NILAI
PENDIDIKAN PROFETIK DALAM TRADISI
SEDEKAH SUKA-RELA PADA RITUS KEMATIAN MASYARAKAT DUSUN
NUGUK KABUPATEN MELAWI KALIMANTAN BARAT
Wendi Parwanto*
Yuliana
Antika**
Lika***
*UIN Sunan Kalijaga
& IAIN Pontianak, Indonesia
**SDN 22 Tebing Karangan, Indonesia
***SDN 13 Popai, Indonesia
*E-mail:
wendiparwanto2@gmail.com
**E-mail: yulianaantika@gmail.com
***E-mail: lika130798@gmail.com
Abstract
This study is motivated
by the lack
of studies on the death
tradition in the Nuguk Hamlet community,
Melawi Regency, West Kalimantan. Therefore,
researchers will conduct further studies. This research
focuses on the values of
humanization, liberation, and transcendence in the tradition of
voluntary almsgiving in the Nuguk hamlet
community. The type of this research
is field research with a case study model, namely a case study of Nuguk
hamlet, Melawi district, West Kalimantan. They use descriptive analysis methods and map prophetic educational values introduced by
Kuntowojoyo, focusing on three main aspects:
humanization, liberation, and transcendence. The object studied is voluntary alms
in the death rites of the
people of Nuguk Hamlet, Melawi Regency. The
conclusion of this article explains
that First, the humanization aspect is that the
habit of voluntary almsgiving in the death rites
of the Nuguk
hamlet community is a form of
concern between fellow communities so that it
can strengthen the community's ties of togetherness
and friendship. Second, in the aspect of liberation,
voluntary alms assistance in death rites can at
least minimize negative things in society, such as social jealousy, envy, and other
harmful things. Third, the aspect
of transcendence, in the normative-theological claim of religion,
is that all
worship performed sincerely will receive rewards from God. Likewise,
in the habit of voluntary charity,
there is hope of receiving
a reward from Allah for the good
things done.
Keywords: prophetic education, voluntary alms, Nuguk hamlet
Abstrak
Studi ini dilatarbelakangi
minimnya kajian tentang tradisi kematian pada masyarakat Dusun Nuguk kabupaten Melawi Kalimantan Barat, apalagi dikaitkan
dengan pendekatan-pendekatan tertentu. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan
studi lebih jauh. Fokus penelitian ini adalah bagaimana nilai-nilai humanisasi,
liberasi dan transendensi dalam tradisi Sedekah
Suka-Rela pada masyarakat dusun Nuguk. Jenis
penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan model studi kasus, yakni studi
kasus dusun Nuguk kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.
Menggunakan metode deskriptif analisis, serta menggunakan pemetaan nilai-nilai
pendidikan profetik yang digagas oleh Kuntowojoyo,
yakni fokus pada tiga aspek utama: humanisasi, liberasi dan transendensi. Objek yang dikaji adalah sedekah
suka-rela dalam ritus kematian masyarakat Dusun Nuguk,
Kabupaten Melawi. Kesimpulan artikel ini menjelaskan bahwa: Pertama,
aspek humanisasi bahwa kebiasaan sedekah suka-rela dalam ritus kematian
masyarakat dusun Nuguk merupakan bentuk kepedulian
antar sesama masyarakat, sehingga dapat mempererat jalinan kebersamaan dan
silaturahmi warga. Kedua, aspek liberasi, bantuan sedekah suka-rela dalam
ritus kematian setidaknya dapat meminimalisasi
hal-hal negatif di kalangan masyarakat, misalnya kecemburuan sosial, sifat iri,
dengki dan hal negatif lainnya. Ketiga, aspek transendensi,
dalam klaim normatif-teologis agama, bahwa semua ibadah yang dilakukan dengan
ikhlas akan mendapatkan ganjaran pahala dari Tuhan. Demikian juga pada
kebiasaan sedekah suka-rela, bahwa ada harapan mendapatkan ganjaran
pahala dari Allah atas kebaikan yang dilakukan tersebut.
Kata Kunci: pendidikan profetik, tradisi kematian, sedekah
suka-rela, Dusun Nuguk
PENDAHULUAN
Indonesia
adalah negara yang heterogen dan beragam, baik beragam dalam agama, ras, suku,
budaya, bahasa, adat-istiadat termasuk keragaman dalam tradisi
Dalam tradisi kematian masyarakat Jawa
misalnya, ada tradisi Brobosan yang
bertujuan sebagai bentuk penghormatan dari pihak keluarga bagi keluarganya yang
telah meninggal dunia yang dilakukan dengan cara merunduk di bawah keranda
sebanyak 3 sampai 7 kali
Demikian juga dalam tradisi-tradisi kematian
pada masyarakat pedalaman sungai Melawi di Kalimantan Barat, yakni masyarakat
dusun Nuguk. Ada beberapa tradisi kematian yang umum
dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti tradisi Sedekah Suka-rela, tradisi
Berameh dan tradisi Yasin-Tahlilan. Dalam
tradisi-tradisi tersebut, terdapat aspek-aspek menarik yang perlu dijelaskan
lebih jauh, baik aspek pelaksanaan maupun aspek pemaknaan dari tradisi yang
dilakukan.
