PENOLAKAN PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH
DI KOTA CILEGON DALAM KONTEKS REGULASI DAN
MODERASI BERAGAMA
Husnul Hotimah*
Nurhayati**
*Universitas Al-Khairiyah Cilegon,
Indonesia
**MIN 4 Jakarta Selatan,
Indonesia
*E-mail:
hotimah.husnul0910@gmail.com
**E-mail:
nungnurhayati112@gmail.com
Abstract
This research
examines cases of rejecting church
establishment from the perspective of regulation and
religious moderation in
Cilegon Banten. The research is
a literature review. The literature studied includes books, journals, regulations and other documents.
The results of this research show
that the Decree of the
Regent of Serang Number 189/Huk/SK/1975, which was used
as the primary basis by the community
to reject the establishment of a Church in Cilegon City has expired because it is not by
legislation which is based on
Pancasila as stated in the first and the
fifth basic principle. Pancasila affirms the belief in the
Almighty God and social justice
for all Indonesian people. Apart from
that, the reasons for rejecting
the establishment of the church
are not in harmony with the values of religious
moderation, especially the tasammuh indicator.
Keywords: religious moderation, Cilegon City,tasammuh
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah
kasus penolakan pembangunan gereja dari sudut pandang regulasi dan moderasi beragama di Kota Cilegon. Penelitian menggunakan
metode Kajian Pustaka. Pustaka yang dikaji adalah sumber-sumber tertulis,
seperti buku, jurnal, regulasi dan dokumen lainnya. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa SK Bupati Serang Nomor 189/Huk/SK/1975
dijadikan landasan utama oleh masyarakat untuk menolak pendirian Gereja di Kota
Cilegon telah kadaluwarsa karena tidak sesuai dengan perundangan yang
berlandaskan terhadap prinsip dasar bernegara yang tertuang pada sila pertama
dan sila kelima dasar Pancasila yang meneguhkan ketuhanan Yang Maha Esa dan
keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, kasus penolakan
pembangunan tempat ibadah di Kota Cilegon tidak bertentangan dengan nilai-nilai
moderasi beragama khususnya pada indikator tasammuh.
Kata Kunci: moderasi beragama,
Kota Cilegon, tasammuh
PENDAHULUAN
Moderasi beragama adalah pandangan, perilaku, dan
kegiatan beragama yang dianut dan diamalkan oleh sebagian besar penduduk
Indonesia sejak dahulu hingga saat ini. Muhammad Abror menjelaskan bahwa
toleransi beragama bukanlah tentang mencampuradukkan keyakinan satu sama lain
atau menukar keyakinan dengan kelompok agama yang berbeda. Toleransi di sini
merujuk pada cara kita berinteraksi sosial, dengan memiliki batasan-batasan
bersama yang harus dihormati. Esensi moderasi dalam
konteks toleransi adalah bahwa setiap pihak diharapkan dapat mengontrol dirinya
sendiri dan menciptakan ruang bagi toleransi, sehingga kita dapat saling
menghargai dan menghormati kelebihan serta keunikan yang dimiliki masing-masing
tanpa merasa takut akan hak dan keyakinan orang lain
Dalam
lingkungan sosial budaya (Moderasi Beragama) dapat
diimplementasikan dengan kepribadian yang baik dan bertindak adil terhadap
setiap masyarakat dengan agama yang berbeda
Dalam
konteks Indonesia kebebasan beragama di dijamin oleh negara. Sebagaimana dalam
“UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E Ayat 1 yang menegaskan
bahwa setiap warga negara bebas memilih agama dan kepercayaan menurut
keyakinannya masing-masing”. Selain itu, Pasal 29 Ayat 2 menyebutkan negara
menjamin hak kebebasan beragama dan menjamin kebebasan setiap penduduk untuk
menganut agama dan beribadah menurut keyakinan agamanya. Oleh karena itu,
negara tidak berhak melarang masuk dan berkembangnya aliran atau agama apa pun
di Indonesia, sepanjang tidak melanggar asas yang terkandung dalam dasar negara
pada sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan tidak bertentangan dengan
prinsip dan keyakinan agama lain
Namun
jaminan negara terhadap kebebasan beragama dan cita-cita Pancasila tentang
kehidupan beragama yang tenteram dan saling menghargai tidak serta merta
menjadikan kebebasan beragama di Indonesia tidak bermasalah. Bukan rahasia lagi
bahwa intoleransi masih merajalela dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Terdapat banyak tanda intoleransi dalam kehidupan umat beragama di Indonesia,
di antaranya, penolakan terhadap keberadaan penganut agama lain di suatu
wilayah, penolakan pembangunan tempat ibadah, dan perlawanan terhadap
kultur/budaya adat oleh beberapa kelompok masyarakat yang Rasis, munculnya
politik identitas serta munculnya kelompok dengan ideologi transnasional yang
radikal.
