat distingsi mendasar, yakni jika peradaban
Barat berpijak pada humanisme antroposentris yang menila eksistensi kehidupan
manusia dibangun oleh diri manusia sendiri tanpa intervensi kekuasaan Tuhan
(Husnul Muttaqin,2015:225-226). Sedangkan ide humanisme ISP berpijak pada nilai humanisme teosentris yang tidak dapat
dilepaskan dari dimensi
transendensi yang menjadi landasan epistemologinya (Isfaroh, 2019: 211).
Melalui humanisme
teosentris, Kuntowijoyo ingin menyadarkan manusia kembali untuk memusatkan berbagai
aktiftasnya kepada Tuhan, dengan tetap borientasi pada kemaslahatan hidup manusia (Husnul
Muttaqin, 2015:225-226). Paradigma demikian, meniscayakan dua macam sumber
pengetahuan dan kebenaran yang ditekankan dalam nilai humanisme ISP, yakni
bersumber dari Tuhan dan dari manusia (Muhammad Zainal Abidin, 2016: 145).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa humanisasi dalam yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo lebih
tepat disebut humanisasi teo-antroposentris,
karena memiliki landasan nilai transendensi yang bersumber
dari ajaran Islam, dan landasan nilai kemanusiaan
yang bersumber dari akal sehat manusia.
Liberate
Liberasi merupakan
pemaknaan dari nilai ajaran Islam berupa nahi munkar (Husnul Muttaqin, 2015:226). Abdul Karim Syeikh
menuturkan bahwa term munkar tidak terbatas ditujukan pada hal yang dingkari dan dilarang agama, melainkan juga dtujukan pada berbagai hal yang tidak dapat diterima oleh
logika sehat, budaya dan adat dalam kehidupan manusia (Abdul Karim Syeikh, 2018 :19). Dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik
(ISP), nilai liberasi yang memiliki tanggung jawab yang berpijak pada ajaran
Islam dalam membebaskan kehidupan manusia dari berbagai tindakan yang kontra
produktif atau bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri, seperti
dominasi struktur yang menindas, diksriminasi,
hegemoni, tirani, dan lain sebagainya (Husnul Muttaqin, 2015: 226).
Penting diketahui
bahwa dalam nilai liberasi ISP ini, terdapat empat objek utama yang menjadi target orientasi. Pertama, liberasi sistem pengetahuan yang bertujuan untuk membebaskan manusia orang dari sistem pengetahuan materialistis, dan dari dominasi struktur kelas, dan seks. Kedua, liberasi dalam sistem social yang berorientasi untuk menjaga manusia dari dampak negartif
sistem sosial industrial. Ketiga, liberasi dari sistem ekonomi
yang berdampak buruk berupa kesenjangan kesejahteraan dalam kehidupan antar umat manusia. Keempat, liberasi dalam sistem politik yang bermaksud untuk membebaskan
sistem politik yang otoriter, diktator, neofeodalisme dan lain sebagainya (Muhammad Zainal
Abidin, 2016: 157). Dari sini dapat dipahami bahwa nilai liberasi dalam ide ISP
tidak terbatas pada penjelasan eksplisit dalam landasan teologis normatf, melainkan juga dapat berdasarkan norma sosiologis maupun antropologis.
Transcendence
Transendensi menjadi landasan nilai berpijak dari ajaran Islam yang berupa perintah untuk menjaga komitmen
keimanan. Dalam konteks nilai transendensi
ini, berbagai nilai yang menajdi dasar keimanan dalam ajaran Islam menjadi bagian inti dalam
mewujudkan sebuah peradaban umat manusia. Dengan kata lain, nilai transendensi menempatkan nilai-nilai posisi sangat sentral dalam ide Ilmu Sosial Profetik (ISP) (Husnul Muttaqin,
2015:227-228). Menurut Muhammad Zaenal Abdin, transendensi merupakan bentuk kesadaran orientasi
kerja manusia sebagai bentuk beribadah (Muhammad Zainal Abidin, 2016: 158).
