PEMIKIRAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER: ANALISIS KRITIS

DALAM KONTEKS KURIKULUM MERDEKA

 

Heru Fradana

Madrasah Aliyah Negeri 5 Tangerang, Indonesia

E-mail: herufradana223@gmail.com

 

Abstract

This study aims to compare moral education according to Syekh Nawawi with character education in the strengthening project of the Pancasila Student Profile (P3) and the Rahmatan lil 'Alamin Student Profile (PPRA) in the Kurikulum Merdeka. The research question of this study is to identify the similarities and differences between these two approaches in terms of the roles of teachers, the roles of families, and the learning approaches. The research method used is library research, by reviewing various relevant literature sources, including the works of Syekh Nawawi, curriculum documents of Kurikulum Merdeka and related studies by various authors. The review procedure was conducted by collecting and analyzing data from books, articles, and journals that explain Syekh Nawawi's views on moral education, as well as the concepts and implementation of character education in Kurikulum Merdeka. The literature reviewed includes Syekh Nawawi's works such as “Marah Labib" and Nashaikhul 'Ibad" official documents from the Ministry of Education, Culture, Research, and Technology and the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia on the implementation of character education in P3 and PPRA, as well as other supporting literature. The conclusion of this study shows that both approaches have the same goal of developing the character and morals of students holistically. The main similarity is the emphasis on moral and religious values as the basis of education. The difference lies in the active role of teachers and families in education according to Syekh Nawawi, and the independent and student-centered approach in P3 and PPRA. Nawawi also emphasizes the integration of local culture and the Syafi'iyah school of thought in the learning materials, while P3 and PPRA emphasize the relevance of the cultural and environmental context of the students in general.

Keywords: character building, Kurikulum Merdeka, Islamic education, Sheikh Nawawi Al Bantani

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pendidikan akhlak menurut Syekh Nawawi dengan pendidikan karakter dalam proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila (P3) dan Profil Pelajar Rahmatan lil ‘Alamin (PPRA) dalam Kurikulum Merdeka. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana persamaan dan perbedaan antara kedua pendekatan tersebut dalam hal peran guru, peran keluarga, dan pendekatan pembelajaran. Metode penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka (library research), dengan menelaah berbagai sumber literatur yang relevan, termasuk karya-karya Syekh Nawawi, dokumen Kurikulum Merdeka, serta penelitian terkait dari berbagai penulis. Prosedur kajian dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis data dari buku, artikel, dan jurnal yang memaparkan pandangan Syekh Nawawi mengenai pendidikan akhlak, serta konsep dan implementasi pendidikan karakter dalam Kurikulum Merdeka. Sumber pustaka yang dikaji meliputi karya Syekh Nawawi seperti kitab Marah Labib, Nashaikhul ‘Ibad, dokumen resmi Kemendikbudristek dan Kemenag Republik Indonesia tentang implementasi pendidikan karakter dalam P3 dan PPRA, serta literatur pendukung lainya. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua pendekatan tersebut memiliki tujuan yang sama dalam mengembangkan karakter dan akhlak peserta didik secara holistik. Persamaan utama adalah penekanan pada nilai-nilai moral dan religius sebagai dasar pendidikan. Perbedaan terletak pada peran aktif guru dan keluarga dalam pendidikan menurut Syekh Nawawi, serta pendekatan mandiri dan student-centered dalam P3 dan PPRA. Nawawi juga lebih mengutamakan integrasi budaya lokal dan pandangan madzhab syafi’iyah dalam materi pelajaran, sementara P3 dan PPRA menekankan relevansi konteks budaya dan lingkungan peserta didik secara umum.

Kata Kunci:  pendidikan karakter, Kurikulum Merdeka, pendidikan Islam, Syeh Nawawi Al-Bantani

 


 


 

PENDAHULUAN

Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan pendidikan yang bertujuan untuk menjawab tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Salah satu kebijakan yang paling terbaru adalah penerapan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional (Barlian & Solekah, 2022). Kurikulum ini dirancang untuk memberikan kebebasan kepada sekolah dan guru dalam menyusun dan mengembangkan materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi peserta didik. Dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan berpusat pada peserta didik, Kurikulum Merdeka diharapkan mampu mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga unggul dalam karakter dan moral (Suherman, 2023).

Kurikulum Merdeka harus mampu menjaga keseimbangan antara pengembangan aspek keilmuan dan akhlak. Ini merupakan prinsip penting dalam memastikan bahwa pendidikan tidak hanya menekankan pada pengetahuan dan keterampilan teknis, tetapi juga pada pembentukan karakter yang baik dan moral yang kuat. Dalam kitab Nashaikhul ‘Ibad  yang ditulis oleh Syeikh Nawawi dinyatakan bahwa tidak ada kemuliaan bagi orang-orang yang buruk akhlaknya (Al-Bantani & Faizah, 2022).

Pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka didasarkan pada lima prinsip utama: pertama, pembelajaran dirancang dengan mempertimbangkan tahap perkembangan, pencapaian, dan kebutuhan peserta didik; kedua, pembelajaran disesuaikan dengan konteks yang relevan dengan lingkungan dan budaya peserta didik; ketiga, tujuan pembelajaran adalah untuk membangun kapasitas peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat; keempat, pembelajaran bertujuan untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi peserta didik; dan kelima, pembelajaran mendukung perkembangan kompetensi dan karakter peserta didik secara holistik (Zaeni et al., 2023). Kurikulum ini tidak hanya berfokus pada perkembangan kompetensi peserta didik, akan tetapi mengimplementasikan pendidikan karakter secara holistik yang mempertimbangkan perkembangan peserta didik secara menyeluruh dan mengembangkan semua potensi secara harmonis, termasuk potensi akademik, fisik, sosial, kreatif, emosional dan spiritual (Musfah, 2012).

