KECERDASAN AGRARIS: REINTERPRETASI
KEJADIAN 1:26-30; 2:15 DARI PERSPEKTIF TEOLOGI AGRARIA
Jefri
Andri Saputra
Institut Agama
Kristen Negeri Toraja, Indonesia
E-mail: jefrijefri293@gmail.com
Abstract
This article aims to respond to
agrarian issues that are currently struggling with churches and society in
several regions in Indonesia. The texts of Genesis 1:28-30 and Genesis 2:15
often raise problems with ecological implications because of their contrasting
meanings. Mastering and subduing creation in Genesis 1:28-30 tends to be
counter-ecological, while Genesis 2:15 is pro-ecological. The author examines
these two texts from the perspective of Norman Wirzba's Agrarian theology. The
research results show that these two texts meet in efforts to manage natural
potential and protect its vulnerability from damage. Genesis 1:28-30 constructs
intelligent mastery or comprehensive and balanced insight into creation, and
Genesis 2:15 constructs the act of cultivating natural potential and protecting
its vulnerabilities from damage. These two texts are the starting point for
constructing church services in responding to agrarian issues.
Keywords: ecotheology, Genesis 1-2, agrarian
conflict, Norman Wirzba, agrarian theology
Abstrak
Artikel ini
bertujuan untuk merespons isu agraria yang menjadi pergumulan gereja dan
masyarakat masa kini di beberapa daerah di Indonesia. Teks Kejadian 1:28-30 dan
Kejadian 2:15 kerap menimbulkan masalah implikasi ekologis karena maknanya yang
kontras. Menguasai dan menaklukkan ciptaan dalam Kejadian 1:28-30 cenderung
kontra ekologi, sedangkan Kejadian 2:15 bersifat pro ekologi. Penulis mengkaji
kedua teks ini dalam perspektif teologi Agraria dari Norman Wirzba. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kedua teks ini berjumpa dalam upaya mengelola
potensi alam dan melindungi kerentanannya dari kerusakan. Kejadian 1:28-30
mengonstruksikan penguasaan secara inteligensi atau wawasan komprehensif dan
berimbang terhadap ciptaan, dan Kejadian 2:15 mengonstruksikan tindakan
mengolah potensi alam dan melindungi kerentanannya dari kerusakan. Kedua teks
ini menjadi titik tolak mengonstruksikan pelayanan gereja dalam merespons
isu-isu agraria.
Kata Kunci: ekoteologi,
Kejadian 1-2, konflik agraria, Norman Wirzba, teologi agraria
PENDAHULUAN
Isu agraria merupakan permasalahan yang aktual dalam
pergumulan masyarakat di Indonesia saat ini. Urgensi masalah agraria lahir dari
kesadaran bahwa pengelolaan tanah dalam beberapa dekade terakhir melahirkan
berbagai masalah, seperti ketimpangan penguasaan, kepemilikan dan penggunaan
tanah, konflik agraria, masifnya alih fungsi lahan tani, kualitas lingkungan
menurun, serta isu kemiskinan dan kesejahteraan sosial (Sulistyaningsih, 2021). Beberapa masalah ini ditemukan sebagai dampak dari
aktivitas pertambangan, penggunaan pestisida dan insektisida, serta perkebunan
monokultur jangka panjang pada perkebunan kelapa sawit (Lisdayani and Ameliyani, 2021;
Mailendra and Buchori, 2019; Putri, Valensia, Purnama, and Manik, 2023).
Dalam
penelitian Mailendra dan Imam Buchori, aktivitas penambangan emas tanpa izin di
kabupaten Kuantan, Singingi, mengakibatkan kerusakan lahan sekitar 2.680,03
hektare dengan perincian tingkat kerusakan tinggi seluas 699,34 hektare,
kerusakan sedang 1.501,04 hektare, dan kerusakan rendah 479,65 hektare (Mailendra and Buchori, 2019). Penelitian Riska
Amalia dkk. terhadap perkebunan kelapa sawit di desa Gunung Sari, Kalimantan
Timur, menunjukkan beberapa dampak seperti konflik sosial, kenaikan suhu udara,
banjir, hilangnya biodiversitas, serta ketersediaan sayur, hewan buruan, dan
ikan di sungai semakin berkurang (Amalia, Dharmawan, Prasetyo, and Pacheco, 2019).
Berbagai masalah dan fenomena di atas mendorong
munculnya berbagai perspektif maupun gerakan ekologis. Salah satu di antaranya
adalah pengembangan teologi agraria. Beberapa penulis sebelumnya telah
mengonstruksikan perspektif ini dalam penelitian. Tantan Hermansah merekonstruksi gerakan agraria sehingga tidak
hanya bersifat sosio-politis, tetapi juga merupakan spirit dan gerakan
keagamaan. Teologi agraria merupakan usaha pengejawantahan keadilan
Tuhan di dunia (Hermansah, 2007). Wawuk Kristian
Wijaya meneliti pelayanan yang dilakukan oleh Yayasan Bina Sarana Bakti (YBSB)
dan Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan Hari Pangan Sedunia (SPTN HPS)
kepada kaum petani dan nelayan. Kedua paguyuban ini menemukan bahwa gereja
perlu menghadirkan pelayanan kepada kaum petani, dengan meneladani kenosis
Yesus yang solider kepada kelompok yang termarginalkan, termasuk petani dan
nelayan (Wijaya, 2011). Yanti Paninggiran mengonstruksikan teologi pertanian dengan
berangkat dari makna kata abodah yang
digunakan sebagai istilah kerja dalam Perjanjian Lama. Paninggiran menemukan
bahwa bertani juga perlu dipahami sebagai pekerjaan yang sakral, di mana usaha
memuliakan nama Allah dapat diwujudkan (Paninggiran, 2018). Firman Panjaitan
menganalisis Injil Matius dan kosmologi Jawa dan menemukan bahwa manusia dan
alam berada dalam relasi yang seharusnya saling melindungi dan menjaga. Relasi
ini berimplikasi pada bentuk pertanian organik, yang menjaga kelestarian hidup alam
dan manusia (Panjaitan, 2020).