Penting diketahui
bahwa dalam ide ISP, nilai transendensi memiliki peran yang sangat urgen dalam membimbing tujuan hidup seorang muslim sebagai manusia. Pada konteks inilah, nilai transendensi dapat memberikan arah untuk apa berbagai tindakan humanisasi
dan liberasi dilakukan (Husnul Muttaqin, 2015:228). Dalam konteks ini, jika dilihat dalam perpektif psikologi
Islam, maka Islam merupakan ajaran agama yang memuat sumber nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dalam pembentukan psikis dan perilaku
manusia yang baik (Athoillah Islamy,
2019 :38). Oleh karena itu, humanisasi, liberasi, dan transendensi dalam ide ISP merupakan tiga nilai yang berjalan integratif bukan dikotomis
(Maskur, 2012: 127). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tiga landasan nilai (humanisasi, liberasi, dan transendensi)
dalm ide Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang dicetuskan Kuntowijoyo merupakan trilogi nilai sosial profetik yang
bekerja sama dalam pembentukan kepribadian manusia dalam kehidupan sosial.
Tiga Nilai Sosial
Profetik Puasa Ramadhan
Selain memiliki karakter daya kritis pada realitas kehidupan sosial umat
manusia, ajaran Islam juga memilki fungsi
transformatif dalam rangka mentransmisikan berbagai nilai ajaran dalam
kehidupan sosial masyarakat. Fungsi
transformatif ajaran Islam ini kemudian menunjukan
bahwa esensi dari ajaran Islam tidaklah
sebatas pada orientasi pembentukan akhlak dalam kehidupan individu pemeluknya
semata, melainkan juga akhlak sosial (Athoillah Islamy, 2021: 61).
Berpijak pada
penjelasan di atas, maka keberadaan pensyariatan
kewajiban ibadah Puasa Ramadhan dan hari raya idul
fitri merupakan dua momen yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya memiliki relasi
keterkaitan sekaligus keberlanjutan dalam menanamkan misi ajaran Islam yang
mulia bagi pembentukan kepribadian umat Islam. Oleh karena itu, untuk memahami
apa makna yang termuat dalam perayaan hari raya Idul Fitri, maka penting
perenungan reflektif atas perjalanan Ibadah Puasa yang telah seorang muslim
lewati selama bulan suci Ramadhan. Dalam hal ini, setidaknya ada dua pertanyaan
refleksi sebagai berikut. Bagaimana kita menjalani hari-hari dalam berpuasa
Ramdhan ? Hikmah dan manfaat apa saja yang sudah kita dapatkan dari berpuasa
Ramadhan?
Idul Fitri
merupakan hari kembalinya manusia pada fitrah kesuciannya. Suci dari segala khilaf, salah dan dosa setelah
menempuh Ibadah Puasa selama bulan suci
Ramadhan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Hadis Nabi yang berbunyi:
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya “Barangsiapa yang
berpuasa Ramadhan karena iman dan ikhlas berharap pahala dari Allah SWT, maka
akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”(HR.Al-Bukhari
dan Muslim)
Namun demikian
tidak dipungkiri manusia tidak selamanya dapat menjaga fitrah kesuciannya.
Tidak jarang bahkan seringkali fitrah kesucian
tersebut ternodai oleh hiruk pikuk pergaulan, ambisi
hidup dan dosa yang dilakukan manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Pada kondisi inilah, manusia sering lupa akan fitrahnya, lupa akan asal mulanya
sebagai hamba yang memiliki fitrah salimah,
yakni fitrah dalam kondisi suci yang belum terpolusi,
sehingga senantiasa membawa dirinya pada kehidupan yang baik, tenang dan damai.
Dalam hal ini, Al-Qurtubi sebagaimana yang dikutip Saryono
menjelaskan bahwa fitrah bermakna
kesucian jiwa dan rohani yang melekat kepada pribadi manusia sejak lahir dalam
keadaan suci dalam arti tidak memiliki dosa. Terkait konsep fitrah ini,
Al-Maraghi juga menuturkan bahwa fitrah mengandung maksud arti kecenderungan
untuk mencari dan menerima kebenaran (Saryono, 2016: 164-165).
