KECERDASAN AGRARIS: REINTERPRETASI KEJADIAN 1:26-30; 2:15 DARI PERSPEKTIF TEOLOGI AGRARIA

 

Jefri Andri Saputra

Institut Agama Kristen Negeri Toraja, Indonesia

E-mail: jefrijefri293@gmail.com

 

Abstract

This article aims to respond to agrarian issues that are currently struggling with churches and society in several regions in Indonesia. The texts of Genesis 1:28-30 and Genesis 2:15 often raise problems with ecological implications because of their contrasting meanings. Mastering and subduing creation in Genesis 1:28-30 tends to be counter-ecological, while Genesis 2:15 is pro-ecological. The author examines these two texts from the perspective of Norman Wirzba's Agrarian theology. The research results show that these two texts meet in efforts to manage natural potential and protect its vulnerability from damage. Genesis 1:28-30 constructs intelligent mastery or comprehensive and balanced insight into creation, and Genesis 2:15 constructs the act of cultivating natural potential and protecting its vulnerabilities from damage. These two texts are the starting point for constructing church services in responding to agrarian issues.

Keywords: ecotheology, Genesis 1-2, agrarian conflict, Norman Wirzba, agrarian theology

 

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk merespons isu agraria yang menjadi pergumulan gereja dan masyarakat masa kini di beberapa daerah di Indonesia. Teks Kejadian 1:28-30 dan Kejadian 2:15 kerap menimbulkan masalah implikasi ekologis karena maknanya yang kontras. Menguasai dan menaklukkan ciptaan dalam Kejadian 1:28-30 cenderung kontra ekologi, sedangkan Kejadian 2:15 bersifat pro ekologi. Penulis mengkaji kedua teks ini dalam perspektif teologi Agraria dari Norman Wirzba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua teks ini berjumpa dalam upaya mengelola potensi alam dan melindungi kerentanannya dari kerusakan. Kejadian 1:28-30 mengonstruksikan penguasaan secara inteligensi atau wawasan komprehensif dan berimbang terhadap ciptaan, dan Kejadian 2:15 mengonstruksikan tindakan mengolah potensi alam dan melindungi kerentanannya dari kerusakan. Kedua teks ini menjadi titik tolak mengonstruksikan pelayanan gereja dalam merespons isu-isu agraria.

Kata Kunci: ekoteologi, Kejadian 1-2, konflik agraria, Norman Wirzba, teologi agraria

 

 



PENDAHULUAN

Isu agraria merupakan permasalahan yang aktual dalam pergumulan masyarakat di Indonesia saat ini. Urgensi masalah agraria lahir dari kesadaran bahwa pengelolaan tanah dalam beberapa dekade terakhir melahirkan berbagai masalah, seperti ketimpangan penguasaan, kepemilikan dan penggunaan tanah, konflik agraria, masifnya alih fungsi lahan tani, kualitas lingkungan menurun, serta isu kemiskinan dan kesejahteraan sosial (Sulistyaningsih, 2021). Beberapa masalah ini ditemukan sebagai dampak dari aktivitas pertambangan, penggunaan pestisida dan insektisida, serta perkebunan monokultur jangka panjang pada perkebunan kelapa sawit (Lisdayani and Ameliyani, 2021; Mailendra and Buchori, 2019; Putri, Valensia, Purnama, and Manik, 2023).

Dalam penelitian Mailendra dan Imam Buchori, aktivitas penambangan emas tanpa izin di kabupaten Kuantan, Singingi, mengakibatkan kerusakan lahan sekitar 2.680,03 hektare dengan perincian tingkat kerusakan tinggi seluas 699,34 hektare, kerusakan sedang 1.501,04 hektare, dan kerusakan rendah 479,65 hektare (Mailendra and Buchori, 2019). Penelitian Riska Amalia dkk. terhadap perkebunan kelapa sawit di desa Gunung Sari, Kalimantan Timur, menunjukkan beberapa dampak seperti konflik sosial, kenaikan suhu udara, banjir, hilangnya biodiversitas, serta ketersediaan sayur, hewan buruan, dan ikan di sungai semakin berkurang (Amalia, Dharmawan, Prasetyo, and Pacheco, 2019).

Berbagai masalah dan fenomena di atas mendorong munculnya berbagai perspektif maupun gerakan ekologis. Salah satu di antaranya adalah pengembangan teologi agraria. Beberapa penulis sebelumnya telah mengonstruksikan perspektif ini dalam penelitian. Tantan Hermansah  merekonstruksi gerakan agraria sehingga tidak hanya bersifat sosio-politis, tetapi juga merupakan spirit dan gerakan keagamaan. Teologi agraria merupakan usaha pengejawantahan keadilan Tuhan di dunia (Hermansah, 2007). Wawuk Kristian Wijaya meneliti pelayanan yang dilakukan oleh Yayasan Bina Sarana Bakti (YBSB) dan Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan Hari Pangan Sedunia (SPTN HPS) kepada kaum petani dan nelayan. Kedua paguyuban ini menemukan bahwa gereja perlu menghadirkan pelayanan kepada kaum petani, dengan meneladani kenosis Yesus yang solider kepada kelompok yang termarginalkan, termasuk petani dan nelayan (Wijaya, 2011). Yanti Paninggiran  mengonstruksikan teologi pertanian dengan berangkat dari makna kata abodah yang digunakan sebagai istilah kerja dalam Perjanjian Lama. Paninggiran menemukan bahwa bertani juga perlu dipahami sebagai pekerjaan yang sakral, di mana usaha memuliakan nama Allah dapat diwujudkan (Paninggiran, 2018). Firman Panjaitan menganalisis Injil Matius dan kosmologi Jawa dan menemukan bahwa manusia dan alam berada dalam relasi yang seharusnya saling melindungi dan menjaga. Relasi ini berimplikasi pada bentuk pertanian organik, yang menjaga kelestarian hidup alam dan manusia (Panjaitan, 2020).

