NILAI PENDIDIKAN PROFETIK DALAM TRADISI

SEDEKAH SUKA-RELA PADA RITUS KEMATIAN MASYARAKAT DUSUN NUGUK KABUPATEN MELAWI KALIMANTAN BARAT

 

Wendi Parwanto*

Yuliana Antika**

Lika***

*UIN Sunan Kalijaga & IAIN Pontianak, Indonesia

**SDN 22 Tebing Karangan, Indonesia

***SDN 13 Popai, Indonesia

*E-mail: wendiparwanto2@gmail.com

**E-mail: yulianaantika@gmail.com

***E-mail: lika130798@gmail.com

 

Abstract

This study is motivated by the lack of studies on the death tradition in the Nuguk Hamlet community, Melawi Regency, West Kalimantan. Therefore, researchers will conduct further studies. This research focuses on the values of humanization, liberation, and transcendence in the tradition of voluntary almsgiving in the Nuguk hamlet community. The type of this research is field research with a case study model, namely a case study of Nuguk hamlet, Melawi district, West Kalimantan. They use descriptive analysis methods and map prophetic educational values ​​introduced by Kuntowojoyo, focusing on three main aspects: humanization, liberation, and transcendence. The object studied is voluntary alms in the death rites of the people of Nuguk Hamlet, Melawi Regency. The conclusion of this article explains that First, the humanization aspect is that the habit of voluntary almsgiving in the death rites of the Nuguk hamlet community is a form of concern between fellow communities so that it can strengthen the community's ties of togetherness and friendship. Second, in the aspect of liberation, voluntary alms assistance in death rites can at least minimize negative things in society, such as social jealousy, envy, and other harmful things. Third, the aspect of transcendence, in the normative-theological claim of religion, is that all worship performed sincerely will receive rewards from God. Likewise, in the habit of voluntary charity, there is hope of receiving a reward from Allah for the good things done.

Keywords: prophetic education, voluntary alms, Nuguk hamlet

 

Abstrak

Studi ini dilatarbelakangi minimnya kajian tentang tradisi kematian pada masyarakat Dusun Nuguk kabupaten Melawi Kalimantan Barat, apalagi dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan tertentu. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan studi lebih jauh. Fokus penelitian ini adalah bagaimana nilai-nilai humanisasi, liberasi dan transendensi dalam tradisi Sedekah Suka-Rela pada masyarakat dusun Nuguk. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan model studi kasus, yakni studi kasus dusun Nuguk kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Menggunakan metode deskriptif analisis, serta menggunakan pemetaan nilai-nilai pendidikan profetik yang digagas oleh Kuntowojoyo, yakni fokus pada tiga aspek utama: humanisasi, liberasi dan transendensi. Objek yang dikaji adalah sedekah suka-rela dalam ritus kematian masyarakat Dusun Nuguk, Kabupaten Melawi. Kesimpulan artikel ini menjelaskan bahwa: Pertama, aspek humanisasi bahwa kebiasaan sedekah suka-rela dalam ritus kematian masyarakat dusun Nuguk merupakan bentuk kepedulian antar sesama masyarakat, sehingga dapat mempererat jalinan kebersamaan dan silaturahmi warga. Kedua, aspek liberasi, bantuan sedekah suka-rela dalam ritus kematian setidaknya dapat meminimalisasi hal-hal negatif di kalangan masyarakat, misalnya kecemburuan sosial, sifat iri, dengki dan hal negatif lainnya. Ketiga, aspek transendensi, dalam klaim normatif-teologis agama, bahwa semua ibadah yang dilakukan dengan ikhlas akan mendapatkan ganjaran pahala dari Tuhan. Demikian juga pada kebiasaan sedekah suka-rela, bahwa ada harapan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah atas kebaikan yang dilakukan tersebut.

Kata Kunci: pendidikan profetik, tradisi kematian, sedekah suka-rela, Dusun Nuguk



 

PENDAHULUAN

   Indonesia adalah negara yang heterogen dan beragam, baik beragam dalam agama, ras, suku, budaya, bahasa, adat-istiadat termasuk keragaman dalam tradisi (Sagir & Hasan, 2021). Tidak sedikit tradisi yang masih dilestarikan di Indonesia, baik tradisi pernikahan, tradisi kelahiran anak atau keturunan, dan tradisi keagamaan lainnya termasuk tradisi kematian (Seise, 2021). Dalam tradisi kematian, setiap masyarakat di sebuah wilayah memiliki corak dan cirinya masing-masing sesuai dengan tujuan atau orientasi yang diinginkan serta pola pelaksanaan yang dilakukan.

Dalam tradisi kematian masyarakat Jawa misalnya, ada tradisi Brobosan yang bertujuan sebagai bentuk penghormatan dari pihak keluarga bagi keluarganya yang telah meninggal dunia yang dilakukan dengan cara merunduk di bawah keranda sebanyak 3 sampai 7 kali (Mufidah, 2022). Dalam tradisi kematian masyarakat Bugis Karangantu terdapat tradisi Mapasili dan Mattampung, secara umum tradisi ini bertujuan untuk memberikan rasa tenang kepada keluarga mayat yang sedang berduka serta memberikan rasa kepedulian sosial antar sesama (Iin Parningsih, 2021). Dalam tradisi kematian masyarakat Sumatera Utara dikenal tradisi Saur Metua, tradisi ini dilakukan jika orang yang meninggal dunia tersebut memiliki anak dan anak-anaknya tersebut sudah menikah dan terdapat pembagian khusus terhadap hewan yang disembelih kepada pihak-pihak tertentu (Sabeilai, Wilda Veronica, Isjoni, 2019).