Implementasi pendidikan karakter dalam Kurikulum Merdeka tediri dari empat kegiatan utama, yaitu kegiatan intrakurikuler yang mengintegrasikan nilai-nilai Profil Pelajar  Pancasila (P3) dan Profil Pelajar Rahmatan lil ‘Alamin (PPRA) melalui materi pembelajaran dan dimensi yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Kedua, mengintegrasikan nilai-nilai P3 dan PPRA dalam kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan oleh sekolah sesuai dengan kebutuhan, minat dan kemampuan siswa. Ketiga, kegiatan ko-kurikuler yang memperkuat profil siswa Pancasila melalui proyek-proyek khusus yang terpisah dari kegiatan pembelajaran utama. Keempat, pendidikan karakter yang diimplementasikan melalui pembudayaan nilai-nilai P3 dan PPRA di lingkungan sekolah (Asrohah et al., 2022; Minsih et al., 2023; Putri et al., 2023).

Menurut Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, dalam Kompas.id, Kurikulum Merdeka telah dirancang sejak tahun 2020. Implementasi dan evaluasi dilakukan secara bertahap pada tahun 2021. Saat ini, tercatat sekitar 80% sekolah sudah menerapkan Kurikulum Merdeka di tahun 2024, bersamaan dengan ditetapkannya Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional (Natipulu, 2024). Meskipun ada perkembangan dalam implementasi Kurikulum Merdeka di satuan pendidikan, hasil survei Indeks Karakter Siswa dari tahun 2017 hingga 2021 berbanding terbalik dan menunjukkan penurunan, survei tersebut dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kemenag dengan menggunakan lima dimensi yaitu religiusitas, nasionalisme, kemandirian, gotong-royong dan integritas (Ihyakulumudin & Dewi, 2022).

Gambar 1 Bagan Indeks Karakter Siswa Tahun 2017-2021

Data tersebut menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara target pencapaian pendidikan karakter dalam Kurikulum Merdeka dengan kondisi nyata peserta didik di lapangan. Meskipun Kurikulum Merdeka dirancang untuk meningkatkan pendidikan karakter, hasil survei Indeks Karakter Siswa dari tahun 2017 hingga 2021 (Gambar 1) justru menunjukkan penurunan. Hal ini menandakan bahwa implementasi kurikulum belum sepenuhnya berhasil dalam membentuk karakter siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi mendalam untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan ketidaksesuaian ini dan mencari solusi yang efektif untuk mengatasi ketidaksesuaian tersebut.

Penelitian ini berfokus dalam mengkaji perbandingan konseptual pendidikan karakter P3 dan PPRA dalam kurikulum merdeka dengan pendidikan akhlak menurut Syekh Nawawi Al-Bantani. Selain itu, peneilitian ini juga menganalisis ketidaksesuaian yang terjadi antara implementasi pendidikan karakter P3 dan PPRA dengan rendahnya karakter siswa menurut pandangan Al-Bantani, dan hal tersebut sekaligus menjadi noverlty dalam penelitian ini.

 

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode kajian kepustakaan atau library research, yaitu serangkaian kegiatan penelitian yang mengumpulkan data berdasarkan data kepustakaan dan literatur yang bersumber dengan kitab Syekh Nawawi Al-Bantani dan kajian, laporan ilmiah serta dokumen regulasi dan hasil penelitian yang berhubungan dengan pendidikan karakter P3 dan PPRA dalam kurikulum merdeka dan pendidikan karakter dalam perspektif Syekh Nawawi (Zed, 2008).

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, dengan cara penyaringan literatur, kajian ilmiah, baik kajian modern maupun kajian salaf. Setelah pengumpalan data diselesaikan, kemudian diolah dengan menganalisis perbandingan konseptual pendidikan karakter P3 dan PPRA dalam kurikulum merdeka dengan pendidikan akhlak menurut Syekh Nawawi Al-Bantani. Kemudian, menganalisis kesenjangan data yang didapatkan antara implementasi pendidikan karakter dalam kurikulum merdeka dan karakter siswa dengan melihat konsep pendidikan akhlak Al-Bantani. Setelah analisis, kemudian data yang didapatkan dikategorikan untuk dideskripsikan dalam pembahasan kajian penelitian.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendidikan Karakter P3 PPRA dalam Kurikulum Merdeka

Pendidikan karakter terdiri dari dua suku kata yang memiliki arti berbeda, yaitu pendidikan dan karakter. Menurut John Dewey, pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan potensi manusia melalui proses rekonstruksi berbagai macam pengalaman dan peristiwa yang dialami sebelumnya (Arifin, 2020). Sedangkan karakter merupakan nilai-nilai yang tertanam dalam diri seseorang dan menjadi sifat tetap seseorang dan pendidikan karakter adalah upaya membangun moral, watak dan budi peserta didik agar dapat mengembangkan potensinya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari (Ependi et al., 2023).

Thomas Lickona mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang disengaja untuk membantu seseorang memahami, peduli dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika. Lickona menekankan tiga komponen utama dalam pendidikan karakter, yaitu pengetahuan Moral (Moral Knowing) untuk memahami apa yang benar dan salah, perasaan Moral (Moral Feeling) untuk dapat peduli terhadap apa yang benar dan memiliki empati, dan tindakan moral (Moral Action) agar dapat bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral (Ependi et al., 2023).

Implementasi pendidikan karakter dalam Kurikulum Merdeka terdapat dalam proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila (P3) dan Profil Pelajar Rahmatan lil ‘Alamin (PPRA), P3 dan PPRA memiliki fokus dalam penanaman karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, toleransi dan moderasi beragama (Asrohah et al., 2022).

Capaian P3 dan PPRA dalam kurikulum merdeka adalah untuk membentuk peserta didik yang tidak hanya fokus dalam hal kognitif saja, tapi juga menciptakan pola pikir, sikap, dan perilaku nilai-nilai luhur Pancasila sebagai bangsa Indonesia dan warga dunia yang memiliki nilai-nilai beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong-royong, mandiri, bernalar kritis dan kreatif, serta nilai-nilai islami seperti Berkeadaban (ta’addub), keteladanan (qudwah), kewarganegaraan dan kebangsaan (muwaanah), mengambil jalan tengah (tawassu), berimbang (tawāzun), lurus dan tegas (I’tidāl), kesetaraan (musāwah), musyawarah (syūra), toleransi (tasāmuh), dinamis dan inovatif (taawwur wa ibtikār) (Habibullah, 2023; Purnawanto, 2023).