Intoleransi
terjadi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Indonesia. Hasil survei Setara Institute tahun 2022 bertajuk Indeks Kota Intoleran
(IKT) menunjukkan bahwa Kota Cilegon dinobatkan sebagai kota paling intoleransi
di Indonesia dengan skor 3.227 poin pada Indeks Kota Intoleransi kisaran
penilaian 1-7. Sedangkan Kota Depok di Jawa Barat menduduki peringkat kedua
kota paling intoleransi di Indonesia dengan skor 3.610. Disusul Padang,
Sumatera Barat, dengan skor 4.060 menjadikannya kota ketiga paling intoleransi
di Indonesia.
Intoleransi
beragama dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai cara, termasuk
penyerangan fisik, pengusiran, penghinaan, dan diskriminasi dalam akses ke
layanan publik atau pekerjaan. Terdapat beberapa diskriminasi yang pernah
terjadi, seperti penyerangan rumah ibadah, penentangan terhadap pembangunan
tempat ibadah baru, dan penyerangan terhadap penganut agama tertentu.
Salah
satu kasus intoleransi beragama di Kota Cilegon adalah penolakan umat Islam
terhadap pendirian rumah ibadah umat kristiani yaitu gereja HKBP Maranatha
Cilegon.
Penelitian
ini bertujuan untuk menelaah penyebab terjadinya penolakan terhadap pembangunan
gereja HKBP Maranatha di Kota Cilegon. Dalam hal ini penelitian menyoroti kasus
tersebut dari sudut pandang regulasi dan moderasi
beragama. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk pengambilan keputusan
pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah tersebut.
METODE
Penelitian
dilakukan sejak Januari sampai Maret 2024. Penelitian ini menggunakan metode
studi kasus. Data dikumpulkan melalui kajian pustaka dan kajian regulasi.
Penelitian dilakukan dengan langkah pengumpulan data, reduksi dan kategorisasi
data, penarikan data dan merumuskan kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penolakan
Pembangunan Gereja HKBP Maranatha Cilegon
Fenomena
penolakan pembangunan gereja HKBP Maranatha di Kota Cilegon bermula sejak tahun
2006 dan merupakan masalah krusial yang harus segera ditindaklanjuti oleh
pemerintah daerah dan para stakeholder.
Penolakan dilakukan oleh umat Islam dengan alasan masih berlakunya Surat
Keputusan Bupati atau Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/ SK/1975, tertanggal 20 Maret 1975 tentang Penutupan
Tempat Jemaah bagi Agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang. Aturan tersebut
menyebutkan bahwa tidak dibenarkan berdirinya gereja dan/atau melakukan
sembahyang bagi jamaah agama Kristen pada umumnya beserta sekte-sekte yang ada
di dalamnya dalam wilayah hukum Kabupaten Serang kecuali di Kabupaten Serang.
Penolakan
pembangunan gereja di Kota Cilegon secara terus-menerus menimbulkan kegaduhan
dan gejolak masyarakat. Pada kasus ini terjadi kesenjangan sosial dan
diskriminasi pada umat beragama. Umat Kristiani merasa bahwa hak-hak beragama
terganggu karena tidak adanya rumah ibadah.
Tinjauan Regulasi
Dari
sudut pandang regulasi, Surat Keputusan Bupati atau Kepala Daerah Tingkat II
Serang Nomor 189/Huk/ SK/1975 sudah tidak memadai
lagi. Dari segi substansi keputusan di atas menunjukkan sikap diskriminatif dan
bertentangan dengan UUD 1945. Dari sudut pandang perundangan, peraturan daerah,
peraturan kepala daerah, dan peraturan kepala daerah yang bersifat
diskriminatif dapat dikenakan mekanisme pencabutan atau pembatalan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah, perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, Pasal 9 Ayat 1 dan
2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.