Demikian juga dalam tradisi-tradisi kematian pada masyarakat pedalaman sungai Melawi di Kalimantan Barat, yakni masyarakat dusun Nuguk. Ada beberapa tradisi kematian yang umum dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti tradisi Sedekah Suka-rela, tradisi Berameh dan tradisi Yasin-Tahlilan. Dalam tradisi-tradisi tersebut, terdapat aspek-aspek menarik yang perlu dijelaskan lebih jauh, baik aspek pelaksanaan maupun aspek pemaknaan dari tradisi yang dilakukan.

Selanjutnya untuk melihat signifikansi dan kebaharuan kajian yang penulis lakukan, maka perlu mengeksplorasi beberapa kajian relevan tentang tradisi kematian. Kajian atau penelitian tentang tradisi kematian tentunya telah dilakukan oleh banyak peneliti dari berbagai aspek, dan tawaran teori, pendekatan serta analisis yang dilakukan.

Misalnya Lombok Hermanto Sihombing menulis tentang Rombu Solo dalam tradisi kematian masyarakat Toraja, Sihombing berkesimpulan bahwa meskipun dalam tradisi tersebut membutuhkan biaya yang besar dan cuku menakutkan, namun masyarakat tempat melakukannya secara turun-temurun (Sihombing, 2022). Abdul Manan dan M. Arifin menulis tentang tradisi kenduri kematian pada masyarakat Aceh, kesimpulan tulisan ini menjelaskan bahwa tradisi kenduri kematian merupakan akomodasi atau modifikasi dari tradisi pra-Islam, yang kemudian dimasukkan nilai-nilai Islam, sehingga tradisi ini dinilai baik dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Manan & Arifin, 2019).

Kemudian kajian tentang tradisi kematian di Kalimantan Barat juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antara Mahdi menulis tentang tradisi kematian pada masyarakat Melayu Sungai Raya Dalam, kabupaten Kubu Raya, kesimpulan dari tulisan ini menjelaskan bahwa dalam tradisi kematian masyarakat tersebut ada beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat seperti tradisi berkabung dan tahlilan (Mahdi, 2019). Ririn, dkk. meneliti tentang tradisi Tampir pada proses tradisi kematian Suku Dayak Taman Kapuas Kalimantan Barat. Kesimpulan kajian ini menjelaskan bahwa prosesi tradisi Tampir ini dilakukan dengan waktu yang cukup panjang mulai dari memberikan undangan kepada keluarga, kerabat dan warga, mengelilingi jenazah dengan tarian, makan, pemakaman dan kumpul keluarga (Ririn et al., 2021).

Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, maka kajian ini masih relatif berbeda, baik dari aspek lokus dan teori yang digunakan. Dengan demikian, maka pada studi ini fokus penelitian yang akan dikaji adalah tiga variabel utama dalam nilai pendidikan profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo, yakni: 1) Bagaimana nilai-nilai humanisasi dalam tradisi Sedekah Suka-Rela pada masyarakat dusun Nuguk; 2) Bagaimana nilai-nilai liberasi dalam tradisi Sedekah Suka-Rela pada masyarakat dusun Nuguk; dan 3) Bagaimana nilai-nilai transendensi dalam tradisi Sedekah Suka-Rela pada masyarakat dusun Nuguk Sehingga tujuan dari kajian ini akan menjawab tiga variabel tersebut.

 

METODE

   Penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan (field research) dengan model penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus adalah di antara bagian dari studi antropologi, yang menekankan pada aspek kajian perilaku, tradisi atau kebudayaan kemanusiaan, baik berupa individu ataupun sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu (Ramdhan, 2021).

   Kasus yang dikaji adalah ritus atau tradisi Sedekah Suka-Rela yang pada masyarakat dusun Nuguk, desa Tebing Karangan, kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, sebuah dusun yang ada di pedalaman Melawi. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah menggunakan deskriptif-analitis, yakni dengan mendeskripsikan data secara apa adanya lalu melakukan analisis dengan teori yang dianggap akomodatif dan representatif (Sugiyono, 2017).

Teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara non-terstruktur. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan untuk mudah mengembangkan pertanyaan yang diberikan serta lebih mudah membangun keakraban dengan narasumber. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dari tanggal 10-15 April tahun 2023 di Dusun Nuguk, Desa Tebing Karangan Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah beberapa tokoh yang dianggap kredibel dan representatif mengetahui tentang kasus yang diteliti model seperti diistilahkan dengan model pemilihan sumber dengan tipologi purposive sampling (Nanang Martono, 2011). Sumber primer dalam penelitian ini akan mewawancarai: 1) Bpk. Murni (Tokoh adat dan agama); 2) Ibu Siah (Tokoh adat dan tradisi); 3) Bapak Totot (Tokoh adat dan tokoh agama); 4) Bpk. Hengki (Tokoh adat dan agama); 5) Meli (Tokoh Agama) dan 6) Bpk. Umar (Tokoh agama). Yang dimaksud tokoh adat dan tradisi pada informan di atas adalah tokoh-tokoh yang terlibat langsung atau aktor langsung dalam tradisi yang dilakukan, sehingga mereka dianggap otoritatif secara informatif dalam tradisi yang dikaji. Sedangkan tokoh agama adalah mereka yang dianggap oleh masyarakat setempat mumpuni dari segi pengetahuan agama sehingga sering muncul dalam kegiatan ibadah dan keagamaan.

Adapun sumber data sekunder adalah sumber pendukung kredibel dan otoritatif relevan lainnya baik berupa literatur cetak maupun online yang dapat memperkuat konstruksi teoritis dan analisis yang dilakukan.