Selanjutnya untuk melihat signifikansi dan
kebaharuan kajian yang penulis lakukan, maka perlu mengeksplorasi beberapa
kajian relevan tentang tradisi kematian. Kajian atau penelitian tentang tradisi
kematian tentunya telah dilakukan oleh banyak peneliti dari berbagai aspek, dan
tawaran teori, pendekatan serta analisis yang dilakukan.
Misalnya Lombok Hermanto Sihombing menulis
tentang Rombu Solo dalam tradisi
kematian masyarakat Toraja, Sihombing berkesimpulan bahwa meskipun dalam
tradisi tersebut membutuhkan biaya yang besar dan cuku menakutkan, namun
masyarakat tempat melakukannya secara turun-temurun
Kemudian kajian tentang tradisi kematian di
Kalimantan Barat juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antara Mahdi
menulis tentang tradisi kematian pada masyarakat Melayu Sungai Raya Dalam,
kabupaten Kubu Raya, kesimpulan dari tulisan ini menjelaskan bahwa dalam
tradisi kematian masyarakat tersebut ada beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh
keluarga dan masyarakat seperti tradisi berkabung dan tahlilan
Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya,
maka kajian ini masih relatif berbeda, baik dari aspek lokus dan teori yang
digunakan. Dengan demikian, maka pada studi ini fokus penelitian yang akan
dikaji adalah tiga variabel utama dalam nilai pendidikan profetik yang digagas
oleh Kuntowijoyo, yakni: 1) Bagaimana nilai-nilai
humanisasi dalam tradisi Sedekah Suka-Rela pada masyarakat dusun Nuguk; 2) Bagaimana nilai-nilai liberasi dalam tradisi Sedekah
Suka-Rela pada masyarakat dusun Nuguk; dan 3)
Bagaimana nilai-nilai transendensi dalam tradisi Sedekah
Suka-Rela pada masyarakat dusun Nuguk Sehingga
tujuan dari kajian ini akan menjawab tiga variabel tersebut.
METODE
Penelitian
ini adalah jenis penelitian lapangan (field research) dengan model penelitian studi kasus.
Penelitian studi kasus adalah di antara bagian dari studi antropologi, yang
menekankan pada aspek kajian perilaku, tradisi atau kebudayaan kemanusiaan,
baik berupa individu ataupun sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu
Kasus
yang dikaji adalah ritus atau tradisi Sedekah Suka-Rela yang pada
masyarakat dusun Nuguk, desa Tebing Karangan,
kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, sebuah dusun yang ada di pedalaman Melawi.
Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah menggunakan
deskriptif-analitis, yakni dengan mendeskripsikan data secara apa adanya lalu
melakukan analisis dengan teori yang dianggap akomodatif dan representatif
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan
teknik wawancara non-terstruktur. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan
untuk mudah mengembangkan pertanyaan yang diberikan serta lebih mudah membangun
keakraban dengan narasumber. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dari tanggal 10-15 April tahun 2023 di Dusun Nuguk,
Desa Tebing Karangan Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari
sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah beberapa tokoh yang
dianggap kredibel dan representatif mengetahui tentang kasus yang diteliti
model seperti diistilahkan dengan model pemilihan sumber dengan tipologi purposive sampling
Adapun sumber data sekunder adalah sumber
pendukung kredibel dan otoritatif relevan lainnya
baik berupa literatur cetak maupun online yang
dapat memperkuat konstruksi teoritis dan analisis yang dilakukan.
Kajian
ini akan menggunakan teori trilogi sosial profetik yang diintrodusir
oleh Kuntowijoyo
Pertama, humanisasi; humanisasi
adalah sebuah tindakan yang berimplikasi pada sifat ‘memanusiakan manusia’
artinya dalam praktiknya menghilangkan segala sekat perbedaan dan menerima
keragaman sehingga memunculkan sikap saling peduli, saling kasih-mengasihi dan
saling menghargai
Kedua, liberasi; leberasi
adalah sikap menolak segala bentuk keburukan, kekerasan, serta hal-hal yang
menstimulasi timbulnya sesuai yang tidak baik
Ketiga, Transendensi,
humanisasi dan liberasi adalah dua konsep yang diciptakan oleh Kuntowijoyo dalam ranah horizontal, sedangkan konsep transendensi adalah suatu konsep secara vertikal. Artinya
dalam realitas kehidupan manusia tidak bisa berlepas diri dari unsur
transenden, yakni Tuhan. Selain realisasi keimanan kepada Tuhan dalam segala
bentuk ritual ibadah, maka perilaku humanisasi dan liberasi adalah di antara
upaya aksentuasi dari ketaatan atas perintah Tuhan yang diejewantahkan
dalam realitas kehidupan
Gambar 1 Ilustrasi Trilogi Pendidikan
Profetik Kuntowijoyo
Berdasarkan Gambar 1, jika diaplikasikan dalam
penelitian penulis, maka akan melihat aspek-aspek berikut: Pertama, melihat
dan menjelaskan sifat dan perilaku masyarakat yang membentuk serta meninggikan
nilai-nilai kemanusiaan (human velues) dalam
sebuah tradisi atau kebiasaan yang dilakukan sehingga dengan perilaku tersebut
membuat atau memotivasi keeratan dan keharmonisasian hubungan mereka. Kedua,
melihat dan menjelaskan sifat dan perilaku masyarakat dalam upaya mereka
menciptakan sebuah panoptiasi untuk menghindari atau meminimalisasi hal-hal yang dapat menimbulkan atau
memotivasi terjadinya sesuatu yang buruk. Ketiga, adalah melihat dan
menjelaskan implementasi perilaku mereka sebagai wujud keyakinan dan pengabdian
mereka kepada Tuhan, yang biasanya diejewantahkan
dengan bentuk amalan keagamaan dalam ritus yang mereka lakukan. Jadi, tiga
variabel tersebut yang akan dilihat dan dianalisis dalam memotret kebiasaan Sedekah
Suka-Rela pada tradisi kematian masyarakat dusun Nuguk,
kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.