Dalam rangka
menjaga fitrah kesucian dalam diri seorang muslim pasca berakhirnya bulan suci
Ramadhan, maka penting kiranya menghidupakan kembali
nilai-nilai mulia yang termuat dalam ritualitas puasa
ramadhan pada kehidupan sehari-hari. Dalam sub bab
pembahasan inti ini, penulis akan menguraikan
setidaknya terdapat tiga nilai sosial profetik dalam ritualitas
puasa ramadhan yang dapat senantiasa kita hidupkan kembali dalam kehidupan sehari-hari, antara lain
sebagai berikut.
Komitmen Keimanan
Sebagai Manifestasi Nilai Transendensi
Dalam
perspektif teologi Islam, dijelaskan
bahwa konstruksi sebuah bangunan keimanan seorang muslim meliputi dimensi batiniah
dan dimensi lahiriah. Di mana dimensi esoteris merupakan dimensi sikap
kepercayaan atau keyakinan sepenuh hati pada berbagai doktrin ajaran Islam.
Sedangkan dimensi eksoteris merupakan tindakan
empiris, baik berupa ucapan lisan dan lain sebagainya sebagai manifestasi
kondisi batiniahnya (Shodiq, 2104: 132).
Penting disadari
kembali bahwa ibadah puasa merupakan medium bagi seorang muslim untuk dapat
melatih, mengasah sekaligus meningkatkan kualitas ketaatannya dalam beragama
(Taufik Mukmin, 2017: 42).
Salah satu ciri yang melekat kuat terkait aspek ketaatan dalam ibadah puasa yakni sikap keimanan.
Wujud konkrit keimanan ini tercermin
dalam pelaksanaan ibadah puasa yang disertai keyakinan bahwa segala aktifitas dalam berpuasa senantiasa diawasi oleh Allah Swt. Padahal sejatinya
orang yang sedang berpuasa sangatlah mudah melakukan kebohongan publik, yakni dengan
berpura-pura untuk tidak makan dan tidak minum di depan orang lain. Namun dengan adanya keyakinan
terhadap pengawasan Allah Swt dalam setiap
tindakannya, maka ia tetap konsisten
menjaga puasanya (Cholil
Nafis, 2015: 79). Berbeda dengan berbagai ibadah lainnya yang mudah
diidentifikasi oleh panca indera
manusia karena adanya gerakan-gerakan simbolik, seperti shalat,
zakat, haji (Sansan Ziaul Haq, 2016: 193). Oleh sebab
itu, tidaklah mengherankan jika Kondisi tersebutlah yang kemudian tidak
berlebihan jika puasa dipandang sebagai kategori ibadah yang sangat privasi.
Dalam ide Ilmu
Sosial Prefetik (ISP), komitmen keimanan yang melekat
pada pelaksanaan ibadah puasa
juga dapat disebut sebagai wujud komitmen
transendensi seorang muslim dalam ber-Islam. Dalam konteks inilah,
sikap ihsan juga penting dibutuhkan guna memperkokoh sikap transendensi
seorang muslim dalam
kehidupan beragama. Sebagaimana penting kita ketahui kembali
secara definitif, term
Ihsan telah dijelaskan
oleh Nabi Muhammad SAW dalam Hadisnya
yang artinya: Ihsan adalah ketika kamu beribadah
kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak
dapat melihatnya, maka Allah pasti melihatmu’.” (HR
Muslim). Dalam perspktif tasawuf,
sikap ihsan dipandang sebagai bentuk penghayatan intensif dan mendalam atas kehadiran Tuhan dalam diri
kehidupan sehari-hari seorang muslim (Justin
Parrot, 2009: 20). Zaman Nazim Ali menyebut
ihsan menempati
level tertinggi dalam trilogi sikap keberagamaan
Islam, yakni Islam, iman
dan ihsan (Zaman
Nazim Ali, 2012:120-121). Oleh
karenanya, tidaklah berlebihan Justin Parrot menyebut Ihsan dipandang sebagai puncak pendakian tertinggi dalam kehidupan keberagamaan umat Islam (Justin
Parrot, 2009: 20).