   Kajian ini akan menggunakan teori trilogi sosial profetik yang diintrodusir oleh Kuntowijoyo (2019). Umumnya aplikasi teori ini adalah dalam ranah pendidikan, namun kali ini akan coba diterapkan untuk memotret sebuah fenomena sosial keagamaan, khususnya pada ritus kematian dalam masyarakat pedalaman sungai Melawi, yakni masyarakat dusun Nuguk. Dalam trilogi sosial profetik Kuntowijoyo ada tiga variabel yang mesti dijelaskan dan tiga variabel ini muncul karena diilhami oleh Q.S. Ali Imran [3]: 110 yang menjelaskan tiga aspek utama, yakni amar ma’ruf (mengajak pada kebaikan), nahi munkar (mencegah keburukan) dan, tu’minunabillah (beriman kepada Allah), maka dalam pengistilahan Kuntowijoyo disebut dengan humanisasi, liberasi dan transendensi (Kuntowijoyo, 2019; Muammar et al., 2021).

Pertama, humanisasi; humanisasi adalah sebuah tindakan yang berimplikasi pada sifat ‘memanusiakan manusia’ artinya dalam praktiknya menghilangkan segala sekat perbedaan dan menerima keragaman sehingga memunculkan sikap saling peduli, saling kasih-mengasihi dan saling menghargai (Armet, 2022; Kuntowijoyo, 2019).

Kedua, liberasi; leberasi adalah sikap menolak segala bentuk keburukan, kekerasan, serta hal-hal yang menstimulasi timbulnya sesuai yang tidak baik (Kuntowijoyo, 2019; Nasar Lundeto;Syamsun Niam, 2022). Liberasi ini masih erat kaitannya dengan humanisasi sebelumnya bahwa dalam humanisasi adalah sebuah tindakan yang berusaha menciptakan kedekatan dan keakraban sehingga dalam liberasi menguatkan konseptual tersebut bahwa hal-hal yang bisa memicu tidak-akraban, tidak-baikan dan tidak-harmonisasian harus dihindari dan diminimalisasi.

Ketiga, Transendensi, humanisasi dan liberasi adalah dua konsep yang diciptakan oleh Kuntowijoyo dalam ranah horizontal, sedangkan konsep transendensi adalah suatu konsep secara vertikal. Artinya dalam realitas kehidupan manusia tidak bisa berlepas diri dari unsur transenden, yakni Tuhan. Selain realisasi keimanan kepada Tuhan dalam segala bentuk ritual ibadah, maka perilaku humanisasi dan liberasi adalah di antara upaya aksentuasi dari ketaatan atas perintah Tuhan yang diejewantahkan dalam realitas kehidupan (Anisa et al., 2021; Kuntowijoyo, 2019). Gambar 1 merupakan konsep trilogi sosial profetik Kontowijoyo dan relasi penerapannya dalam sebuah fenomena kasus.

Gambar 1 Ilustrasi Trilogi Pendidikan Profetik Kuntowijoyo

 

Berdasarkan Gambar 1, jika diaplikasikan dalam penelitian penulis, maka akan melihat aspek-aspek berikut: Pertama, melihat dan menjelaskan sifat dan perilaku masyarakat yang membentuk serta meninggikan nilai-nilai kemanusiaan (human velues) dalam sebuah tradisi atau kebiasaan yang dilakukan sehingga dengan perilaku tersebut membuat atau memotivasi keeratan dan keharmonisasian hubungan mereka. Kedua, melihat dan menjelaskan sifat dan perilaku masyarakat dalam upaya mereka menciptakan sebuah panoptiasi untuk menghindari atau meminimalisasi hal-hal yang dapat menimbulkan atau memotivasi terjadinya sesuatu yang buruk. Ketiga, adalah melihat dan menjelaskan implementasi perilaku mereka sebagai wujud keyakinan dan pengabdian mereka kepada Tuhan, yang biasanya diejewantahkan dengan bentuk amalan keagamaan dalam ritus yang mereka lakukan. Jadi, tiga variabel tersebut yang akan dilihat dan dianalisis dalam memotret kebiasaan Sedekah Suka-Rela pada tradisi kematian masyarakat dusun Nuguk, kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

 

HASIL DAN BAHASAN

Gambaran Umum Dusun Nuguk

a.        Geografis dan Demografis

Judul ini mengangkat dusun pedalaman karena akses ke dusun Nuguk masih terbilang terisolir, bisa menggunakan jalur air atau sungai dengan kapal kelotok (sebuah kapal terbuat dari bahan kayu dengan mesin diesel). Jika ditempuh menggunakan kapal kelotok, maka jarak tempuh ke dusun Nuguk bisa memakan waktu sekitar 4-5 jam perjalanan. Bisa menggunakan akses jalan darat, namun jalannya masih ‘tanah kuning’  sehingga jika musim hujan sangat sulit bahkan tidak bisa dilewati juga menggunakan mobil non-4 WD (Parwanto & Busyra, 2023; Tim Desa, 2012). Listrik di dusun tersebut juga baru-baru ini terpasang, namun tidak semua warga yang bisa merasakan listrik, karena kendala ekonomi. Dusun Nuguk merupakan dusun di bawah naungan desa Tebing Karangan, sebuah desa yang tergolong desa tertinggal di tahun 2020-2021, baru saat ini beralih menjadi desa berkembang. Secara geografis, dusun Nuguk berbatasan dengan sejumlah dusun dan desa, yakni di sebalah utara dengan desa Nanga Man, Selatan dengan dusun Otak Darat, Timur dengan dusun Otak Pantai dan Barat dengan dusun Tebing Karangan dan dusun Lahang.

Kemudian secara demografis, berdasarkan data terakhir jumlah Kepala Keluarga di dusun Nuguk adalah 162 Kepala Keluarga (KK). Tidak ditemukan data di dusun ataupun desa yang mencatat tentang jumlah laki-laki dan perempuan secara per dusun termasuk di dusun Nuguk (Pemerintahan Desa Tb. Karangan, 2022). 