HASIL
DAN BAHASAN
Gambaran
Umum Dusun Nuguk
a.
Geografis dan Demografis
Judul ini mengangkat dusun pedalaman karena
akses ke dusun Nuguk masih terbilang terisolir, bisa
menggunakan jalur air atau sungai dengan kapal kelotok (sebuah kapal
terbuat dari bahan kayu dengan mesin diesel). Jika ditempuh menggunakan kapal kelotok,
maka jarak tempuh ke dusun Nuguk bisa memakan waktu
sekitar 4-5 jam perjalanan. Bisa menggunakan akses jalan darat, namun jalannya
masih ‘tanah kuning’ sehingga
jika musim hujan sangat sulit bahkan tidak bisa dilewati juga menggunakan mobil
non-4 WD
Kemudian secara demografis, berdasarkan data
terakhir jumlah Kepala Keluarga di dusun Nuguk adalah
162 Kepala Keluarga (KK). Tidak ditemukan data di dusun ataupun desa yang
mencatat tentang jumlah laki-laki dan perempuan secara per dusun termasuk di
dusun Nuguk
b.
Pendidikan dan Sosial-Ekonomi
Terkait tingkat pendidikan, di dusun Nuguk masih tergolong rendah karena masih banyak anak-anak
yang putus sekolah atau bahkan tidak mau bersekolah. Di antara faktor yang
membuat minimnya minat dan semangat bersekolah di dusun tersebut adalah 1)
Orientasi perilaku masyarakat, artinya bahwa barometer anak-anak di dusun
tersebut masih mengacu pada perilaku pekerjaan orang tua mereka atau perilaku
mayoritas masyarakat mereka bahwa dalam mindset
mereka tidak perlu bersekolah, karena dengan tidak bersekolah pun sudah
bisa bekerja sebagai petani atau penoreh getah (pohon karet) dan pekerjaan yang
biasa dilakukan oleh mereka tanpa harus dipelajari di bangku sekolah
Memang ini umumnya dan normalnya pekerjaan bagi
orang pedalaman yang terkadang hanya berbekal kebiasaan dan pengalaman; 2)
Lemahnya ekonomi, tidak bisa dipungkiri bahwa meskipun gaung sekolah gratis
sudah ada, namun tetap ada biaya-biaya yang mesti ditanggung oleh pihak
keluarga yang menyekolahkan anaknya. Seperti biaya akomodasi kontrakan, kos,
biaya makan dan biaya-biaya perlengkapan lainnya, maka ini juga menjadi faktor
masih lemahnya tingkat pendidikan di dusun tersebut; 3) Jarak kampung dan
lembaga pendidikan, untuk Sekolah Dasar (SD), anak-anak di dusun Nuguk harus bersekolah ke dusun Tebing Karangan yang
jauhnya kurang lebih 1 Km dan akses serta kondisi jalanya mayoritas masih tanah
kuning (belum di semen)
Jika hujan, anak harus becek-becekan tanpa sepatu untuk pergi ke sekolah bahkan jika
musim hujan, tidak jarang anak-anak harus berenang menyeberangi jembatan yang
banjir jika sampan tidak tersedia. Kemudian tingkat menengah pertama (SLTP),
anak-anak harus bersekolah ke desa Nanga Man, yang mesti ditempuh melalui jalur
sungai, terkadang menggunakan fasilitas speed
boat desa juga tidak jarang anak-anak menggunakan
sampan manual.
Lalu untuk jenjang menengah atas
(SLTA/Sederajat), anak-anak harus bersekolah ke kecamatan Nanga Pinoh yang jarak tempuhnya sangat jauh dan ini yang
menyebabkan anak-anak mesti tinggal di kecamatan mengontrak rumah atau kos.
Jadi tiga faktor tersebut yang menyebabkan lemahnya tingkat pendidikan di dusun
Nuguk, dan faktor-faktor ini umum terjadi pada
masyarakat-masyarakat pedalaman
Kemudian dari aspek perekonomian, masyarakat
dusun Nuguk mayoritas bekerja sebagai petani karet
atau menoreh pohon getah. Baru sekitar di atas tahun 2000an ada di antara
mereka yang bekerja sebagai penambang emas atau jadi buruh penambang emas.