Meskipun
gereja memiliki andil melalui teologi agraria untuk merespons masalah-masalah
di atas, pada saat yang sama gereja masih bergumul dengan interpretasi teks
yang dianggap eksploitatif dalam kitab suci. Sebut saja penafsiran teks
Kejadian 1:26-30, tentang menguasai dan menaklukkan ciptaan lain. Teks ini
kerap disalah pahami sebagai sebuah legitimasi dalam eksploitasi alam sehingga
ikut berkonstribusi negatif dalam eksploitasi dan kerusakan alam.
Meskipun
sudah ada upaya untuk “memperlunak” tafsiran kata “taklukkanlah” dan
“berkuasalah” dalam Kejadian 1:26-30, namun beberapa penelitian ini tidak
sepenuhnya berhasil membebaskan bias penguasaan dan dominasi yang kuat atas
ciptaan lain. Gayus Darius menyebutkan
bahwa perintah ini disampaikan dalam kondisi manusia yang segambar dengan
Allah, serta belum sampai pada keadaan manusia yang dipenuhi keserakahan
ekonomi (Darius, 2022). Kivatsi Jonathan
Kavusa menyebutkan bahwa puncak dari penciptaan bukanlah pada penciptaan
manusia, melainkan ketika Tuhan beristirahat dan menguduskan pekerjaannya. Hal
ini mengindikasikan bahwa segala ciptaan berpusat pada Tuhan (Kavusa, 2021). Oleh karena itu,
apa pun makna dari dominasi manusia, hal tersebut tetap harus menghormati kuasa
Tuhan yang menguduskan segala ciptaan-Nya.
Kedua
tafsiran di atas tidak memberi cara mengaktualisasikan kata menguasai dan
menaklukkan dalam konteks pro ekologi. Emanuel Gerrit Singgih merekomendasikan
agar teks ini dibekukan mengingat hasil tafsir selalu terindikasi menguasai dan
memperlihatkan makna berkuasa dengan pengertian yang “keras”. Pada saat yang sama, sikap pro ekologi justru muncul
dari cerita yang sama pada sumber yang berbeda. Teks Kejadian 2:15 juga
memperlihatkan misi Allah yang diberikan kepada manusia, tetapi lebih ramah
terhadap lingkungan (Singgih, 2020). Perintah yang kontras dari kedua teks ini menjadi
sebuah masalah dalam tafsir.
Kedua masalah di atas―makna yang “keras” pada
menguasai dan menaklukkan, serta makna kontras dari dua teks misi Allah bagi
manusia tentang ciptaan―mendorong penulis untuk melihat kedua teks ini
dari perspektif teologi agraria. Pernyataan tesis yang hendak dipertahankan
penulis adalah membaca teks Kejadian 1:26-30; 2:15 dalam lensa teologi agraria
akan memberikan perspektif yang dapat mengaktualisasikan kata dominasi dan
penguasaan alam dalam konteks pro ekologi, serta menunjukkan keselarasan kedua
teks ini dalam rangka penyelenggaraan misi Allah.
Melalui tulisan ini, penulis berharap kesadaran
ekologis dapat menjadi prioritas dalam kehidupan warga gereja. Penulis berharap
dapat memberikan sumbangsih bagi gereja dan praktisi maupun pemerhati
lingkungan dalam menata ulang perspektif mengenai posisi dan relasi manusia
dengan ciptaan yang lain. Dengan demikian, pengelolaan alam atau ciptaan lain
tidak bersifat eksploitatif dan destruktif terhadap kehidupan.
Untuk mencapai tujuan di atas, penulis akan
mendeskripsikan beberapa sub bahasan. Sub bahasan pertama menjelaskan tentang
teologi agraria, secara khusus beberapa pandangan dari Norman Wirzba (Wirzba, 2022). Selanjutnya pada sub bahasan kedua, penulis akan
menggunakan lensa teologi agraria yang dikonstruksikan oleh Wirzba untuk
melakukan reinterpretasi terhadap teks Kejadian 1:26-30; 2:15. Sub bahasa
ketiga menguraikan implikasi dari hasil penafsiran Kejadian 1:26-30; 2:15 dalam
pelayanan gerejawi untuk menyikapi berbagai masalah agraria.
METODE
Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif kualitatif, yang secara spesifik merujuk pada pendekatan
hermeneutik seeing through. Seeing Through adalah upaya membaca atau
menafsir Alkitab dari lensa tertentu untuk menghasilkan gagasan-gagasan
alternatif, baru, segar serta kontekstual (Listijabudi, 2019). Adapun lensa
perspektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif teologi
agraria yang telah diuraiakan sebelumnya. Penggunaan pendekatan seeing through dalam teks ini bertujuan
untuk membantu penulis mengaktualisasikan sikap dan tindakan “menaklukkan”
maupun “menguasai” ciptaan yang lain.
Beberapa
langkah kajian yang dilakukan penulis dalam tulisan ini antara lain: Pertama, mendeskripsikan
konsep teologi agraria. Kedua, menafsirkan teks Kejadian 1:28-30; 2:15 sesuai
dengan lensa teologi agraria yang telah dibahas sebelumnya. Ketiga, merumuskan
implikasi teks Kejadian 1:28-30; 2:15 bagi penatalayanan gereja dalam
pengelolaan alam atau ciptaan yang lain.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Teologi
Agraria
Teologi Agraria merupakan
perspektif teologi yang dikonstruksikan dari keprihatinan terhadap
ketidakadilan ekologis dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam. Dalam situasi ini, teologi agraria hadir sebagai
sebuah cara pandang baru untuk melihat dan mengelola alam. Usaha untuk
mengonstruksi teologi agraria, tidak berorientasi pada romantisme masa bercocok
tanam, atau pada pemujaan kehidupan pedesaan daripada kehidupan metropolitan.
Norman Wirzba berangkat dari kisah penciptaan dan
pembebasan dari dualisme kosmos yang kerap mendiskreditkan kehidupan material.
Seluruh komponen ciptaan diciptakan dan dicintai oleh Tuhan. Alam dan segala
isinya ada atau diciptakan karena Tuhan menginginkannya (Wirzba, 2022). Pandangan ini dilegitimasi oleh atribut baik yang
diberikan Tuhan pada setiap penghujung hari penciptaan. Pada
hari keenam, Tuhan menyebut seluruh ciptaan-Nya “sungguh amat baik” (Kej.