Antara proyek penguatan P3 dan PPRA merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, seperti dua sisi koin yang tidak bernilai jika satu sisinya hilang.  Dalam rangka pelaksanaan kegiatan P3 dan PPRA, perlu memperhatikan sembilan prinsip, yaitu holistik, kontekstual, berpusat pada peserta didik, eksploratif, kebersamaan, keberagaman, kemandirian, kebermanfaatan dan religiusitas. Sehingga, proyek P3 dan PPRA dapat memberikan manfaat secara maksimal kepada sekolah, guru dan peserta didik (Asrohah et al., 2022).

Dalam pendidikan karakter P3 dan PPRA, peserta didik memiliki peran sebagai subjek pembelajaran, guru sebagai fasilitator dan sekolah sebagai pendukung agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Pelaksanaan proyek penguatan P3 dan PPRA dapat dilakukan dalam empat model pembelajaran. Pertama, internalisasi nilai-nilai P5 dan PPRA dapat melalui kegiatan kokurikuler yang dirancang terpisah dari intrakurikuler dan dibentuk dalam beberapa tema proyek dalam tiap-tiap fase pembelajaran. Kedua, internalisasi nilai-nilai P5 dan PPRA melalui integrasi pembelajaran intrakurikuler dengan menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila dan budaya umat beragama yang baik. Ketiga, internalisasi nilai-nilai P5 dan PPRA dapat melalui kegiatan ekstrakurikuler yang dirancang bersama tiap-tiap pembina atau pelatihnya. Keempat, internalisasi nilai-nilai P5 dan PPRA melalui pembiasaan kegiatan rutin di sekolah, seperti apel pagi dan shalat berjama’ah (Minsih et al., 2023; Purnawanto, 2023).

 

Analisis Implementasi Pendidikan Karakter P3 dan PPRA dengan Rendahnya Indeks Karakter Siswa di tahun 2021

Rendahnya indeks karakter siswa berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kemenag dengan menggunakan lima dimensi yaitu religiusitas, nasionalisme, kemandirian, gotong-royong dan integritas didapatkan tren penurunan dari tahun 2017 hingga 2021 (Gambar 2), hal tersebut disebabkan adanya problematika pembelajaran daring yang disebabkan oleh pandemi covid-19 pada tahun 2019 (Ihyakulumudin & Dewi, 2022).

Gambar 2 Indeks Karakter Siswa Tahun 2017-2021

Berdasarkan kepala BSKAP Kemendikbudristek, Kurikulum Merdeka dengan pendidikan karakter P3 dan PPRA mulai dikaji dan diuji publik sebagai kurikulum prototype pada tahun 2020 dan mulai digunakan pada tahun 2021 pada 3000 sekolah penggerak dan SMK Pusat Keunggulan. Maka perbandingan indeks karakter siswa perlu disejajarkan dalam rentang waktu implementasi Kurikulum Merdeka di tahun 2020 – 2021. Sebagaimana Tabel 1.

 

Tabel 1 Perbandingan Implementasi Kurikulum Merdeka dan Indeks Karakter Siswa

Tahun

Implementasi Kurikulum Merdeka

Indeks Karakter Siswa

2020

Kajian dan Penyusunan

70,41

2021

Uji Publik di 3000 Sekolah

69,52

2022

140.000 Sekolah

-

2023

300.000 Sekolah

-

2024

Secara Nasional

-

 

Berdasarkan analisis data, ketidaksesuaian pergerakan indeks karakter siswa dengan implementasi pendidikan karakter di P3 dan PPRA Kurikulum Merdeka disebabkan oleh banyak hal. Pertama, Indeks Karakter Siswa diujikan kepada sampel siswa pada jenjang pendidikan menengah, sedangkan dalam uji publik di 2021 penerapan pendidikan karakter P5 dan PPRA Kurikulum Merdeka hanya diterapkan pada 3000 sekolah penggerak dan SMK Pusat Keunggulan. Kedua, sampel populasi dalam Indeks Karakter Siswa di tahun 2021 tidak dapat mewakili karakter siswa yang telah menerapkan P3 dan PPRA, hal tersebut disebabkan karena sampel dalam indeks karakter tidak membagi kategori siswa yang telah menerapkan P3 dan PPRA serta tidak mendeskipsikan sekolah atau siswa yang menjadi sampel merupakan sekolah yang telah menerapkan pendidikan karakter P3 dan PPRA dalam Kurikulum Merdeka. Ketiga, Implementasi pendidikan karakter P3 dan PPRA Kurikulum Merdeka pada tahun 2021 tidak dapat mewakili jumlah keseluruhan satuan pendidikan atau sekolah di Indonesia. Dalam dataindoneisa.id, Kemendikbudristek mencatat terdapat 436.707 sekolah di Indonesia pada semester ganjil tahun ajaran 2023/2024, artinya kurang dari 1% sekolah di Indonesia yang menerapkan peneidikan karakter P3 dan PPRA dalam Kurikulum Merdeka  (Rizaty, 2023).

Berdasarkan Tabel 1, implementasi pendidikan karakter P3 dan PPRA dalam Kurikulum Merdeka berkembang pada setiap tahunnya, di tahun 2022 tercatat 140.000 satuan pendidikan,  di tahun 2023 tercatat 300.000 satuan pendidikan dan di tahun 2024 Kurikulum Merdeka serta pendidikan karakter P3 dan PPRA mulai diterapkan sebagai kurikulum nasional Indonesia (Natipulu, 2024).