 

b.           Pendidikan dan Sosial-Ekonomi

Terkait tingkat pendidikan, di dusun Nuguk masih tergolong rendah karena masih banyak anak-anak yang putus sekolah atau bahkan tidak mau bersekolah. Di antara faktor yang membuat minimnya minat dan semangat bersekolah di dusun tersebut adalah 1) Orientasi perilaku masyarakat, artinya bahwa barometer anak-anak di dusun tersebut masih mengacu pada perilaku pekerjaan orang tua mereka atau perilaku mayoritas masyarakat mereka bahwa dalam mindset mereka tidak perlu bersekolah, karena dengan tidak bersekolah pun sudah bisa bekerja sebagai petani atau penoreh getah (pohon karet) dan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh mereka tanpa harus dipelajari di bangku sekolah (Parwanto et al., 2022).

Memang ini umumnya dan normalnya pekerjaan bagi orang pedalaman yang terkadang hanya berbekal kebiasaan dan pengalaman; 2) Lemahnya ekonomi, tidak bisa dipungkiri bahwa meskipun gaung sekolah gratis sudah ada, namun tetap ada biaya-biaya yang mesti ditanggung oleh pihak keluarga yang menyekolahkan anaknya. Seperti biaya akomodasi kontrakan, kos, biaya makan dan biaya-biaya perlengkapan lainnya, maka ini juga menjadi faktor masih lemahnya tingkat pendidikan di dusun tersebut; 3) Jarak kampung dan lembaga pendidikan, untuk Sekolah Dasar (SD), anak-anak di dusun Nuguk harus bersekolah ke dusun Tebing Karangan yang jauhnya kurang lebih 1 Km dan akses serta kondisi jalanya mayoritas masih tanah kuning (belum di semen) (Parwanto, 2019; Pemerintahan Desa Tb. Karangan, 2022).

Jika hujan, anak harus becek-becekan tanpa sepatu untuk pergi ke sekolah bahkan jika musim hujan, tidak jarang anak-anak harus berenang menyeberangi jembatan yang banjir jika sampan tidak tersedia. Kemudian tingkat menengah pertama (SLTP), anak-anak harus bersekolah ke desa Nanga Man, yang mesti ditempuh melalui jalur sungai, terkadang menggunakan fasilitas speed boat desa juga tidak jarang anak-anak menggunakan sampan manual.

Lalu untuk jenjang menengah atas (SLTA/Sederajat), anak-anak harus bersekolah ke kecamatan Nanga Pinoh yang jarak tempuhnya sangat jauh dan ini yang menyebabkan anak-anak mesti tinggal di kecamatan mengontrak rumah atau kos. Jadi tiga faktor tersebut yang menyebabkan lemahnya tingkat pendidikan di dusun Nuguk, dan faktor-faktor ini umum terjadi pada masyarakat-masyarakat pedalaman (Parwanto, 2015; Pemerintahan Desa Tb. Karangan, 2022).

Kemudian dari aspek perekonomian, masyarakat dusun Nuguk mayoritas bekerja sebagai petani karet atau menoreh pohon getah. Baru sekitar di atas tahun 2000an ada di antara mereka yang bekerja sebagai penambang emas atau jadi buruh penambang emas. Namun, secara umum dan karena mayoritas penduduk di sana bekerja sebagai petani karet, maka keadaan ekonominya juga tidak stabil. Ini juga yang mempengaruhi masih rendah dan minimnya sumber daya manusia di dusun tersebut.

 

c.             Realitas Etnis dan Keagamaan

Terkait etnis, masyarakat di dusun Nuguk menyebut bahwa mereka beretnis Melayu. Dalam realitas masyarakat pedalaman, mereka umumnya mengenal dan membagi etnis mereka menjadi dua, yakni etnis Melayu dan Dayak. Etnis Melayu bagi masyarakat yang beragama Muslim atau Islam, sedangkan etnis Dayak diidentikkan bagi masyarakat yang non-Muslim. Di sisi lain, bahwa dalam etnis masyarakat pedalaman Melawi ada juga yang bisa disebut sebagai sub-etnis, misalnya sub-etnis Katab-Kebahan (orang Kebahan), sub-etnis Mengajom dan sub-etnis lainnya, dan sub-etnis ini biasanya menampakkan ciri khasnya masing-masing biasanya dalam bahasa maupun dalam budaya dan tradisi mereka, dan sub-etnis masyarakat dusun Nuguk adalah Kebahan atau Katab-Kebahan (Pemerintahan Desa Tb. Karangan, 2022).

Kemudian dari aspek keagamaan, masyarakat di dusun Nuguk semuanya beragama Islam. Di dusun tersebut juga terdapat satu buah masjid yang digunakan sebagai pusat keagamaan baik pelaksanaan Shalat, pembagian zakat fitrah, pembelajaran TPQ dan sejumlah kegiatan keagamaan lainnya. Dalam realitas keberagamaan masyarakat setempat memang ada beberapa hal yang cukup unik misalnya dalam pembayaran zakat fitnah, mereka membayarnya kepada orang yang dianggap punya kecocokan secara psikis dengan keyakinan bahwa jika membayar fitrah kepada orang tersebut dapat memberikan pengaruh baik bagi kehidupannya di kemudian hari.

Di sisi lain, penyaluran zakat fitrah juga dilakukan setelah shalat Ied bukan sebelumnya. Ini sekilas gambaran realitas tipologi keberagamaan masyarakat setempat. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal-hal semacam ini merupakan implikasi dari masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang keagamaan sehingga pola keagamaan dan cara-cara dalam keagamaan mereka masih mengakar dan mengekor pada pola keagamaan nenek moyang terdahulu (Pemerintahan Desa Tb. Karangan, 2022).

Demikian juga dalam tradisi dan budaya yang mereka lakukan, selain sebagai wujud tradisi atau budaya, juga terdapat selipan-selipan nuansa keagamaan atau keislaman dan balutan keyakinan dari nenek moyang mereka dalam tradisi dan budaya yang dilakukan. Ini lumrah ditemukan pada masyarakat pedalaman, termasuk pada masyarakat pedalaman sungai Melawi, yakni masyarakat dusun Nuguk. Dengan demikian, untuk mengeksplorasi lebih jauh bagaimana struktur nilai-nilai keagamaan dalam tradisi atau ritus pada masyarakat dusun Nuguk, maka akan dibahas lebih jauh dalam subbab berikut ini yang difokuskan pada ritus kematian dalam masyarakat setempat.

