Arifah
Universitas Abdurachman Saleh Situbondo, Indonesia
E-mail: andyarif999@gmail.com
Abstract
This paper aims to describe the notion of gender equality and how gender equality learning can be done in Islamic boarding schools. This study uses a qualitative descriptive analysis method by collecting data from various sources such as scientific journals, websites, and books related to the discourse of gender equality education in Islamic boarding schools. The results showed that; 1) The definition of gender equality education in Islamic boarding schools is the teaching and learning process in an informal Islamic religious institution by ustad/ustadzah discussing in detail the equality of positions between men and women to have equal opportunities in the community 2) Islamic boarding schools can apply gender equality education as follows; First, the Islamic boarding school curriculum must be adapted to the changing times. Second, changing the mindset of female students as being tough, not inferior. Third, explore self-potential by encouraging female students to instil a thirst for knowledge. Fourth, promote the activeness of female students to go directly into the social, political and community spheres. With the pattern of gender equality education in Islamic boarding schools, it is expected to positively impact graduates who have good moral character, are independent, and have achievements. In addition, the existence of this educational concept makes it an opportunity for female students to explore more in improving their soft and hard skills to achieve the progress of the nation and state..
Keywords: education, gender equality, islamic boarding
Abstrak
Tujuan dari penulisan ini adalah mendeskripsikan pengertian kesetaraan gender dan bagaimana pembelajaran kesetaraan gender yang dapat dilakukan di pondok pesantren. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yakni dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber seperti jurnal ilmiah, website, dan buku terkait wacana pendidikan kesetaraan gender di pondok pesantren. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; 1) Pengertian pendidikan kesetaraan gender di pondok pesantren adalah proses belajar mengajar di suatu lembaga informal agama islam oleh ustad/ustadzah membahas secara detail mengenai persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan agar memiliki peluang yang setara di lingkungan masyarakat 2) Pondok pesantren dapat menerapkan pendidikan kesetaraan gender sebagai berikut: Pertama, Kurikulum pondok pesantren harus disesuaikan dengan perubahan zaman. Kedua, Mengubah pola pikir santriwati sebagai makhluk yang tangguh bukan inferior. Ketiga, Menggali potensi diri dengan mendorong santriwati untuk menanamkan jiwa yang haus akan ilmu pengetahuan. Keempat, Mendorong keaktifan santriwati untuk terjun langsung ke ranah sosial, politik dan masyarakat. Adanya pola pendidikan kesetaraan gender dapat menjadi ajang bagi santriwati untuk lebih berekplorasi dalam meningkatkan softskill dan hardskill yang mereka miliki guna mencapai kemajuan bangsa dan negara.
Kata kunci: pendidikan, kesetaraan gender, pondok pesantren
PENDAHULUAN
Pengarusutamaan gender dalam konsep pembangunan nasional
telah dilakukan di lembaga pendidikan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri
no. 15 tahun 2008 terkait pengarusutamaan gender di daerah, dan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional no. 84 tahun 2008 terkait pedoman umum
pengarusutamaan gender bidang pendidikan sehingga pelaksanaanya juga harus
diimplementasikan baik di lembaga formal maupun informal seperti pondok
pesantren.
Dalam
pendidikan informal, persoalan kedudukan antara kaum perempuan dan laki-laki di
kajian islam masih menjadi perdebatan hangat hingga sekarang dimana kaum
perempuan masih mengalami diskriminasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Adanya
ketidakadilan gender dalam masyarakat berupa marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan yang bersifat menyepelekan,
kekerasan (violence) termasuk pekerjaan yang lebih banyak (double
burden). Hal ini terjadi akibat budaya patriarkhi yang masih
mengakar kuat dan menjadi kewajiban turun-temurun yang harus dijalani dari
generasi ke generasi karena di zaman dahulu kaum laki-laki sudah mendominasi
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan lebih maju terutama dalam ilmu
pengetahuan. Berbicara tentang persoalan gender memang perlu untuk dikulik
lebih dalam dimana kasus-kasus yang menyerang dan merugikan kaum perempuan
masih belum menjadi persoalan penting terutama bidang pendidikan informal
Dalam
Al-Qur’an penggunaan istilah wanita dan pria berdasarkan seks dan gender
menurut Nasarudin Umar, ʺAl-Qur’an secara konsisten menggunakan istilah al-untsậ untuk wanita, dan al-dzakar untuk pria,
jika yang dimaksudkan adalah wanita dan pria dari segi biologis. Serta
secara general Al-Qur’an juga membenarkan adanya perbedaan antara wanita dan
pria sebagaimana firman Allah: Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan
yang dianugerahkan Allah terhadap sebagian kamu atas sebagian yang lain.