Peningkatan satuan pendidikan yang menerapkan pendidikan karakter P3 dan PPRA dalam Kurikulum Merdeka diharapkan dapat mendongkrak pergerakan indeks karakter siswa di tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan analisis data, sementara ini tidak dapat menyimpulkan implementasi Kurikulum Merdeka dan pendidikan karakter dalam P3 dan PPRA dapat mempengaruhi indeks karakter siswa atau tidak. Maka dari itu, penelitian ini membutuhkan kajian dan data lebih lanjut untuk dapat menyimpulkan hal teserbut.

Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Syeikh Nawawi Al-Bantani

Sayyid Muhammad Nawawi al-Bantani, yang lebih dikenal sebagai Syekh Nawawi al-Bantani merupakan seorang ulama dan pemikir Islam terkemuka dari Banten di abad ke-19. Syeikh Nawawi memiliki pemikiran pendidikan dengan nilai-nilai Islam yang berlandaskan Al-Qur’an, hadits serta kalam sahabat (Suwarjin, 2017).

Syekh Nawawi dalam tafsir kitab tafsir marah labib menyatakan bahwa Allah telah menciptakan seorang manusia berasal dari suatu jiwa dan jiwa merupakan perwujudan dasar dari manusia. Kemudian Ibnu Qayyim melanjutkan, bahwa kesehatan jiwa adalah kesempurnaan manusia (Wibowo BS, 2017).

Manusia yang sempurna dapat dinilai dari porsi kejiwaannya, jiwa yang baik dilatih dan dibentuk dengan proses pendidikan, sehingga jiwa dapat bertumbuh, memberikan nasihat dan petunjuk menuju kebaikan tingkah, gerak dan laku dari manusia. Jika keadaan jiwanya baik, maka akan baik juga tingkah lakunya, dan begitu pun sebaliknya (Al-Bantani & Faizah, 2022).

Keseimbangan perkembangan  akal,  hawa nafsu dan hati dalam jiwa akan terjadi dan dibangun secara bertahap melalui suatu proses pencarian ilmu, yang dinamakan proses pendidikan. Harapan dari proses pendidikan tersebut, yaitu pengembangan potensi baik dan menghilangkan potensi buruk dalam diri manusia (Suwahyu et al., 2021).

Beliau menyatakan bahwa pendidikan merupakan kewajiban bagi setiap manusia, tidak hanya yang muda, sebagai bentuk rasa syukur hamba kepada Tuhannya yang telah memberikan akal sebagai perantara berpikir untuk memberantas kebodohan, mencapai martabat hidup yang berorientasi akhirat (Muhammad, Imawan, & Majid, 2023).

Menurut Al-Bantani, hakikat dari pendidikan Islam adalah ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Ta’lim merupakan proses belajar yang berkelanjutan bagi manusia  yang telah diberkahi perangkat belajar untuk mengakuisisi ilmu pengetahuan. Tarbiyah merupakan proses pemeliharaan individu sejak bayi hingga akhir hayat, meliputi perkembangan mental, fisik dan spiritualnya melalui proses pembiasaan dan pengulangan hal-hal baik. Ta’dib merupakan proses pembinaan dasar-dasar keterampilan dan bertujuan untuk memperbaiki akhlak seseorang (Al-Bantani & Faizah, 2022; Pramita et al., 2023).

Pendidikan Islam lebih menekankan penanaman akhlak mulia ke dalam jiwa manusia dari masa pertumbuhan dengan memberikan petunjuk dan nasihat, sehingga mempunyai kemampuan cinta kerja dalam kebaikan dan manfaat bagi tanah air, nusa dan bangsa (Alawiyah, 2023).

Al-Bantani menempatkan posisi akhlak diatas ilmu, beliau menyatakan bahwa tidak ada kemuliaan bagi siapa pun yang buruk akhlaknya, dan hamba Allah yang paling dicinta adalah mereka yang baik akhlaknya. Adapun ukuran bagi seseorang yang baik akhlaknya adalah kondisi jiwa seseorang yang terbentuk dari perbuatan baik menurut akal dan syara, dan perbuatan baik itu dilakukan berulang-ulang tanpa beban, sebagai kebiasaan (Al-Bantani & Faizah, 2022).

Nilai-nilai pendidikan akhlak Syeikh Nawawi Al-Bantani tertanam pada tulisan-tulisannya dalam kitab Nashaihul ‘Ibad, beliau mengkategorikan tiga pendidikan akhlak, yaitu pendidikan akhlak terhadap Allah, pendidikan akhlak terhadap diri sendiri dan pendidikan akhlak terhadap masyarakat (Al-Bantani & Faizah, 2022; Maliya et al., 2020).

Syekh Nawawi berpendapat bahwa hakikat pendidikan akhlak kepada Allah mencakup dua aspek utama. Pertama, menerima dengan ikhlas segala keputusan atau takdir Allah, yang merupakan penerapan dari rukun Iman kelima. Ketika peserta didik dapat memahami dan menerima keputusan Allah, maka mereka akan berprasangka baik kepada Allah SWT atas segala yang terjadi dalam hidup mereka. Kedua, pendidikan bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta kepada Allah. Syekh Nawawi juga menekankan bahwa dalam menuntut ilmu, seseorang harus mencintai Allah yang memberikan pemahaman dan kemudahan, sehingga Allah akan memudahkan segala urusan mereka, termasuk dalam menuntut ilmu (Al Anshory, 2020; Khafiyah, 2023).

Pendidikan akhlak terhadap diri sendiri harus menekankan dua aspek utama, yaitu wara dan kesabaran. Wara berarti menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan syubhat, yang penting untuk mencapai tingkat muttaqin. Sementara itu, kesabaran adalah upaya penting dalam menuntut ilmu, karena kesabaran akan menghasilkan hasil yang gemilang. Hal ini didukung oleh surat Al-Baqarah ayat 286, yang menyatakan bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melebihi kesanggupannya dan surat Al-Baqarah ayat 153, yang mendorong umat beriman untuk memohon pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, karena Allah bersama orang-orang yang sabar (Al Anshory, 2020; Khafiyah, 2023).