Sebagaimana kita ketahui kembali bahwa dalam ide Ilmu Sosial Profetik, nilai
transendensi berpijak dari ajaran Islam yang berupa komitmen keimanan. Di mana berbagai landasan nilai keimanan dalam ajaran Islam merupakan hal yang urgen untuk mewujudkan kepribadian dalam kehidupan seorang
muslim(Husnul Muttaqin, 2015:227-228). Manifestasi dari
komitmen keimanan sebagai nilai transendensi tersebut
dalam ritualitas ibadah puasa tidak dapat dilepaskan dari ajaran agama yang
berkaitan erat dengan sikap keimanan, seperti sikap Islam dan ihsan.
Relasi antara
iman, Islam, dan ihsan merupakan trilogi ajaran Islam yang tidak dapat
dikotomikan dalam ritualitas ibadah puasa dan berbagai
ritualitas ibadah yang lain (selain puasa). Dalam
ranah praksisnya, satu dengan lainnya merupakan satu keutuhan yang saling
berkaitan. Iman berkaiatan aspek keyakinan
(kepercayaan) dalam hati seorang muslim. Sementara, Islam memiliki makna
keselamatan, kepatuhan, dan ketundukan
seorang muslim terhadap ajaran Islam. Sedangkan
ihsan berarti sikap selalu berbuat baik karena merasa adanya pengawasan
dan kehadiran Tuhan dalam kehidupan seorang muslim (Nur Hadi, 2019: 5). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa sebagai ibadah jasmani dan sekaligus nafsani, ibadah puasa dapat menjadi medium untuk menanamkan
dan mengasah nilai transendensi dalam ajaran Islam
yang berupa Islam, Iman dan Ihsan, sehingga diharapkan hati seorang muslim
dapat mengalami ketentraman dalam mengarungi
kehidupan sehari-hari.
Pembinaan Karakter Kesalehan Sosial Sebagai Manifestasi Nilai
Liberasi
Upaya dalam pembentukan kepribadian atau karakter individu dapat melalui pengoptimalisasian pembelajaran sekaligus penanaman berbagai
nilai sosial dan agama. Hal ini disebabkan
pendidikan karakter atau kepribadian memiliki korelasi erat dengan
nilai-nilai spritualitas yang bersumber dari ajaran
agama (Athoillah Islamy,
Dwi Puji Lestari, Saihu, Nurul Istiani, 2020: 175).
Penting disadari proses pendidikan karakter dapat dipahami sebagai bentuk
pendidikan nilai, budi pekerti, moral, bahkan pendidikan watak. Oleh
sebab itu, orientasi dari proses pendidikan karakter yakni untuk melakukan
transmisi kecerdasan berfikir, penghayatan, bersikap,
dan perilaku yang baik (Nurul Istiani, Athoillah Islamy, 2020:41-42).Dalam konteks
inilah, jika dilihat
dalam kacamata psikologi Islam, bahwa Islam sebagai ajaran agama telah memuat
sumber nilai pedoman hidup seorang
muslim dalam membentuk psikis dan perilaku seorang muslim yang baik (Athoillah Islamy, 2019: 38).
Terkait
nilai-nilai pembentukan prilaku atau karakter
kepribadian sosial seorang muslim sejatinya dapat dengan mudah kita temukan
dalam ritualitas ibadah puasa. Atas dasar inilah,
maka penting disadari kembali bahwa pemahaman tentang berbagai ritualitas ibadah mahdhoh,
tidaklah cukup berhenti pada aspek legal formal fikih semata, seperti syarat,
rukun, dan hal-hal yang membatalkannya, melainkan penting memahami berbagai
makna yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah tersebut(Athoillah Islamy, 2020:
108-109). Hal demikian tidak terkecuali dalam memahami makna di balik perintah
kewajiban ibadah puasa ramadhan. Sebagaimana penting
diketahui dan disadari kembali bahwa kata imsak (menahan) sebagai kata
kunci dalam ibadah puasa tidaklah sekedar berupa aktifitas
simbolik menahan perkara-perkara yang dilarang, seperti makan, minum,
berhubungan intim di siang hari. Namun juga harus dipahami sebagai aktifitas menahan keinginan hawa nafsu. Hal demikian
tidaklah lain disebabkan ibadah puasa bukanlah sekedar ibadah yang menekankan aktifitas jasmani, melainkan juga aktiftas
nafsani (Athoillah Islamy, 2021: 126). Dalam konteks
puasa nafsani, ibadah puasa dapat menjadi sarana pembetukan karakter seorang muslim. Melailui
ibadah puasa dharapakan akan melahirkan pribadi-pribadi
muslim yang memiliki prinsip tangguh, kesabaran, dan keiklasan
sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Nabi yang berbunyi:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ
أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ
إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
Artinya “Puasa
merupakan perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang
yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa” (H.R.
Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas
mengisayaratkan bahwa puasa bagaikan perisai atau tameng
yang dapat menjaga pertahanan dari serangan musuh. Berpijak pada penjelasan normatif Hadis tersebut dapat kita pahami
pada dasarnya seseorang
yang sedang berpuasa, sejatinya ia sedang
melakukan penguatan diri dari serangan
hawa nafsu yang selalu menjerumuskan pada perbuatan tercela. Tidak sekedar itu,
perintah untuk menyatakan diri sebagai orang yang sedang berpuasa ketika ada yang menghina atau memeranginya menunjukan pesan ajaran Islam agar kita bersikap pasif dalam berbagai tindakan yang dapat memicu disintegrasi sosial, seperti permusuhan, pertikaian, peperangan dan lain sebagainya. Dalam konteks inilah pesan moral atau
makna sosial yang termuat dalam aktifitas ritualitas ibadah puasa dapat dikatakan paralel dengan
nilai liberasi. Di mana dalam ide Ilmu Sosial Profetik (ISP), nilai liberasi (nahi munkar) diposisikan
pada konteks ilmu atau nilai sosial
yang memiliki tanggung jawab profetik dalam menghindarkan kehidupan
manusia dari berbagai tindakan
yang bertentangan atau kontra produktif dengan semangat nilai kemanusiaan itu sendiri,
seperti kekejaman, dominasi struktur yang menindas, diksriminasi, hegemoni, tirani, dan lain sebagainya (Husnul Muttaqin, 2015: 226).
Nilai liberasi
dalam ritualitas ibadah puasa merupakan nilai yang
membutuhkan perenungan dan kesadaran mendalam bagi pelakunya untuk
mewujudkannya sebagai nilai kongkrit dalam
kepribadian dan tingkah laku. Dalam konteks inilah penting kita merujuk pada
nasihat Hujjatul Islam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi Al-Shafi’i (450H-505H) atau yang sering kita kenal dengan
nama Imam Al-Ghazali. Menurut
al-Ghazali setidaknya ada enam adab yang harus dijaga dalam
menjalankan ibadah puasa, antara lain. Mengkonsumsi makanan-makanan
yang halal & baik Menghindari perselisihanMenjauhi
ghibah Tidak berbohong, Tidak menyakiti orang lain,
Menjaga anggota badan dari segala perbuatan buruk.
Keenam adab berpuasa sebagaimana nasihat Al-Ghazali di atas dapat menjadi element penting dalam pembinaan karakter nilai liberasi
dalam diri seorang muslim selama menjalankan ibadah puasa dan dapat kita
teruskan pada kehidupan sehar-hari setelah
berakhirnya bulan suci ramadhan, terlebih dalam
kondisi problem karakter dan sosial yang melanda Bangsa Indonesia saat ini, seperti
merajalelanya fenomena kriminalisasi, konflik sosial, intoleransi, praktek korupsi yang semakin massif
(Athoillah Islamy, 2020: 156), bahkan aksi kekerasan maupun terorisme atas nama
agama.