Laki-laki mempunyai hak atas apa yang telah diusahakannya, dan perempuan juga
mempunyai hak atas apa yang diusahakannya (Q.S. Al-Nisa [4]: 32). Ayat ini
menjelaskan tentang perbedaan wanita dan pria dalam hal biologis bukan dalam
hal merugikan pihak satu sama lain. Sehingga gender diartikan sebagai perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya atau bersifat
non-kodrati. Sedangkan sex lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
biologis seseorang yang meliputi perbedaan komposisi kimia hormon dalam tubuh,
anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya
Dalam
pandangan budaya patriarkhi laki-laki memiliki peran dan wewenang lebih besar
daripada perempuan sehingga pola pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an dan Hadis
mengalami bias gender atau netral gender. Padahal islam merupakan agama rahmatan
lil alamin sehingga ajarannya tidak bersifat diskriminasi sebagaimana
firman Allah: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya kami berikan padanya
kehidupan yang baik.” (QS an-Nisaa: 97). Menurut Syekh Imam Zaki ayat
tersebut menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan dalam
konsep ganjaran dan siksa. Laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan
penghargaan sesuai dengan kerja kerasnya masing-masing sebagai bentuk hak asasi
manusia dalam berbagai aspek kehidupan, mampu bersaing dan memiliki hak
mendapatkan manfaat dari intervensi pembangunan.
Adapun
di bidang pendidikan informal menjadi kasus yang rentan terjadi perlakuan diskriminasi
gender dimana kebanyakan kurikulumnya lebih mengacu pada konsep bias gender.
Salah satu tempat yang paling menonjol terkait ketidakadilan gender adalah
lingkungan pondok pesantren. Peraturan lebih banyak ditegaskan dan diketatkan
untuk para santriwati sedangkan untuk para santri cenderung lebih bebas.
Di
Indonesia terdapat sekitar 28 ribu pondok pesantren dan 18 juta santri yang
akan terpengaruh segala pemikiran pengajaran dan perlakuan didalamnya. Maka
dari itu, penerapan pendidikan dalam pondok pesantren merupakan urgensi bagi
peradaban bangsa Indonesia. Pendidikan dalam lingkup pondok pesantren saat ini
masih menyebarkan ketidakadilan gender dimana pembelajarannya menganut karya
ilmiah serta kitab- kitab klasik dari ulama’ dahulu yang condong terhadap bias
gender, selain itu pandangan mengenai kesetaraan gender dalam pondok pesantren
dianggap sebagai suatu pemikiran dunia barat yang direncanakan untuk merusak
tradisi keislaman. Padahal sebenarnya pengarusutamaan gender merupakan salah
satu yang menjadi misi risalah kenabian Muhammad SAW. Ketimpangan
mengenai perspektif gender di pondok pesantren masih terlihat kentara, sebagai
contoh tokoh ulama’ saja selalu diidentikan dengan kaum laki-laki yakni santri
yang menguasai ilmu keagamaan. Padahal santriwati yang sudah berpengalaman,
berprestasi dan menimba ilmu bertahun-tahun juga seharusnya mampu menempati
posisi tersebut namun mengapa keberadaanya tidak pernah ditampakkan sama
sekali? Padahal ungkapan perkataan Ibn Qoyyim Al-Jauziyah bahwa “Wanita ibarat
separuh masyarakat, yang juga sudah melahirkan separuh masyarakat yang lainnya.
Maka wanita seolah-olah mewakili seluruh peradaban”. Ungkapan tersebut
menjelaskan bahwa santriwati juga dapat menjadi sosok pemimpin di lingkup
pondok pesantren. Santriwati juga memiliki potensi yang sama dalam membentuk
dan mengembangkan keislaman bagi peradaban.
Menurut
Muhammad Ma’ruf Ch, salah satu kelemahan
pesantren (tradisional) yakni aspek kepemimpinan yang sentralistik dan
hierarkhis yang berpusat pada kyai, yang menjadikannya (pesantren) laksana
‘kerajaan kecil’ dimana kyai merupakan sumber mutlak yang memiliki kekuatan dan
kewenangan di lingkungan pesantren, termasuk terhadap ilmu yang diajarkan
kepada para santrinya
Agama
Islam merupakan agama rahmatan lil alamin yang juga memberikan
pandangan mengenai keadilan gender. Hal ini terdapat dalam surat An-Nahl ayat
97 yang artinya “Barang siapa yang mengerjakan amal Shalih baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman maka pasti akan kami berikan padanya kehidupan
yang baik dan akan kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan”. Dalam surat ini Allah menuturkan bahwa tidak
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam pandangan Allah melainkan
tergantung pada ketakwaan individu kepada sang pencipta.
