PENANAMAN MODERASI BERAGAMA

BAGI SISWA SEKOLAH DASAR MENUJU INDONESIA

BEBAS CRIMINAL TERRORISM PADA TAHUN 2045

 

Susana Aditiya Wangsanata*

Sariyani**

Soim Hasani***

*Sekolah Tinggi Islam Sunniyyah Selo Grobogan, Indonesia

**Sekolah Tinggi Islam Sunniyyah Selo Grobogan, Indonesia

***Sekolah Tinggi Islam Sunniyyah Selo Grobogan, Indonesia

*E-mail: wangsanata@stiss.ac.id

**E-mail: sariyani195@gmail.com

***E-mail: hasanisoim@gmail.com

 

Abstract

The study aims to formulate the cultivation of religious moderation for elementary school students to achieve a criminal terrorism-free Indonesia by 2045. The analysis of this research is descriptive qualitative. The data used is secondary data. Secondary data were obtained from various reliable sources of scientific articles relevant to the focus of this research. The data collected was then analyzed by the descriptive method to find the proper understanding of the subject matter of this research. This study concludes that the urgency of inculcating religious moderation for elementary school students is an important point to be realized immediately, given that in 2045 elementary school students will be aged between 33-37 years (productive age). Furthermore, so that the cultivation of religious moderation can be one of the efforts to free Indonesia from criminal terrorism in 2045, three things must be instilled, namely: (1) students should not consider themselves exclusive and selfish and consider others wrong; (2) educating students to love the homeland with various religious and cultural diversity and customs in Indonesia; (3) teaches students to be tolerant of others and should not interfere with what is the belief of other people's religious and cultural beliefs.

Keywords: religious moderation, criminal terrorism, elementary school students

 

                                                                    Abstrak                       

Tujuan penelitian guna merumuskan penanaman moderasi beragama bagi siswa sekolah dasar dalam upaya menuju Indonesia bebas criminal terrorism pada tahun 2045. Analisis penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif. Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber artikel ilmiah tepercaya yang relevan dengan fokus penelitian ini. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis dengan metode deskriptif agar menemukan pemahaman yang tepat mengenai pokok permasalahan penelitian ini. Kesimpulan penelitian ini yaitu perlu adanya implementasi kurikulum moderasi beragama dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Khususnya adalah untuk dinas pendidikan menjadi pondasi utama mengimplementasikan kebijakan tersebut, mengingat bahwa pada tahun 2045 siswa sekolah dasar akan berusia antara 33-37 tahun (usia produktif). Selanjutnya agar penanaman moderasi beragama dapat menjadi salah satu upaya membebaskan Indonesia dari criminal terrorism pada tahun 2045. Tahapan capaian yang diharapkan adalah 5 tahun pertama, siswa mendapatkan pengenalan apa makna moderasi beragama. 5 tahun kedua, siswa memahami ap aitu moderasi beragama. 5 tahun ketiga sudah beranjak dewasa dan bisa mengimplementasikan secara baik moderasi beragama. Dan 5 tahun berikutnya, mampu menangkal isu-isu radikalisme, oleh sebab itu, ada 3 hal yang harus ditanamkan, yaitu: moderasi beragama bagi siswa SD di Indonesia belum terlaksana dengan baik. Maka dari itu upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam proses penanaman moderasi beragama adalah dengan memberikan siswa materi-materi yang berkaitan dengan toleransi beragama dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkannya kepada sesama teman.

Kata kunci:  moderasi beragama, criminal terrorism, siswa sekolah dasar

 

 



PENDAHULUAN

Moderasi beragama menjadi hal yang sangat urgent untuk ditanamkan kepada siswa sejak dini, agar kelak tidak terpapar oleh paham ekstrimisme, radikalisme, yang kemudian  diakhiri dengan tindakan terror (Fauzian dkk., 2021, hlm. 2). Mengingat bahwa, isu terorisme atas nama agama menjadi permasalahan yang belum terpecahkan di berbagai belahan dunia, seperti di Eropa, Timur Tengah dan Asia termasuk di Indonesia (Handoko, 2019, hlm. 155). Kasus terbaru yaitu Al-Sabaab yang terafiliasi oleh al-Qaeda, terjadi di salah satu hotel di ibu kota Somalia. Kasus tersebut menewaskan lebih dari 20 orang dan puluhan lainnya terluka. Kasus ini terjadi pada hari Jumat malam tanggal 19 Agustus 2022. Dalam aksi terror tersebut diwarnai dengan penyanderaan kepada pengunjung hotel selama 30 jam (Tempo.co, 2022).

Melihat realitas kasus di atas, menunjukkan sulitnya memberantas pelaku terror, sehingga menjadi kekhawatiran di setiap negara. Aksi terror sering dipicu oleh permasalahan akidah atau agama yang dianut. Maka, salah satu solusi yang dapat diambil adalah dengan menanamkan konsep moderasi beragama khususnya pada lingkungan pendidikan. Kasus di atas menunjukkan bahwa agama sering digunakan untuk landasan ideologis serta pembenaran dalam melakukan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama (Nursalim, 2017, hlm. 337). Hal itu disebabkan oleh sikap berlebihan dalam beragama yang kemudian memunculkan ketidak sesuaian akidah dan perilaku (Yunus, 2017, hlm. 85). Sikap berlebihan tersebut, justru menjadi alasan untuk memperoleh keselamatan di dunia serta di akhirat. Pada hakikatnya, agama mampu memberikan jaminan keselamatan serta kebahagiaan di akhirat pada masa yang akan datang. Namun sesungguhnya keselamatan dapat diraih dengan melaksanakan tindakan yang bermoral, etis serta santun, bukan dengan kekerasan (Fios, 2011, hlm. 1335).

Merujuk pada kasus terror di atas, Indonesia sendiri tengah mengalami hal serupa, yaitu masih dalam upaya memberantas para pelaku terror. Pelaku terror yang terafiliasi dengan NII masih beroperasi sampai saat ini di wilayah Sulawesi Tengah. Dengan adanya fakta ini, maka menunjukkan bahwa di Indonesia masih mengalami krisis criminal terrorism. Maka, hal ini pula menandakan belum adanya konsep penanaman moderasi beragama di Indonesia, terkhusus pada siswa Sekolah Dasar. Hal ini didasarkan pada analisis peneliti bahwa para anggota NII pasti pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar. Namun pada kenyataannya, di usia para anggota NII yang produktif, justru terpapar oleh paham radikal. Hal ini menjadi titik spekulasi peneliti bahwa para anggota NII semasa duduk di bangku sekolah dasar tidak mendapatkan materi mengenai moderasi beragama. Bahkan, sampai saat ini pun konsep moderasi beragama belum terlaksana dengan sempurna. Hal itu dibuktikan dengan hasil penelitian bahwa analisis nilai moderasi beragama di dalam Permendikbud No. 37 Tahun 2018, dalam hal ini adalah KD (Kompetensi Dasar) PAI jenjang SD berjumlah 46 dari 98 KD, yaitu hanya 46,94%. Oleh sebab itu, angka persentase tersebut masih kurang efektif dalam mendukung tercapainya sikap moderasi beragama (Abidin, 2021, hlm. 735).