Namun, secara umum dan karena mayoritas penduduk di sana bekerja sebagai petani
karet, maka keadaan ekonominya juga tidak stabil. Ini juga yang mempengaruhi
masih rendah dan minimnya sumber daya manusia di dusun tersebut.
c.
Realitas Etnis dan Keagamaan
Terkait etnis, masyarakat di dusun Nuguk menyebut bahwa mereka beretnis Melayu. Dalam realitas
masyarakat pedalaman, mereka umumnya mengenal dan membagi etnis mereka menjadi
dua, yakni etnis Melayu dan Dayak. Etnis Melayu bagi masyarakat yang beragama
Muslim atau Islam, sedangkan etnis Dayak diidentikkan bagi masyarakat yang non-Muslim.
Di sisi lain, bahwa dalam etnis masyarakat pedalaman Melawi ada juga yang bisa
disebut sebagai sub-etnis, misalnya sub-etnis Katab-Kebahan
(orang Kebahan), sub-etnis Mengajom
dan sub-etnis lainnya, dan sub-etnis ini biasanya menampakkan ciri khasnya
masing-masing biasanya dalam bahasa maupun dalam budaya dan tradisi mereka, dan
sub-etnis masyarakat dusun Nuguk adalah Kebahan atau Katab-Kebahan
Kemudian
dari aspek keagamaan, masyarakat di dusun Nuguk
semuanya beragama Islam. Di dusun tersebut juga terdapat satu buah masjid yang
digunakan sebagai pusat keagamaan baik pelaksanaan Shalat, pembagian zakat
fitrah, pembelajaran TPQ dan sejumlah kegiatan keagamaan lainnya. Dalam
realitas keberagamaan masyarakat setempat memang ada beberapa hal yang cukup
unik misalnya dalam pembayaran zakat fitnah, mereka membayarnya kepada orang
yang dianggap punya kecocokan secara psikis dengan keyakinan bahwa jika membayar
fitrah kepada orang tersebut dapat memberikan pengaruh baik bagi kehidupannya
di kemudian hari.
Di sisi
lain, penyaluran zakat fitrah juga dilakukan setelah shalat
Ied bukan sebelumnya. Ini sekilas
gambaran realitas tipologi keberagamaan masyarakat setempat. Tidak bisa
dipungkiri bahwa hal-hal semacam ini merupakan implikasi dari masih minimnya
pengetahuan masyarakat tentang keagamaan sehingga pola keagamaan dan cara-cara
dalam keagamaan mereka masih mengakar dan mengekor pada pola keagamaan nenek
moyang terdahulu
Demikian juga dalam tradisi dan budaya yang
mereka lakukan, selain sebagai wujud tradisi atau budaya, juga terdapat
selipan-selipan nuansa keagamaan atau keislaman dan balutan keyakinan dari
nenek moyang mereka dalam tradisi dan budaya yang dilakukan. Ini lumrah
ditemukan pada masyarakat pedalaman, termasuk pada masyarakat pedalaman sungai
Melawi, yakni masyarakat dusun Nuguk. Dengan
demikian, untuk mengeksplorasi lebih jauh bagaimana struktur nilai-nilai
keagamaan dalam tradisi atau ritus pada masyarakat dusun Nuguk,
maka akan dibahas lebih jauh dalam subbab berikut ini yang difokuskan pada
ritus kematian dalam masyarakat setempat.
Deskripsi
Sedekah Suka-Rela dalam Tradisi Kematian Pada Masyarakat Dusun Nuguk
Memberikan sedekah kematian atau Sedekah
Suka-Rela kepada keluarga yang berduka biasanya dilakukan oleh warga dusun Nuguk saat mendengar kabar adanya warga yang meninggal
dunia, maka masyarakat berbondong-bondong datang ke rumah duka dengan membawa
beras sebanyak dua canting, satu bungkus garam, satu buah kelapa dan biasanya
juga ditambah uang seikhlasnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Murni tokoh
agama masyarakat setempat:
“Biaso e kalau ado urang mati di sekita kampong tuk yang dampin dapat nguang e biaso masyarakat maik kaban boras, garam, nyio nyok am
yang palen banyak e, tapi nok wajeb,
seiklas e ke mantuk-mantuk dan setidak
e ngibo hati keluarga yang losi”
(Terjemahan: Biasanya kalau ada warga yang meninggal dunia di
sekitar kampung ini yang terjangkau kampungnya bisa di datangi, maka masyarakat
membawa beras, garam dan kelapa sebagai bentuk sedekah suka-rela yang ini tidak
diwajibkan, seikhlasnya saja dengan tujuan untuk membantu atau upaya menghibur
hati pihak keluarga yang sedang berduka” (Wawancara dengan Murni, 10 April
2023).
Apa yang disampaikan oleh Murni di atas senada
dengan yang disampaikan oleh Siah tokoh ada di Dusun Nuguk.