Lingkungan masyarakat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang dan pembentukan karakter peserta didik. Syekh Nawawi mengajarkan bahwa akhlak terhadap masyarakat harus didasarkan pada kejujuran dan keadilan. Kejujuran membawa ketenangan dalam hidup dan menghindarkan dari beban moral, karena ucapan yang sesuai dengan kenyataan akan dihargai tinggi, sementara yang tidak sesuai akan merendahkan nilai seseorang. Selain itu, keadilan yang dimaksud bersifat fleksibel dan harus disesuaikan dengan konteks, sehingga penerapan keadilan yang tepat dapat menciptakan masyarakat yang aman dan tentram (Al Anshory, 2020; Khafiyah, 2023).

 

Studi Komparasi: Pendidikan Karakter P3 dan PPRA dan Pendidikan Akhlak Syekh Nawawi Al-Bantani

Syekh Nawawi memiliki pemikiranya tersendiri atas lima dasar pengembangan Kurikulum Merdeka yang termaktub dalam karya tulisan beliau. Pertama, pembelajaran disusun atas pertimbangan tahap perkembangan, pencapaian, kebutuhan  peserta didik. Pemikiran Syekh Nawawi  ini bersumber dari pemikiran Imam Al-Ghazali, beliau menyatakan bahwa dalam menyajikan materi pelajaran harus dimulai dari yang paling mudah, sesuai dengan akal dan pikiran peserta didik, berdasarkan perkembangan usianya dan kematangan tingkat intelektualitasnya (Bashori, 2017).

Kedua, pembelajaran dirancang berdasarkan konteks yang relevan dengan lingkungan dan budaya peserta didik. Dalam penyusunan beberapa karyanya sebagai bahan ajar, Syekh Nawawi mengutamakan kesesuaian materi atas lingkungan dan budaya masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Sehingga, dalam karyanya beliau menggunakan pandangan atau madzhab syafi’iyah  sebagaimana mayoritas muslim Indonesia merujuk kepada Imam Asy-Syafi’i. Karya beliau tersebut memberikan manfaat terhadap kehidupan masyarakat muslim di Indonesia (Hidayat, 2019).

Ketiga, pembelajaran disusun dengan tujuan membangun kapasitas peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat. Kecintaan Syekh Nawawi kepada ilmu pengetahuan tergambar dalam kehidupan beliau yang telah memulai proses pendidikannya sejak usia lima tahun, kemudian melanjutkan pendidikan ke Makkah dan Madinah hingga beliau wafat. Motivasi belajar Syekh Nawawi dipengaruhi oleh Imam Syafi’i yang menjelaskan bahwa ketidakpantasan bagi seseorang yang cerdas dan berbakat mengambil jeda dan berdiam diri untuk menuntut ilmu. Dalam kitab Qami’ut Tughyan ala Manzumat Shu’b al-Iman karangan Syekh Nawawi, beliau mengutip hadits “carilah ilmu sejak lepas dari buaian ibu hingga memasuki liang kubur”, melalui hadits tersebut Syekh Nawawi menjelaskan bahwa anjuran menuntut ilmu sepanjang hayat bagi umat muslim (Ismail & Wardi, 2021).

Keempat, pembelajaran bertujuan untuk menciptakan masa depan peserta didik yang berkelanjutan. Menurut Syekh Nawawi, proses pendidikan bertujuan untuk menggapai keridhoan Allah, memperoleh kehidupan dunia dan akhirat, memberantas kebodohan, mempertahankan dan memajukan Islam. Pendidik itu sendiri memberikan kemanfaatan bagi dirinya, bangsa dan negara, serta membangun perkembangan peradaban Islam di masa depan (Asrowi, 2022).

Kelima, pembelajaran mendukung perkembangan kompetensi dan karakter peserta didik secara holistik. Syekh Nawawi berpendapat bahwa proses pendidik itu tidak hanya transfer ilmu, akan tetapi juga harus membentuk karakter dan kepribadian siswa (Muhammad, Imawan, & Fathul Majid, 2023).

Menurutnya, seorang peserta didik perlu memiliki kepribadian yang baik dalam menuntut ilmu, sebagaimana tujuan dari pendidikan karakter itu sendiri. Menurut Syekh Nawawi, karakter atau akhlak yang baik bagi peserta didik itu ada 3 bagian, yaitu akhlak terhadap Allah SWT, akhlak terhadap masyarakat, akhlak terhadap ilmu dan guru (Diana et al., 2021).

Konsep internalisasi dan pembentukan karakter dalam Kurikulum Merdeka termuat dalam penguatan proyek P3 dan PPRA. proyek tersebut bertujuan membentuk karakter pelajar sepanjang hayat yang berkompeten, berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila, berakhlak mulia, bertaqwa kepada Tuhan, serta berpemahaman yang moderat dalam beragama (Asrohah et al., 2022).

Syekh Nawawi menyatakan, bahwa salah satu syarat menyempurnakan ilmu yang perlu diperhatikan oleh pelajar agar dapat mencapai cita-citanya adalah belajar sepanjang hayat, meluangkan waktu yang lama untuk belajar sebanyak-banyaknya agar mencapai tingkat kesempurnaan ilmu (Al-Bantani & Faizah, 2022).

Dalam penguatan proyek P3 dan PPRA, Nasionalisme merupakan salah satu puncak pendakian peserta didik dalam menuntaskan pendidikannya. Seorang peserta didik diminta agar menanamkan benih rasa cinta dan bela Negara dalam dirinya. Syekh Nawawi menjelaskan bahwa setiap elemen warga negara, diwajibkan untuk menjaga dan mencintai tanah airnya. Jiwa Nasionalisme dibutuhkan untuk menjaga dan merealisasikan tujuan agama. Dalam kitab tafsir marah labib karangan Syekh Nawawi, menyebutkan bahwa terdapat lima tujuan Agama dalam kehidupan bernegara berdasarkan tafsir Qur’an surat Al-Baqarah ayat 126, yaitu melindungi Agama, melindungi jiwa, melindungi akal, melindungi keturunan dan melindungi harta (Muqit, 2022).