Meskipun gereja memiliki andil melalui teologi agraria untuk merespons masalah-masalah di atas, pada saat yang sama gereja masih bergumul dengan interpretasi teks yang dianggap eksploitatif dalam kitab suci. Sebut saja penafsiran teks Kejadian 1:26-30, tentang menguasai dan menaklukkan ciptaan lain. Teks ini kerap disalah pahami sebagai sebuah legitimasi dalam eksploitasi alam sehingga ikut berkonstribusi negatif dalam eksploitasi dan kerusakan alam.

Meskipun sudah ada upaya untuk “memperlunak” tafsiran kata “taklukkanlah” dan “berkuasalah” dalam Kejadian 1:26-30, namun beberapa penelitian ini tidak sepenuhnya berhasil membebaskan bias penguasaan dan dominasi yang kuat atas ciptaan lain. Gayus Darius  menyebutkan bahwa perintah ini disampaikan dalam kondisi manusia yang segambar dengan Allah, serta belum sampai pada keadaan manusia yang dipenuhi keserakahan ekonomi (Darius, 2022). Kivatsi  Jonathan  Kavusa menyebutkan bahwa puncak dari penciptaan bukanlah pada penciptaan manusia, melainkan ketika Tuhan beristirahat dan menguduskan pekerjaannya. Hal ini mengindikasikan bahwa segala ciptaan berpusat pada Tuhan (Kavusa, 2021). Oleh karena itu, apa pun makna dari dominasi manusia, hal tersebut tetap harus menghormati kuasa Tuhan yang menguduskan segala ciptaan-Nya.

Kedua tafsiran di atas tidak memberi cara mengaktualisasikan kata menguasai dan menaklukkan dalam konteks pro ekologi. Emanuel Gerrit Singgih merekomendasikan agar teks ini dibekukan mengingat hasil tafsir selalu terindikasi menguasai dan memperlihatkan makna berkuasa dengan pengertian yang “keras”. Pada saat yang sama, sikap pro ekologi justru muncul dari cerita yang sama pada sumber yang berbeda. Teks Kejadian 2:15 juga memperlihatkan misi Allah yang diberikan kepada manusia, tetapi lebih ramah terhadap lingkungan (Singgih, 2020). Perintah yang kontras dari kedua teks ini menjadi sebuah masalah dalam tafsir.

Kedua masalah di atas―makna yang “keras” pada menguasai dan menaklukkan, serta makna kontras dari dua teks misi Allah bagi manusia tentang ciptaan―mendorong penulis untuk melihat kedua teks ini dari perspektif teologi agraria. Pernyataan tesis yang hendak dipertahankan penulis adalah membaca teks Kejadian 1:26-30; 2:15 dalam lensa teologi agraria akan memberikan perspektif yang dapat mengaktualisasikan kata dominasi dan penguasaan alam dalam konteks pro ekologi, serta menunjukkan keselarasan kedua teks ini dalam rangka penyelenggaraan misi Allah.

Melalui tulisan ini, penulis berharap kesadaran ekologis dapat menjadi prioritas dalam kehidupan warga gereja. Penulis berharap dapat memberikan sumbangsih bagi gereja dan praktisi maupun pemerhati lingkungan dalam menata ulang perspektif mengenai posisi dan relasi manusia dengan ciptaan yang lain. Dengan demikian, pengelolaan alam atau ciptaan lain tidak bersifat eksploitatif dan destruktif terhadap kehidupan.

Untuk mencapai tujuan di atas, penulis akan mendeskripsikan beberapa sub bahasan. Sub bahasan pertama menjelaskan tentang teologi agraria, secara khusus beberapa pandangan dari Norman Wirzba (Wirzba, 2022). Selanjutnya pada sub bahasan kedua, penulis akan menggunakan lensa teologi agraria yang dikonstruksikan oleh Wirzba untuk melakukan reinterpretasi terhadap teks Kejadian 1:26-30; 2:15. Sub bahasa ketiga menguraikan implikasi dari hasil penafsiran Kejadian 1:26-30; 2:15 dalam pelayanan gerejawi untuk menyikapi berbagai masalah agraria.

 

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang secara spesifik merujuk pada pendekatan hermeneutik seeing through. Seeing Through adalah upaya membaca atau menafsir Alkitab dari lensa tertentu untuk menghasilkan gagasan-gagasan alternatif, baru, segar serta kontekstual (Listijabudi, 2019). Adapun lensa perspektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif teologi agraria yang telah diuraiakan sebelumnya. Penggunaan pendekatan seeing through dalam teks ini bertujuan untuk membantu penulis mengaktualisasikan sikap dan tindakan “menaklukkan” maupun “menguasai” ciptaan yang lain.

Beberapa langkah kajian yang dilakukan penulis dalam tulisan ini antara lain: Pertama, mendeskripsikan konsep teologi agraria. Kedua, menafsirkan teks Kejadian 1:28-30; 2:15 sesuai dengan lensa teologi agraria yang telah dibahas sebelumnya. Ketiga, merumuskan implikasi teks Kejadian 1:28-30; 2:15 bagi penatalayanan gereja dalam pengelolaan alam atau ciptaan yang lain.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teologi Agraria

Teologi Agraria merupakan perspektif teologi yang dikonstruksikan dari keprihatinan terhadap ketidakadilan ekologis dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam. Dalam situasi ini, teologi agraria hadir sebagai sebuah cara pandang baru untuk melihat dan mengelola alam. Usaha untuk mengonstruksi teologi agraria, tidak berorientasi pada romantisme masa bercocok tanam, atau pada pemujaan kehidupan pedesaan daripada kehidupan metropolitan.

Norman Wirzba berangkat dari kisah penciptaan dan pembebasan dari dualisme kosmos yang kerap mendiskreditkan kehidupan material. Seluruh komponen ciptaan diciptakan dan dicintai oleh Tuhan. Alam dan segala isinya ada atau diciptakan karena Tuhan menginginkannya (Wirzba, 2022). Pandangan ini dilegitimasi oleh atribut baik yang diberikan Tuhan pada setiap penghujung hari penciptaan. Pada hari keenam, Tuhan menyebut seluruh ciptaan-Nya “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Ungkapan “sungguh amat baik” dalam teks ini menggunakan frasa towb meod, yang berarti “suasana yang berlimpah kebaikan, kesejahteraan, dan sangat menyenangkan” (Bible Works, 2015).