Hasil penelitian PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Syarif Hidayatullah dengan responden yaitu terdiri dari siswa, guru, mahasiswa dan dosen di Indonesia ditemukan dari sebanyak 1.859 siswa tersebut 20-25 diantaranya tidak toleran bersimpati pada gerakan radikalisme. Perilaku siswa yang tidak toleran akan memunculkan tindakan radikalisme yang kemudian berujung pada sikap radikal (Rinda Fauzian dkk., 2021, hlm. 3). Sementara, data dari hasil survey Wahid Foundation dan Lingkar Survey Indonesia bahwa pada tahun 2016 ada 11 juta dari keseluruhan penduduk 150 juta muslim Indonesia, siap melakukan tindakan radikal. Jumlah tersebut apabila dalam hitungan persen sebanyak 7,7 persen dari seluruh jumlah penduduk muslim Indonesia. Adapun jumlah penduduk muslim Indonesia yang pernah melakukan tindakan radikal sebanyak 600 ribu orang atau 0,4 persen dari jumlah penduduk muslim Indonesia. Data di atas, menjadi momok yang mengkhawatirkan apabila para penerus bangsa mudah terpapar paham radikal.  Dimana sekolah dasar dan menengah bahkan sampai taman kanak-kanak memiliki resiko terpapar oleh ajaran intoleran dan radikalisme (Imron, 2018, hlm. 2).

Selama ini, intoleran dan radikalisme menjelma menjadi bentuk jihad fi sabilillah yang banyak di istilahkan oleh para pelaku terror. Namun kenyataannya, dalam ajaran Islam tidak mengajarkan untuk melakukan tindakan terror dalam menyebarkan agama Islam, justru menyebarkan ajaran agama Islam dengan mengedepankan ajaran amar ma’ruf nahi munkar (Nursalim, 2017, hlm. 337). Istilah jihad fi sabilillah tersebut yang dimaknai oleh para pelaku terror merupakan bentuk lain dari fanatisme terhadap agama yang kemudian berujung pada tindakan pembunuhan, baik dilakukan oleh individu maupun kelompok (Nursalim, 2017, hlm. 333).

Menurut hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa, terorisme bukanlah bentuk dari jihad fi sabilillah, namun adanya kecenderungan untuk mengidentikkan jihad fi sabilillah dan terorisme guna menutupi hak orang lain dalam menentukan hidup (Arake, 2012, hlm. 192–193). Fakta dilapangan menunjukkan banyaknya kekeliruan individu atau kelompok yang menempuh jalan pintas untuk menyalurkan emosi dengan mengatasnamakan jihad fi sabilillah maka hal tersebut tidak dibenarkan serta melanggar hukum Islam (Mathar, 2009, hlm. 127). Kekeliruan tersebut merupakan dampak dari kesalahpahaman dan kedangkalan dalam memahami ajaran agama Islam. Mengingat bahwa kelompok ideologi jihadis yang sejak awal munculnya telah dilabeli hasil dari produk agama Islam (K. Nisa & Muchlisin, 2018, hlm. 43).

Hasil riset lainnya juga menuliskan sebuah pendapat dari seorang ahli gerakan revivalisme yaitu Mark Juergenmeyer yang mengatakan bahwa “ada kerancuan yang mendasar terkait doktrin keagamaan yang dipahami sebagian basis legitimasi untuk berbuat kekerasan atas negara yang dianggap sekuler”. Selain itu dalam hasil riset yang sama disebutkan juga bahwa R. Scott Appleby mengatakan “ada ambivalensi dalam doktrin suci keagamaan dengan kekerasan yang dilakukan” maksud abivalensi itu adalah adanya rasa bertentangan dengan orang lain (Qodir, 2018, hlm. 431).

Berdasarkan berbagai data dan fakta di atas, yang kemudian merujuk pada aksi terorisme di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dan kelam. Aksi terror tersebut berdampak pada keutuhan bangsa dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan tatanan negara. Hal itu dikarenakan aksi terorisme di Indonesia tidak hanya ditujukan pada satu golongan agama saja, tetapi dilakukan dan ditujukan pula kepada golongan agama lain, oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan agama. Aksi terorisme dengan mengatasnamakan gama inilah yang kemudian disebut dengan criminal terrorism, mengingat banyaknya bentuk aksi teroris dengan kategori masing-masing. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa, saat ini memang sulit meletakkan garis batas secara jelas antara wilayah agama dan non agama (sosial, politik, budaya dan ekonomi). Dikarenakan pada suatu saat keduanya terasa seperti bercampur aduk menjadi satu (Asmara, 2016, hlm. 64).

Kondisi di atas menjadi salah satu faktor menjamurnya para pelaku teror. Menurut Solahudin seorang peneliti dari Lembaga Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial UI mencatat bahwa kasus teror di Indonesia mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2015 sebanyak 260 kasus. Sementara itu BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) mencatat dari tahun ke tahun pelaku yang terlibat aksi terorisme sebanyak 2,7 juta orang sampai dengan bulan Januari 2016. Jumlah tersebut belum termasuk para pengikut jaringan terorisme tersebut (Widiatmaka & Hakim, 2020, hlm. 20).  Data terbaru jumlah pelaku teroris di Indonesia sebanyak 172 kasus terror pada tahun 2017 dan diperkirakan ada 300 narapidana teroris diseluruh lapas di Indonesia. Sementara itu ada sekitar 800 narapidana teroris yang telah diberi program deradikalisasi oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris) (Indrawan & Aji, 2019, hlm. 2).

Banyaknya kasus terror di atas tidak menutup kemungkinan bahwa para pelaku terror adalah anak-anak dan remaja. Hal itu dikuatkan dengan hasil penelitian yaitu keterlibatan kaum pemuda dalam pusaran radikalisme ideologi serta terorisme keagamaan adalah hal yang tidak terbantahkan. Dimana selalu ada peran aktif pemuda dalam setiap peristiwa terorisme keagamaan dan peristiwa kekerasan baik di Indonesia maupun di kancah internasional. Dalam sejumlah peristiwa terror, sekalipun bukan berperan sebagai ideolog maupun mentor spiritual, para pelaku adalah anak-anak dan remaja. Adapun beberapa peristiwa aksi terorisme yang terjadi di wilayah Surabaya, Sidoarjo, yang keseluruhannya dilakukan oleh satu anggota keluarga termasuk anak-anak (Nugraha dkk., 2020, hlm. 82).

Sementara itu kasus terror penyerangan gereja Santo Joseph di Medan pada tahun 2016, pelaku adalah seorang remaja dengan usia 19 tahun. Dalam kasus ini ada indikasi yang kuat yaitu sebagai bentuk dari “lone wolf”. Hal ini sejalan dengan gerakan Bahrun Naim yaitu dari kelompok Khatibah Nusantara. Gerakan ini merekrut anak-anak dan remaja pada usia di bawah 18 tahun. Tujuan perekrutan tersebut adalah untuk mengajarkan perakitan bom dengan bahan-bahan sederhana. Kemudian melakukan aksi terror baik secara kelompok maupun individual (Haryani, 2020, hlm. 153–154). Fenomena tersebut sangat memprihatinkan bagi bangsa Indonesia, dimana penerus generasi bangsa banyak yang terlibat dalam kasus terror. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pelibatan anak-anak serta keluarga akhir-akhir ini banyak mencuat dipermukaan. Dengan kata lain peristiwa terror banyak memanfaatkan anak-anak (Zidni, 2018, hlm. 155).