Diskriminasi
terkait pendidikan dalam keilmuan di pondok selalu membatasi kaum perempuan
untuk lebih aktif dalam bersosialisasi, mereka diajarkan untuk tidak banyak
bicara, bekerja didalam rumah, tidak melakukan kontak fisik dengan laki-laki,
menjadi istri sholehah dengan menuruti segala perintah suami yang
dijadikan bagian dari akhlak wanita yang akan memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat, sehingga yang dipertanyakan adalah bagaimana hak-hak sosial perempuan
sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara?.
Dalam
pondok pesantren yang selalu diajarkan para kiai dahulu hingga sekarang terkait
penafsiran konteks Al-Qur’an dan hadis selalu mengajarkan bahwa kaum laki-laki
merupakan pemimpin bagi kaum perempuan (dalam konteks suami- istri) sehingga
istri harus tunduk dan patuh dengan apapun keputusan suaminya. Demikian
penafsiran dan pemaknaan yang merujuk kepada kaum laki-laki yang berkuasa dan
berwenang atas kaum perempuan, namun konteks tersebut tidak dijelaskan lebih
mendalam sehingga bagi santriwati, ungkapan itu dijadikan kebenaran mutlak
tanpa dilandasi dengan segala kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan nyata.
Tentu hal ini menjadi pemicu ketidakadilan dalam rumah tangga seperti munculnya
kekerasan terhadap perempuan akibat pola pikir bahwa kaum laki-laki berkuasa
penuh atas kaum perempuan. Mirisnya, kekerasan fisik juga masih dilakukan
sebagai bentuk pengajaran bagi peserta didik pondok, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Siti Rifa’ah di pondok pesantren salafi (MQ) Kabupaten
Blitar menunjukkan bahwa santriwati yang mondok hampir sepuluh tahun maupun
yang baru beberapa tahun pernah mendapatkan kekerasan dari kyai maupun pengurus
pon-pes berupa pukulan namun mereka menganggap bahwa perlakuan tersebut
dibenarkan sebagai bentuk hukuman atas perilakunya sehingga mereka tidak berani
melawan, lebih memilih diam dan menangis
Selanjutnya,
kondisi ketimpangan gender terkait pembelajaran dalam pondok pesantren yakni
membedakan bahan ajar para santrinya dimana santri laki-laki mendapatkan
pengajaran yang lebih baik, buku dan kitab-kitab dapat diperoleh dengan mudah
salah satunya karena mereka bebas pergi keluar pondok. Sedangkan bagi
santriwati aturan yang diberlakukan lebih ketat, mereka tidak diizinkan
sedikitpun untuk keluar bahkan sulit mengikuti perlombaan antar pondok
pesantren karena yang dipilih kebanyakan adalah santri laki-laki. Santri
laki-laki dibentuk menjadi pribadi yang lebih aktif dan percaya diri, hal itu
bisa dilihat dari konsep pembelajarannya yang bisa dilakukan dengan dua arah
(diskusi), kegiatan pondok seperti khutbah/pidato, adzan, pembawa acara,
Qiro’ah secara bergilir dan lain sebagainya. Hal ini terjadi di Pondok
pesantren Al-Ma’rufiyyah dimana manajemen pesantren, peran pengambilan
keputusan saat rapat dilakukan oleh santri putra, pelajaran mengaji lebih
banyak, mereka diperkenankan membeli makan diluar pesantren dan perbedaan izin
pulang kerumah untuk santri putri dibatasi sebulan sekali dengan maksimal 4
hari, untuk santri putra dapat pulang berbulan-bulan
Sedangkan
santriwati kebanyakan dibekali dengan ilmu pasif seperti menulis, menghafal dan
mendengarkan ceramah. Sehingga hal itu menjadi hambatan secara psikologis,
karena mereka menilai dirinya lemah dan inferior, karena sulit untuk
mengaplikasikan apa yang sudah dipelajarinya, tidak memiliki rasa percaya diri
contohnya saat berdiskusi antara santri dan santriwati dimana santriwati akan
terlihat lebih banyak mendengarkan dan diam, mereka takut jika pendapatnya
tidak bermutu dan mendapat sorakan dari santri laki-laki
Padahal
sebenarnya santriwati juga memiliki pendapat tersendiri namun ketidakmampuan
dalam mengungkapkan menjadikan mereka pasrah akan argumentasi lawannya. Dimana
pengaplikasian pembelajaran santriwati pondok hanya berlaku satu arah yakni
dari kiai atau ustadzah jadi minimnya ruang diskusi yang menyebabkan mereka
sulit mengutarakan pendapat, tidak membentuk pikiran kritis dan tidak peka
terhadap lingkungan. Padahal aturan-aturan pendidikan informal tersebut harus
disesuaikan dengan era sekarang dimana berkompetisi merupakan hal penting bagi
santri dan santriwati untuk mengasah kemampuan agar dapat menjadi pribadi yang
taat dan unggul.