Namun Siah menambahkan lebih jauh tujuan dari sedekah yang diberikan tersebut:
“Aok inok ko
makso urang kelah ke maik boras atau laen e. Tapi yang
palen banyak maik boras,
kalau kolo duet, nyio dan
garam aok ado am, tapi nok ko
semua, maik segalo berono tuk nok laen, ke mantuk keluargo yang
mati e, misal mantuk e berowoh e, sampai nujoh hari, kadang ado dok berameh an, jadi bebantuk am (Terjemahan:
Tidak ada paksaan bagi warga harus membawa beras dan lainnya, tetapi memang
yang paling banyak adalah membawa sedekah beras, dari pada dalam bentuk untuk
uang, buah kelapa tua dan garam. Tujuan dari pemberian sedekah suka rela ini
adalah untuk membantu keluarga yang berduka tersebut baik dalam acara tahlilan
dan yasinan sampai hari ketujuh bahkan juga
memberikan jamuan bagi mereka yang menginap di rumah duka) (Wawancara dengan
Siah, 10 April 2023).
Berdasarkan penuturan Siah di atas, Siah
menambahkan bahwa termasuk di antara tujuan pemberian Sedekah Suka-Rela adalah
untuk membantu keluarga yang berduka misalnya dalam acara tahlilan dan yasinan di rumah orang yang berduka tersebut
yang umumnya dilakukan selama tujuh malam. Demikian yang disampaikan oleh Totot:
“Biaso e malam pertamo sampai ketujoh e ado yasin
dan tahlel di laman keluargo
orang yang losi, tapi biaso
rong kito tuk lopas maghreb maco yasin
baru malam ketigo e tahlel,
malam keempat sampai keenam maco yasin
gono am lopas
maghreb, dah yok malam ketujoh baru tahlel lagi’ (Terjemahan: Biasanya malam
pertama sampai malam ketujuh di rumah yang berduka melakukan yasinan dan tahlilan, prosesi
pelaksanaannya malam kesatu dan kedua hanya dilakukan pembacaan yasinan setelah maghrib,
malam ketiga dilakukan pembacaan tahlil. Kemudian malam keempat sampai
keenam dilakukan yasinan lagi setelah maghrib, lalu malam ketujuh tahlil kembali
(Wawancara dengan Totot, 13 April 2023).
Berdasarkan narasi yang diungkapkan oleh Totot di atas bahwa tradisi yasinan
dan tahlilan ini umum dilakukan di Indonesia. Secara tujuan boleh
jadi sebagai upaya mendoakan arwah orang yang telah meninggal dunia. Hal ini
sebagaimana yang diungkapkan oleh Hengki tokoh agama di Dusun Nuguk:
“Lopas dari sampai atau inok do’o yang dibaco, baet berupo yasin
atau tahlel, tapi yok am betok usaho kito sebagai keluargo e di dunio, jadi acaro yasin dan tahlel tuk nok wajeb ngunang
warga, kalau orang e kurang mampu, nok kelah ado jamuan am, dan yasin tahlel tuk pun panai dibaco pihak keluargo gono am nok
kelah dengan ado orang ramai” (Terjemahan:
terlepas dari sampai atau tidaknya doa yang dipanjatkan kepada arwah yang
meninggal dunia karena itu perkara gaib, namun itulah bentuk usaha yang bisa
dilakukan oleh pihak keluarga bagi keluarganya yang telah meninggal. Acara yasinan dan tahlilan inipun tidak bersifat wajib untuk mengundang warga, dan
kalau ada keluarga yang bedukan kurang mampu maka
tidak perlu ada jamuan. Yasin dan tahlil ini bisa dibaca oleh
keluarga yang berduka saja tanpa harus dengan orang ramai” (Wawancara dengan
Hengki, 13 April 2023).
Selain sejumlah argumentasi para informan di
atas, Meli (15 April 2023) selaku tokoh agama setempat juga menuturkan bahwa
tujuan dari Sedekah Suka-Rela bagi keluarga yang berduka adalah: 1) sebagai upaya kepedulian antar sesama
warga apalagi saat ditimpa musibah atau cobaan; 2) untuk sedikit membantu
meringankan beban pengeluaran pihak keluarga yang beduka
dalam melaksanakan acara yasinan dan tahlilan;
3) sebagai bentuk upaya simpati dengan rasa simpati yang diberikan – bukan
hanya berupa materi setidaknya akan menghibur hati pihak keluarga yang sedang berduka;
dan 4) setidaknya dengan Sedekah Suka-Rela yang diberikan akan meminimalisasi kecemburuan sosial antar sesama dan
mempererat kekerabatan antar warga karena diperlakukan secara adil dan merata.
Umar sebagai tokoh agama setempat juga
memberikan komentar bahwa dalam tradisi Sedekah Suka-Rela selain
mengandung nilai-nilai positif dalam aspek sosial, juga bernilai ibadah dari
aspek agama:
“Sebena e tradisi sedekoh seperelo e tuk banyak hal baet e
bukan baet dalam sesamo
jok, tapi baet dari segi agamo,
karno orang yang morik atau
besedekoh dalam Islam akan diborik
pahalo dari Tuhan, dan dalam Islam pun banyak nyuruh umat e untuk rajin besedekoh”
(Terjemahan: Sebenarnya dalam tradisi Sedekah Suka-Rela ini
mengandung banyak nilai-nilai kebaikan, termasuk nilai kebaikan dalam norma
agama, karena dalam keyakinan umat Islam orang yang gemar bersedekah akan
mendapatkan pahala dari Allah Swt. Dan dalam ajaran Islam, sangat
menganjurkan umatnya untuk gemar bersedekah (Wawancara dengan Umar,15 April
2023).