Selain pelaku teroris adalah anak-anak, pelaku lainnya yaitu dari kalangan remaja yang usianya produktif. Sebuah hasil riset mencatat bahwa banyak pelaku terror dan radikalisme dilakukan oleh pemuda, baik dari kalangan pelajar maupun mahasiswa. Hal itu dibuktikan dari peristiwa pengeboman di hotel JW Marriot yang dilakukan oleh Dani Dwi Permana yaitu pelajar kelas XI SMA. Dari kalangan mahasiswa yaitu Maruto  Jati  Sulistyo,  mahasiswa  Fakultas Kedokteran Universitas Sultan Agung, Semarang. Kemudian Fajar Firdaus, Sonny Jayadi, dan Afham Ramadhan, mahasiswa  UIN  Syarif  Hidayatullah, diamana diduga mahasiswa tersebut membantu memberikan fasilitas tempat tinggal kepada Syaifudin Zuhri serta Mohamad Syahrir pelaku pengeboman hotel JW Marriot DAN Ritz Carlton pada tanggal 17 Juli tahun 2009. Peristiwa lainnya yaitu bom bunuh diri yang dilakukan oleh Muhammad Syarif di masjid Mapolres Cirebon dan bom bunuh diri di GBIS Keputon Solo yang dilakukan oleh Ahmad Yosepa Hayat (Sya’roni, 2019, hlm. 38).

Fakta lainnya juga disebutkan dalam hasil penelitian di atas adalah sejumlah rentetan peristiwa terror seperti bom Bali 1 dan 2, bom kuningan, bom di depan kedutaan Australia, dilakukan oleh para pemuda dengan rentang usia 17-35 tahun (Sya’roni, 2019, hlm. 38). Berikut ini adalah daftar nama pelaku teroris dengan usia 16-18 tahun yang dikutip dari sumber terpercaya. Adapun nama-nama tersebut adalah: Dani Dwi Permana (18 Tahun), Sultan Azianzah (22 Tahun), Rabbial Muslim Nasution (24 Tahun), Tendi Sumarno (23 Tahun), Lukman (26 Tahun), Zakiah Aini (26 Tahun) (Tim Detik.com, 2021).

Data di atas di dukung dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa para mahasiswa dan siswa yang sedang mencari jati diri serta tahapan belajar banyak hal, menjadi sasaran paling strategis bagi para perekrut gerakan terorisme. Kemudian pergaulan dari siswa dan mahasiswa yang luas serta relatif otonom, sehingga dianggap sebagai sarana yang paling tepat dan mudah untuk memproliferasi paham radikal untuk diperjuangkan (Fanani, 2013, hlm. 6). Biasanya paham radikal yang diajarkan yaitu adanya keyakinan bahwa meninggal mati syahid dengan cara bom bunuh diri. Dalam keyakinan itu pula bahwa setelah mati syahid maka akan mendapatkan surga (M. I. Firmansyah, 2015, hlm. 159).

Melihat fakta dilapangan sebagaimana temuan-temuan penelitian di atas, maka menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi seluruh lembaga pendidikan di Indonesia untuk mampu mencetak generasi bangsa yang memiliki pemikiran moderat. Maka dari sinilah pentingnya penanaman moderasi beragama bagi siswa, khususnya adalah siswa sekolah dasar. Berdasarkan riset terdahulu menunjukkan betapa pentingnya penanaman moderasi beragama dikarenakan perlu adanya integrasi Islam moderat dengan pendidikan dengan begitu maka penguatan moderasi dapat dilakukan secara harmoni dalam ranah lembaga pendidikan (Ramadhan, 2021, hlm. 76).

Selanjutnya pengenalan dan penanaman moderasi beragama bagi siswa sekolah dasar yaitu ditujukan untuk menciptakan generasi sehat secara intelektual dan moderat di dalam menyikapi berbagai ide-ide radikalisme di masa yang akan datang. Hal itu dikarenakan masyarakat Indonesia yang majemuk baik dari segi agama dan budaya (Lessy dkk., 2022, hlm. 138). Akan tetapi dalam penelitian lain menunjukkan bahwa sikap toleran dan moderasi dalam beragama pada kalangan pelajar tidak bakal terwujud manakala diajarkan dengan proses indoktrinasi, kemudian secara normatif dan tekstual semata (Abidin, 2021, hlm. 731). Oleh sebab itu, perlu implementasi secara jelas penanaman moderasi beragama agar dapat terlaksana dengan baik dan benar, sehingga melahirkan generasi penerus bangsa yang mampu memiliki pola pikir moderat yakni seimbang dalam pemahaman dan pengalaman (Solichin, 2018, hlm. 175).

Selanjutnya, alasan pemilihan subjek penelitian ini adalah siswa sekolah dasar (SD) dikarenakan sekolah dasar menjadi salah satu bagian paling penting dari sistem pendidikan di Indonesia. Oleh sebab itu perlu penanaman moderasi beragama sejak dini. Hal itu dikarenakan sekolah dasar merupakan jenjang pendidikan yang cukup lama yaitu 6 tahun, serta jenjang pendidikan tingkat rendah yang  menjadi pembentukan pondasi dasar karakter siswa pada masa yang akan datang. Maka dari itu, pada fase inilah siswa memperoleh pengetahuan serta nilai-nilai kehidupan yang sangat penting dan berguna dikemudian hari (Lessy dkk., 2022, hlm. 141).

Hal yang tidak kalah penting adalah analisis peneliti pada tahun 2045 sebagai bonus demografi bagi bangsa Indonesia yaitu dengan proporsi penduduk usia produktif sebanyak 50,1% pada tahun 2045. Kemudian salah satu yang diharapkan adalah perlindungan sosial yang komprehensif dan berkelanjutan. Hal itu disampaikan oleh Menteri perencanaan dan pembangunan nasional yang disampaikan pada orasi ilmiah fakultas ekonomi dan bisnis Universitas Indonesia pada 26 September 2017 (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, 2017, hlm. 7).

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa 70% penduduk Indonesia memiliki usia produktif yaitu mulai dari 15-64 tahun pada tahun 2045. Sedangkan 30%nya berusia tidak produktif yaitu dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun (Sabiq, 2022, hlm. 22). Untuk menuju tahun 2045 dimana Indonesia bebas criminal terrorism maka perlu penanaman moderasi beragama sejak saat ini. Mengingat bahwa generasi saat ini akan menjadi generasi emas pada tahun 2045 nanti. Maka pendidikan karakter menuju Indonesia emas (dalam hal ini adalah bebas terorisme) (Sabiq, 2022, hlm. 22).

Berbagai problematika diatas memunculkan pertanyaan peneliti yang kemudian dijabarkan dalam perumusan masalah yang perlu dijawab secara ilmiah secara logis dalam penelitian ini. Adapun perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana cara yang tepat penanaman moderasi beragama pada anak sekolah dasar untuk menuju Indonesia bebas criminal terrorism pada tahun 2045. Dengan mengetahui cara penanaman moderasi beragama bagi siswa sekolah dasar secara tepat, maka diharapkan mampu untuk memberikan bekal pemikiran yang moderat bagi siswa, sehingga di masa yang akan datang tidak terpengaruh oleh gerakan-gerakan radikal.