1:31). Ungkapan “sungguh amat baik” dalam teks ini menggunakan frasa towb meod, yang berarti “suasana yang
berlimpah kebaikan, kesejahteraan, dan sangat menyenangkan” (Bible Works,
2015).
Sekalipun ungkapan ini
muncul pada hari keenam, tetapi cakupan dari ungkapan ini merujuk kepada
seluruh ciptaan (Arnold, 2009). Menurut Jhon
Leonardo Presley Purba dkk., ungkapan “sungguh amat baik” mengindikasikan
kualitas ciptaan yang harmonis, utuh, dan sempurna, serta mencerminkan kualitas
(Purba, Prastowo, and Rimun, 2022) Penciptanya.
Ungkapan ini merupakan bentuk kasih ilahi atas ciptaan, sekaligus melegitimasi
kelayakan dan baiknya keberadaan setiap ciptaan (Wirzba, 2022).
Akan tetapi, ciptaan atau
dunia ini tidak hanya disebut sebagai objek dari kasih Allah. Ciptaan sendiri
merupakan sarana atau perwujudan kasih ilahi. Setiap ciptaan tidak hadir dengan
sendirinya atau ada sebagai sebuah kebetulan. Kasih Tuhan selalu mengitari atau
menjiwai setiap ciptaan dalam kosmos. Status ciptaan sebagai sarana untuk
mewujudkan kasih-Nya, menjadi alasan Tuhan selalu ingin dekat dengan makhluk
ciptaan-Nya (Wirzba, 2022). Dengan demikian,
makhluk ciptaan Allah menempati tempat yang sangat berharga dalam pemandangan
Tuhan, sehingga perlu dihormati dan dihargai. Hal ini didukung oleh tindakan
Tuhan yang menguduskan segala pekerjaan-Nya begitu proses penciptaan telah
selesai (Kej. 2:3).
Pandangan di atas
mengindikasikan bahwa manusia seharusnya mengasihi alam atau ciptaan lain
sebagaimana Tuhan mengasihi ciptaan-Nya. Lebih dari itu, Tuhan juga menjadikan
alam dan segala ciptaan sebagai sarana perwujudan kasih-Nya, sehingga manusia semestinya
mengasihi, merawat dan menghormati sarana kasih Allah ini. Dunia dan segala
isinya seharusnya diterima sebagai tempat untuk menjalankan kehidupan yang
dikehendaki oleh Allah.
Selain teologi penciptaan,
Wirzba juga berupaya membebaskan diri dari upaya mendiskreditkan kehidupan
material. Tatanan kehidupan material atau fisik kerap dianggap sebagai realitas
yang lebih rendah, sehingga seharusnya ditinggalkan bahkan dihancurkan sama
sekali (Wirzba, 2022). Telos dari pandangan ini adalah
kehidupan surgawi yang tidak dapat dirasakan hari ini. Jiwa akan terbebas dari
tubuh menuju kehidupan yang akan datang dan meninggalkan segala penderitaan
akibat kehidupan masa kini dalam dunia (Wirzba, 2022).
Wirzba menunjukkan bahwa
dualisme kosmos memalsukan pengalaman yang dimiliki manusia mengenai
kesejahteraan (Wirzba, 2022). Pengabaian pengalaman tubuh menjadi alasan tindakan
eksploitatif pada dunia material. Eksploitasi dunia material yang merusak
“kesejahteraan” alam juga akan berimplikasi pada kesejahteraan manusia (Wirzba, 2022). Pengalaman dengan tubuh adalah pengalaman yang
konkret. Tubuh fisik manusia bahkan memiliki implikasi sosial dan ekologis bagi
kebahagiaan seluruh makhluk. Manusia adalah makhluk yang sebenarnya tidak
berdiri sendiri secara individual. Manusia merupakan makhluk
yang simpatik, dan terjalin dalam rangkaian reaksi dan interaksi, antara
pemberian dan penerimaan bersama dengan makhluk yang lain (Wirzba, 2022).
Gagasan ini didukung oleh
Sony Keraf dengan menyebut manusia sebagai makhluk ekologis (Keraf, 2014). Kehidupan dan
kesejahteraan manusia bergantung pada alam. Keadaan alam berimplikasi bagi
kehidupan manusia, baik secara biologis, ekonomis, sosial budaya, hingga
teologis (Keraf, 2014). Manusia bergantung
pada kehidupan seluruh makhluk hidup lain, dan begitupun sebaliknya. Tindakan manusia terhadap realitas fisik akan
berimplikasi pada kehidupan manusia secara holistik. Hal ini tidak saja
memengaruhi tubuh atau fisik tetapi juga kebahagiaan (baca: keadaan jiwa)
manusia dalam menjalani kehidupannya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, alih-alih mendukung
usaha manusia melanggengkan pemujaan kehidupan jiwa yang mendiskreditkan kehidupan
fisik saat ini, Wirzba justru berupaya agar kebahagiaan jiwa manusia tidak
dipisahkan dengan tubuh dan dihadirkan dalam realitas saat ini (Wirzba, 2022). Manusia perlu menghadirkan diri secara holistik
dalam realitas sosial dan ekologis, serta berpartisipasi dalam membangun
kehidupan (Wirzba, 2022). Perubahan perspektif inilah yang akan mengubah cara
hidup dan cara memperlakukan alam dalam kehidupan manusia.
Implikasi dari perspektif yang diberikan oleh Wirzba
adalah perubahan dalam stigma terhadap dunia material atau alam. Dunia bukanlah
tempat yang harus ditolak, tidak diinginkan, ataupun didiskreditkan. Menolak
dunia atau alam berarti menolak kasih Allah yang menggerakkan segala ciptaan.
Sebaliknya, Wirzba merekomendasikan agar manusia dapat berpartisipasi bersama
dengan cinta ilahi yang berupaya terus menopang kehidupan di dunia (Wirzba, 2022).
Upaya untuk meninggalkan paradigma yang
mendiskreditkan dunia atau alam ciptaan juga ditunjukkan dalam tulisan Paulus.