Sekalipun ungkapan ini muncul pada hari keenam, tetapi cakupan dari ungkapan ini merujuk kepada seluruh ciptaan (Arnold, 2009). Menurut Jhon Leonardo Presley Purba dkk., ungkapan “sungguh amat baik” mengindikasikan kualitas ciptaan yang harmonis, utuh, dan sempurna, serta mencerminkan kualitas (Purba, Prastowo, and Rimun, 2022) Penciptanya. Ungkapan ini merupakan bentuk kasih ilahi atas ciptaan, sekaligus melegitimasi kelayakan dan baiknya keberadaan setiap ciptaan (Wirzba, 2022).

Akan tetapi, ciptaan atau dunia ini tidak hanya disebut sebagai objek dari kasih Allah. Ciptaan sendiri merupakan sarana atau perwujudan kasih ilahi. Setiap ciptaan tidak hadir dengan sendirinya atau ada sebagai sebuah kebetulan. Kasih Tuhan selalu mengitari atau menjiwai setiap ciptaan dalam kosmos. Status ciptaan sebagai sarana untuk mewujudkan kasih-Nya, menjadi alasan Tuhan selalu ingin dekat dengan makhluk ciptaan-Nya (Wirzba, 2022). Dengan demikian, makhluk ciptaan Allah menempati tempat yang sangat berharga dalam pemandangan Tuhan, sehingga perlu dihormati dan dihargai. Hal ini didukung oleh tindakan Tuhan yang menguduskan segala pekerjaan-Nya begitu proses penciptaan telah selesai (Kej. 2:3).

Pandangan di atas mengindikasikan bahwa manusia seharusnya mengasihi alam atau ciptaan lain sebagaimana Tuhan mengasihi ciptaan-Nya. Lebih dari itu, Tuhan juga menjadikan alam dan segala ciptaan sebagai sarana perwujudan   kasih-Nya, sehingga manusia semestinya mengasihi, merawat dan menghormati sarana kasih Allah ini. Dunia dan segala isinya seharusnya diterima sebagai tempat untuk menjalankan kehidupan yang dikehendaki oleh Allah.

Selain teologi penciptaan, Wirzba juga berupaya membebaskan diri dari upaya mendiskreditkan kehidupan material. Tatanan kehidupan material atau fisik kerap dianggap sebagai realitas yang lebih rendah, sehingga seharusnya ditinggalkan bahkan dihancurkan sama sekali (Wirzba, 2022). Telos dari pandangan ini adalah kehidupan surgawi yang tidak dapat dirasakan hari ini. Jiwa akan terbebas dari tubuh menuju kehidupan yang akan datang dan meninggalkan segala penderitaan akibat kehidupan masa kini dalam dunia (Wirzba, 2022).

Wirzba menunjukkan bahwa dualisme kosmos memalsukan pengalaman yang dimiliki manusia mengenai kesejahteraan (Wirzba, 2022). Pengabaian pengalaman tubuh menjadi alasan tindakan eksploitatif pada dunia material. Eksploitasi dunia material yang merusak “kesejahteraan” alam juga akan berimplikasi pada kesejahteraan manusia (Wirzba, 2022). Pengalaman dengan tubuh adalah pengalaman yang konkret. Tubuh fisik manusia bahkan memiliki implikasi sosial dan ekologis bagi kebahagiaan seluruh makhluk. Manusia adalah makhluk yang sebenarnya tidak berdiri sendiri secara individual. Manusia merupakan makhluk yang simpatik, dan terjalin dalam rangkaian reaksi dan interaksi, antara pemberian dan penerimaan bersama dengan makhluk yang lain (Wirzba, 2022).

Gagasan ini didukung oleh Sony Keraf dengan menyebut manusia sebagai makhluk ekologis (Keraf, 2014). Kehidupan dan kesejahteraan manusia bergantung pada alam. Keadaan alam berimplikasi bagi kehidupan manusia, baik secara biologis, ekonomis, sosial budaya, hingga teologis (Keraf, 2014). Manusia bergantung pada kehidupan seluruh makhluk hidup lain, dan begitupun sebaliknya. Tindakan manusia terhadap realitas fisik akan berimplikasi pada kehidupan manusia secara holistik. Hal ini tidak saja memengaruhi tubuh atau fisik tetapi juga kebahagiaan (baca: keadaan jiwa) manusia dalam menjalani kehidupannya.

Berdasarkan pertimbangan di atas, alih-alih mendukung usaha manusia melanggengkan pemujaan kehidupan jiwa yang mendiskreditkan kehidupan fisik saat ini, Wirzba justru berupaya agar kebahagiaan jiwa manusia tidak dipisahkan dengan tubuh dan dihadirkan dalam realitas saat ini (Wirzba, 2022). Manusia perlu menghadirkan diri secara holistik dalam realitas sosial dan ekologis, serta berpartisipasi dalam membangun kehidupan (Wirzba, 2022). Perubahan perspektif inilah yang akan mengubah cara hidup dan cara memperlakukan alam dalam kehidupan manusia.

Implikasi dari perspektif yang diberikan oleh Wirzba adalah perubahan dalam stigma terhadap dunia material atau alam. Dunia bukanlah tempat yang harus ditolak, tidak diinginkan, ataupun didiskreditkan. Menolak dunia atau alam berarti menolak kasih Allah yang menggerakkan segala ciptaan. Sebaliknya, Wirzba merekomendasikan agar manusia dapat berpartisipasi bersama dengan cinta ilahi yang berupaya terus menopang kehidupan di dunia (Wirzba, 2022).