Selanjutnya tujuan dan manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangsih nyata kepada pemerintah, khususnya bagi Kementerian Keagamaan dan Pendidikan untuk mampu bersinergi dalam upaya pemberantasan terorisme di Indonesia melalui lembaga pendidikan. Adapun kerjasama tersebut dapat berupa pemberlakuan bagi seluruh lembaga pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, untuk mengajarkan konsep moderasi beragama atau yang biasa disebut dengan pola berpikir Islam Wasathiyah yaitu Islam Moderat.

Apabila dilihat secara sistematik mulai dari berbagai tinjauan pustaka yang relevan, kemudian perumusan masalah dan tujuan serta manfaat penelitian maka tampak kebaruan (novelty) dalam penemuan penelitian ini. Kebaruan penelitian ini masuk dalam kategori kebaruan tipe-2 yaitu (Improvement). Tipe ini pada dasarnya adalah improvisasi atau penguatan terhadap kelemahan-kelemahan dari penelitian sebelumnya (Sukardi, 2016, hlm. 116) Dalam penelitian ini, improvisasi atau penguatan dari penelitian sebelumnya yaitu peneliti belum menemukan konsep secara jelas mengenai cara penanaman moderasi beragama kepada siswa sekolah dasar di Indonesia. Maka penelitian ini untuk menemukan bagaimana cara yang tepat, sehingga hasil penelitian ini bisa untuk melengkapi temuan-temuan penelitian sebelumnya.

 

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian konseptual. Maksud dari penelitian konseptual yaitu berisi mengenai karakteristik sesuatu permasalahan yang diteliti. Sementara itu, metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Analisis ini menitikberatkan pada penekanan persoalan secara kontekstual dan tidak mengandalkan angka serta perhitungan. Kemudian data sekunder diperoleh dari berbagai sumber terpercaya yang relevan dengan fokus penelitian ini. Kemudian data yang diperoleh selanjutnya dipilih sesuai dengan kategori atau dikelompokkan sesuai jenisnya, sehingga proses analisis bisa dilakukan secara sistematis. Analisis yang sistematis tersebut, diharapkan mampu untuk memberikan pemahaman secara komprehensif kepada pembaca mengenai fokus subjek penelitian ini (Sabiq, 2022, hlm. 20).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Internalisasi Berpikir Moderat Bagi Siswa Sekolah Dasar di Indonesia

Siswa sekolah dasar menghadapi transformasi psikologis dan fisik yang paling dramatis yakni usia 6 sampai 12 tahun. Pada usia tersebut perlu diperhatikan tiga aspek perkembangan yang terdiri dari perkembangan fisik, kognitif serta perkembangan psikososial. Pentingnya ketiga aspek tersebut dalam proses perkembangannya perlu diikuti dengan penguatan akidah. Siswa sekolah dasar pada usia tersebut belum memiliki pandangan hidup yang spesifik, maka sangat mudah bagi guru untuk menanamkan nilai berpikir moderat. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam internalisasi berpikir moderat yaitu nilai iman, ibadah, dan akhlak (Lessy dkk., 2022, hlm. 144).

Internalisasi moderasi beragama sangat penting untuk dilakukan sejak anak berada di bangku sekolah dasar. Tidak jarang ditemukan adanya tindakan yang bertentangan dengan moralitas agama. Seperti contoh tindakan rasis terhadap teman yang beragama lain, maka disini peran guru sangat penting untuk mampu menginternalisasikan berpikir moderat pada siswa. Bahkan ada sebuah kasus yang melibatkan guru yang memberi himbauan kepada siswa untuk memilih ketua OSIS yang seiman. Hal ini seolah-olah menyudutkan teman yang beragama lain (Purbajati, 2020, hlm. 187–188).

Selanjutnya, upaya mewujudkan Indonesia bebas Criminal Terrorism pada tahun 2045, harus benar-benar dilakukan mulai dari saat ini. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menanamkan pola pikir yang moderat bagi seluruh siswa sekolah dasar di Indonesia. Sebelum merujuk pada penanaman berpikir moderat pada siswa sekolah dasar, peneliti perlu menyampaikan secara rinci apa maksud dari berpikir moderat. Berpikir moderat menekankan pada kedalaman pola pikir dan perilaku. Selain itu berpikir yang moderat juga memiliki ciri khas yaitu pola pikir dinamis dan luas. Secara lebih spesifik bahwa berpikir moderat yaitu pemikiran keislaman dengan mengedepankan pola pikir ilmiah berdasarkan fitrah serta hukum sunnatullah (Sartika, 2020, hlm. 189).

Menurut pendapat lain berpikir moderat bermakna tidak memihak atau lebih condong pada salah satu pihak guna mengikis perilaku ekstrimisme, dan lebih menonjolkan persaudaraan, toleransi, perdamaian serta mencerminkan Islam yang rahmatan lil alamin (Muchlis, 2020, hlm. 11). Namun fakta dilapangan menunjukkan adanya agama Islam tidak hanya satu golongan. Ada banyak golongan dalam Islam dengan ciri khas masing-masing dalam setiap penyelenggaraan ritual keagamaan. Hal tersebut menjadi suatu kewajaran, sunnatullah dan bahkan sebagai rahmat. Maka konsep memoderasi pola pikir guna mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin adalah sebuah keniscayaan (Imron, 2018, hlm. 2).

Berpikir moderat memiliki dua ciri khas yaitu rasional dan ilmiah. Pertama, rasional memiliki makna bahwa paradigma beragama dengan menetapkan teks-teks keagamaan yaitu dengan berdasarkan pada nalar kritis serta daya pikir dialektik. Dengan adanya daya pikir dialektik inilah, akan muncul integrasi pemikiran yang seimbang sehingga teks-teks keagamaan dapat dimaknai dan ditafsirkan secara kontekstual dan komprehensif. Kedua, berpikir ilmiah yaitu adanya kesanggupan dalam menerima produk-produk hasil ilmu pengetahuan (Sartika, 2020, hlm. 190).

Merujuk pada makna berpikir moderat di atas, sangat penting bagi generasi bangsa Indonesia kedepan yang saat ini masih duduk di bangku sekolah tingkat dasar untuk mampu menginternalisasikan pola pikir yang moderat. Pola pikir moderat meliputi moderat dalam akidah, syariah, tasawuf dan akhlak, pergaulan, kehidupan bernegara dan dalam bidang kebudayaan (Imron, 2018, hlm. 5). Sementara itu Kementerian Agama merumuskan beberapa indikator dalam melaksanakan moderasi beragama yaitu komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi, serta akomodasi kebudayaan lokal. Selain itu Quraish Shihab menyebutkan beberapa pilar penting dalam moderasi beragama diantaranya adalah pilar keadilan, toleransi dan keseimbangan. Selanjutnya nilai sikap moderat yang harus dikembangkan yakni tawassuth, tawazun, tasamuh, I’tidal, musawah, ishlah, syura, tatawwir wa ibtikar dan tahadhdhur (Yuliana dkk., 2022, hlm. 2975).

Forum lembaga moderasi beragama pada tahun 2019 sering mengadakan diskusi mengenai moderasi beragama pada Lembaga Pendidikan. Kemudian mata pelajaran yang perlu ada muatan moderasi beragama adalah PAI dan PPKN. Sementara pendapat Guru Besar IAIN Palu Zainal Abidin bahwa ada enam prinsip yang perlu diinternalisasikan dalam pendidikan moderasi yaitu; sikap humanis, inklusif, realistis, adil, toleran dan bekerjasama (Chadidjah dkk., 2021, hlm. 117).