Teks Roma 8:19-22 memperlihatkan bahwa segala makhluk dimerdekakan dari
perbudakan kebinasaan. Kata ktisis dalam teks ini merujuk kepada “segala
makhluk, ciptaan, atau alam semesta” (Bible Works, 2015). Dengan kata lain, alam
atau segala ciptaan menjadi sasaran dari pembebasan yang dilakukan Allah. Kolose 1:19-20 juga memperlihatkan bahwa Allah
“memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya”. Cakupan dari tindakan
rekonsiliasi ini juga mencakup seluruh ciptaan. Implikasi dari tindakan Allah
adalah pemulihan ciptaan menuju hakikat penciptaannya (Saputra, 2022). Kedua teks ini mengindikasikan bahwa alam ciptaan
juga merupakan objek penebusan, sehingga tidak seharusnya didiskreditkan oleh
manusia.
Dalam kesadaran akan urgensi alam dan seluruh ciptaan
di dalamnya, Wirzba menawarkan agar manusia menekankan pentingnya memiliki
kecerdasan material. Kecerdasan material yang dimaksud di sini merujuk kepada
gagasan dari Glenn Adamson yaitu pemahaman yang mendalam mengenai dunia
material, mampu membaca keadaan lingkungan, dan kemampuan untuk mengolahnya
menjadi bentuk yang baru (Adamson, 2018). Dalam konteks teologi agraria, kecerdasan material
menyangkut kemampuan mengenal dunia atau ciptaan secara mendalam, memahami
potensi dan kerentanan ciptaan, hingga kemampuan untuk mengolah hasil alam
menjadi bentuk yang baru (Wirzba, 2022).
Keberadaan dari kecerdasan material akan membuat cara
pandang manusia terhadap alam menjadi berbeda. Ketika manusia belum mengenal
kecerdasan material, manusia harus berpindah-pindah agar dapat bertahan hidup.
Bahan makanan di alam yang membutuhkan pengolahan terlebih dahulu tidak dapat
dikelola dan dimakan sehingga manusia harus mencari makanan ke tempat lain. Hal
ini berbeda ketika manusia memiliki kecerdasan material. Kecerdasan material
mengantarkan manusia kepada kesadaran di mana alam memiliki potensi rasa yang
ketika dikombinasikan dengan keterampilan mengolah dari manusia akan
menghasilkan kenikmatan dalam setiap makanan (Wirzba, 2022). Implikasi penting dari kecerdasan material adalah
manusia dapat bermukim dan bercocok tanam dengan menetap di tempat tertentu.
Kecerdasan material memampukan manusia mengenal potensi dari setiap ciptaan
sehingga beralih menjadi pertani. Dengan kata lain, kecerdasan material
memampukan manusia beralih dari cara hidup nomad ke cara hidup menetap karena
kemampuan pengelolaan potensi alam.
Dalam konteks penanaman padi, seseorang yang memiliki
kecerdasan material dapat memahami tanaman padi yang terindikasi dari kemampuan
menanam, menyiapkan lahan tanam, mengenal iklim dan cuaca yang tepat untuk
menanam, menyemai bibit padi, menanam, merawat, hingga perlakuan pascapanen
untuk menghasilkan kualitas padi yang baik. Hal yang sama terjadi dalam
pemahaman mengenai potensi. Kecerdasan material juga mengetahui potensi pada
tanaman padi yang bukan hanya potensi biji padi menjadi makanan pokok (nasi) dan
tepung, namun juga potensi jerami sebagai makanan ternak, bahkan menjadi pupuk
organik. Kecerdasan dalam pengolahan akan terlihat dalam bagaimana wawasan
mengenai pengolahan tepung beras menjadi berbagai macam olahan kue
dikombinasikan dengan bahan makanan yang lain.
Semua kemampuan yang disebutkan di sini perlu
ditunjang atau dilatih oleh kemampuan mencintai alam dan segala isinya.
Pengejawantahan cinta kepada alam akan dilihat melalui penerimaan terhadap
segala rasa sakit, lelah, kesenangan, kegembiraan, dan setiap perasaan yang
dialami ketika berinteraksi dengan alam (Wirzba, 2022). Perpaduan dari berbagai pengalaman dan perasaan
interaksi dengan alam akan mempertajam kecerdasan material yang dimiliki
manusia.
Agar kecerdasan material dalam konsep Wirzba tidak
berdampak pada tindakan manipulatif-eksploitatif, maka manusia perlu
mengembangkan kreativitas dan rasa simpatinya dalam mengolah alam, termasuk
potensi dan kerentanan dari alam, serta mengembangkan kepekaannya terhadap
segala kenikmatan yang diterimanya melalui kehadiran ciptaan lain (Wirzba, 2022). Menyadari potensi dan kerentanan ciptaan secara
berimbang akan mengantarkan manusia pada tindakan yang memanfaatkan sekaligus
melindungi ciptaan. Perspektif ini akan menyadarkan manusia untuk
berpartisipasi dalam cinta ilahi yang menopang kehidupan, sekaligus merasakan
cinta ilahi yang juga memancar dari kehadiran ciptaan.
Istilah kecerdasan material yang digagas oleh Adamson
dan dilanjutkan oleh Wirzba, sedikit banyak memiliki kesamaan dengan aktivitas
agraria dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, yakni pengelolaan
bumi, air, ruang angkasa dan segala kekayaan alam di dalamnya (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, 1960). Dengan mempertimbangkan pengertian dari agraria dan
konsep dari Adampson maupun Wirzba mengenai kecerdasan material, maka dalam
pembahasan selanjutnya penulis akan menyebut kecerdasan material atau
keterampilan praktis di atas sebagai kecerdasan agraris.
Reinterpretasi Teks Kejadian 1:26-30;2:15
dari Perspektif Teologi Agraria
Kejadian 1:26-30; 2:15 adalah teks yang berisi perintah Allah kepada
manusia dalam rangka menjalankan mandat untuk berkuasa serta memelihara ciptaan
lain. Teks ini merupakan bagian penutup dari kisah penciptaan. Setelah Allah
menciptakan dunia dan isinya, ada perintah atau misi Allah bagi manusia dalam
relasinya dengan ciptaan yang lain. Khusus dalam teks ini, penulis akan
merekonstruksi pemahaman dari misi ini dengan menggunakan lensa teologi
agraria. Teologi agraria memberikan perspektif untuk mengelola sekaligus
melindungi ciptaan lain.