Selain argumentasi Umar di atas, Murni juga
menambahkan bahwa dalam kebiasaan tradisi Sedekah Suka-Rela ini selain
harapan mendapatkan pahala dari Allah juga setidaknya ada ganjaran pahala yang
lain yang didapatkan, yakni ganjaran pahala bagi orang-orang yang ikhlas
menolong dan membantu sesama saat tetangga atau warga sedang dalam kesusahan
atau tertimpa musibah. Termasuk juga mengandung pahala menyambung atau
mempererat jalinan tali silaturahmi antar sesama (Murni, 10 April 2023).
Berdasarkan deskripsi tentang Sedekah
Suka-Rela pada tradisi kematian di Dusun Nuguk,
maka ringkasnya dapat penulis sajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Deskripsi tradisi Sedekah
Suka-Rela di Dusun Nuguk
Tradisi |
Lokasi |
Waktu pelaksanaan |
Material |
Tuntutan |
Tujuan/Esensial |
Sedekah Suka-Rela dalam tradisi Kematian |
Dusun Nuguk,
Kabupaten Melawi Kalimantan Barat |
Saat ada warga yang
meninggal dunia |
Membawa beras umumnya dua
canting, garam satu bungkus, buah kelapa dan uang (seikhlasnya) |
Bukan kebiasaan yang
bersifat wajib, namun bersifat pilihan bagi siapa yang mau |
- Bentuk kepedulian antar
sesama - Upaya membantu keluarga
yang berduka - Bentuk simpati upaya
menghibur hati keluarga yang berduka - Meminimalisir kecemburuan sosial antar
warga. - Mendapatkan ganjaran pahala
dari ibadah sedekah - Mendapatkan pahala dari
sikap menolong orang lain yang sedang kesusahan; dan - Mendapatkan pahala karena
berupaya mempererat jalinan silaturahmi. |
Nilai
Pendidikan Profetik dalam Tradisi Sedekah Suka-Rela Pada Masyarakat
Dusun Nuguk
Sebagaimana yang telah penulis paparkan
sebelumnya bahwa dalam trilogi pendidikan profetik terdapat tiga aspek yang
perlu dijelaskan, yakni aspek transendensi,
humanisasi dan liberasi. Ketiga aspek ini yang akan digunakan untuk memetakan perilaku
masyarakat dalam tradisi Sedekah Suka-Rela pada masyarakat Dusun Nuguk, kabupaten Melawi.
Pertama, aspek
humanisasi; adalah sebuah tindakan yang berimplikasi pada sifat ‘memanusiakan
manusia’ artinya dalam praktiknya menghilangkan segala sekat perbedaan dan
menerima keragaman sehingga memunculkan sikap saling peduli, saling
kasih-mengasihi dan saling menghargai
Berdasarkan definisi tersebut, maka terlihat
dalam tradisi Sedekah Suka-Rela pada saat ada warga yang meninggal dunia
di masyarakat Dusun Nuguk mengakomodir
nilai-nilai aspek humanisasi. Misalnya menunjukkan bentuk perilaku iba atau
perhatian kepada keluarga atau warga yang ditimpa musibah serta cobaan, juga
sebagai bentuk menyetarakan manusia dalam status sosialnya. Sehingga siapa pun
yang ditimpa musibah, bencana dan cobaan, termasuk misalnya musibah kematian,
maka masyarakat tetap memberikan santunan dan bantuan dengan suka rela kepada
orang tersebut. Tidak pandang apakah keluarga yang meninggal tersebut tergolong
orang kaya dan berada ataupun orang yang kurang mampu, semuanya diberikan
bantuan jika keluarganya meninggal dunia..
Kedua, aspek
liberasi; leberasi adalah sikap menolak segala bentuk keburukan, kekerasan,
serta hal-hal yang menstimulasi timbulnya sesuai yang tidak baik
Di sisi lain, tradisi sedekah suka rela ini
juga melegalisasikan sikap kesenasiban dan
menghindari kecemburuan dalam kehidupan kemasyarakatan. Karena jika sedekah ini
hanya diperuntukkan bagi kelompok atau individu tertentu, maka pasti akan
memunculkan kecemburuan sosial. Pada masyarakat pedalaman atau pedesaan,
umumnya kearaban dan keharmonisasian sangat dijunjung tinggi, sehingga strata
sosial, misalnya antara orang mampu dan kurang mampu dipandang sama rata. Oleh
karena itu, baik dari keluarga orang mampu ataupun dari keluarga yang kurang
mampu, jika mereka mendapat musibah keluarga meninggal dunia, tetap diberikan
atau mendapatkan bantuan atau sedekah suka rela dari masyarakat.