Penolakan
pembangunan gereja pernah diajukan kepada Pengadilan Negeri (PN) Serang oleh
salah satu akademisi berinisial (AM) dengan dalil gugatan dan putusannya yang
sudah dimuat dalam Putusan No.151/Pdt.G/2022/PN
Serang. Pada pokok dalil gugatannya, penggugat menegaskan bahwa adanya
kegaduhan dan gejolak penolakan masyarakat yang terjadi terus-menerus dan
perlunya dicabut kembali persetujuan pendirian gereja karena tidak terpenuhinya
syarat-syarat yang ditentukan dalam “Peraturan bersama Menteri Agama (Menag)
dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 Pasal 14 Ayat 2
Huruf a-d,”.
Di antara
syarat-syaratnya adalah pendirian rumah ibadah diwajibkan untuk melengkapi
syarat administrasi dan syarat teknis pendirian bangunan rumah ibadah. Selain
melengkapi persyaratan administratif dan teknis, pendirian rumah ibadah
diharuskan melengkapi persyaratan khusus di antaranya.
a.
Sekelompok
orang dan Kartu Tanda Penduduk dari jamaah tempat ibadah dengan jumlah minimum
90 (sembilan puluh) orang yang telah mendapatkan persetujuan dari pemimpin
daerah setara dengan batasan daerah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 13 Ayat
3;
b.
Persetujuan
dari masyarakat sekurang-kurangnya 60 (enam puluh) masyarakat dan mendapatkan
verifikasi dari Lurah/Kepala Desa setempat;
c.
Surat
Rekomendasi tertulis dari Kepala Kementerian Agama Tingkat Kabupaten/Kota; dan
d.
Surat
Rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tingkat
Kabupaten/Kota.
Selain
dalil gugatan Penggugat di atas, gugatan lainnya terkait dengan ucapan Menteri
Agama (Tergugat I) yang menjadi pemicu dan sumber terjadinya konflik, beliau
mengatakan "Tidak lagi terjadi konflik akibat perbedaan pilihan politik
yang menjadikan agama sebagai penyebab pertikaian, dan penolakan terhadap
pembangunan tempat ibadah, seperti yang terjadi pada gereja HKBP di Cilegon,
sudah tidak ada lagi. Saya ingin melaporkan kepada Pak Ephorus,
Pak Sekjen, dan seluruh staf di Cilegon bahwa di Kota Cilegon masih terdapat
penolakan terhadap pembangunan gereja HKBP oleh Walikota. Kami di Kementerian
Agama sudah berulang kali berupaya menyampaikan dan mendatangi Walikota agar
izin dapat segera dikeluarkan. Staf kami sudah melakukan pertemuan dengan Walikota
dua kali, dan rencananya, minggu depan saya sendiri akan datang jika izin
pendirian masih belum selesai”.
Pertimbangan
Majelis Hakim terhadap keterangan Tergugat I di atas, dengan tegas kembali
menegaskan, sesuai dengan eksepsi kompetensi absolut yang diajukan oleh HKBP
Cilegon (Tergugat II), Pengurus Pendiri HKBP Cilegon (Tergugat III), dan Ketua
Kementerian Agama Kota Cilegon (Terdakwa VI), bahwa sesuai dengan ketentuan
Pasal 25 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 1 Ayat 4, Pasal 2 Ayat 1, dan Pasal 11) dan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman
Penyelesaian Sengketa Perbuatan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili Perbuatan
Melawan Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad). Majelis Hakim berpendapat bahwa
Pengadilan Negeri Serang tidak mempunyai kewenangan mengadili, karena hal
tersebut merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN).
Putusan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang Nomor.151/Pdt.G/2022/PN
Srg. mengakui sahnya eksepsi yang diajukan (Tergugat I, Tergugat II, Tergugat
III, dan Turut Tergugat VI), mengenai kompetensi absolut. Selanjutnya Majelis
Hakim memutuskan bahwa “Pengadilan Negeri Serang tidak berwenang mengadili
gugatan tersebut dan memutuskan Penggugat harus membayar biaya perkara yang
telah ditetapkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang.” Dalam perkara ini,
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang kembali menegaskan bahwa perkara gugatan
Penggugat merupakan kewenangan mutlak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan
bukan kewenangan Pengadilan Agama Serang. Namun dalam konteks gugatan yang
diajukan Penggugat, Pengadilan Negeri Serang berpegang teguh pada asas kekuasaan
kehakiman dalam mengadili suatu perkara, sehingga hakim mana pun di lingkungan
peradilan tidak dibenarkan menolak memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara dengan alasan undang-undang tersebut tidak ada atau tidak jelas, namun
wajib memeriksa dan mengadilinya.