Kepedulian Sosial Sebagai Manifestasi
Nilai Humanisasi
Melalui ibadah puasa, seorang
muslim dapat memahami pesan ajaran Islam terkait pentingnya menjaga hubungan baik antara
manusia dengan Tuhannya (hablun minnallah) sekaligus hubungan baik antara
manusia dengan sesama manusia (hablun minannas). (Umairso, 2018 :151). Dalam ibadah puasa, umat
Islam dilatih untuk berempati pada kondisi orang lain
dan lingkungan sekitarnya. Sikap empati tersebut
bukanlah karena sama-sama dalam kondisi lapar dan haus semata, melainkan
tentang bagaimana kita dapat menumbuhkan
sikap kepedulian sosial. Selaras dengan nilai kepeduliaan
sosial ini, Nabi Muhammad
Saw menyebut bulan Ramadhan
sebagai Syahr al-Muwȃsat, yang berarti “Bulan Kepekaan Sosial”. (HR. Ibn Khuzaimah). Predikat sebagai bulan kepekaan
sosial juga dikuatkan dalam Hadis Nabi terkait anjuran untuk memberi
makan orang yang berbuka puasa.
مَنْ فَطَّرَ
صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ
شَيْئًا
Artinya: “Barangsiapa memberi
makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala
seperti orang yang berpuasa
tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5:
192. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih) (Cholil
Nafis, 2015: 142).
Tidak hanya
anjuran memberi makan berbuka, dalam Hadis lain juga menunjukan adanya nilai kepedulian sosial dalam bentuk perintah
mengeluarkan zakat fitrah sebagaimana Hadis Nabi yang berbunyi:
شَهْرُ
رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ إلَى اللهِ إلاَّ
بِزَكَاةِ الفِطْرِ
Artinya
:“Pahala puasa Ramadhan digantungkan antara langit dan bumi, tidak diangkat
kepada Allah kecuali dengan dibayarkannya zakat fitrah.[1]
Berpijak pada
pesan kepedulian sosial dalam dua Hadis di atas, menunjukan
bahwa ibadah puasa tidak dapat dilepaskan dari fungsi kepedulian sosial yang
mengikutinya. Fungsi tersebut tidak lain agar melalui ibadah puasa, seorang
muslim dapat membiasakan diri berperan aktif dalam mewujudkan format kehidupan
sosial kolektif yang adil, harmonis dan juga sejahtera.
Keberadaan pesan kepeduliaan sosial yang termuat dalam ritualitas
ibadah puasa dapat dikatakan sebagai nilai humanisasi. Sebagaimana penting
diketahui kembali bahwa nilai
humanisasi dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik (ISP) merupakan nilai profetik
yang timbul dari pemaknaan kreatif terhadap ajaran Islam yang berupa amar ma’ruf
(menegakkan kebenaran) Dimana istilah amar ma‟ruf memiliki
makna atau maksud yang beragam, antara lain makna keutamaan, kebenaran,
keadilan, kelayakan, pantas, patut dan bakti (Abdul Karim Syeikh,
2018 :19). Oleh sebab itu, pesan kepeduliaan sosial
dalam ritualitas ibadah puasa dapat dikatakan sebagai
bagian dari manifestasi nilai humanisasi dalam arti makna yang lebih luas. Kesimpulan demikian
tidaklah berlebihan mengingat dalam paradigma ISP, manifestasi nilai humanisasi
sejatinya bertujuan untuk memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan,
ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia (Muhammad Zainal Abidin,
2016: 155).
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi sebagaimana yang dikutip oleh Cholil Nafis menuturkan bahwa semangat kerekatan sosial
dalam diri seorang muslim yang berpuasa merupakan bentuk implikasi sosial dari ritualitas ibadah puasa yang tumbuh dari kondisi yang sama
dalam merasakan penderitaan dan kepedihan atas kurangnya
kesejahteraan ekonomi yang dialami oleh orang-orang fakir dan miskin, seperti
halnya rasa kekurangan dan kelaparan (Cholil Nafis,
2015:77). Oleh karena itu, wujud kongkrit kepedulian
sosial yang mengiringi pelaksanaan ibadah puasa, baik dalam bentuk pemberian
sedekah atau pembayaran wajib zakat fitrah dapat menjadi medium dalam
mewujudkan tujuan dari nilai humanisasi yang berupa sikap sosial kemanusiaan
dan menghilangkan jurang kesenjangan kesejahteraan sosial antara orang yang
memiliki kondisi finansial yang baik dengan orang yang mengalami kekurangan,
bahkan kesusahan dalam kehidupan finansialnya.