Dari
latar belakang diatas, penting bagi penulis untuk mengambil judul tentang
pendidikan kesetaraan gender di pondok pesantren sebagai upaya membangun
peradaban bangsa, yang memiliki rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana
pengertian pendidikan kesetaraan gender di pondok pesantren? 2) Bagaimana
pendidikan kesetaraan gender di pondok pesantren mampu dijadikan upaya
membangun peradaban bangsa? Dengan demikian,
penelitian ini bertujuan untuk 1) untuk mengetahui pengertian pendidikan
kesetaraan gender di pondok pesantren. 2) untuk mengetahui pola pendidikan
kesetaraan gender di pondok pesantren guna membangun peradaban bangsa.
METODE
Penelitian
ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif
kualitatif merupakan analisis yang mengomunikasikan data-data secara lisan
serta mencondongkan persoalan kontekstual. Pengumpulan data berupa data
sekunder yang didapat dari berbagai sumber kajian seperti jurnal ilmiah,
dokumen, website, buku, dan sumber lain yang relevan. Setelah didapatkan
data, selanjutnya dianalisis menggunakan metode deskriptif guna mendapatkan
pemahaman yang baik dan komprehensif
Adapun
tahapan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah mengumpulkan
data-data dari jurnal ilmiah, website, dan buku terkait wacana
pendidikan kesetaraan gender di pondok pesantren. Selanjutnya pengutipan
referensi-referensi dari sumber tersebut menjadi temuan atau hasil penelitian,
kemudian diabstraksikan lebih mendalam agar mendapatkan informasi yang utuh dan
diinterpretasikan sehingga menghasilkan pengetahuan mengenai kajian tersebut
dan terakhir disimpulkan.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pendidikan Kesetaraan Gender di Pondok
Pesantren
Pengertian gender dan konsepnya yakni menurut
Kasmawati, gender merupakan seperangkat peran seperti kostum dan topeng dalam
teater untuk menyampaikan pada orang lain bahwa kita adalah feminin atau
maskulin yang mencakup penampilan, pakaian,
sikap, kepribadian, bekerja diluar atau dalam rumah tangga, seksualitas,
tanggungjawab dan lain sebagainya
Menurut
Sumaryati, mengungkapkan bahwa gender adalah sebuah konstruksi atau bentuk
sosial yang sebenarnya bukan bawaan sejak lahir melainkan dapat dibentuk maupun
diubah yang tergantung pada tempat, waktu, zaman, ras, suku, bangsa, negara,
status sosial masyarakat, budaya, pemahaman agama, ideologi, politik, hukum,
ekonomi, dan lain sebagainya
Sehingga
dapat diartikan bahwa gender merupakan persamaan kondisi antara laki-laki dan
perempuan dalam memperoleh kesempatan hak untuk ikut mengambil peran dan
partisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan
serta persamaan dan kesempatan yang sama dalam sumber daya serta akses wewenang
untuk mengambil keputusan. Maka dari itu, kesetaraan gender menjadi isu yang
seringkali dibahas dan masih diperjuangkan hingga saat ini, dimana kurangnya
pemahaman terkait gender membuat seseorang sangat konservatif atau kolot.
Dengan demikian kita harus mengenali bentuk-bentuk ketidakadilan gender di
masyarakat antara lain; a) Marginalisasi merupakan suatu proses peminggiran
akibat kemiskinan. Banyaknya perempuan yang bekerja sebagai kuli bangunan atau
pekerjaan berat lainnya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dipandang sebelah mata oleh masyarakat bahkan
mereka terbiasa menggunjing didepan. Kasus lain seperti harta warisan, kaum
perempuan sama sekali tidak memiliki hak untuk mendapatkannya; b) Subordinasi
merupakan pandangan terhadap perempuan yang menganggap bahwa mereka tidak
rasional, emosional, inferior, dan lain-lain. Kebanyakan masyarakat menganggap
bahwa yang bisa menjadi pemimpin atau ketua hanya laki-laki. Mereka dipilih
bukan karena kapasitas akan tetapi perspektif saja bahwa mereka lebih kuat dan
layak. Padahal belum tentu dia memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Tidak
sedikit perempuan juga memiliki sifat yang pemberani, mandiri, berjiwa
pemimpin, tegas, cekatan dan bertanggungjawab; c) Stereotype merupakan
sikap pelabelan terhadap suatu kelompok, suku, agama, ras dan lain-lain yang
memiliki konotasi negatif; d) kekerasan merupakan bentuk penganiayaan secara
fisik maupun psikis yang dilakukan oleh individu terhadap lainnya. Kaum
perempuan dianggap sebagai objek visual yang keberadaanya hanya untuk
kesenangan dan kepuasan semata. e) beban ganda merupakan pekerjaan yang
diberikan kepada kaum perempuan. Selain bekerja diluar rumah, perempuan juga
dibebankan dengan pekerjaan rumah seperti mengurus anak dan membereskan rumah.