Ketiga, aspek transendensi; aspek ini merupakan perwujudan hubungan
vertikal manusia kepada Allah. Artinya dalam realitas kehidupan dan perbuatan
manusia tidak bisa berlepas diri dari unsur transenden, yakni Tuhan
Selain itu, dalam tradisi Sedekah Suka-Rela juga
mengandung nilai-nilai positif sebagai penguat relasi sosial antar sesama. Maka
dalam Islam, mempererat jalinan persaudaraan antar sesama disebut dengan
istilah silaturahmi, sehingga dengan sedekah yang diberikan masyarakat
di Dusun Nuguk telah berupaya menerapkan nilai-nilai
Islam, yakni mempererat jalinan tali silaturahmi antar sesama. Oleh karena itu,
dalam normatif agama Islam, orang yang memperbaiki atau mempererat jalinan silaturahmi
akan diberikan pahala oleh Allah Swt. Jadi, dalam tradisi Sedekah
Suka-Rela ini selain mengakomodir nilai-nilai
sosial secara horizontal antara sesama, juga mengakomodir
nilai-nilai kesalehan individual secara vertikal antara individu dan Tuhannya.
Sehingga selain kebaikan sosial yang didapatkan, juga ada harapan ganjaran
pahala yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap individu yang melakukan
kebajikan sesuai dengan tuntunan agama yang dianutnya.
Dengan demikian, untuk memudahkan pemahaman
tentang aspek humanisasi, liberasi dan transendensi
dalam tradisi Sedakah Suka-Rela pada ritus kematian di Dusun Nuguk, maka perhatikan pemetaan pada Tabel 2.
Tabel 2 Struktur
Pendidikan Profetik dalam Tradisi Sedekah Suka-Rela pada Ritus Kematian
Masyarakat di Dusun Nuguk
Trilogi Profetik |
Tradisi |
Bentuk Aksentuasi |
Orientasi |
Humanisasi |
Sedekah Suka-Rela |
Memberikan
sedekah seadanya yang biasanya dengan memberikan satu buah kelapa tua, satu
canting beras, satu bungkus garam dan biasanya ditambah uang seikhlasnya. |
Mempererat
jalinan tali silaturahmi antar warga serta upaya untuk menciptakan
keharmonisasian sosial-keagamaan. |
Liberasi |
Menolak
dan meminimalisasi terjadinya gejolak serta
kecemburuan sosial dan kesenjangan sosial antar warga. |
||
Transendensi |
Harapan
mendapatkan ganjaran pahala dari Tuhan karena telah melakukan perilaku baik
dengan melakukan atau memberikan sedekah dan kebaikan dalam menjaga
keharmonisasian antar sesama. |
Jadi, dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa
aspek transendensi ini orientasinya adalah harapan
yang bertumpu kepada Allah sebagai Zat yang diyakini kekuasaan-Nya. Sedangkan
aspek humanisasi dan liberasi, muara orientasinya adalah harapan terciptanya
keharmonisasian dan ketenteraman dalam ruang sosial. Di sisi lain, orientasi
ketercapaian yang diinginkan pada aspek transendensi,
khususnya dalam Sedekah Suka-Rela pada ritus kematian masyarakat
Dusun Nuguk adalah bantuan dan pertolongan Allah bagi
orang yang meninggal.
Sedangkan orientasi ketercapaian yang
diinginkan dalam aspek humanisasi dan liberasi adalah kesinambungan sikap dan
sifat kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, sebenarnya
ketiga aspek tersebut saling berkaitan hanya saja terdapat penekanan
masing-masing. Misalnya untuk meminimalisasi
kecemburuan dan menolak kesenjangan sosial, maka upaya yang dilakukan dengan
saling bantu-membantu (humanisasi dan liberasi). Sedangkan implikasi dari
perbuatan baik tersebut bukan hanya kebaikan dalam tatanan sosial saja yang
didapatkan, tetapi juga ganjaran pahala dari Tuhan sebagaimana klaim teologis
dalam keyakinan umat Islam karena telah melakukan kebaikan sesuai yang
diajarkan dalam normatif agama, maka balasan dari kebaikan tersebut adalah
pahala (transendensi).
KESIMPULAN
Berdasarkan fokus masalah dan analisis yang
telah dilakukan, penulis memberikan kesimpulan: Pertama, aspek
humanisasi bahwa kebiasaan sedekah suka-rela dalam ritus kematian masyarakat
dusun Nuguk merupakan bentuk kepedulian antar sesama
masyarakat, sehingga dapat mempererat jalinan kebersamaan dan silaturahmi
warga. Kedua, aspek liberasi, bantuan sedekah suka-rela dalam ritus
kematian setidaknya dapat meminimalisasi hal-hal
negatif di kalangan masyarakat, misalnya kecemburuan sosial, sifat iri, dengki
dan hal negatif lainnya. Ketiga, aspek transendensi,
dalam klaim normatif-teologis agama, bahwa semua ibadah yang dilakukan dengan
ikhlas akan mendapatkan ganjaran pahala dari Tuhan. Demikian juga pada
kebiasaan sedekah suka-rela, bahwa ada harapan mendapatkan ganjaran pahala dari
Allah atas kebaikan yang dilakukan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Alfred. (2018). Hubungan Sains dan
Agama Perspektif Kuntowijoyo. Al-Aqidah, 10(2),
10–27.