Proses internalisasi dalam menamakan berpikir moderat pada siswa sekolah dasar, dapat dilakukan dengan tahapan berikut ini; pertama; saintifik doktiner, kedua; moderat dalam pikiran dan perilaku, ketiga; moderat dalam metode. Maksud saintifik doktiner adalah proses pembelajaran harus dengan berdasarkan fakta-fakta dilapangan, yang dijelaskan oleh guru dengan nalar tertentu sesuai dengan usia siswa sekolah dasar. Proses pembelajaran tersebut akan mendorong siswa untuk berpikir kritis, logis, analitis serta tepat dalam melakukan identifikasi masalah. Kemudian maksud tahapan kedua adalah moderat sikap dan perilaku artinya melupakan perbedaan (selain daripada akidah) dan merajut kebersamaan. Selanjutnya adalah tahapan ketiga yaitu moderat dalam hal metode artinya memilki pemahaman yang universal dengan pemahaman level anak usia sekolah dasar (Ramadhan, 2021, hlm. 75).

Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, dapat tarik kesimpulan bahwa moderasi beragama dalam kaitannya berpikir moderat adalah hal paling utama dilakukan pada level sekolah dasar. Dikarenakan sekolah dasar adalah waktu bagi siswa mendapatkan pembelajaran yang dapat melekat sebagai sebuah keyakinan yang kuat. Selain itu siswa sekolah dasar dikatakan pula sebagai usia emas.  Maksud usia emas adalah, siswa dapat menerima ilmu pengetahuan tanpa harus banyak dibenturkan pada pengetahuan sebelumnya. Dengan kata lain siswa sekolah dasar tidak akan mendebatkan pengetahuan mengenai moderasi beragama yang didapatkan.  Maka dari sinilah keunggulan atau celah dan peluang yang didapatkan oleh guru untuk menginternalisasikan berpikir moderat, sehingga dapat menargetkan siswa mampu bersikap moderat (Amrullah & Islamy, 2021, hlm. 60).

 

Bentuk Pelaksanaan Penanaman Moderasi Beragama Bagi Siswa Sekolah Dasar di Indonesia

Bentuk penanaman moderasi beragama ini adalah rincian lanjutan dari proses internalisasi berpikir moderat di atas. Dengan kata lain, proses internalisasi berpikir moderat memiliki bentuk atau model yang tepat untuk digunakan di dalam pelaksanaannya. Maka pembahasan sub bab ini akan menjelaskan secara jelas bagaimana bentuk atau model penanaman moderasi beragama yang tepat bagi siswa sekolah dasar. Secara umum pelaksanaan harus terarah, terencana, dan bertanggungjawab untuk mengarahkan siswa untuk meningkatkan pemahaman wawasan keagamaan dan keterampilan sosial (Harmi, 2022, hlm. 231).

Adapun pelaksanaan penanaman moderasi beragama dapat dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama, pengembangan budaya lokal dalam lingkungan sekolah. Contoh budaya lokal seperti menjunjung kejujuran, sopan santun, saling menghormati. Selain pengembangan budaya lokal, perlu juga pengembangan budaya keagamaan yaitu dengan pembentukan ajaran agama wasathiyyah di sekolah. Pengembangan agama wasathiyah tersebut sebagai pedoman nilai, semangat, sikap dan perilaku guru, tenaga kependidikan dan orangtua siswa. Kedua, membangun rasa saling mengerti antar sesama siswa, terutama dengan siswa yang beda agama. Guru perlu aktif membimbing siswa dalam hal dialog keagamaan sesuai dengan tingkat pengetahuan siswa sekolah dasar. Upaya dialog ini untuk membiasakan siswa yang beda agama agar tidak mendapatkan diskriminasi. Ketiga, kurikulum serta buku teks perlu dimasuki nilai-nilai pluralisme dan toleransi beragama. Kurikulum dan buku-buku disekolah menjadi salah satu sarana membangun siswa untuk berpikir moderat (Lessy dkk., 2022, hlm. 145).

Pendapat lain menyebutkan ada lima model penanaman moderasi beragama bagi siswa sekolah dasar. Pertama, menumbuhkan rasa percaya diri kepada siswa. Kedua, menumbuhkan rasa sayang kepada sesama teman. Ketiga, menanamkan akhlak yang mulia kepada teman dan keluarga. Keempat, menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan. Kelima, membiasakan siswa berperilaku dengan akhlak terpuji (Chadidjah dkk., 2021, hlm. 119).

Sementara itu sebuah penelitian menyebutkan beberapa model penanaman moderasi beragama diantaranya adalah komitmen kebangsaan, kebinekaan, toleransi, kemanusiaan, kearifan lokal. Penanaman nilai kebangsaan artinya memberi motivasi, untuk cinta negara. Penanaman kebinekaan yaitu memberikan bimbingan kepada siswa meskipun berbeda agama, suku dan budaya dengan teman jangan sampai menimbulkan permasalahan. Penanaman toleransi dilakukan dengan tidak mengganggu teman yang berbeda agama, suku dan budaya. Penanaman nilai kemanusiaan dilakukan dengan saling menghargai sesama teman. Penanaman nilai kearifan lokal yaitu dengan mengedepankan kebudayaan setempat (Mauharir dkk., 2022, hlm. 5268).

Berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa penanaman moderasi beragama menjadi sarana penguat siswa untuk tidak melaksanakan tindakan radikalisme. Adapun penanaman moderasi beragama yang tepat dalam penelitian ini yaitu dengan memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengimplementasikan secara sederhana mengenai toleransi, kasih sayang kepada teman dan keluarga, serta menjunjung tinggi nilai Islam. Dengan penguatan moderasi beragama sejak dini, diharapkan pada tahun 2045 mendatang siswa yang saat ini sudah mendapatkan materi dan mengimplementasikan moderasi beragama, maka siswa tidak akan terpengaruh paham radikal. Mengingat bahwa pada tahun 2045 siswa sekolah dasar akan berusia produktif yaitu diantara 30-40 tahun. Dengan demikian diharapkan pada tahun 2045 Indonesia benar-benar bebas dari tindakan criminal terrorism.

 

Krisis Criminal Terrorism Di Indonesia (Kelompok Radikal Mujahidin Indonesia Timur (MIT))

Indonesia dikatakan masih dalam kondisi  krisis teroris dikarenakan masih adanya tindakan radikal yang sampai saat ini belum terselesaikan. Kelompok radikalis MIT (Mujahidin Indonesia Timur) menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia, khususnya adalah pulau Sulawesi. Berbagai tindakan terror dilakukan oleh kelompok MIT tersebut sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat Sulawesi. Gerakan radikalis MIT tersebut dipimpin oleh Ali Kalora dan sebelum Ali Kalora, MIT dipimpin oleh Santoso. Salah satu tindakan radikal yang dilakukan oleh kelompok MIT adalah kasus pembunuhan empat warga di dusun Lewonu, desa Lembontonga, di kecamatan Palolo, kabupaten Sigi Sulawsi Tengah. Kejadian tersebut terjadi pada tanggal 27 November 2020, pukul 09.00 WITA. Pembunuhan tersebut diawali dengan penyanderaan terhadap korban dan diakhiri dengan pembunuhan secara sadis yang dilakukan secara langsung Ali Kalora (Umroh, 2022, hlm. 11300).