Kajian Moderasi
Agama
Istilah
"moderasi beragama" dalam bahasa Arab, yang
dikenal sebagai "Wasathiyyah"
memiliki makna penting untuk menekankan perlunya memprioritaskan “keadilan,
kesamarataan dan jalan tengah agar terhindar dari sikap keagamaan yang ekstrem
dan berlebihan”. Menurut Wahbah al-Zuhaili
dalam bukunya "Qadaya al-Fiqh wa al-Fikr
al-Mu’ashir", berpandangan dan berakhlak
moderat merupakan metode yang paling efektif untuk meningkatkan harmonisasi dan
kerukunan agar dapat mencapai tujuan yang inklusif dan moderat. Oleh karena
itu, Wasathiyyah dianggap sebagai manifestasi
dari kehormatan akhlak dan sifat mulia umat Islam.
وَكَذٰلِكَ
جَعَلْنٰكُمْ
اُمَّةً
وَّسَطًا
لِّتَكُوْنُوْا
شُهَدَاۤءَ
عَلَى النَّاسِ
وَيَكُوْنَ
الرَّسُوْلُ
عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
ۗ وَمَا
جَعَلْنَا
الْقِبْلَةَ الَّتِيْ
كُنْتَ
عَلَيْهَآ
اِلَّا لِنَعْلَمَ
مَنْ
يَّتَّبِعُ
الرَّسُوْلَ
مِمَّنْ
يَّنْقَلِبُ
عَلٰى
عَقِبَيْهِۗ
وَاِنْ كَانَتْ
لَكَبِيْرَةً
اِلَّا عَلَى
الَّذِيْنَ
هَدَى
اللّٰهُ
ۗوَمَا كَانَ
اللّٰهُ لِيُضِيْعَ
اِيْمَانَكُمْ
ۗ اِنَّ
اللّٰهَ
بِالنَّاسِ
لَرَءُوْفٌ
رَّحِيْمٌ
Maka
Kami jadikan kamu (Muslim) suatu kaum yang adil dan terpilih agar kamu menjadi
saksi (perbuatan) manusia dan agar Rasulullah (Muhammad) menjadi saksi
(perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menentukan kiblat itu menjadi kiblatmu (saat
ini) melainkan agar Kami mengetahui (agar jelas) siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang meninggalkannya. Dan sesungguhnya (memindahkan kiblat) itu sangat
sulit, kecuali bagi orang-orang yang telah mendapat petunjuk dari Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia.
Ciri
“Wasathiyyah” yang menekankan "jalan
tengah" antara Yudaisme (din al-’ilah) yang
menonjolkan ketegasan dan keadilan serta Kristen (din Al-Rahmah) yang
menonjolkan kasih sayang, menyatukan ketiganya menjadi agama yang memiliki
perilaku adil dan perilaku kasih sayang (din al-’ilah
wa al-rahmah).
Dalam
konteks realitas Indonesia kontemporer, moderasi
beragama/jalan tengah (wasathiyyah) dapat diamati
melalui empat parameter utama: komitmen nasional, hierarki toleransi, kontra
radikalisme dan non-kekerasan, serta ekspresi keagamaan yang sesuai dengan
budaya
Parameter
pertama terkait komitmen nasional menjadi semakin mendesak jika dilihat dalam
konteks munculnya berbagai paham keagamaan baru yang tidak selaras dengan
nilai-nilai dan budaya leluhur sebagai ciri khas nusantara. Secara khusus,
ideologi-ideologi baru ini terkadang mencoba mengadu domba ajaran agama dengan
budaya dan pemerintah. Sikap seperti ini sebenarnya tidak diperbolehkan,
mengingat negara melindungi setiap umat beragama untuk menjalankan ajaran
agamanya sesuai dengan keyakinannya masing-masing sebagaimana diatur dalam sila
pertama Pancasila dan UUD 1945.
Parameter
kedua, yaitu berhubungan dengan toleransi mencakup keunggulan individu,
golongan, komunitas, dan setiap orang untuk menunjukkan perilaku dan ekspresi
keagamaan yang mendukung keberagaman masyarakat. Dalam hal ini toleransi tidak
hanya menyangkut hubungan dalam agama yang sama dan antar agama lainnya, akan
tetapi juga mencakup toleransi dalam konteks sipil dan politik.