Teks Kejadian 1:26-30 memperlihatkan motif Allah menciptakan manusia, yakni
untuk “berkuasa atas” ciptaan lain (ay. 26). Hal ini kerap dipahami sebagai
posisi yang istimewa manusia dalam penciptaan. Kecenderungan ini merujuk pada
kata “penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, dan berkuasalah atas ikan-ikan di
laut dan burung-burung di udara”.
Kata “penuhilah” dalam teks Ibrani menggunakan kata male, yang berarti mengisi atau memenuhi, sedangkan kata
“taklukkanlah” dalam teks Ibrani
menggunakan kata kabash, yang
berarti menaklukkan, menundukkan, memperbudak, dan mengalahkan (Bible Works, 2015). Kata kabash
dalam teks Perjanjian Lama juga digunakan pada penaklukan dalam konteks perang
(Yos. 18:1; 2 Sam. 8:11; 1 Taw. 22:18;dll); dan merujuk kepada penaklukan dalam
konteks relasi tuan dan budak (Neh. 5:5; Yer. 34:11). Kata “berkuasalah” dalam
teks Ibrani menggunakan kata radah,
yang berarti memerintah, menguasai dan menginjak-injak (Bible
Works, 2015). Kata ini juga digunakan dalam kekuasaan politis,
kekuasaan atas budak, maupun kekuasaan dalam pemerintahan (Im. 25:43,46,53;
Bil. 24:19; 1 Raj. 5:4,30; 9:23; Neh. 9:28).
Kavusa melihat bahwa penggunaan kata kabash
maupun radah mengimplikasikan
kekerasan pada objek kekuasaan (Kavusa, 2021). Meski demikian relasi yang dibangun seharusnya tanpa
antagonisme. Sekalipun manusia memiliki keistimewaan dalam tatanan yang
hierarkis, tetapi batas, tugas, dan tatanan ciptaan berada dalam pengaturan
Tuhan (29-30). Purba dkk. melihat kedudukan ini sebagai tindakan Allah menunjuk
manusia menjadi wakil-Nya atau kepala atas seluruh ciptaan (Purba et al., 2022). Sementara Pasang menyebut posisi ini sebagai kekuasaan
yang unik, kooperatif, dan bertanggung jawab (Pasang, 2019). Tremper Longman III
menyebutkan bahwa perintah taklukkanlah dan berkuasalah mengindikasikan
bahwa manusia menjadi ‘tuan’ atas makhluk hidup yang lain (Longman III, 2016).
Beberapa penjelasan di atas berusaha untuk mencegah ayat ini menjadi
legitimasi atas eksploitasi alam. Akan tetapi belum ada perspektif yang relevan
untuk mengaktualisasikan kata kabash
maupun radah menjadi sikap atau
tindakan yang pro ekologi. Status wakil, kekuasaan kooperatif, tanggung jawab,
dan tuan tidak sepenuhnya memberikan penyelesaian signifikan untuk
mengaktualisasikan tindakan yang mencegah eksploitasi. Kesulitan untuk
menjelaskan makna dominasi dan penguasaan terhadap teks ini membuat Singgih memberikan
sebuah rekomendasi untuk membekukan sementara teks ini untuk beralih pada teks
lain yang lebih pro ekologi. Kata kabash
dan radah mengandung makna asli yang
“keras” dan selalu berkaitan dengan penguasaan bumi. Keterkaitan dengan
penguasaan bumi membuat kata ini sulit untuk dilihat dalam makna yang lebih
“lunak” (Singgih, 2020).
Salah satu teks yang direkomendasikan oleh Singgih untuk mengonstruksikan
pelayanan pro ekologi adalah Kejadian 2:15. Teks ini memperlihatkan misi Allah
kepada manusia untuk menjaga ciptaan lain dengan menggunakan kata “mengusahakan
dan memelihara taman”. Kata “mengusahakan” dalam teks Ibrani menggunakan kata abad yang berarti “bekerja/mengerjakan”
dan “melayani” (Bible Works, 2015). Selain berarti “mengerjakan”, penggunaan kata abad dalam teks Perjanjian Lama juga
dapat berarti menjadi budak (Kej. 15:13; 25:3, dll), tunduk atau melayani (Kej.
27:29), dan beribadah (Kel. 4:23; Ams. 22:31, dst).
Kata abad juga dapat dipahami
sebagai pekerjaan “membudidayakan lahan” (Coote and Ord, 2015). Kata “memelihara” dalam teks Ibrani menggunakan kata shamar, yang berarti “menjaga”, “mengawasi”, dan “melestarikan” (Bible Works, 2015). Menurut Philip
Asura Nggada dan Yunana I. Malgwi, kata abad
dan shamar dalam konteks pembahasan
teks ini merupakan perintah untuk ‘menggarap’ dan ‘melindungi’ dari kerusakan (Nggada and Malgwi, 2021). Perintah ini merupakan kewajiban yang perlu
dilaksanakan manusia sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Sementara bagi
John Arierhi Ottuh, makna abad dan shamar dalam teks Kejadian 2:15 mengarah
pada dua tindakan yakni pelayanan dan ketaatan pada perintah Tuhan. Teks ini
mengarahkan pada tanggung jawab di
hadapan Tuhan untuk mengelola dan melestarikan lingkungan (Ottuh, 2022).
Beberapa pengertian di atas memperlihatkan bahwa abad dan shamar cenderung
pro ekologi. Manusia ditempatkan dalam tugas dan tanggung jawab untuk mencegah
ciptaan mengalami kerusakan. Tugas mengelola atau memelihara taman sarat dengan
makna yang ramah lingkungan, dan tanggung jawab manusia kepada Tuhan sangat
dominan. Hal ini kontras dengan pengertian kabash
dan radah yang memperlihatkan manusia
dalam posisi yang unggul bahkan disebut tuan atas ciptaan yang lain. Posisi
dominan yang dimiliki manusia kemudian berimplikasi pada tindakan eksploitasi.
Makna yang kontras ini kemudian membuat beberapa penafsir cenderung menghindari
kabash dan radah dibandingkan abad
dan shamar (Ottuh, 2022; Singgih, 2020).