Tafsir Syekh Nawawi dalam surat Al-Baqarah ayat 143 juga menjelaskan posisi umat Islam sebagai umat yang moderat di tengah perbedaan pendapat dan kemajemukan suatu bangsa dengan istilah ummatan wasathan. Menurut Syekh Nawawi, Ummatan wasathan  diartikan sebagai keseimbangan ilmu dan amal (Ubaedillah, 2023). Moderasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi pilar yang menjaga keberlangsungan hidup dan kerukunan antar umat beragama. Syekh Nawawi, menyatakan bahwa sebuah negara yang damai dan sejahtera dapat memberikan ketenangan yang signifikan bagi umat beragama dalam melaksanakan kegiatan ibadah (Muqit, 2022).

Kemajemukan dalam kehidupan berbangsa merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya: 107, Allah berfirman:

 وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

 

Artinya: Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al-Anbiya : 107).

Q.S. Al-Anbiya ayat 107 merupakan penjelasan atas diutusnya Rasulullah SAW ke muka bumi. Dalam ayat terebut rahmat atau kasih sayang dari Allah merupakan nilai yang diberikan atas kemajemukan dan keberagaman manusia. Keberagaman merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah negara. Keberagaman ras, suku, agama, ada istiadat, dan etnik budaya pada suatu negara harus diimbangi dengan rasa keadilan. Hal tersebut tertuang dalam konsep Rahmatan lil ‘Alamin, Syekh Nawawi dalam tafsir kitab marah labib menyatakan bahwa rahmatan atau rahmah merupakan aturan-aturan syariah dalam bentuk kasih sayang dari Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Rahmat atau kasih sayang yang diberikan mencakup seluruh ‘Alam, termasuk dunia dan akhirat (Anifah, 2017).

Syekh Nawawi Al-Bantani dengan pemikirannya tentang dunia pendidikan memberikan penjelasan yang komprehensif. Secara umum pendidikan karakter P3 dan PPRA dinilai relevan atas pemikiran yang dimiliki beliau. Relevansi pemikiran Syekh Nawawi dengan Pendidikan karakter P3 dan PPRA, yaitu mempertimbangkan banyak aspek dalam implementasi dan internalisasi nilai-nilai pendidikan karakter, yaitu aspek perkembangan psikologis, kebutuhan lingkungan, keberlangsungan masa depan, motivasi belajar serta mempertimbangkan perkembangan karakter dan akhlak dari peserta didik.

Adapun beberapa hal yang menjadi bahan perbandingan dalam implementasi P3 dan PPRA dengan pendidikan akhlak Syekh Nawawi, yaitu dari segi peran keluarga dan lingkungan dalam internalisasi nilai-nilai pendidikan karakter, serta peran guru sebagai role model yang memberikan contoh-contoh baik kepada peserta didik.

 Secara konseptual, pendidikan akhlak Syeikh Nawawi yang menjelaskan pendidikan sepanjang hayat dimulai dalam lingkungan keluarga, sedangkan pendidikan karakter P3 dan PPRA hanya melakukan proses internalisasi nilai di lingkungan sekolah tanpa konsep yang menjelaskan bagaimana orang tua sebagai lingkungan pendidikan karakter pertama bagi anak. Sebagaimana Al-Ghazali Imam Al-ghazali mengklasifikasikan pendidikan akhlak dalam dua tahapan, yaitu pendidikan akhlak secara non-formal dan formal. Beliau berpendapat bahwa pendidikan akhlak berawal dari ruang lingkup keluarga, dimulai dengan pemeliharaan diri dari pola makan yang sehat dan baik bagi anak-anak, serta pengawasan lingkungan pergaulan, kemudian pendidikan akhlak dilanjutkan di sekolah yang baik dan mengajarkan nilai-nilai akhlak al-karimah berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, dan riwayat-riwayat (Tarom, 2021).

Pendidikan karakter dalam P3 dan PPRA meminimalisir peran guru sebagai pusat dalam pembelajaran dengan mengusung konsep pembelajaran mandiri dan student centered dan pembelajaran berbasis pengalaman. Berbeda dengan pendidikan akhlak yang diajarkan Syekh Nawawi, guru memiliki peran penting dalam internalisasi nilai-nilai akhlak baik, guru berperan sebagai fasilitator aktif yang tidak hanya memoderasi proses pendidikan dan pembentukan karakter, guru dituntut sebagai seorang yang profesional dan memiliki kepribadian serta akhlak yang baik, sehingga seorang guru menjadi qudwah hasanah, cerminan akhlak terpuji Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam (Iwantoro, 2019).

 


 

KESIMPULAN

Pendidikan karakter dalam Kurikulum Merdeka berupaya mengembangkan potensi peserta didik melalui penanaman nilai-nilai moral dan etika. Implementasi pendidikan karakter ini diwujudkan melalui proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila (P3) dan Profil Pelajar Rahmatan lil ‘Alamin (PPRA), menekankan pentingnya nilai-nilai luhur bangsa, toleransi, dan moderasi beragama. Dengan prinsip holistik, kontekstual, dan berpusat pada peserta didik, P3 dan PPRA bertujuan untuk menciptakan peserta didik yang tidak hanya unggul secara kognitif, tetapi juga memiliki karakter yang baik, bertakwa, berakhlak mulia, dan mampu hidup harmonis dalam masyarakat. Pelaksanaan proyek ini melibatkan kegiatan kokurikuler, integrasi pembelajaran intrakurikuler, ekstrakurikuler, dan pembiasaan kegiatan rutin di sekolah, dengan dukungan penuh dari guru dan sekolah sebagai fasilitator.