Upaya untuk meninggalkan paradigma yang mendiskreditkan dunia atau alam ciptaan juga ditunjukkan dalam tulisan Paulus. Teks Roma 8:19-22 memperlihatkan bahwa segala makhluk dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan. Kata ktisis dalam teks ini merujuk kepada “segala makhluk, ciptaan, atau alam semesta” (Bible Works, 2015). Dengan kata lain, alam atau segala ciptaan menjadi sasaran dari pembebasan yang dilakukan Allah. Kolose 1:19-20 juga memperlihatkan bahwa Allah “memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya”. Cakupan dari tindakan rekonsiliasi ini juga mencakup seluruh ciptaan. Implikasi dari tindakan Allah adalah pemulihan ciptaan menuju hakikat penciptaannya (Saputra, 2022). Kedua teks ini mengindikasikan bahwa alam ciptaan juga merupakan objek penebusan, sehingga tidak seharusnya didiskreditkan oleh manusia.

Dalam kesadaran akan urgensi alam dan seluruh ciptaan di dalamnya, Wirzba menawarkan agar manusia menekankan pentingnya memiliki kecerdasan material. Kecerdasan material yang dimaksud di sini merujuk kepada gagasan dari Glenn Adamson yaitu pemahaman yang mendalam mengenai dunia material, mampu membaca keadaan lingkungan, dan kemampuan untuk mengolahnya menjadi bentuk yang baru (Adamson, 2018). Dalam konteks teologi agraria, kecerdasan material menyangkut kemampuan mengenal dunia atau ciptaan secara mendalam, memahami potensi dan kerentanan ciptaan, hingga kemampuan untuk mengolah hasil alam menjadi bentuk yang baru (Wirzba, 2022).

Keberadaan dari kecerdasan material akan membuat cara pandang manusia terhadap alam menjadi berbeda. Ketika manusia belum mengenal kecerdasan material, manusia harus berpindah-pindah agar dapat bertahan hidup. Bahan makanan di alam yang membutuhkan pengolahan terlebih dahulu tidak dapat dikelola dan dimakan sehingga manusia harus mencari makanan ke tempat lain. Hal ini berbeda ketika manusia memiliki kecerdasan material. Kecerdasan material mengantarkan manusia kepada kesadaran di mana alam memiliki potensi rasa yang ketika dikombinasikan dengan keterampilan mengolah dari manusia akan menghasilkan kenikmatan dalam setiap makanan (Wirzba, 2022). Implikasi penting dari kecerdasan material adalah manusia dapat bermukim dan bercocok tanam dengan menetap di tempat tertentu. Kecerdasan material memampukan manusia mengenal potensi dari setiap ciptaan sehingga beralih menjadi pertani. Dengan kata lain, kecerdasan material memampukan manusia beralih dari cara hidup nomad ke cara hidup menetap karena kemampuan pengelolaan potensi alam.

Dalam konteks penanaman padi, seseorang yang memiliki kecerdasan material dapat memahami tanaman padi yang terindikasi dari kemampuan menanam, menyiapkan lahan tanam, mengenal iklim dan cuaca yang tepat untuk menanam, menyemai bibit padi, menanam, merawat, hingga perlakuan pascapanen untuk menghasilkan kualitas padi yang baik. Hal yang sama terjadi dalam pemahaman mengenai potensi. Kecerdasan material juga mengetahui potensi pada tanaman padi yang bukan hanya potensi biji padi menjadi makanan pokok (nasi) dan tepung, namun juga potensi jerami sebagai makanan ternak, bahkan menjadi pupuk organik. Kecerdasan dalam pengolahan akan terlihat dalam bagaimana wawasan mengenai pengolahan tepung beras menjadi berbagai macam olahan kue dikombinasikan dengan bahan makanan yang lain.

Semua kemampuan yang disebutkan di sini perlu ditunjang atau dilatih oleh kemampuan mencintai alam dan segala isinya. Pengejawantahan cinta kepada alam akan dilihat melalui penerimaan terhadap segala rasa sakit, lelah, kesenangan, kegembiraan, dan setiap perasaan yang dialami ketika berinteraksi dengan alam (Wirzba, 2022). Perpaduan dari berbagai pengalaman dan perasaan interaksi dengan alam akan mempertajam kecerdasan material yang dimiliki manusia.

Agar kecerdasan material dalam konsep Wirzba tidak berdampak pada tindakan manipulatif-eksploitatif, maka manusia perlu mengembangkan kreativitas dan rasa simpatinya dalam mengolah alam, termasuk potensi dan kerentanan dari alam, serta mengembangkan kepekaannya terhadap segala kenikmatan yang diterimanya melalui kehadiran ciptaan lain (Wirzba, 2022). Menyadari potensi dan kerentanan ciptaan secara berimbang akan mengantarkan manusia pada tindakan yang memanfaatkan sekaligus melindungi ciptaan. Perspektif ini akan menyadarkan manusia untuk berpartisipasi dalam cinta ilahi yang menopang kehidupan, sekaligus merasakan cinta ilahi yang juga memancar dari kehadiran ciptaan.

Istilah kecerdasan material yang digagas oleh Adamson dan dilanjutkan oleh Wirzba, sedikit banyak memiliki kesamaan dengan aktivitas agraria dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, yakni pengelolaan bumi, air, ruang angkasa dan segala kekayaan alam di dalamnya (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, 1960). Dengan mempertimbangkan pengertian dari agraria dan konsep dari Adampson maupun Wirzba mengenai kecerdasan material, maka dalam pembahasan selanjutnya penulis akan menyebut kecerdasan material atau keterampilan praktis di atas sebagai kecerdasan agraris.

 

Reinterpretasi Teks Kejadian 1:26-30;2:15 dari Perspektif Teologi Agraria

Kejadian 1:26-30; 2:15 adalah teks yang berisi perintah Allah kepada manusia dalam rangka menjalankan mandat untuk berkuasa serta memelihara ciptaan lain. Teks ini merupakan bagian penutup dari kisah penciptaan. Setelah Allah menciptakan dunia dan isinya, ada perintah atau misi Allah bagi manusia dalam relasinya dengan ciptaan yang lain. Khusus dalam teks ini, penulis akan merekonstruksi pemahaman dari misi ini dengan menggunakan lensa teologi agraria. Teologi agraria memberikan perspektif untuk mengelola sekaligus melindungi ciptaan lain.