Selanjutnya kasus terbaru dari kelompok teroris MIT terjadi pada 11 Mei tahun 2021. Kelompok MIT membantai satu keluarga di desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur Kabuoaten Poso. Acaman yang dilontarkan oleh kelompok MIT yaitu secara umum akan menyerang di daerah Sulawesi dan juga target penyerangan menyebar ke seluruh Indonesia. Operasi kelompok ini sering dan bahkan menargetkan nyawa untuk menunjukkan eksistensinya. Kelompok ini juga terlibat bentrokan dengan kelompok umat Kristen dan Islam di Maluku pada tahun 1999 sampai dengan 2002 (Sirua & Priyambodo, 2022, hlm. 262–2163).

Kelompok MIT di atas menjadi bukti nyata bahwa saat ini Indonesia masih dalam tahap krisis terorisme. Meskipun masih banyak lagi kelompok-kelompok teroris yang ada di Indonesia. Untuk memahami bagaimana karakteristik kelompok teroris yaitu kegiatan terror dilakukan dengan kekerasan seperti aksi pengeboman dan penyanderaan. Adapun sasaran dari aksi terror yaitu tempat ramai dan vital. Korban yang ditargetkan adalah siapapun yang bisa ditangkap. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aksi terror di Indonesia sangat meresahkan sehingga perlu penanggulangan secara preventif, preventif dan represif (H. Firmansyah, 2011, hlm. 4).

Moderasi Bergama dan Relevansinya Menuju Indonesia Bebas Criminal Terrorism Pada Tahun 2045

Tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan kondisi demografi penduduk yang sangat bagus yaitu dengan jumlah 70% adalah usia produktif. Usia produktif tersebut adalah usia 15 sampai dengan 64 tahun. Sementara itu sisanya adalah usia tidak produktif. Pada tahun 2045 yang akan datang merupakan generasi 100 tahun setelah bangsa Indonesia merdeka. Melihat dari segi demografi, maka perlu diisi oleh generasi-generasi yang memiliki intelektual dan spiritual yang bagus, berwawasan luas dan berbudi pekerti yang luhur. Maka Pendidikan menjadi aspek yang sangat penting dalam mencetak generasi yang berwawasan luas tersebut (Sabiq, 2022, hlm. 22). Apabila dilihat dari segi usia, yang rata-rata saat ini siswa Sekolah Dasar berusia 8-11 tahun maka pada tahun 2045 siswa Sekolah Dasar di Indonesia akan berusia 30-40 tahun yaitu termasuk dalam usia produktif. Di usia yang produktif ini, diharapkan Indonesia tidak lagi terjadi terror manakala saat ini telah diberikan penanaman moderasi beragama sejak dini. Hal ini ditujukan manakala siswa melanjutkan Pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maka pola pikir yang moderat dapat digunakan dengan tepat, sehingga siswa memilki perkembangan pemikiran yang tidak menjurus pada fanatisme dalam beragama (Ramadhan, 2021, hlm. 75).

Siswa sekolah dasar adalah fase untuk banyak bertanya agar mengetahui segala sesuatu yang belum dimengerti. Maka dapat dikatakan bahwa fase ini siswa sekolah dasar dalam tahap trial and error. Tahap ini menjadi suatu kewajaran dalam proses pembelajaran, dikarenakan usia siswa yang masih sangat muda serta suka mencoba dan bertanya. Maka disinilah peran guru untuk memberikan kesempatan pada siswa untuk mencoba dengan cara yang dikehendaki, meskipun guru tahu bahwa cara tersebut tidak akan berhasil. Kemudian hal yang perlu dilakukan guru adalah memotivasi dan memberi arahan agar siswa dapat berhasil untuk menyelesaikan permasalahan yang belum dimengerti (Nugraheni, 2019, hlm. 513).

Trial and error di atas dapat terjadi pada saat siswa memahami konsep moderasi beragama. Maka dalam hal ini perlu penguatan secara komprehensif kepada siswa. Mengingat bahwa penguatan moderasi beragama saat ini penting untuk bangsa Indonesia yang memiliki berbagai suku, agama dan budaya (Hikmah & Chudzaifah, 2022, hlm. 51). Dengan banyaknya keberagaman tersebut maka sering muncul kekerasan dengan atas nama agama yang kemudian berujung pada konflik, kebencian, intoleransi serta terjadi peperangan yang panjang sehingga dapat memusnahkan peradaban (M. K. Nisa dkk., 2021, hlm. 80).

Berbagai kekerasan sebagaimana penulis sebutkan di atas menjadi salah satu bentuk criminal terrorism dan dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia. Criminal terrorism pada dasarnya adalah bersifat laten. Hal itu disebabkan karena adanya pemberontakan dengan atas nama Islam seperti DI/TII dan NII telah lama ada dan dikenal oleh masyarakat Indonesia. Criminal terrorism di Indonesia, tidak terlepas dari adanya relasi antar kelompok jihad yang berlatih di Afganistan dan kemudian bertemu dengan kelompok jihadisme Timur Tengah. Di sini, paham NII yang diprakarsai oleh pengikut Abudllah Sungkar Ajengan Masduki bertemu dengan kelompok jihad al-Qaeda yang dipimpin oleh Ayman al Zawahiri maupun al Jamaah al Islamiyah Mesir. Dengan demikian, maka konektivitas antara pejuang jihadis Indonesia dengan jihadis asing melahirkan hubungan al Qaeda dengan JI dan kemudian memunculkan pandangan ideologi terror (Mufid, 2013, hlm. 9).

Hal yang menjadi kekhawatiran adalah nantinya pada tahun 2045 Indonesia masih mengalami krisis teroris. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa sebab karena adanya pelajar Indonesia yang membawa paham radikal dari Timur Tengah. Para pelajar yang belajar di Timur Tengah sehingga akhir-akhir ini muncul Lembaga Pendidikan dengan corak salafi wahabi dan Ikhwan al Muslimin Mesir (Mufid, 2013, hlm. 10).

Fenomena di atas menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi pemerintah untuk dapat membersihkan sistem pendidikan Indonesia dari ajaran-ajaran dengan paham terorisme. Oleh sebab itu perlu adanya pendidikan anti terorisme pada siswa, khususnya adalah siswa sekolah dasar. Pendidikan anti terorisme tersebut dapat dituangkan dalam mata pelajaran PAI. Implementasi pendidikan anti terorisme dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk pencegahan guna meminimalisir siswa menjadi pelaku terror. Pendidikan anti teroris sendiri adalah upaya yang terencana dalam proses pembelajarannya agar siswa menentang serta menolak tindakan terorisme di Indonesia (Wiyani, 2013, hlm. 74).

Pendidikan anti terorisme memilki tiga ciri khas yang perlu dipahami. Pertama, sebagai bentuk ikhtiar dalam membentuk pribadi akhlak siswa yang mulia yang kemudian termanifestasikan dalam keimanan dan ketakwaan siswa. Kedua, sebagai sarana dan prasarana untuk membatasi, menekan, dan bahkan menghilangkan ruang gerak dari paham-paham radikalis di lingkungan sekolahan. Ketiga, sebagai upaya memperkuat persatuan dan kesatuan umat Islam yang memiliki ciri cinta damai, toleransi dan menyebarkan rahmatan lil alamin (Wiyani, 2013, hlm. 74). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa inti dari Pendidikan Agama Islam adalah menjadi manusia yang beriman dan cerdas serta memiliki budi pekerti luhur (Marianti, 2020, hlm. 48).