 

Deskripsi Sedekah Suka-Rela dalam Tradisi Kematian Pada Masyarakat Dusun Nuguk

Memberikan sedekah kematian atau Sedekah Suka-Rela kepada keluarga yang berduka biasanya dilakukan oleh warga dusun Nuguk saat mendengar kabar adanya warga yang meninggal dunia, maka masyarakat berbondong-bondong datang ke rumah duka dengan membawa beras sebanyak dua canting, satu bungkus garam, satu buah kelapa dan biasanya juga ditambah uang seikhlasnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Murni tokoh agama masyarakat setempat:

Biaso e kalau ado urang mati di sekita kampong tuk yang dampin dapat nguang e biaso masyarakat maik kaban boras, garam, nyio nyok am yang palen banyak e, tapi nok wajeb, seiklas e ke mantuk-mantuk dan setidak e ngibo hati keluarga yang losi(Terjemahan: Biasanya kalau ada warga yang meninggal dunia di sekitar kampung ini yang terjangkau kampungnya bisa di datangi, maka masyarakat membawa beras, garam dan kelapa sebagai bentuk sedekah suka-rela yang ini tidak diwajibkan, seikhlasnya saja dengan tujuan untuk membantu atau upaya menghibur hati pihak keluarga yang sedang berduka” (Wawancara dengan Murni, 10 April 2023).

 

Apa yang disampaikan oleh Murni di atas senada dengan yang disampaikan oleh Siah tokoh ada di Dusun Nuguk. Namun Siah menambahkan lebih jauh tujuan dari sedekah yang diberikan tersebut:

Aok inok ko makso urang kelah ke maik boras atau laen e. Tapi yang palen banyak maik boras, kalau kolo duet, nyio dan garam aok ado am, tapi nok ko semua, maik segalo berono tuk nok laen, ke mantuk keluargo yang mati e, misal mantuk e berowoh e, sampai nujoh hari, kadang ado dok berameh an, jadi bebantuk am (Terjemahan: Tidak ada paksaan bagi warga harus membawa beras dan lainnya, tetapi memang yang paling banyak adalah membawa sedekah beras, dari pada dalam bentuk untuk uang, buah kelapa tua dan garam. Tujuan dari pemberian sedekah suka rela ini adalah untuk membantu keluarga yang berduka tersebut baik dalam acara tahlilan dan yasinan sampai hari ketujuh bahkan juga memberikan jamuan bagi mereka yang menginap di rumah duka) (Wawancara dengan Siah, 10 April 2023).

Berdasarkan penuturan Siah di atas, Siah menambahkan bahwa termasuk di antara tujuan pemberian Sedekah Suka-Rela adalah untuk membantu keluarga yang berduka misalnya dalam acara tahlilan dan yasinan di rumah orang yang berduka tersebut yang umumnya dilakukan selama tujuh malam. Demikian yang disampaikan oleh Totot:

Biaso e malam pertamo sampai ketujoh e ado yasin dan tahlel di laman keluargo orang yang losi, tapi biaso rong kito tuk lopas maghreb maco yasin baru malam ketigo e tahlel, malam keempat sampai keenam maco yasin gono am lopas maghreb, dah yok malam ketujoh baru tahlel lagi’ (Terjemahan: Biasanya malam pertama sampai malam ketujuh di rumah yang berduka melakukan yasinan dan tahlilan, prosesi pelaksanaannya malam kesatu dan kedua hanya dilakukan pembacaan yasinan setelah maghrib, malam ketiga dilakukan pembacaan tahlil. Kemudian malam keempat sampai keenam dilakukan yasinan lagi setelah maghrib, lalu malam ketujuh tahlil kembali (Wawancara dengan Totot, 13 April 2023).

Berdasarkan narasi yang diungkapkan oleh Totot di atas bahwa tradisi yasinan dan tahlilan ini umum dilakukan di Indonesia. Secara tujuan boleh jadi sebagai upaya mendoakan arwah orang yang telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Hengki tokoh agama di Dusun Nuguk:

Lopas dari sampai atau inok do’o yang dibaco, baet berupo yasin atau tahlel, tapi yok am betok usaho kito sebagai keluargo e di dunio, jadi acaro yasin dan tahlel tuk nok wajeb ngunang warga, kalau orang e kurang mampu, nok kelah ado jamuan am, dan yasin tahlel tuk pun panai dibaco pihak keluargo gono am nok kelah dengan ado orang ramai” (Terjemahan: terlepas dari sampai atau tidaknya doa yang dipanjatkan kepada arwah yang meninggal dunia karena itu perkara gaib, namun itulah bentuk usaha yang bisa dilakukan oleh pihak keluarga bagi keluarganya yang telah meninggal. Acara yasinan dan tahlilan inipun tidak bersifat wajib untuk mengundang warga, dan kalau ada keluarga yang bedukan kurang mampu maka tidak perlu ada jamuan. Yasin dan tahlil ini bisa dibaca oleh keluarga yang berduka saja tanpa harus dengan orang ramai” (Wawancara dengan Hengki, 13 April 2023).

 

Selain sejumlah argumentasi para informan di atas, Meli (15 April 2023) selaku tokoh agama setempat juga menuturkan bahwa tujuan dari Sedekah Suka-Rela bagi keluarga yang berduka adalah:  1) sebagai upaya kepedulian antar sesama warga apalagi saat ditimpa musibah atau cobaan; 2) untuk sedikit membantu meringankan beban pengeluaran pihak keluarga yang beduka dalam melaksanakan acara yasinan dan tahlilan; 3) sebagai bentuk upaya simpati dengan rasa simpati yang diberikan – bukan hanya berupa materi setidaknya akan menghibur hati pihak keluarga yang sedang berduka; dan 4) setidaknya dengan Sedekah Suka-Rela yang diberikan akan meminimalisasi kecemburuan sosial antar sesama dan mempererat kekerabatan antar warga karena diperlakukan secara adil dan merata.