Rendahnya indeks karakter siswa dalam tahun 2021 tidak dapat mencerminkan tidak berdampaknya pendidikan karakter P3 dan PPRA pada  Kurikulum Merdeka dalam menginternalisasikan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan nilai-nilai islami yang moderat, karena sampel dan populasi tidak mewakilkan siswa yang telah mendapatkan pendidikan karakter melalui proyek P3 dan PPRA.

Syekh Nawawi al-Bantani menekankan pentingnya pendidikan akhlak sebagai dasar pembentukan karakter manusia yang mulia melalui tiga dimensi utama: akhlak kepada Allah, akhlak terhadap diri sendiri, dan akhlak terhadap masyarakat. Dalam aspek akhlak kepada Allah, Syekh Nawawi mengajarkan pentingnya ikhlas menerima takdir Allah sebagai implementasi dari rukun Iman kelima, dengan pemahaman dan penerimaan terhadap keputusan Allah membantu individu selalu berprasangka baik kepada-Nya. Pendidikan akhlak juga bertujuan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, dengan keyakinan bahwa mencintai Allah akan memudahkan segala urusan, termasuk dalam proses menuntut ilmu. Dalam hal akhlak terhadap diri sendiri, dua aspek utama yang ditekankan adalah wara dan kesabaran. Wara, yang berarti menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan perkara syubhat, penting untuk mencapai derajat muttaqin. Sementara itu, kesabaran sangat dihargai dalam proses menuntut ilmu, karena Allah menjanjikan bahwa setiap individu tidak akan dibebani melebihi kesanggupannya, dan kesabaran akan membawa hasil yang gemilang. Dalam akhlak terhadap masyarakat, Syekh Nawawi mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan sebagai dasar interaksi sosial. Kejujuran membawa ketenangan hidup dan menjaga nilai diri di mata orang lain, sedangkan keadilan harus diterapkan sesuai dengan konteks untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang aman dan tentram. Secara keseluruhan, pendidikan akhlak menurut Syekh Nawawi bertujuan membentuk manusia yang seimbang dalam aspek spiritual, mental, dan sosial, dengan menekankan nilai-nilai kejujuran, keadilan, wara, dan kesabaran, yang diharapkan dapat menciptakan individu berakhlak mulia, memiliki cinta kerja, dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Pendidikan akhlak menurut Syekh Nawawi dan pendidikan karakter P3 dan PPRA dalam Kurikulum Merdeka memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Keduanya menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai bagian integral dari proses pembelajaran, serta nilai-nilai agama dan moral sebagai dasar pendidikan. Namun, ada perbedaan mendasar dalam pendekatan mereka. Syekh Nawawi menekankan pentingnya peran aktif guru sebagai model dan fasilitator dalam internalisasi nilai-nilai akhlak, serta menekankan peran keluarga sebagai lingkungan pendidikan karakter pertama bagi anak. Sebaliknya, P3 dan PPRA lebih mengusung konsep pembelajaran mandiri dan student-centered yang meminimalisir peran guru sebagai pusat dalam pembelajaran. Selain itu, Syekh Nawawi mengintegrasikan materi pelajaran dengan budaya lokal dan menggunakan pandangan madzhab syafi’iyah, sedangkan P3 dan PPRA dirancang berdasarkan konteks yang relevan dengan lingkungan dan budaya peserta didik secara lebih luas. Meskipun memiliki pendekatan yang berbeda, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mengembangkan peserta didik secara holistik dan membentuk karakter yang baik dan berakhlak mulia.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Bantani, S. N., & Faizah, A. F. (2022). Nashaihul ’Ibad: Nasihat-nasihat dan Cerita-cerita dari Khazanah Nabi Saw, Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, Sufi, dan Ulama. DIVA PRESS. https://books.google.co.id/books?id=4PRXEAAAQBAJ

Al Anshory, M. L. (2020). Kontekstualisasi Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani tentang Pendidikan Akhlak di Madrasah Tsanawiyah. El-Hikmah: Jurnal Kajian Dan Penelitian Pendidikan Islam, 14(1), 23–41.

Alawiyah, T. (2023). Ilmu Pendidikan Islam (Dalam Teori Suasana Pendidikan Islam). PT. Sonpedia Publishing Indonesia. https://books.google.co.id/books?id=I-StEAAAQBAJ

Anifah, S. (2017). PERANAN NABI MUHAMMAD SEBAGAI RAHMAT LI AL ‘ALAMIN DALAM SURAT AL-ANBIYA’ AYAT 107 PERSPEKTIF MUFASIR INDONESIA. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL.

Arifin, N. (2020). Pemikiran Pendidikan John Dewey. As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga, 2(2), 168–183.

Asrohah, H., Hasanah, M., Yuliantina, I., Hasan, M. A., & Ambarwati, A. (2022). Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Rahmatan Lil Alamin. Direktorat KSKK Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 1–70.

Asrowi. (2022). Pendidikan Islam Menurut Syaikh Nawawi Al-Bantani Dan Implikasinya di Era Globalisasi. JURNAL AKSIOMA AL-ASAS: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Din, 3(2), 135–148.

Barlian, U. C., & Solekah, S. (2022). Implementasi kurikulum merdeka dalam meningkatkan mutu pendidikan. JOEL: Journal of Educational and Language Research, 1(12), 2105–2118.

Bashori. (2017). Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani. HIKMAH: Jurnal Pendidikan Islam, 6(1), 37–58.

Diana, Z. A., Farhan, M., & Sarjuni. (2021). Etika Pelajar Perspektif Syekh Nawawi Al-Bantani dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam ( Telaah Buku Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani Karya Maragustam ). Konstelasi Ilmiah Mahasiswa Unissula (Kimu) 5, 206–214.

Ependi, N. H., Pratiwi, D., Ningsih, A. M., Kamilah, A., Wijayanto, P. W., Dermawan, H., Hutapea, B., Yusuf, M., & Alamsyah, T. (2023). Pendidikan Karakter. Sada Kurnia Pustaka. https://books.google.co.id/books?id=3-yrEAAAQBAJ

Habibullah, N. (2023). Manajemen Pendidikan Karakter Pada Kurikulum Merdeka Belajar. At-Ta’lim: Kajian Pendidikan Agama Islam, 5(I).