Menindaklanjuti makna kontras kedua teks di atas―Kejadian 1:26-30
berada dalam bayang-bayang kekerasan dan penguasaan, sedangkan teks Kejadian
2:15 lebih pro ekologi―penulis berupaya untuk menjembatani pesan kedua
teks dalam lensa perspektif teologi agraria. Keistimewaan manusia di antara
ciptaan yang disebut sebagai tuan, hendaknya dipahami dalam kacamata kecerdasan
agraris. Penulis menawarkan agar “pembeda” (baca: kecerdasan agraris) yang
membuat manusia beralih dari fase nomad ke cara hidup menetap dan bercocok
tanam sebagai sebuah bentuk dominasi atas ciptaan. Pembeda atau kecerdasan
agraris yang dimaksud adalah pemahaman yang mendalam mengenai dunia atau
ciptaan secara material, mampu membaca potensi dan kerentanan dari setiap
ciptaan, serta mampu mengolahnya menjadi bentuk yang lain (Adamson, 2018).
Menurut Wirzba ketiadaan kecerdasan agraris akan membuat manusia harus
berpindah-pindah tempat agar dapat bertahan hidup (Wirzba, 2022). Tidak ada kecerdasan agraris berarti manusia tidak
mengenal potensi maupun kerentanan yang ada pada ciptaan lain. Akibat dari
ketidaktahuan ini adalah manusia harus berpindah-pindah tempat agar dapat
memperoleh makanannya.
Kondisi yang kontras akan terlihat dengan adanya kecerdasan agraris.
Kecerdasan agraris membuat manusia mampu bertahan di suatu tempat. Kemampuan
mengenal alam dengan sangat mendalam, mengetahui potensi dan kerentanannya,
serta mengetahui cara pengolahannya membuat manusia memiliki pertimbangan dan
perhatian untuk bersentuhan dengan ciptaan yang lain (Wirzba, 2022). Manusia tidak lagi perlu berpindah-pindah untuk
memperoleh makanan. Manusia mengolah dan membudidayakan berbagai bahan makanan
yang disediakan alam untuk menjadi makanan.
Kondisi mengenal potensi dan kerentanan ciptaan serta kemampuan untuk
menindaklanjuti pengenalan itulah yang seharusnya disebut sebagai menguasai dan
menaklukkan. Dengan kata lain, menguasai atau menaklukkan harus diletakkan pada
sisi inteligensi bukan pada sisi eksploitasi. Dalam situasi ini, manusia dapat
mengetahui potensi hewan dan tumbuhan tertentu untuk menjadi makanan ataupun
pakaian. Pada saat yang sama penguasaan juga dipahami dalam pengertian memahami
risiko ketika kerentanan dari hewan dan tumbuhan diabaikan. Pemahaman atau
kecerdasan agraris seperti ini kemudian dapat mengonstruksikan
tindakan-tindakan pencegahan dan perlindungan kepada alam.
Perspektif kecerdasan agraris kemudian mengaktualisasikan kata kabash dan radah sebagai tuan yang menguasai dan menindaklanjuti potensi dan
kerentanan ciptaaan. Manusia dapat memanfaatkan ciptaan lain sesuai dengan
wawasannya mengenai potensi alam. Pada saat yang sama manusia yang mengetahui
kerentanan ciptaan juga bertanggung jawab melindunginya. Dengan kata lain
menguasai dan menaklukkan ciptaan lain dapat diaktualisasikan sebagai
kepemilikan wawasan yang komprehensif atas ciptaan, baik potensi maupun kerentanannya,
serta kecakapan dalam menindaklanjutinya secara berimbang.
Membaca kabash dan radah dari perspektif kecerdasan agraris
tidak sekadar dapat mengaktualisasikan makna menguasai dan menaklukkan dalam
konteks pro ekologi. Perspektif ini sekaligus menegaskan misi Allah dalam teks
Kejadian 2:15, untuk menggarap dan melindungi taman dari berbagai kerusakan (abad dan shamar). Kecerdasan agraris menempatkan manusia untuk memahami dan
menikmati keajaiban ciptaan yang dibentuk oleh Tuhan, serta peka terhadap
pemeliharaan yang dialami manusia dengan kehadiran ciptaan, hingga secara sadar
dapat bersimpati terhadap setiap potensi dan kerentanan ciptaan (Wirzba, 2022). Simpati ini kemudian ditindaklanjuti dalam tindakan.
Manusia dapat menggarap atau mengolah potensi ciptaan pada satu sisi, sekaligus
melindungi ciptaan dari kerusakan berdasarkan kerentanannya pada sisi yang
lain. Dengan demikian, manusia dapat mewujudkan tugas abad dan shamar dalam
mengelola ciptaan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengonstruksikan bahwa perspektif
teologi agraria dapat menyelaraskan usaha untuk mengaktualisasikan teks
Kejadian 1:26-30 dan Kejadian 2:15 dalam konteks pro ekologi. Kedua teks ini
bermuara pada usaha untuk mengenal potensi dan kerentanan alam secara
komprehensif dan berimbang, sekaligus menindaklanjutinya dalam pengelolaan dan
perlindungan alam. Makna penguasaan dapat diberikan aktualisasi yang lebih
“lunak” dengan memahaminya sebagai kecerdasan agraris. Menguasai dan menaklukkan
tidak lagi disebut eksploitatif dan destruktif, melainkan sebuah penguasaan
inteligensi atau wawasan yang komprehensif dan berimbang terhadap ciptaan.
Implikasi Teks
Kejadian 1:26-30;2:15 bagi Pelayanan Ekologis Gereja
Membaca teks Kejadian 1:26-30; 2:15 dari perspektif teologi agraria
memberikan sebuah perspektif baru untuk memahami posisi manusia dalam mengelola
ciptaan. Pengelolaan alam dalam perspektif kecerdasan agraris dan teks Kejadian
1:26-30; 2:15 mengaktualisasikan posisi “tuan” dan penguasa dari sisi
inteligensi. Menguasai alam berarti memiliki wawasan yang komprehensif dan
berimbang terhadap potensi dan kerentanan alam.
Konsep di atas berlaku dalam kasus agraria. Isu agraria kerap bergumul
dengan diabaikannya kerentanan tanah dan sumber daya alam melalui tindakan
eksploitatif. Beberapa kasus yang telah disebutkan dalam bagian awal tulisan
ini memperlihatkan bahwa aktivitas ekonomi yang berpusat pada pertambangan dan
perkebunan mono kultur jangka panjang pada kelapa sawit telah melalaikan
kerentanan alam, mulai dari tanah, air, udara, hingga satwa dan tanaman di
sekitar lingkungannya. Akibat dari tindakan ini adalah terjadinya kerusakan dan
pencemaran lingkungan (Lisdayani and Ameliyani,
2021; Mailendra and Buchori, 2019; Putri et al., 2023).