Parameter
ketiga, yaitu kontra kekerasan dan non-kekerasan, melibatkan sikap dan ekspresi
keagamaan yang seimbang dan sama rata. Parameter ini sebagai bentuk
penghormatan terhadap pemeluk agama yang berbeda dan bentuk kepatuhan setiap
masyarakat terhadap aturan yang berlaku dengan mengedepankan unsur kerukunan
dan kekeluargaan.
Parameter
keempat, yang terkait dengan ekspresi keagamaan dengan budaya lokal,
menggunakan indikator untuk mengukur sejauh mana pemahaman agama tertentu dapat
mendorong dialog dan adaptasi terhadap tradisi dan praktik budaya lokal.
Pemahaman keagamaan statis menunjukkan adanya kerelaan menerima praktik dan
perilaku yang tidak hanya berfokus pada kebenaran ragam keagamaan yang
normatif, tetapi juga melibatkan ragam keagamaan kontekstual yang positif.
Dari
sudut pandang moderasi beragama (wasathiyyah)
penolakan pembangunan gereja di Kota Cilegon sangat erat kaitannya dengan
parameter kedua yaitu toleransi. Toleransi di sini tidak hanya mencakup
keunggulan individu, golongan, komunitas, untuk menunjukkan sikap dan ekspresi
keagamaan yang mendukung keberagaman masyarakat, namun juga berkaitan dengan
hak sipil dan politik warga negara (civil right). Hak-hak tersebut wajib dihormati, dipenuhi dan
dilindungi oleh negara karena bersumber dari harkat dan martabat setiap manusia
dan berkaitan dengan nilai-nilai yang mendasari penghormatan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM).
Pada
intinya kebebasan sipil di Indonesia saat ini, sebagaimana terungkap dalam
laporan Freedom House, merupakan
permasalahan yang serius. Dalam dua tahun berturut-turut yakni pada tahun 2017
dan 2018, skor kebebasan sipil di Indonesia mencapai angka 4 (empat). Salah
satu akar masalah dari kurangnya kebebasan sipil adalah kurangnya perlindungan
terhadap kelompok minoritas. Beberapa lembaga hukum nasional yang telah
mengadopsi instrumen hak asasi manusia internasional tidak selalu mampu
memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak warga negara, termasuk
hak minoritas.
Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil)
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merilis data jumlah penduduk Kota Cilegon
tahun 2022, beragama Islam sebanyak 455,72 ribu jiwa (97,64%), dan beragama Kristen
sebanyak 7 ribu jiwa (1,54%), 1,82 ribu jiwa (0,4%) beragama Katolik, 1,68 ribu
jiwa (0,37%) beragama Budha, dan 244 jiwa (0,05%) beragama Hindu, serta 10 jiwa
(0,0%) penduduk beragama Konghucu.
Selain
dari kebutuhan untuk memenuhi hak-hak minoritas, tantangan ini juga jauh dari
makna tasamuh atau toleransi itu sendiri. Jika permasalahan ini
dikaitkan dengan sila Pancasila sebagai dasar negara, khususnya sila pertama
dan kelima yang menekankan ketuhanan Yang Maha Esa dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, maka keberagaman agama di Kota Cilegon harus
dihormati, termasuk di dalamnya adalah hak asasi manusia yaitu hak umat
Kristiani untuk memiliki tempat ibadah yaitu Gereja.
Sejak
permulaan penyebaran Islam di Banten, nilai-nilai kerukunan, toleransi, dan
keberagaman agama telah ditegakkan. Kerajaan Banten terkenal sebagai entitas
yang merangkul semua lapisan masyarakat dan keyakinan agama. Sebagai contoh,
keberadaan klenteng Tiongkok kuno yang didirikan pada masa pemerintahan Sunan
Gunung Djati mencerminkan pentingnya tempat ibadah tersebut yang tetap terjaga
dan dihargai sebagai bagian dari warisan budaya nasional.
Adanya
dua rumah ibadah yang saling berdampingan di Banten, yakni Masjid Agung Banten
dan Vihara Avalokitesvara
yang dibangun pada masa Syarif Hidayatullah yang merupakan tokoh penyebar Islam
di tanah Jawa menjadi nilai tersendiri bagi masyarakat Banten dalam memberikan
penguatan tentang toleransi beragama kepada masyarakat luas. Letak kedua rumah
ibadah yang berbeda dan saling berdekatan tersebut dapat disejajarkan dengan
Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta sebagai bentuk toleransi
beragama tingkat nasional.