Merujuk pada pendidikan anti terorisme di atas maka falsafah pendidikan ini didasarkan pada proses pengenalan serta pemberian informasi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan terorisme kepada siswa. Dengan hadirnya pendidikan anti terorisme ini diharapkan dapat membimbing siswa menjadi generasi yang cinta terhadap tanah air  (Marianti, 2020, hlm. 51). Oleh sebab itu siswa perlu mendapatkan pendidikan yang kaffah untuk mencegah tindakan terror, dan dapat menjalankan agama Islam secara damai (Kosasih dkk., 2016, hlm. 102).

Berdasarkan berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan anti teroris yang kemudian dimanifestasikan dalam kelompok penanaman moderasi beragama dan relevansinya dengan Indonesia bebas criminal terrorism pada tahun 2045 perlu tindakan nyata dari pemerintah khususnya Menteri Pendidikan untuk memberikan aspek moderasi beragama pada pendidikan tingkat dasar. Pada tahun 2045 siswa sekolah dasar saat ini akan berusia sekitar 30-40 tahun dimana usia ini adalah usia yang sangat produktif, sehingga dapat terhindar dari paham-paham radikal. Dengan penanaman moderasi beragama sejak dini, diharapkan pada tahun 2045 yang akan datang di Indonesia benar-benar bebas dari criminal terrorism. Maka kebutuhan pendidikan anti terorisme adalah langkah awal untuk menangkal paham radikal dan gejala disintegrasi bangsa (Miyarso, 2011, hlm. 76).

 

KESIMPULAN

Penanaman moderasi beragama bagi siswa SD di Indonesia belum terlaksana dengan baik. Maka dari itu upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam proses penanaman moderasi beragama adalah dengan memberikan siswa materi-materi yang berkaitan dengan toleransi beragama dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkannya kepada sesama teman. Dengan pemberian teori dan praktik secara berkala diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif kepada siswa untuk tidak mudah terpengaruh paham radikal atau kekerasan yang dengan mengatasnamakan agama sebagai dalih jihad melawan musuh. Terkait dengan jawaban atas rumusan masalah penelitian ini yaitu bagaimana proses penanaman moderasi beragama bagi siswa Sekolah dasar dapat dikategorikan dalam beberapa hal yaitu: Pertama, kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu); Kedua, kesatuan kenabian; Ketiga, tidak ada paksaan dalam beragama; dan Keempat, pengakuan terhadap eksistensi agama lain.

Penemuan dalam penelitian ini dapat dilihat dari hasil analisis dalam pembahasan yaitu belum terlaksananya moderasi beragama di tingkat Sekolah Dasar belum terimplementasikan dengan baik. Dengan penemuan ini maka sangat memprihatinkan bagi sistem pendidikan di Indonesia apabila tidak segera memberikan materi moderasi beragama bagi seluruh peserta didik di Indonesia. Penanaman moderasi beragama bagi siswa SD saat ini belum terimplementasikan dengan baik. Penemuan yang terakhir dalam penelitian ini adalah diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi sumbangsih teori mengenai kondisi moderasi beragama di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A. Z. (2021b). NILAI-NILAI MODERASI BERAGAMA DALAM PERMENDIKBUD NO. 37 TAHUN 2018. JIRA: Jurnal Inovasi dan Riset Akademik, 2(5), 729–736. https://doi.org/10.47387/jira.v2i5

Amrullah, M. K., & Islamy, M. I. (2021). MODERASI BERAGAMA: PENANAMAN PADA LEMBAGA PENDIDIKAN FORMAL DAN NONFORMAL. Nizham  Journal of Islamic Studies, 9(02), 57. https://doi.org/10.32332/nizham.v9i02

Arake, L. (2012). PENDEKATAN HUKUM ISLAM TERHADAP JIHAD DAN TERORISME. Ulumuna, 16(1), 189–222. https://doi.org/10.20414/ujis.v16i1

Asmara, M. (2016). Reinterpretasi Makna Jihad Dan Teroris

Chadidjah, S., Kusnayat, A., Ruswandi, U., & Syamsul Arifin, B. (2021). IMPLEMENTASI NILAI-NILAI MODERASI BERAGAMA DALAM PEMBELAJARAN PAI: Tinjauan Analisis Pada Pendidikan Dasar Menengah dan Tinggi. Al-Hasanah: Islamic Religious Education Journal, 6(1), 114–124. https://doi.org/10.51729/6120

Fauzian, R., Ramdani, P., & Yudiyanto, M. (2021). PENGUATAN MODERASI BERAGAMA BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM UPAYA MEMBENTUK SIKAP MODERAT SISWA MADRASAH.

Fios, F. (2011). Kiprah Agama Melawan Terorisme. Humaniora, 2(2), 1329. https://doi.org/10.21512/humaniora.v2i2.3196

Firmansyah, H. (2011). UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME di Indonesia. Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 23(2)

Firmansyah, M. I. (2015). DISTORSI1 MAKNA JIHAD. 13(2)

Handoko, A. (2019). Analisis Kejahatan Terorisme Berkedok Agama. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, 6(2), 155–178. https://doi.org/10.15408/sjsbs.v6i2.11041

Harmi, H. (2022). Model pembelajaran pendidikan agama islam berbasis moderasi beragama. JRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 7(2)

Haryani, E. (2020). Pendidikan Moderasi Beragama Untuk Generasi Milenia: Studi Kasus Lone Wolf” Pada Anak di Medan. EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 18(2), 145–158. https://doi.org/10.32729/edukasi.v18i2.710

Hikmah, A. N., & Chudzaifah, I. (2022). MODERASI BERAGAMA: URGENSI DAN KONDISI KEBERAGAMAAN DI INDONESIA. Al-Fikr: Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 49–56. https://doi.org/10.32489/alfikr.v8i1.272

Imron, A. (2018). Penguatan Islam Moderat melalui Metode Pembelajaran Demokrasi di Madrasah Ibtidaiyah. Edukasia Islamika, 1–17. https://doi.org/10.28918/jei.v3i1.1675

Indrawan, J., & Aji, M. P. (2019). EFEKTIVITAS PROGRAM DERADIKALISASI BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME TERHADAP NARAPIDANA TERORISME DI INDONESIA. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 9(2), 1. https://doi.org/10.33172/jpbh.v9i2.561

Kosasih, A., Hermawan, W., & Supriyono, S. (2016). MODEL PENDIDIKAN ANTI TERORIS MELALUI INTERNALISASI NILAI DZIKIR DI PESANTREN. JURNAL PENDIDIKAN ILMU SOSIAL, 25(1), 101–109. https://doi.org/10.17509/jpis.v25i1.3673

Lessy, Z., Widiawati, A., Himawan, D. A. U., Alfiyaturrahmah, F., & Salsabila, K. (2022). IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DI LINGKUNGAN SEKOLAH DASAR. 3(2), 12.

Marianti, M. (2020). KONSEP PENDIDIKAN ANTI-TERORISME Relevansinya bagi Pendidikan Islam. TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 12(1), 48–60. https://doi.org/10.24014/trs.v12i1.10637

MASALAH KEBARUAN DALAM PENELITIAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN. (2016). 19, 7.