Anisa, R., Soraya, S. Z., & Nurdahlia, D. U. (2021). Konsep Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam. Kuttab: Ilmu Pendidikan Islam, 05(02),
93–99.
Armet, dkk. (2022). Element Prophetic in the Novel Kubah By
Ahmad Tohari. Magistra Andalusia, 4(1),
9–16.
Iin Parningsih. (2021). Eksplorasi
Tradisi Mattampung Masyarakat Bugis dalam Kajian Living Qur’an: Studi Desa Barugae Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Pappasang, 3(2), 64–84.
Kuntowijoyo. (2019). Maklumat Sastra Profetik. DIVA Press.
Mahdi, M. (2019). The Death Tradition of Malay Communities
of Sungai Raya Dalam Vilage,
West Kalimantan. Khatulistiwa, 8(2),
5. https://doi.org/10.24260/khatulistiwa.v8i1.1205
Manan, A., & Arifin, M. (2019).
Cultural Traditions in Death Rituals Within the Community
of Pidie, Aceh, Indonesia. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 43(1), 130.
https://doi.org/10.30821/miqot.v43i1.670
Muammar, A., Marhaban, Miswari, M.,
& Nasution, I. F. A. (2021). Kuntowijoyo’s Social Prophetics and The Theological Paradigms in Islam. Al-Ulum, 21(2), 362–387.
https://doi.org/10.30603/au.v21i2.2274
Mufidah, M. (2022). Javanese Islamic Tradition of Death. Warisan: Journal of History
and Cultural Heritage, 3(2), 58–64.
https://doi.org/10.34007/warisan.v3i2.1519
Nanang Martono. (2011). Metode
Penelitian Kuantitatif. Rajawali.
Nasar Lundeto;Syamsun
Ni‟am.
(2022). Paradigma Islam Profetik (Melacak Nilai-Nilai
Moderasi Beragama Dalam Pemikiran Kuntowijoyo). Farabi, 19(02), 106–131.
Parwanto, W. (2015). Kajian Living
Al-Hadits atas Tradisi Shalat Berjamaah Mahgrib-Isya`
Di Rumah Duka 7 Hari. Al-Hikmah, 13(2), 51–64.
Parwanto, W. (2019). KONTESTASI ANTARA TEKS DAN REALITAS SOSIAL : SAKRALITAS ‘
AMIL ZAKAT DI DUSUN NUGUK , KABUPATEN MELAWI. Fikri : Jurnal Kajian Agama , Sosial Dan Budaya, 4(1).
Parwanto, W., & Busyra, S. (2023). Reading Tradition in Informative and Symbolic Theory : The Case of
Robo-Robo Tradition in Nuguk Hamlet , Melawi District , West Kalimantan. Kawalu: Journal of Local Culture,
10(2), 29–50.
Parwanto, W., Sahri, S., Busyra, S.,
Riyani, R., & Nadhiya, S. (2022). Religious Harmonization on Ethno-Religious Communities of Muslim and Dayak Katab-Kebahan in Tebing Karangan Village,
Melawi District, West
Kalimantan. Harmoni, 21(2), 184–200.
https://doi.org/10.32488/harmoni.v21i2.638
Pemerintahan Desa Tb. Karangan.
(2022). Mading Desa. Pemerintahan
Desa.
Ramdhan, M. (2021). Metode
Penelitian. Cipta Media Nusantara.
Ririn, O. S., Darmawan, D. R.,
& Efriani, E. (2021). Tampir sebagai Ritual
Peralihan dalam Upacara Kematian pada Suku Dayak Taman Kapuas di Kalimantan
Barat. Ideas: Jurnal Pendidikan, Sosial,
Dan Budaya, 7(4), 183. https://doi.org/10.32884/ideas.v7i4.503
Sabeilai, Wilda Veronica, Isjoni, T.
(2019). Andung Tradition in Death
Ceremony Saur Matua Batak Toba in Palas Society Urban Village Pekanbaru.
JOM, 6(2), 1–11.
Sagir, A., & Hasan, M. (2021).
The Tradition Of Yasinan In Indonesia. Khazanah: Jurnal Studi Islam Dan
Humaniora, 19(2), 203–222. https://doi.org/10.18592/khazanah.v19i2.4991
Saputra, K. D. (2020).
Memasyarakatkan Kesalehan (Dimensi Tasawuf dalam Etika Sosial Profetik Kuntowijoyo). ABHATS: Jurnal Islam Ulil Albab, 1(2),
317–325.
Seise, C. (2021). Dying a Good Death: Indonesian Rituals and Negotiations
About the End of Life. International Journal of Islam in Asia, 1(2),
168–190. https://doi.org/10.1163/25899996-bja10014
Sihombing, L. H. (2022). Rituals and Myths
at the Death
Ceremony of the Toraja People: Studies on the
Rambu Solo Ceremony. Satwika : Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan Sosial, 6(2), 351–365.
https://doi.org/10.22219/satwika.v6i2.22785
Sugiyono. (2017). Metode
Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Alfabeta.
Tim Desa. (2012). Buku Pedoman
Desa Tebing Karangan. Desa Tebing Karangan.