Umar sebagai tokoh agama setempat juga memberikan komentar bahwa dalam tradisi Sedekah Suka-Rela selain mengandung nilai-nilai positif dalam aspek sosial, juga bernilai ibadah dari aspek agama:

Sebena e tradisi sedekoh seperelo e tuk banyak hal baet e bukan baet dalam sesamo jok, tapi baet dari segi agamo, karno orang yang morik atau besedekoh dalam Islam akan diborik pahalo dari Tuhan, dan dalam Islam pun banyak nyuruh umat e untuk rajin besedekoh(Terjemahan: Sebenarnya dalam tradisi Sedekah Suka-Rela ini mengandung banyak nilai-nilai kebaikan, termasuk nilai kebaikan dalam norma agama, karena dalam keyakinan umat Islam orang yang gemar bersedekah akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Dan dalam ajaran Islam, sangat menganjurkan umatnya untuk gemar bersedekah (Wawancara dengan Umar,15 April 2023).

 

Selain argumentasi Umar di atas, Murni juga menambahkan bahwa dalam kebiasaan tradisi Sedekah Suka-Rela ini selain harapan mendapatkan pahala dari Allah juga setidaknya ada ganjaran pahala yang lain yang didapatkan, yakni ganjaran pahala bagi orang-orang yang ikhlas menolong dan membantu sesama saat tetangga atau warga sedang dalam kesusahan atau tertimpa musibah. Termasuk juga mengandung pahala menyambung atau mempererat jalinan tali silaturahmi antar sesama (Murni, 10 April 2023).

Berdasarkan deskripsi tentang Sedekah Suka-Rela pada tradisi kematian di Dusun Nuguk, maka ringkasnya dapat penulis sajikan dalam Tabel 1.


 

Tabel 1 Deskripsi tradisi Sedekah Suka-Rela di Dusun Nuguk

Tradisi

Lokasi

Waktu pelaksanaan

Material

Tuntutan

Tujuan/Esensial

Sedekah Suka-Rela dalam tradisi Kematian

Dusun Nuguk, Kabupaten Melawi Kalimantan Barat

Saat ada warga yang meninggal dunia

Membawa beras umumnya dua canting, garam satu bungkus, buah kelapa dan uang (seikhlasnya)

Bukan kebiasaan yang bersifat wajib, namun bersifat pilihan bagi siapa yang mau

-       Bentuk kepedulian antar sesama

-       Upaya membantu keluarga yang berduka

-       Bentuk simpati upaya menghibur hati keluarga yang berduka

-       Meminimalisir kecemburuan sosial antar warga.

-       Mendapatkan ganjaran pahala dari ibadah sedekah

-       Mendapatkan pahala dari sikap menolong orang lain yang sedang kesusahan; dan

-       Mendapatkan pahala karena berupaya mempererat jalinan silaturahmi.

 


Nilai Pendidikan Profetik dalam Tradisi Sedekah Suka-Rela Pada Masyarakat Dusun Nuguk

Sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya bahwa dalam trilogi pendidikan profetik terdapat tiga aspek yang perlu dijelaskan, yakni aspek transendensi, humanisasi dan liberasi. Ketiga aspek ini yang akan digunakan untuk memetakan perilaku masyarakat dalam tradisi Sedekah Suka-Rela pada masyarakat Dusun Nuguk, kabupaten Melawi.

Pertama, aspek humanisasi; adalah sebuah tindakan yang berimplikasi pada sifat ‘memanusiakan manusia’ artinya dalam praktiknya menghilangkan segala sekat perbedaan dan menerima keragaman sehingga memunculkan sikap saling peduli, saling kasih-mengasihi dan saling menghargai (Alfred, 2018; Kuntowijoyo, 2019).

Berdasarkan definisi tersebut, maka terlihat dalam tradisi Sedekah Suka-Rela pada saat ada warga yang meninggal dunia di masyarakat Dusun Nuguk mengakomodir nilai-nilai aspek humanisasi. Misalnya menunjukkan bentuk perilaku iba atau perhatian kepada keluarga atau warga yang ditimpa musibah serta cobaan, juga sebagai bentuk menyetarakan manusia dalam status sosialnya. Sehingga siapa pun yang ditimpa musibah, bencana dan cobaan, termasuk misalnya musibah kematian, maka masyarakat tetap memberikan santunan dan bantuan dengan suka rela kepada orang tersebut. Tidak pandang apakah keluarga yang meninggal tersebut tergolong orang kaya dan berada ataupun orang yang kurang mampu, semuanya diberikan bantuan jika keluarganya meninggal dunia.. 

Kedua, aspek liberasi; leberasi adalah sikap menolak segala bentuk keburukan, kekerasan, serta hal-hal yang menstimulasi timbulnya sesuai yang tidak baik (Kuntowijoyo, 2019; Saputra, 2020). Dalam tradisi Sedekah Suka-Rela, memberikan santunan dan bantuan berupa sedekah semampunya kepada keluarga atau warga yang meninggal dunia, tradisi atau perilaku ini menunjukkan bahwa masyarakat menghendaki kearaban dan rasa kebersamaan. Sehingga dengan adanya tradisi atau kebiasaan memberikan Sedekah Suka-Rela ini dengan tanpa melihat status sosial orang yang sedang berduka tersebut, maka merepresentasi perilaku penolakan terdapat pengkotak-kotakan strata sosial dalam realitas masyarakat.