Teks Kejadian 1:26-30 memperlihatkan motif Allah menciptakan manusia, yakni untuk “berkuasa atas” ciptaan lain (ay. 26). Hal ini kerap dipahami sebagai posisi yang istimewa manusia dalam penciptaan. Kecenderungan ini merujuk pada kata “penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, dan berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara”.

Kata “penuhilah” dalam teks Ibrani menggunakan kata male, yang berarti  mengisi atau memenuhi, sedangkan kata “taklukkanlah” dalam teks Ibrani  menggunakan kata kabash, yang berarti menaklukkan, menundukkan, memperbudak, dan mengalahkan (Bible Works, 2015). Kata kabash dalam teks Perjanjian Lama juga digunakan pada penaklukan dalam konteks perang (Yos. 18:1; 2 Sam. 8:11; 1 Taw. 22:18;dll); dan merujuk kepada penaklukan dalam konteks relasi tuan dan budak (Neh. 5:5; Yer. 34:11). Kata “berkuasalah” dalam teks Ibrani menggunakan kata radah, yang berarti memerintah, menguasai dan menginjak-injak (Bible Works, 2015). Kata ini juga digunakan dalam kekuasaan politis, kekuasaan atas budak, maupun kekuasaan dalam pemerintahan (Im. 25:43,46,53; Bil. 24:19; 1 Raj. 5:4,30; 9:23; Neh. 9:28).

Kavusa melihat bahwa penggunaan kata kabash maupun radah mengimplikasikan kekerasan pada objek kekuasaan (Kavusa, 2021). Meski demikian relasi yang dibangun seharusnya tanpa antagonisme. Sekalipun manusia memiliki keistimewaan dalam tatanan yang hierarkis, tetapi batas, tugas, dan tatanan ciptaan berada dalam pengaturan Tuhan (29-30). Purba dkk. melihat kedudukan ini sebagai tindakan Allah menunjuk manusia menjadi wakil-Nya atau kepala atas seluruh ciptaan (Purba et al., 2022). Sementara Pasang menyebut posisi ini sebagai kekuasaan yang unik, kooperatif, dan bertanggung jawab (Pasang, 2019). Tremper Longman III  menyebutkan bahwa perintah taklukkanlah dan berkuasalah mengindikasikan bahwa manusia menjadi ‘tuan’ atas makhluk hidup yang lain (Longman III, 2016).

Beberapa penjelasan di atas berusaha untuk mencegah ayat ini menjadi legitimasi atas eksploitasi alam. Akan tetapi belum ada perspektif yang relevan untuk mengaktualisasikan kata kabash maupun radah menjadi sikap atau tindakan yang pro ekologi. Status wakil, kekuasaan kooperatif, tanggung jawab, dan tuan tidak sepenuhnya memberikan penyelesaian signifikan untuk mengaktualisasikan tindakan yang mencegah eksploitasi. Kesulitan untuk menjelaskan makna dominasi dan penguasaan terhadap teks ini membuat Singgih memberikan sebuah rekomendasi untuk membekukan sementara teks ini untuk beralih pada teks lain yang lebih pro ekologi. Kata kabash dan radah mengandung makna asli yang “keras” dan selalu berkaitan dengan penguasaan bumi. Keterkaitan dengan penguasaan bumi membuat kata ini sulit untuk dilihat dalam makna yang lebih “lunak” (Singgih, 2020).

Salah satu teks yang direkomendasikan oleh Singgih untuk mengonstruksikan pelayanan pro ekologi adalah Kejadian 2:15. Teks ini memperlihatkan misi Allah kepada manusia untuk menjaga ciptaan lain dengan menggunakan kata “mengusahakan dan memelihara taman”. Kata “mengusahakan” dalam teks Ibrani menggunakan kata abad yang berarti “bekerja/mengerjakan” dan “melayani” (Bible Works, 2015). Selain berarti “mengerjakan”, penggunaan kata abad dalam teks Perjanjian Lama juga dapat berarti menjadi budak (Kej. 15:13; 25:3, dll), tunduk atau melayani (Kej. 27:29), dan beribadah (Kel. 4:23; Ams. 22:31, dst).

Kata abad juga dapat dipahami sebagai pekerjaan “membudidayakan lahan” (Coote and Ord, 2015). Kata “memelihara” dalam teks Ibrani menggunakan kata shamar, yang berarti  “menjaga”, “mengawasi”, dan “melestarikan” (Bible Works, 2015).  Menurut Philip Asura Nggada dan Yunana I. Malgwi, kata abad dan shamar dalam konteks pembahasan teks ini merupakan perintah untuk ‘menggarap’ dan ‘melindungi’ dari kerusakan (Nggada and Malgwi, 2021). Perintah ini merupakan kewajiban yang perlu dilaksanakan manusia sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Sementara bagi John Arierhi Ottuh, makna abad dan shamar dalam teks Kejadian 2:15 mengarah pada dua tindakan yakni pelayanan dan ketaatan pada perintah Tuhan. Teks ini mengarahkan  pada tanggung jawab di hadapan Tuhan untuk mengelola dan melestarikan lingkungan (Ottuh, 2022).

Beberapa pengertian di atas memperlihatkan bahwa abad dan shamar cenderung pro ekologi. Manusia ditempatkan dalam tugas dan tanggung jawab untuk mencegah ciptaan mengalami kerusakan. Tugas mengelola atau memelihara taman sarat dengan makna yang ramah lingkungan, dan tanggung jawab manusia kepada Tuhan sangat dominan. Hal ini kontras dengan pengertian kabash dan radah yang memperlihatkan manusia dalam posisi yang unggul bahkan disebut tuan atas ciptaan yang lain. Posisi dominan yang dimiliki manusia kemudian berimplikasi pada tindakan eksploitasi. Makna yang kontras ini kemudian membuat beberapa penafsir cenderung menghindari kabash dan radah dibandingkan abad dan shamar (Ottuh, 2022; Singgih, 2020).