Menindaklanjuti hasil penafsiran di atas, dan isu agraria akhir-akhir ini,
gereja sebagai pengemban misi dari Allah saat ini perlu menyuarakan dan
mewujudkan pengelolaan potensi yang berimbang dengan perlindungan kerentanan
alam dalam lingkup pelayanan gereja.
Untuk mewujdukan upaya ini, penulis mengusulkan agar gereja bekerjasama
dengan lembaga terkait untuk mengupayakan pengembangan ekonomi. Misalnya
mendorong pengembangan teknologi pertanian yang ramah lingkungan, sehingga
pengembangan ekonomi tidak merusak alam. Begitupun sebaliknya. Gereja juga
perlu bekerjasama dengan lembaga maupun pemerhati lingkungan hidup dalam
mengupayakan pelestarian lingkungan yang tidak mengabaikan kebutuhan ekonomi.
Selain itu, gereja juga dapat terjun langsung dalam pengembangan potensi
alam untuk kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup. Hal ini dapat
dilakukan dengan membentuk paguyuban atau bidang pelayanan entrepreneurship gereja yang dapat memberdayakan pengelolaan
potensi alam agar bernilai ekonomis.
Beberapa tahun terakhir, berbagai denominasi gereja telah mengembangkan
kesadaran entrepreneurship dalam
lingkup pelayanan gereja. Upaya ini berfokus pada pemberdayaan potensi dalam
jemaat untuk pengembangan ekonomi (Barlian &
Kristiani, 2020; Ngedi, 2019; Tunliu & Pono, 2022). Namun, untuk mewujudkan pengelolaan ciptaan yang
memperhatikan potensi dan kerentanan secara berimbang, diperlukan juga
pemberdayaan jemaat dari sisi ekologis. Oleh karena itu, gereja dapat menambah
bidang pelayanan pada bagian ekologi, atau “melebarkan sayap” pelayanan dari
lembaga entrepreneurship gereja agar
ikut merangkul sisi ekologis.
Beberapa paguyuban seperti Yayasan Bina Sarana Bakti (YBSB) dan Sekretariat
Pelayanan Tani dan Nelayan Hari Pangan Sedunia (SPTN HPS) adalah contoh yang
dapat diteladani (Wijaya, 2011). YBSB mengembangkan pola pertanian organik, sebagai
bentuk pertanian yang bersahabat dengan alam. SPTN HPS juga memperlengkapi
anggotanya dengan cara bertani yang organik dan keterampilan pengolahan hasil
tani agar bernilai ekonomis (Wijaya, 2011). Keterlibatan gereja dalam kedua paguyuban seperti ini
memperlihatkan kepedulian yang seimbang pada potensi dan kerentanan tanah
pertanian. Dengan demikian, petani dapat memperoleh hasil pertanian yang
“memuaskan” secara ekonomis maupun ekologis.
Kehadiran gereja dalam bentuk paguyuban maupun dengan “melebarkan sayap”
pelayanan pada bidang ekologis dan ekonomi diharapkan mampu mengembangkan kecerdasan
agraris bagi warga gereja. Kehadiran gereja perlu membina keterampilan umat
untuk mengenal dan mengelola potensi ciptaan, sekaligus melindungi kerentanan
ciptaan dari kerusakan. Dengan demikian, gereja dapat mewujudkan misi
ekologisnya di tengah dunia, secara khusus menindaklanjuti masalah agraria.
KESIMPULAN
Kecerdasan agraris dari Wirzba memberikan bentuk aktualisasi kabash dan radah dalam
konteks pro ekologi, sehingga tidak menjadi teks antagonis dalam pemeliharaan
lingkungan. Bentuk dominasi dan penguasaan dalam teks Kejadian 1:26-30 yang
direkomendasikan berada pada sisi inteligensi. Hal ini merujuk pada wawasan
komprehensif dan berimbang pada potensi dan kerentanan ciptaan, yang
ditindaklanjuti dalam tindakan pengelolaan dan perlindungan. Tindakan ini
sekaligus menjadi pengejawantahan konsep abad
dan shamar―menggarap dan
melindungi.
Dalam rangka pengembangan dan penerapan temuan ini, penulis
merekomendasikan agar gereja dapat bekerja sama dengan lembaga terkait untuk
pengembangan ekonomi seperti pertanian yang ramah lingkungan, serta pemerhati
lingkungan untuk mengembangkan pelestarian lingkungan yang ekonomis. Selain
itu, kehadiran paguyuban maupun pelayanan entrepreneurship
dari gereja yang menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan ekologis akan menjadi
sarana pengembangan kecerdasan agraris untuk mewujudkan misi Allah yang
membangun kehidupan ciptaan.
Khusus dalam ranah akademis, penulis merekomendasikan kepada peneliti
selanjutnya agar teks-teks kitab suci yang kerap diinterpretasikan secara
antroposentris, dapat ditinjau kembali. Teologi agraria, atau kecerdasan
agraris dapat menjadi lensa perspektif untuk melihat kembali relevansi teks
dalam konteks masa kini yang bergumul mengenai isu-isu ekologis. Dengan
demikian, teks-teks tersebut tetap relevan dan memiliki sumbangsih dalam usaha
pelestarian lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adamson, G. (2018). Fewer, Better
Things: The Hidden Wisdom of Objects. New York: Bloomsbury.
Amalia, R., Dharmawan, A. H., Prasetyo, L. B., and Pacheco,
P. (2019). Perubahan Tutupan Lahan Akibat Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit:
Dampak Sosial, Ekonomi dan Ekologi. Jurnal Ilmu Lingkungan, 17(1),
130–139. Retrieved from https://doi.org/10.14710/jil.17.1.130-139
Arnold, B. T. (2009). Genesis. New York: Cabridge
University Press.