KESIMPULAN
Berpijak pada
uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ritualitas
ibadah puasa ramadhan sejatinya memuat berbagai nilai
ajaran sosial profetik bagi kehidupan umat Islam antara lain berupa (1)
Komitmen keimanan sebagai manifestasi nilai transendensi
(2) Pembinaan karakter kesalehan sosial sebagai manifestasi liberasi (3) Kepeduliaan sosial sebagai manifestasi humanisasi.
Setidaknya
manifestasi tiga nilai sosial profetik dalam ritualitas
ibadah puasa di atas dapat menjadi medium seorang muslim untk
dapat senantiasa berevolusi diri menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik,
sehingga apa yang digambarkan tentang kembalinya manusia ke fitrah kesuciannya
di hari raya Idul Fitri dapat terwujud melalui gambaran perilaku dalam kehidupan sehari-hari setelah berakhirnya
Bulan Suci Ramadhan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Muhammad Zainal. (2016). Paradigma
Islam dalam Membangun Paradigma Ilmu Integralistik : Membaca
Kuntowijoyo, Banjarmasin: IAIN Antasari
Press.
Andy, Safria.
(2018). Hakikat Puasa Ramadhan dalam
Perspektif Tasawuf (Tafsir Q.S Al-Baqarah: 183). Ibn Abbaas : Jurnal
Ilmu Alqur’an dan Tafsir, 1(1).
Hadi, Nur. (2019). Islam, Iman Dan Ihsan Dalam Kitab Matan Arba‘In
An-Nawawi: Studi Materi Pembelajaran Pendidikan Islam dalam Perspektif Hadis
Nabi SAW. Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan
dan Studi Keislaman, 9(1).
Haq, Sansan Ziaul. (2016). Dimensi Eksoterisme
dalam Tafsir Ishari. Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Isfaroh.(2019). Humanisme Teosentris: Telaah Sosiologi Pengetahuan Pemikiran Kuntowijoyo. Panangkaran, Jurnal Penelitian Agama dan
Masyarakat, 3(2).
Islamy, Athoillah (2020). Haji Mabrur dalam
Paradigma Fikih Sosial Sufistik. Jurnal Al-Qalam:
Jurnal Penelitian Agama dan Sosial Budaya,
26(1).
Islamy, Athoillah,
Dwi Puji Lestari, Saihu, Nurul Istiani. (2020).
Pembiasaan Ritualitas Kolektif dalam Pembentukan
Sikap Sosial Religius Anak Usia Dini (Studi Kasus di TK Islam Az Zahra, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan), Educandum
: Jurnal Ilmiah Pendidikan, 6(2).
Islamy, Athoillah.
(2021). Landasan Filosofis dan Corak Pendekatan Abdurrahman Wahid Tentang
Implementasi Hukum Islam di Indonesia, Jurnal Al-Adalah : Jurnal Hukum dan
Politik Islam, 6(1).
Islamy, Athoillah. (2019). Dialectic Motivation, Behavior
And Spiritual Peak Experience In The Perspective Of Islamic Psychology. Alfuad: Jurnal Sosial Keagamaan, 3(2).
Islamy, Athoillah. (2021). Pemikiran Hukum Islam
Nurcholish Madjid. Disertasi, Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang.
Islamy, Athoillah.
(2020). Aktualisasi Nilai-nilai Profetik dalam Pendidikan Keluarga di Tengah
Pandemi Covid-19, Mawa’izh: Jurnal Dakwah
dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, 11(2).
Islamy, Athoillah. (2020). Paradigma Sosial
Profetik dalam Kode Etik Politik di Indonesia, Asy Syar’iyyah: Jurnal Ilmu Syari’ah
dan Perbankan Islam, 5(2).