Mathar, M. S. (2009). JIHAD DAN TERORISME KAJIAN FIKIH KONTEMPORER. HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 6(1), 117. https://doi.org/10.24239/jsi.v6i1.125.117-128

Mauharir, M., Fauzi, F., & Mahfud, M. (2022). Penanaman Pendidikan Multikultural dalam Mencegah Ekstrimisme pada Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(5), 5258–5270. https://doi.org/10.31004/obsesi.v6i5.2775

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, 2017. (t.t.).

Miyarso, E. (2011). PENGEMBANGAN MODEL INTERNALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA SEBAGAI UPAYA UNTUK MENANGKAL POTENSI TERORISME DAN GEJALA DISINTEGRASI BANGSA. Jurnal Penelitian Humaniora, 16(1), Article 1. https://doi.org/10.21831/hum.v16i1.3421

Muchlis, M. (2020). PEMBELAJARAN MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) BERWAWASAN MODERAT. Profetika: Jurnal Studi Islam, 21(1), 11–20. https://doi.org/10.23917/profetika.v21i1.11053

Mufid, A. S. (2013). Radikalisme dan Terorisme Agama, Sebab dan Upaya Pencegahan. 12(1), 11.

Nisa, K., & Muchlisin, A. R. (2018). AMBIVALENSI JIHAD DAN TERORISME: TINJAUAN ANALISIS SEMANTIK-KONTEKSTUAL AYAT-AYAT JIHAD. Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman, 17(1), 41. https://doi.org/10.18592/al-banjari.v17i1.2004

Nisa, M. K., Yani, A., Andika, A., Yunus, E. M., & Rahman, Y. (2021). Moderasi Beragama: Landasan Moderasi dalam Tradisi berbagai Agama dan Implementasi di Era Disrupsi Digital. Jurnal Riset Agama, 1(3), 79–96. https://doi.org/10.15575/jra.v1i3.15100

Nugraha, J. T., Ahsani, R. D. P., & Fauziah, N. M. (2020). Meneguhkan Nilai Keindonesiaan melalui Program Deradikalisasi Anak Usia Dini di Kampung Karanggading Kota Magelang. Indonesian Journal of Community Services, 2(1), 80. https://doi.org/10.30659/ijocs.2.1.80-91

Nugraheni, A. D. (2019). PENGUATAN PENDIDIKAN BAGI GENERASI ALFA MELALUI PEMBELAJARAN STEAM BERBASIS LOOSE PARTS PADA PAUD. Seminar Nasional Pendidikan Dan Pembelajaran 2019, 0(0), 512–518.

Nursalim, M. (2017). DERADIKALISASI TERORISME: Studi Atas Epistemologi, Model Interpretasi dan Manipulasi Pelaku Teror. KALAM, 8(2), 329. https://doi.org/10.24042/klm.v8i2.230

Purbajati, H. I. (2020). Peran Guru Dalam Membangun Moderasi Beragama di Sekolah. FALASIFA: Jurnal Studi Keislaman, 11(2), 182–194. https://doi.org/10.36835/falasifa.v12i02.569

Qodir, Z. (2018). Kaum Muda, Intoleransi, dan Radikalisme Agama. Jurnal Studi Pemuda, 5(1), 429. https://doi.org/10.22146/studipemudaugm.37127

Ramadhan, M. R. (2021). Implikasi Era Society 5.0 Dalam Menguatkan Sikap Moderasi Beragama Bagi Siswa Sekolah Dasar. 2, 6.

Rinda Fauzian, Hadiat, Hadiat, Peri Ramdani, Mohamad Yudiyanto, & Mohamad Yudiyanto. (t.t.). Penguatan Moderasi Beragama Berbasis Kearifan Lokal Dalam Upaya Membentuk Sikap Moderat Siswa Madrasah | AL-WIJDÁN: Journal of Islamic Education Studies. Diambil 29 Agustus 2022, dari https://ejournal.uniramalang.ac.id/index.php/alwijdan/article/view/933

Sabiq, A. F. (2022). PERAN PESANTREN DALAM MEMBANGUN MORALITAS BANGSA MENUJU INDONESIA EMAS 2045. 3, 15.

Sartika, D. (2020). Islam Moderat antara Konsep dan Praksis di Indonesia. 14(2), 16.

Sirua, A. A. D., & Priyambodo, M. A. (2022). Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggulangi Terorisme Di Wilayah Indonesia Bagian Timur (Poso). Jurnal Kewarganegaraan, 6(1), 2161–2168. https://doi.org/10.31316/jk.v6i1.2946

Solichin, M. M. (2018). PENDIDIKAN ISLAM MODERAT DALAM BINGKAI KEARIFAN LOKAL. Jurnal MUDARRISUNA: Media Kajian Pendidikan Agama Islam, 8(1), 174–194. https://doi.org/10.22373/jm.v8i1.2950

Sya’roni, M. (2019). STRATEGI INTEGRASI PENDIDIKAN ANTI RADIKALISME DALAM KURIKULUM SMA/MA. Karangan: Jurnal Bidang Kependidikan, Pembelajaran, dan Pengembangan, 1(01), 37–45. https://doi.org/10.55273/karangan.v1i01.6

Tempo.co. (2022). Teroris Al Shabab Dikepung Tentara 30 Jam, Drama Penyanderaan di Hotel Somalia Berakhir. https://www.msn.com/id-id/berita/dunia/teroris-al-shabab-dikepung-tentara-30-jam-drama-penyanderaan-di-hotel-somalia-berakhir/ar-AA10Vjpx

Tim Detik.com. (2021). Daftar Pelaku Teror Berusia Muda: Dari Usia 18 hingga 26 Tahun. https://news.detik.com/berita/d-5516385/daftar-pelaku-teror-berusia-muda-dari-usia-18-hingga-26-tahun/2.

Umroh, V. S. R. (2022). Gerakan Radikalis Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Ditinjau dari Orientasi Ekstrinsik Keagamaan (Studi Kasus Pembunuhan dan Aksi Teroris di Sigi Sulawesi Tengah). Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(2), 11296–11305. https://doi.org/10.31004/jptam.v6i2.4230

Widiatmaka, P., & Hakim, M. L. (2020). Pengaruh Terorisme yang Mengatasnamakan Agama terhadap Keberagaman di Indonesia. 03(01), 13.

Wiyani, N. A. (2013). Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme di SMA. Jurnal Pendidikan Islam, 2(1), 65–83. https://doi.org/10.14421/jpi.2013.21.65-83

Yuliana, Y., Lusiana, F., Ramadhanyaty, D., Rahmawati, A., & Anwar, R. N. (2022). Penguatan Moderasi Beragama pada Anak Usia Dini sebagai Upaya Pencegahan Radikalisme di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(4), 2974–2984. https://doi.org/10.31004/obsesi.v6i4.1572

Yunus, A. F. (2017). Radikalisme, Liberalisme dan Terorisme: Pengaruhnya Terhadap Agama Islam. Jurnal Online Studi Al-Qur an, 13(1), 76–94. https://doi.org/10.21009/JSQ.013.1.06

Zidni, E. S. Z. (2018). Kemitraan Keluarga dalam Menangkal Radikalisme. Jurnal Online Studi Al-Qur’an, 14(1), 32–43. https://doi.org/10.21009/JSQ.014.1.03