Barlian, R. R., and Kristiani, A. B. (2020). Pengembangan
Jiwa Kewirausahaan dalam Program Gereja Mitra di Gereja Kristen Abdiel Kasih
Karunia Cengkong, Tuban, Jawa Timur. Geneva, 2(2), 56–75.
Retrieved from
https://www.sttiaa.ac.id/e-journal/index.php/geneva/article/view/32
Bible Works. (2015).
Coote, R. B., and Ord, D. R. (2015). Sejarah Pertama
Alkitab: Dari Eden sampai Kerajaan Daud berdasarkan Sumber Y. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Darius, G. (2022). Membaca dan Menafsir Kejadian 1:26-28
dalam Fungsi Kosmis Budaya Toraja untuk Membangun Paradigma Misi
Kontekstual-Ekologis. Melo, 2(1), 36–46. Retrieved from
https://doi.org/10.34307/mjsaa.v2i1.38
Hermansah, T. (2007). Teologi Agraria:
Rekonstruksi Konsep. Refleksi, 9(1), 109–130. Retrieved from https://doi.org/10.15408/ref.v9i1.37062
Kavusa, K. J. (2021). Creation as a Cosmic Temple: Reading
Genesis 1:1-2:4a in Light of Willie van Heerden’s Ecological Insights. Journal
of Semitics, 30(1), 1–23. Retrieved from
https://doi.org/10.25159/2663-6573/8761
Keraf, S. (2014). Filsafat Lingkungan Hidup : Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan,
Bersama Fritjof Capra. Yogyakarta:
Kanisius.
Lisdayani, E., and Ameliyani. (2021). Dampak Industri
Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Lingkungan Di Desa Paya Kulbi, Aceh Tamiang. Pros.
SemNas. Peningkatan Mutu Pendidikan, 2(1), 101–105. Retrieved from
https://semnasfkipunsam.id/index.php/semnas2019/article/view/92
Listijabudi, D. K. (2019). Bergulat di Tepian.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Longman III, T.
(2016). Panorama Kejadian: Awal Mula Sejarah. Jakarta: Scripture Union Indonesia.
Mailendra, and Buchori, I. (2019). Kerusakan Lahan Akibat
Kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin di Sekitar Sungai Singingi Kabupaten
Kuantan Singingi. Jurnal Pembangunan Wilayah Dan Kota, 15(3),
174–188. Retrieved from https://doi.org/10.14710/pwk.v15i3.21304
Ngedi, M. D. (2019). Praktik Kewirausahaan Gereja: Upaya
Gereja Pentakosta dalam Mengentaskan Kemiskinan di Kota Wamena. Visio Dei,
1(1), 19–37. Retrieved from https://doi.org/10.35909/visiodei.v1i1.8
Nggada, P. A., and Malgwi, Y. I. (2021). A Contextual Reading
of Avad and Shamarin Genesis 2:15 within Environmental Protection and
Degradation. Jos Journal of Religion and Philosophy, 3(2), 75–83.
Retrieved from https://acjol.org/index.php/jjrp/article/view/4041
Ottuh, J. A. (2022). Christianity and Environmental Care in
Nigeria: The Role of Christians in Addressing Indiscriminate Refuse Disposal. Pharos
Journal of Theology, 103(1), 1–15. Retrieved from
https://www.pharosjot.com/uploads/7/1/6/3/7163688/article_15_vol_103_2022_nigeria.pdf
Paninggiran, Y.
(2018). Konsep Abodah Sebagai Dasar Bagi Teologi Pertanian. Tumou Tou, 5(2), 132–135. Retrieved from
https://www.ejournal-iakn-manado.ac.id/index.php/tumoutou/article/view/72
Panjaitan, F. (2020). Membangun Teologi Pertanian Melalui
Pembacaan Lintas Tekstual Injil Matius dan Kosmologi Jawa. Bonafide, 1(1),
44–64. Retrieved from https://doi.org/10.46558/bonafide.v1i1.8
Pasang, A. (2019). Ekologi Penciptaan dalam Kejadian 1-3
sebagai Landasan Evaluasi Kritis terhadap Perilaku Ekologis Para Teolog
Reformed Indonesia Masa Kini. Excelsis Deo, 3(1), 67–76.
Retrieved from https://doi.org/10.51730/ed.v3i1.2
Purba, J. L. P., Prastowo, H. F., and Rimun, R. (2022).
Kajian Hermeneutis Ungkapan “Sungguh Amat Baik” dalam Kejadian 1:31 Ditinjau
dari Perspektif Redemptive-Historical Approach. Charisteo, 1(2),
122–133. Retrieved from
http://e-journal.anugrah.ac.id/index.php/JCH/article/view/14
Putri, A. F. J., Valensia, M. V., Purnama, R., and Manik, J.
D. N. (2023). Dampak Kerusakan Lingkungan Biotik, Abiotik, dan Sosial Budaya
Akibat Pertambangan Timah Ilegal di Kecamatan Mentok. Sentri, 2(10),
4473–4481. Retrieved from https://doi.org/10.55681/sentri.v2i10.1689
Saputra, J. A. (2022). Ekologi Konservasif. Amanat Agung,
18(1), 43–69. Retrieved from https://doi.org/10.47754/jaa.v18i1.528
Singgih, E. G. (2020). Agama dan Kerusakan Ekologi:
Mempertimbangkan “Tesis White” dalam Konteks Indonesia. Gema Teologika, 5(2),
113–136. Retrieved from https://doi.org/10.21460/gema.2020.52.614
Sulistyaningsih, R. (2021). Reforma Agraria di
Indonesia. Perspektif, 26(1), 57–64. Retrieved from
https://doi.org/10.30742/perspektif.v26i1.753
Tunliu, A., and Pono, M. R. (2022). Kompastani GMIT: Sebuah
Upaya Pemberdayaan Ekonomi Jemaat. Conscientia, 1(1), 29–40.
Retrieved from https://ojs.theologi.id/index.php/conscientia/article/view/3
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria. , Pub. L. No. 5
(1960). Indonesia.
Wijaya, W. K. (2011). Allah Sang Petani, Bertani Sebagai
Usaha Berteologi: Belajar dari YBSB dan SPTN HPS. Gema Teologi, 35(1/2),
1–13. Retrieved from
http://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gema/article/view/127
Wirzba, N. (2022). Agrarian Spirit: Cultivating Faith,
Community, and the Land. Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame
Press.