Hidayat, A. W. (2019). Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani dan Relevansinya di Era Modern. JURNAL AQLAM-Journal of Islam and Plurality, 4(2), 196–214. http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/AJIP/article/view/1012

Ihyakulumudin, M., & Dewi, R. S. (2022). Analisis Biplot Pada Pemetaan Indeks Karakter Siswa Dan Pembangunan Manusia Pada Provinsi Di Indonesia. Educandum, 8(1), 172–181.

Ismail, & Wardi, M. (2021). PEMIKIRAN SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI TENTANG ILMU DAN ULAMA DALAM KITAB QAMI’UT TUGHYAN. Kabilah: Journal of Social Community, 5(September 2020). https://doi.org/10.35127/kbl.v5i1.4006

Iwantoro, I. (2019). Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Journal of Islamic Education (JIE), IV(2), 153–163.

Khafiyah, M. A. N. A. (2023). KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT SYEKH NAWAWI AL-BANTANI DALAM KITAB NASHAIHUL ‘IBAD. SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) PEMALANG.

Maliya, I. A., Thohari, I., & Ertanti, D. W. (2020). Nilai-Nilai Pendidikan AKhlak dalam Kitab Nashaihul ’Ibad Karya Syekh Nawawi Al-Bantani. VICRATINA: Jurnal Pendidikan Islam, 5.

Minsih, M., Fuadi, D., & Rohmah, N. D. (2023). Character education through an independent curriculum. Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan, 15(1), 597–602.

Muhammad, H. Z., Imawan, D. H., & Fathul Majid, M. F. (2023). Pemikiran Pendidikan Islam Syekh Nawawi Al- Bantani: Paradigma Pengajaran Multidimensi. Nusantara: Jurnal Pendidikan Indonesia, 3(2), 291–310.

Muhammad, H. Z., Imawan, D. H., & Majid, M. F. F. (2023). Pemikiran Pendidikan Islam Syekh Nawawi Al-Bantani: Paradigma Pengajaran Multidimensi. Nusantara: Jurnal Pendidikan Indonesia, 3(2), 291–310.

Muqit, A. (2022). Memperkuat Nasionaisme Kebangsaan Perspektif Syekh Nawawi Al-Bantani dan M. Quraish Sihab. Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an, Tafsir Dan Pemikiran Islam, 3(2), 236–250. https://doi.org/10.58401/takwiluna.v3i2.751

Musfah, J. (2012). Pendidikan Holistik: Pendekatan Lintas perspektif (1st ed.). Kencana Pranada Media Group. https://books.google.co.id/books?id=mqRADwAAQBAJ

Natipulu, E. L. (2024). Kurikulum Merdeka Resmi Jadi Kurikulum Nasional. Kompas.Id. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/03/27/kurikulum-merdeka-resmi-jadi-kurikulum-nasional

Pramita, A. W., Lubis, C. N., Aulia, N., & Sopha, G. Z. (2023). Hakikat Pendidikan Islam: Tarbiyah, Ta’lim Dan Ta’dib. Journal of Educational Research and Humaniora (JERH), 83–89.

Purnawanto, A. T. (2023). Pendidikan Karakter Melalui Internalisasi Profil Pelajar Pancasila Dalam Kurikulum Merdeka. JURNAL PEDAGOGY, 16(2), 103–115.

Putri, N. S. E., Setiani, F., & Al Fath, M. S. (2023). Membangun Pendidikan Karakter Berbasis Kurikulum Merdeka Menuju Era Society 5.0: Building Character Education Based On The Merdeka Curriculum Towards Society Era 5.0. Pedagogik: Jurnal Pendidikan, 18(2), 194–201.

Rizaty, M. A. (2023). Kemendikbud Catat 436.707 Sekolah di Indonesia pada 2023/2024. https://dataindonesia.id/pendidikan/detail/kemendikbud-catat-436707-sekolah-di-indonesia-pada-20232024

Suherman, A. (2023). Implementasi Kurikulum Merdeka: Teori dan Praktik Kurikulum Merdeka Belajar Penjas SD (1st ed.). Indonesia Emas Group. https://books.google.co.id/books?id=fTvaEAAAQBAJ

Suwahyu, I., Nurhilaliyah, N., & Muthmainnah, S. (2021). Aksiologi Pemikiran Pendidikan Islam Syekh Nawawi Al-Bantani Di Era Globalisasi. Tadrib, 6(2), 229–243. https://doi.org/10.19109/tadrib.v6i2.5149

Suwarjin, S. (2017). Biografi Intelektual Syekh Nawawi Al-Bantani. Tsaqofah Dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan Dan Sejarah Islam, 2(2), 189. https://doi.org/10.29300/ttjksi.v2i2.717

Tarom, M. A. (2021). Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali. GUAU: Jurnal Pendidikan Profesi Guru Agama Islam, 1(2), 177–182.

Ubaedillah, A. (2023). Nawawi al-Bantani, Ulama Publik dan Punggawa Islam Moderat. Mediaindonesia.Com. https://mediaindonesia.com/opini/582604/nawawi-al-bantani-ulama-publik-dan-punggawa-islam-moderat

Wibowo BS, T. (2017). Akulah Debu Di Jalan Al-Musthofa. Prenada Media. https://books.google.co.id/books?id=v92VDwAAQBAJ

Zaeni, A., Sari, N. Hu. M., Syukron, A. A., Fahmy, A. F. R., Prabowo, D. S., Ali, F., & Faradhillah, N. (2023). Kurikulum Merdeka pada Pembelajaran di Madrasah (1st ed.). PT Nasya Expanding Management. https://books.google.co.id/books?id=tQbHEAAAQBAJ

Zed, M. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. https://books.google.co.id/books?id=zG9sDAAAQBAJ