Di sisi lain, tradisi sedekah suka rela ini juga melegalisasikan sikap kesenasiban dan menghindari kecemburuan dalam kehidupan kemasyarakatan. Karena jika sedekah ini hanya diperuntukkan bagi kelompok atau individu tertentu, maka pasti akan memunculkan kecemburuan sosial. Pada masyarakat pedalaman atau pedesaan, umumnya kearaban dan keharmonisasian sangat dijunjung tinggi, sehingga strata sosial, misalnya antara orang mampu dan kurang mampu dipandang sama rata. Oleh karena itu, baik dari keluarga orang mampu ataupun dari keluarga yang kurang mampu, jika mereka mendapat musibah keluarga meninggal dunia, tetap diberikan atau mendapatkan bantuan atau sedekah suka rela dari masyarakat.

Ketiga, aspek transendensi; aspek ini merupakan perwujudan hubungan vertikal manusia kepada Allah. Artinya dalam realitas kehidupan dan perbuatan manusia tidak bisa berlepas diri dari unsur transenden, yakni Tuhan (Kuntowijoyo, 2019). Demikian juga dalam tradisi Sedekah Suka-Rela pada ritus kematian di masyarakat Dusun Nuguk. Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam deskripsi di atas bahwa di antara keyakinan masyarakat di Dusun Nuguk bahwa sedekah yang mereka berikan selain sebagai penguatan relasi sosial juga mengakomodir nilai-nilai teologis berdasarkan keyakinan normatif agama yang mereka anut. Dengan melakukan atau memberikan sedekah kepada orang lain, hal tersebut adalah perilaku positif yang dalam klaim teologis Islam akan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Swt. Di samping itu, bukan hanya pahala sedekahnya saja, dalam tradisi Sedekah Suka-Rela sama dengan kita membantu atau menolong warga yang sedang kesusahan atau sedang ditimpa musibah, maka dari itu Islam juga menaruh perhatian penting bagi orang-orang yang gemar membantu sesama apalagi membantu orang-orang yang membutuhkan atau lagi dalam musibah.

Selain itu, dalam tradisi Sedekah Suka-Rela juga mengandung nilai-nilai positif sebagai penguat relasi sosial antar sesama. Maka dalam Islam, mempererat jalinan persaudaraan antar sesama disebut dengan istilah silaturahmi, sehingga dengan sedekah yang diberikan masyarakat di Dusun Nuguk telah berupaya menerapkan nilai-nilai Islam, yakni mempererat jalinan tali silaturahmi antar sesama. Oleh karena itu, dalam normatif agama Islam, orang yang memperbaiki atau mempererat jalinan silaturahmi akan diberikan pahala oleh Allah Swt. Jadi, dalam tradisi Sedekah Suka-Rela ini selain mengakomodir nilai-nilai sosial secara horizontal antara sesama, juga mengakomodir nilai-nilai kesalehan individual secara vertikal antara individu dan Tuhannya. Sehingga selain kebaikan sosial yang didapatkan, juga ada harapan ganjaran pahala yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap individu yang melakukan kebajikan sesuai dengan tuntunan agama yang dianutnya. 

Dengan demikian, untuk memudahkan pemahaman tentang aspek humanisasi, liberasi dan transendensi dalam tradisi Sedakah Suka-Rela pada ritus kematian di Dusun Nuguk, maka perhatikan pemetaan pada Tabel 2.


 

Tabel 2 Struktur Pendidikan Profetik dalam Tradisi Sedekah Suka-Rela pada Ritus Kematian Masyarakat di Dusun Nuguk

Trilogi Profetik

Tradisi

Bentuk Aksentuasi

Orientasi

Humanisasi

Sedekah Suka-Rela

 

Memberikan sedekah seadanya yang biasanya dengan memberikan satu buah kelapa tua, satu canting beras, satu bungkus garam dan biasanya ditambah uang seikhlasnya.

Mempererat jalinan tali silaturahmi antar warga serta upaya untuk menciptakan keharmonisasian sosial-keagamaan.

Liberasi

Menolak dan meminimalisasi terjadinya gejolak serta kecemburuan sosial dan kesenjangan sosial antar warga.

Transendensi

Harapan mendapatkan ganjaran pahala dari Tuhan karena telah melakukan perilaku baik dengan melakukan atau memberikan sedekah dan kebaikan dalam menjaga keharmonisasian antar sesama. 

 


Jadi, dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa aspek transendensi ini orientasinya adalah harapan yang bertumpu kepada Allah sebagai Zat yang diyakini kekuasaan-Nya. Sedangkan aspek humanisasi dan liberasi, muara orientasinya adalah harapan terciptanya keharmonisasian dan ketenteraman dalam ruang sosial. Di sisi lain, orientasi ketercapaian yang diinginkan pada aspek transendensi, khususnya dalam Sedekah Suka-Rela pada ritus kematian masyarakat Dusun Nuguk adalah bantuan dan pertolongan Allah bagi orang yang meninggal.

Sedangkan orientasi ketercapaian yang diinginkan dalam aspek humanisasi dan liberasi adalah kesinambungan sikap dan sifat kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, sebenarnya ketiga aspek tersebut saling berkaitan hanya saja terdapat penekanan masing-masing. Misalnya untuk meminimalisasi kecemburuan dan menolak kesenjangan sosial, maka upaya yang dilakukan dengan saling bantu-membantu (humanisasi dan liberasi). Sedangkan implikasi dari perbuatan baik tersebut bukan hanya kebaikan dalam tatanan sosial saja yang didapatkan, tetapi juga ganjaran pahala dari Tuhan sebagaimana klaim teologis dalam keyakinan umat Islam karena telah melakukan kebaikan sesuai yang diajarkan dalam normatif agama, maka balasan dari kebaikan tersebut adalah pahala (transendensi).