KESIMPULAN
Berlakunya
Surat Keputusan Bupati Serang Nomor 189/Huk/SK/1975
seharusnya sudah dicabut karena pertama tidak memenuhi nilai-nilai kebebasan
beragama yang tertuang dalam undang-undang. Kedua peraturan yang dibuat oleh
Pemerintah kabupaten Serang tersebut kadaluwarsa karena Kota Cilegon telah
menjadi kota mandiri secara hukum berdasarkan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Kota
Cilegon sehingga. Selanjutnya penolakan pembangunan gereja di Kota Cilegon
ditinjau dari sudut pandang moderasi beragama (wasathiyyah) tidak sesuai dengan toleransi, ekspresi
keagamaan yang mendukung keberagaman masyarakat, hak sipil dan politik warga
negara (civil right).
Hal tersebut tidak memenuhi salah satu dari 4 (empat) indikator moderasi beragama yaitu nilai-nilai toleransi atau tasamuh
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berpegang teguh pada dasar
negara yaitu Pancasila, khususnya sila pertama dan kelima yang menekankan pada
ketuhanan Yang Maha Esa dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Penelitian
yang dilakukan oleh penulis ini masih jauh dari kata sempurna dan memerlukan
banyak kritik dan saran dari pihak terkait. Maka dari itu, penulis sangat
berharap untuk dapat dilakukan penelitian yang lebih luas terhadap penolakan
pembangunan rumah ibadah yang belum termaktub dalam penelitian ini dengan
meninjau langsung perspektif pihak-pihak terkait dalam penolakan pembangunan
rumah ibadah khususnya di Kota Cilegon.
DAFTAR PUSTAKA
Amar, A. (2018). Pendidikan Islam Wasathiyah ke-Indonesia-an. Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman, 2(1), 18–37.
https://doi.org/10.35309/alinsyiroh.v2i1.3330
Assyaukanie, L. (2018). Akar-Akar Legal
Intoleransi dan Diskriminasi di Indonesia. MAARIF, 13(2), 27–42.
https://doi.org/10.47651/mrf.v13i2.20
Azhari, M. T. (2012). Beberapa
Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam. Kencana Prenada Media Group.
Jajasan Penjelenggara Penterdjemah/Pentafsir Al-Qoeraan (1967) / Tim Penyempurnaan Terjemahan Al-Qur’an (2016-2019). (2019). Al-Qur’an
dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019. Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an.
Muhammad, A. (2020). Moderasi beragama dalam bingkai toleransi: Kajian Islam
dan keberagaman. Rusydiah, 143–145.
Muhammad, A., & Muryono, S.
(2021). Jalan Menuju Moderasi Modul Penguatan Moderasi Beragama Bagi Guru (A. Masykhur,
Ed.; 1st ed.). Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI .
Muhammad, N. (2023, June 12). Cilegon dan 9 Daerah Ini Jadi Kota Paling
Intoleran di Indonesia 2023.
Https://Databoks.Katadata.Co.Id/Datapublish/2023/06/12/Cilegon-Dan-9-Daerah-Ini-Jadi-Kota-Paling-Intoleran-Di-Indonesia-2023.
Nasution, A. S. (2023). STRATEGI
MEMBANGUN NILAI-NILAI TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA. Urnal Pendidikan Dasar Dan Sosial Humaniora,
2(1), 123–136.
Nugroho, M. A., & Ni’mah, K. (2018). Konsep Pendidikan Islam Berwawasan
Kerukunan pada Masyarakat Multikultural. Millah: Journal of Religious
Studies, 337–378.
https://doi.org/10.20885/millah.vol17.iss2.art8
Ruslan, I. (2020). Kontribusi Lembaga-Lembaga Keagamaan dalam Pengembangan Toleransi
Antar Umat Beragama di Indonesia. Arjasa
Pratama.
Wardati, L., Margolang, D., & Sitorus, S. (2023). Pembelajaran
Agama Islam Berbasis Moderasi Beragama: Analisis
Kebijakan, Implementasi dan Hambatan. Fitrah: Journal
of Islamic Education, 4(1),
175–187. https://doi.org/10.53802/fitrah.v4i1.196