Menindaklanjuti makna kontras kedua teks di atas―Kejadian 1:26-30 berada dalam bayang-bayang kekerasan dan penguasaan, sedangkan teks Kejadian 2:15 lebih pro ekologi―penulis berupaya untuk menjembatani pesan kedua teks dalam lensa perspektif teologi agraria. Keistimewaan manusia di antara ciptaan yang disebut sebagai tuan, hendaknya dipahami dalam kacamata kecerdasan agraris. Penulis menawarkan agar “pembeda” (baca: kecerdasan agraris) yang membuat manusia beralih dari fase nomad ke cara hidup menetap dan bercocok tanam sebagai sebuah bentuk dominasi atas ciptaan. Pembeda atau kecerdasan agraris yang dimaksud adalah pemahaman yang mendalam mengenai dunia atau ciptaan secara material, mampu membaca potensi dan kerentanan dari setiap ciptaan, serta mampu mengolahnya menjadi bentuk yang lain (Adamson, 2018).

Menurut Wirzba ketiadaan kecerdasan agraris akan membuat manusia harus berpindah-pindah tempat agar dapat bertahan hidup (Wirzba, 2022). Tidak ada kecerdasan agraris berarti manusia tidak mengenal potensi maupun kerentanan yang ada pada ciptaan lain. Akibat dari ketidaktahuan ini adalah manusia harus berpindah-pindah tempat agar dapat memperoleh makanannya.

Kondisi yang kontras akan terlihat dengan adanya kecerdasan agraris. Kecerdasan agraris membuat manusia mampu bertahan di suatu tempat. Kemampuan mengenal alam dengan sangat mendalam, mengetahui potensi dan kerentanannya, serta mengetahui cara pengolahannya membuat manusia memiliki pertimbangan dan perhatian untuk bersentuhan dengan ciptaan yang lain (Wirzba, 2022). Manusia tidak lagi perlu berpindah-pindah untuk memperoleh makanan. Manusia mengolah dan membudidayakan berbagai bahan makanan yang disediakan alam untuk menjadi makanan.

Kondisi mengenal potensi dan kerentanan ciptaan serta kemampuan untuk menindaklanjuti pengenalan itulah yang seharusnya disebut sebagai menguasai dan menaklukkan. Dengan kata lain, menguasai atau menaklukkan harus diletakkan pada sisi inteligensi bukan pada sisi eksploitasi. Dalam situasi ini, manusia dapat mengetahui potensi hewan dan tumbuhan tertentu untuk menjadi makanan ataupun pakaian. Pada saat yang sama penguasaan juga dipahami dalam pengertian memahami risiko ketika kerentanan dari hewan dan tumbuhan diabaikan. Pemahaman atau kecerdasan agraris seperti ini kemudian dapat mengonstruksikan tindakan-tindakan pencegahan dan perlindungan kepada alam.

Perspektif kecerdasan agraris kemudian mengaktualisasikan kata kabash dan radah sebagai tuan yang menguasai dan menindaklanjuti potensi dan kerentanan ciptaaan. Manusia dapat memanfaatkan ciptaan lain sesuai dengan wawasannya mengenai potensi alam. Pada saat yang sama manusia yang mengetahui kerentanan ciptaan juga bertanggung jawab melindunginya. Dengan kata lain menguasai dan menaklukkan ciptaan lain dapat diaktualisasikan sebagai kepemilikan wawasan yang komprehensif atas ciptaan, baik potensi maupun kerentanannya, serta kecakapan dalam menindaklanjutinya secara berimbang.

Membaca kabash dan radah dari perspektif kecerdasan agraris tidak sekadar dapat mengaktualisasikan makna menguasai dan menaklukkan dalam konteks pro ekologi. Perspektif ini sekaligus menegaskan misi Allah dalam teks Kejadian 2:15, untuk menggarap dan melindungi taman dari berbagai kerusakan (abad dan shamar). Kecerdasan agraris menempatkan manusia untuk memahami dan menikmati keajaiban ciptaan yang dibentuk oleh Tuhan, serta peka terhadap pemeliharaan yang dialami manusia dengan kehadiran ciptaan, hingga secara sadar dapat bersimpati terhadap setiap potensi dan kerentanan ciptaan (Wirzba, 2022). Simpati ini kemudian ditindaklanjuti dalam tindakan. Manusia dapat menggarap atau mengolah potensi ciptaan pada satu sisi, sekaligus melindungi ciptaan dari kerusakan berdasarkan kerentanannya pada sisi yang lain. Dengan demikian, manusia dapat mewujudkan tugas abad dan shamar dalam mengelola ciptaan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mengonstruksikan bahwa perspektif teologi agraria dapat menyelaraskan usaha untuk mengaktualisasikan teks Kejadian 1:26-30 dan Kejadian 2:15 dalam konteks pro ekologi. Kedua teks ini bermuara pada usaha untuk mengenal potensi dan kerentanan alam secara komprehensif dan berimbang, sekaligus menindaklanjutinya dalam pengelolaan dan perlindungan alam. Makna penguasaan dapat diberikan aktualisasi yang lebih “lunak” dengan memahaminya sebagai kecerdasan agraris. Menguasai dan menaklukkan tidak lagi disebut eksploitatif dan destruktif, melainkan sebuah penguasaan inteligensi atau wawasan yang komprehensif dan berimbang terhadap ciptaan.

 

Implikasi Teks Kejadian 1:26-30;2:15 bagi Pelayanan Ekologis Gereja

Membaca teks Kejadian 1:26-30; 2:15 dari perspektif teologi agraria memberikan sebuah perspektif baru untuk memahami posisi manusia dalam mengelola ciptaan. Pengelolaan alam dalam perspektif kecerdasan agraris dan teks Kejadian 1:26-30; 2:15 mengaktualisasikan posisi “tuan” dan penguasa dari sisi inteligensi. Menguasai alam berarti memiliki wawasan yang komprehensif dan berimbang terhadap potensi dan kerentanan alam.