Istiani, Nurul,
Athoillah Islamy. (2020). Efektifitas Pendidikan
Karakter melalui Metode Storytelling bagi Siswa
Tingkat Menengah Atas(Studi Implementasi di SMK Negeri 3 Pekalongan), Edugama : Jurnal Kependidikan dan Sosial
Keagamaan, 6(2).
Julianto, Very, Pipih Muhopilah.
(2015). Hubungan Puasa dengan Tingkat Regulasi Kemarahan, Psympathic,
Jurnal Ilmiah Psikologi, 2(1).
Maskur (2012).
Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo (Telaah atas Relasi
Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi). Tesis, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.
Mufaizin. (2018). Kearifan Syariat dan Hikmah dalam Puasa, Al-Insyiroh,
2(2).
Mukmin, Taufik. (2017). Nilai-Nilai
Pendidikan dalam Ibadah Puasa, el-Ghiroh, 12(1).
Muthohar, Sofa. (2013). Antisipasi Degradasi Moral di Era Global, Nadwa : Jurnal Pendidikan Islam, 7(2).
Muhopilah, Pipih, Witrin
Gamayanti, Elisa Kurniadewi. (2018). Hubungan Kualitas Puasa dan Kebahagiaan
Santri Pondok Pesantren Al-Ihsan, Jurnal Psikologi Islam
dan Budaya,
1(1).
Muttaqin, Husnul. (2015). Menuju Sosiologi
Profetik, Sosiologi Reflektif, 10(1).
Nafis, Cholil. (2015). Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan.
Jakarta: Mitra Abadi Press.
Nurjannah. (2014). Lima Pilar Rukun Islam Sebagai Pembentuk Kepribadian Muslim, Jurnal Hisbah, 11(1).
Parrot, Justin. (2009). Islam,
Iman, Ihsan: Climbing The Spiritual Mountain. Texas: Yaqeen Institut
For Research.
Saryono. (2016). Konsep Fitrah dalam Perspektif Islam, Medina-Te, Jurnal Studi Islam, 14(2).
Shodiq. (2014). Pengukuran
Keimanan: Perspektif Psikologi, Nadwa: Jurnal Pendidikan
Islam, 8(1).
Suradarma, Ida Bagus. (2018) Revitalisasi Nilai-Nilai
Moral Keagamaan di Era Globalisasi Melalui Pendidikan Agama, Dhaemasmrti, 9(2).
Syeikh, Abdul Karim. (2018). Rekonstruksi Makna Dan Metode
Penerapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar Berdasarkan Al-Qur’an, Al-Idarah: Jurnal Manajemen dan Administrasi Islam, 2(2).
Umiarso, Makhful. (2018). Puasa dan Pendidikan Agama Islam
dalam Membangun Manusia Penaka “Tuhan”: Tinjauan Kritis Terhadap Sisi Epistemologik dan Aksiologik
(Pembelajaran)Pendidikan Agama Islam, Nadwa : Jurnal Pendidikan Islam,
12(1).
Wahid, Ramli
Abdul. (2010). Fikih Ramadhan. Medan: Perdana Publishing.
Wulansari, Putri, Nurul Khotimah. (2019). Membumikan Ilmu Sosial Profetik: Reaktualisasi Gagasan Profetik
Kuntowijoyo dalam Tradisi Keilmuwan
di Indonesia, Jurnal Pendidikan Agama Islam
Universitas Wahid Hasyim, Progress, 7(2).
Zaman Nazim Ali. (2012). Towards an Authentic Islamic Development Model:
Incorporating the Roles of Trust and Leadership in the Islam, Iman, Ihsan
Paradigm. Dissertation, Submitted in Fulfilment of the Requirements for
the Degree of Doctor of Philosophy at Durham University.
ZTF, Perdana Boy. (2011). Prophetic Social Sciences: Toward an Islamic-based
Transformative Social Sciences. Indonesian Journal of Islam and Muslim
Societies, 1(1).
https://islam.nu.or.id/post/read/105594/khutbah-jumat-enam-adab-berpuasa-menurut-imam-al-ghazali
https://islam.nu.or.id/post/read/128710/zakat-fitrah-sebagai-penyempurna-puasa-dan-penyelamat-jiwa