 

KESIMPULAN

Berdasarkan fokus masalah dan analisis yang telah dilakukan, penulis memberikan kesimpulan: Pertama, aspek humanisasi bahwa kebiasaan sedekah suka-rela dalam ritus kematian masyarakat dusun Nuguk merupakan bentuk kepedulian antar sesama masyarakat, sehingga dapat mempererat jalinan kebersamaan dan silaturahmi warga. Kedua, aspek liberasi, bantuan sedekah suka-rela dalam ritus kematian setidaknya dapat meminimalisasi hal-hal negatif di kalangan masyarakat, misalnya kecemburuan sosial, sifat iri, dengki dan hal negatif lainnya. Ketiga, aspek transendensi, dalam klaim normatif-teologis agama, bahwa semua ibadah yang dilakukan dengan ikhlas akan mendapatkan ganjaran pahala dari Tuhan. Demikian juga pada kebiasaan sedekah suka-rela, bahwa ada harapan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah atas kebaikan yang dilakukan tersebut.


 


DAFTAR PUSTAKA

Alfred. (2018). Hubungan Sains dan Agama Perspektif Kuntowijoyo. Al-Aqidah, 10(2), 10–27.

Anisa, R., Soraya, S. Z., & Nurdahlia, D. U. (2021). Konsep Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam. Kuttab: Ilmu Pendidikan Islam, 05(02), 93–99.

Armet, dkk. (2022). Element Prophetic in the Novel Kubah By Ahmad Tohari. Magistra Andalusia, 4(1), 9–16.

Iin Parningsih. (2021). Eksplorasi Tradisi Mattampung Masyarakat Bugis dalam Kajian Living Qur’an: Studi Desa Barugae Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Pappasang, 3(2), 64–84.

Kuntowijoyo. (2019). Maklumat Sastra Profetik. DIVA Press.

Mahdi, M. (2019). The Death Tradition of Malay Communities of Sungai Raya Dalam Vilage, West Kalimantan. Khatulistiwa, 8(2), 5. https://doi.org/10.24260/khatulistiwa.v8i1.1205

Manan, A., & Arifin, M. (2019). Cultural Traditions in Death Rituals Within the Community of Pidie, Aceh, Indonesia. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 43(1), 130. https://doi.org/10.30821/miqot.v43i1.670

Muammar, A., Marhaban, Miswari, M., & Nasution, I. F. A. (2021). Kuntowijoyo’s Social Prophetics and The Theological Paradigms in Islam. Al-Ulum, 21(2), 362–387. https://doi.org/10.30603/au.v21i2.2274

Mufidah, M. (2022). Javanese Islamic Tradition of Death. Warisan: Journal of History and Cultural Heritage, 3(2), 58–64. https://doi.org/10.34007/warisan.v3i2.1519

Nanang Martono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif. Rajawali.

Nasar Lundeto;Syamsun Niam. (2022). Paradigma Islam Profetik (Melacak Nilai-Nilai Moderasi Beragama Dalam Pemikiran Kuntowijoyo). Farabi, 19(02), 106–131.

Parwanto, W. (2015). Kajian Living Al-Hadits atas Tradisi Shalat Berjamaah Mahgrib-Isya` Di Rumah Duka 7 Hari. Al-Hikmah, 13(2), 51–64.

Parwanto, W. (2019). KONTESTASI ANTARA TEKS DAN REALITAS SOSIAL: SAKRALITAS AMIL ZAKAT DI DUSUN NUGUK , KABUPATEN MELAWI. Fikri: Jurnal Kajian Agama , Sosial Dan Budaya, 4(1).

Parwanto, W., & Busyra, S. (2023). Reading Tradition in Informative and Symbolic Theory: The Case of Robo-Robo Tradition in Nuguk Hamlet , Melawi District , West Kalimantan. Kawalu: Journal of Local Culture, 10(2), 29–50.

Parwanto, W., Sahri, S., Busyra, S., Riyani, R., & Nadhiya, S. (2022). Religious Harmonization on Ethno-Religious Communities of Muslim and Dayak Katab-Kebahan in Tebing Karangan Village, Melawi District, West Kalimantan. Harmoni, 21(2), 184–200. https://doi.org/10.32488/harmoni.v21i2.638

Pemerintahan Desa Tb. Karangan. (2022). Mading Desa. Pemerintahan Desa.

Ramdhan, M. (2021). Metode Penelitian. Cipta Media Nusantara.

Ririn, O. S., Darmawan, D. R., & Efriani, E. (2021). Tampir sebagai Ritual Peralihan dalam Upacara Kematian pada Suku Dayak Taman Kapuas di Kalimantan Barat. Ideas: Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Budaya, 7(4), 183. https://doi.org/10.32884/ideas.v7i4.503

Sabeilai, Wilda Veronica, Isjoni, T. (2019). Andung Tradition in Death Ceremony Saur Matua Batak Toba in Palas Society Urban Village Pekanbaru. JOM, 6(2), 1–11.

Sagir, A., & Hasan, M. (2021). The Tradition Of Yasinan In Indonesia. Khazanah: Jurnal Studi Islam Dan Humaniora, 19(2), 203–222. https://doi.org/10.18592/khazanah.v19i2.4991

Saputra, K. D. (2020). Memasyarakatkan Kesalehan (Dimensi Tasawuf dalam Etika Sosial Profetik Kuntowijoyo). ABHATS: Jurnal Islam Ulil Albab, 1(2), 317–325.

Seise, C. (2021). Dying a Good Death: Indonesian Rituals and Negotiations About the End of Life. International Journal of Islam in Asia, 1(2), 168–190. https://doi.org/10.1163/25899996-bja10014

Sihombing, L. H. (2022). Rituals and Myths at the Death Ceremony of the Toraja People: Studies on the Rambu Solo Ceremony. Satwika: Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan Sosial, 6(2), 351–365. https://doi.org/10.22219/satwika.v6i2.22785

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Alfabeta.

Tim Desa. (2012). Buku Pedoman Desa Tebing Karangan. Desa Tebing Karangan.