Konsep di atas berlaku dalam kasus agraria. Isu agraria kerap bergumul dengan diabaikannya kerentanan tanah dan sumber daya alam melalui tindakan eksploitatif. Beberapa kasus yang telah disebutkan dalam bagian awal tulisan ini memperlihatkan bahwa aktivitas ekonomi yang berpusat pada pertambangan dan perkebunan mono kultur jangka panjang pada kelapa sawit telah melalaikan kerentanan alam, mulai dari tanah, air, udara, hingga satwa dan tanaman di sekitar lingkungannya. Akibat dari tindakan ini adalah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan (Lisdayani and Ameliyani, 2021; Mailendra and Buchori, 2019; Putri et al., 2023).

Menindaklanjuti hasil penafsiran di atas, dan isu agraria akhir-akhir ini, gereja sebagai pengemban misi dari Allah saat ini perlu menyuarakan dan mewujudkan pengelolaan potensi yang berimbang dengan perlindungan kerentanan alam dalam lingkup pelayanan gereja.

Untuk mewujdukan upaya ini, penulis mengusulkan agar gereja bekerjasama dengan lembaga terkait untuk mengupayakan pengembangan ekonomi. Misalnya mendorong pengembangan teknologi pertanian yang ramah lingkungan, sehingga pengembangan ekonomi tidak merusak alam. Begitupun sebaliknya. Gereja juga perlu bekerjasama dengan lembaga maupun pemerhati lingkungan hidup dalam mengupayakan pelestarian lingkungan yang tidak mengabaikan kebutuhan ekonomi.

Selain itu, gereja juga dapat terjun langsung dalam pengembangan potensi alam untuk kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk paguyuban atau bidang pelayanan entrepreneurship gereja yang dapat memberdayakan pengelolaan potensi alam agar bernilai ekonomis.

Beberapa tahun terakhir, berbagai denominasi gereja telah mengembangkan kesadaran entrepreneurship dalam lingkup pelayanan gereja. Upaya ini berfokus pada pemberdayaan potensi dalam jemaat untuk pengembangan ekonomi (Barlian & Kristiani, 2020; Ngedi, 2019; Tunliu & Pono, 2022). Namun, untuk mewujudkan pengelolaan ciptaan yang memperhatikan potensi dan kerentanan secara berimbang, diperlukan juga pemberdayaan jemaat dari sisi ekologis. Oleh karena itu, gereja dapat menambah bidang pelayanan pada bagian ekologi, atau “melebarkan sayap” pelayanan dari lembaga entrepreneurship gereja agar ikut merangkul sisi ekologis.

Beberapa paguyuban seperti Yayasan Bina Sarana Bakti (YBSB) dan Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan Hari Pangan Sedunia (SPTN HPS) adalah contoh yang dapat diteladani (Wijaya, 2011). YBSB mengembangkan pola pertanian organik, sebagai bentuk pertanian yang bersahabat dengan alam. SPTN HPS juga memperlengkapi anggotanya dengan cara bertani yang organik dan keterampilan pengolahan hasil tani agar bernilai ekonomis (Wijaya, 2011). Keterlibatan gereja dalam kedua paguyuban seperti ini memperlihatkan kepedulian yang seimbang pada potensi dan kerentanan tanah pertanian. Dengan demikian, petani dapat memperoleh hasil pertanian yang “memuaskan” secara ekonomis maupun ekologis.

Kehadiran gereja dalam bentuk paguyuban maupun dengan “melebarkan sayap” pelayanan pada bidang ekologis dan ekonomi diharapkan mampu mengembangkan kecerdasan agraris bagi warga gereja. Kehadiran gereja perlu membina keterampilan umat untuk mengenal dan mengelola potensi ciptaan, sekaligus melindungi kerentanan ciptaan dari kerusakan. Dengan demikian, gereja dapat mewujudkan misi ekologisnya di tengah dunia, secara khusus menindaklanjuti masalah agraria.

 

KESIMPULAN

Kecerdasan agraris dari Wirzba memberikan bentuk aktualisasi kabash dan radah dalam konteks pro ekologi, sehingga tidak menjadi teks antagonis dalam pemeliharaan lingkungan. Bentuk dominasi dan penguasaan dalam teks Kejadian 1:26-30 yang direkomendasikan berada pada sisi inteligensi. Hal ini merujuk pada wawasan komprehensif dan berimbang pada potensi dan kerentanan ciptaan, yang ditindaklanjuti dalam tindakan pengelolaan dan perlindungan. Tindakan ini sekaligus menjadi pengejawantahan konsep abad dan shamar―menggarap dan melindungi.

Dalam rangka pengembangan dan penerapan temuan ini, penulis merekomendasikan agar gereja dapat bekerja sama dengan lembaga terkait untuk pengembangan ekonomi seperti pertanian yang ramah lingkungan, serta pemerhati lingkungan untuk mengembangkan pelestarian lingkungan yang ekonomis. Selain itu, kehadiran paguyuban maupun pelayanan entrepreneurship dari gereja yang menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan ekologis akan menjadi sarana pengembangan kecerdasan agraris untuk mewujudkan misi Allah yang membangun kehidupan ciptaan.

Khusus dalam ranah akademis, penulis merekomendasikan kepada peneliti selanjutnya agar teks-teks kitab suci yang kerap diinterpretasikan secara antroposentris, dapat ditinjau kembali. Teologi agraria, atau kecerdasan agraris dapat menjadi lensa perspektif untuk melihat kembali relevansi teks dalam konteks masa kini yang bergumul mengenai isu-isu ekologis. Dengan demikian, teks-teks tersebut tetap relevan dan memiliki sumbangsih dalam usaha pelestarian lingkungan.


 

DAFTAR PUSTAKA

Adamson, G. (2018). Fewer, Better Things: The Hidden Wisdom of Objects. New York: Bloomsbury.

Amalia, R., Dharmawan, A. H., Prasetyo, L. B., and Pacheco, P. (2019). Perubahan Tutupan Lahan Akibat Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit: Dampak Sosial, Ekonomi dan Ekologi. Jurnal Ilmu Lingkungan, 17(1), 130–139. Retrieved from https://doi.org/10.14710/jil.17.1.130-139

Arnold, B. T. (2009). Genesis. New York: Cabridge University Press.

Barlian, R. R., and Kristiani, A. B. (2020). Pengembangan Jiwa Kewirausahaan dalam Program Gereja Mitra di Gereja Kristen Abdiel Kasih Karunia Cengkong, Tuban, Jawa Timur. Geneva, 2(2), 56–75. Retrieved from https://www.sttiaa.ac.id/e-journal/index.php/geneva/article/view/32

Bible Works. (2015).

Coote, R. B., and Ord, D. R. (2015). Sejarah Pertama Alkitab: Dari Eden sampai Kerajaan Daud berdasarkan Sumber Y. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Darius, G. (2022). Membaca dan Menafsir Kejadian 1:26-28 dalam Fungsi Kosmis Budaya Toraja untuk Membangun Paradigma Misi Kontekstual-Ekologis. Melo, 2(1), 36–46. Retrieved from https://doi.org/10.34307/mjsaa.v2i1.38

Hermansah, T. (2007). Teologi Agraria: Rekonstruksi Konsep. Refleksi, 9(1), 109–130. Retrieved from https://doi.org/10.15408/ref.v9i1.37062

Kavusa, K. J. (2021). Creation as a Cosmic Temple: Reading Genesis 1:1-2:4a in Light of Willie van Heerden’s Ecological Insights. Journal of Semitics, 30(1), 1–23. Retrieved from https://doi.org/10.25159/2663-6573/8761

Keraf, S. (2014). Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, Bersama Fritjof Capra. Yogyakarta: Kanisius.

Lisdayani, E., and Ameliyani. (2021). Dampak Industri Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Lingkungan Di Desa Paya Kulbi, Aceh Tamiang. Pros. SemNas. Peningkatan Mutu Pendidikan, 2(1), 101–105. Retrieved from https://semnasfkipunsam.id/index.php/semnas2019/article/view/92

Listijabudi, D. K. (2019). Bergulat di Tepian. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Longman III, T. (2016). Panorama Kejadian: Awal Mula Sejarah. Jakarta: Scripture Union Indonesia.

Mailendra, and Buchori, I. (2019). Kerusakan Lahan Akibat Kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin di Sekitar Sungai Singingi Kabupaten Kuantan Singingi. Jurnal Pembangunan Wilayah Dan Kota, 15(3), 174–188. Retrieved from https://doi.org/10.14710/pwk.v15i3.21304

Ngedi, M. D. (2019). Praktik Kewirausahaan Gereja: Upaya Gereja Pentakosta dalam Mengentaskan Kemiskinan di Kota Wamena. Visio Dei, 1(1), 19–37. Retrieved from https://doi.org/10.35909/visiodei.v1i1.8

Nggada, P. A., and Malgwi, Y. I. (2021). A Contextual Reading of Avad and Shamarin Genesis 2:15 within Environmental Protection and Degradation. Jos Journal of Religion and Philosophy, 3(2), 75–83. Retrieved from https://acjol.org/index.php/jjrp/article/view/4041

Ottuh, J. A. (2022). Christianity and Environmental Care in Nigeria: The Role of Christians in Addressing Indiscriminate Refuse Disposal. Pharos Journal of Theology, 103(1), 1–15. Retrieved from https://www.pharosjot.com/uploads/7/1/6/3/7163688/article_15_vol_103_2022_nigeria.pdf

Paninggiran, Y. (2018). Konsep Abodah Sebagai Dasar Bagi Teologi Pertanian. Tumou Tou, 5(2), 132–135. Retrieved from https://www.ejournal-iakn-manado.ac.id/index.php/tumoutou/article/view/72

Panjaitan, F. (2020). Membangun Teologi Pertanian Melalui Pembacaan Lintas Tekstual Injil Matius dan Kosmologi Jawa. Bonafide, 1(1), 44–64. Retrieved from https://doi.org/10.46558/bonafide.v1i1.8

Pasang, A. (2019). Ekologi Penciptaan dalam Kejadian 1-3 sebagai Landasan Evaluasi Kritis terhadap Perilaku Ekologis Para Teolog Reformed Indonesia Masa Kini. Excelsis Deo, 3(1), 67–76. Retrieved from https://doi.org/10.51730/ed.v3i1.2

Purba, J. L. P., Prastowo, H. F., and Rimun, R. (2022). Kajian Hermeneutis Ungkapan “Sungguh Amat Baik” dalam Kejadian 1:31 Ditinjau dari Perspektif Redemptive-Historical Approach. Charisteo, 1(2), 122–133. Retrieved from http://e-journal.anugrah.ac.id/index.php/JCH/article/view/14

Putri, A. F. J., Valensia, M. V., Purnama, R., and Manik, J. D. N. (2023). Dampak Kerusakan Lingkungan Biotik, Abiotik, dan Sosial Budaya Akibat Pertambangan Timah Ilegal di Kecamatan Mentok. Sentri, 2(10), 4473–4481. Retrieved from https://doi.org/10.55681/sentri.v2i10.1689

Saputra, J. A. (2022). Ekologi Konservasif. Amanat Agung, 18(1), 43–69. Retrieved from https://doi.org/10.47754/jaa.v18i1.528

Singgih, E. G. (2020). Agama dan Kerusakan Ekologi: Mempertimbangkan “Tesis White” dalam Konteks Indonesia. Gema Teologika, 5(2), 113–136. Retrieved from https://doi.org/10.21460/gema.2020.52.614

Sulistyaningsih, R. (2021). Reforma Agraria di Indonesia. Perspektif, 26(1), 57–64. Retrieved from https://doi.org/10.30742/perspektif.v26i1.753

Tunliu, A., and Pono, M. R. (2022). Kompastani GMIT: Sebuah Upaya Pemberdayaan Ekonomi Jemaat. Conscientia, 1(1), 29–40. Retrieved from https://ojs.theologi.id/index.php/conscientia/article/view/3

Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. , Pub. L. No. 5 (1960). Indonesia.

Wijaya, W. K. (2011). Allah Sang Petani, Bertani Sebagai Usaha Berteologi: Belajar dari YBSB dan SPTN HPS. Gema Teologi, 35(1/2), 1–13. Retrieved from http://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gema/article/view/127

Wirzba, N. (2022). Agrarian Spirit: Cultivating Faith, Community, and the Land. Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press.