Padahal rumah tangga adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pasangan suami
istri untuk mendapatkan kehidupan yang harmonis.
Sedangkan,
berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Pendidikan merupakan usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar
peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian baik, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Pendidikan
sebagai proses untuk ilmu pengetahuan melalui belajar dan mengajar untuk
mencapai kehidupan yang selamat dan kebahagiaan. Pendidikan adalah hak asasi
manusia tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin. Setiap orang mampu unggul dan
memiliki potensi asalkan mereka mau berusaha dan sabar melewati prosesnya.
Pendidikan menjadi jantung dari kemajuan suatu bangsa, tanpa melalui ini tidak
akan menjadi bangsa yang maju. Pendidikan sebagai tombak kemajuan bangsa
sehingga hak mendapat pendidikan tercantum dalam peraturan perundang-undangan
baik untuk laki-laki dan perempuan.
Perilaku
dan sikap ketidakadilan gender juga terjadi dalam lingkup lembaga pendidikan.
Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang memengaruhi kesenjangan gender
yang berkaitan dengan kurikulum dalam lembaga/institusi yakni; a) partisipasi
kaum perempuan/ustadzah saat proses pengambilan keputusan terbatas bahkan
sangat rendah sehingga tidak menempati jabatan-jabatan birokrasi pemegang kebijakan;
b) kaum laki-laki lebih dominan ketika membuat isi kurikulum yang akan
diimplementasikan sehingga proses pembelajaran lebih condong ke laki-laki
karena hal tersebut menguntungkan bagi mereka, c) dalam isi materi/buku
pelajaran kerap membahas status perempuan baik sebagai wanita, adik, istri, dan
ibu cukup dominan memengaruhi pola pikir, perilaku dan tindakan terhadap
kesenjangan gender dalam proses pembelajaran
Dengan
memahami dan mengetahui faktor-faktor kesenjangan gender tersebut, dapat
diimbangi dengan keterbukaan pemikiran bahwa membuat kurikulum lembaga
pendidikan formal atau informal harus melibatkan kedua belah pihak (laki-laki
dan perempuan) agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan diterima
semua pihak.
Sehingga
dapat terwujud tujuan kesetaraan gender di pondok pesantren yakni meningkatkan
posisi, kedudukan, serta derajat kaum perempuan agar memiliki hak yang sama.
Perempuan berhak untuk memegang peranan penting dalam mendirikan negara yang
berdaya sehingga perwujudan keadilan gender dalam pondok pesantren dengan dasar
agama islam yang kuat akan mampu menjadi kekuatan untuk membangun peradaban
agama islam, bangsa dan negara Indonesia. Selain itu, pondok pesantren akan
mampu meningkatkan mutu dan efisiensi melalui pemberdayaan potensi santriwati
secara optimal sehingga mereka dapat berkembang dan meneruskan sistem
pendidikan yang lebih baik. Dan terakhir, santriwati seharusnya tidak dibatasi kapasitas
baik dari segi ekstrakurikuler seperti silat. Hal ini dikarenakan setiap orang
memiliki kemampuan yang berbeda-beda sehingga sebagai pelaksana pendidikan
mampu mengarahkan mereka untuk mengembangkan potensi dan kemampuan dalam diri
sehingga mereka tidak merasa terbebani bahwa harus memahami seluruh mata
pelajaran agama yang diajarkan
Dalam
proses pembelajaran kesetaraan gender di pondok pesantren memiliki Tujuan
sebagai berikut; a) memiliki hak akses yang sama dan setara dalam pendidikan,
b) mempunyai kewajiban yang sama, c) laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan
dan peranan yakni sebagai pelaku pembangunan bangsa. Sehingga untuk menjadi
negara yang maju harus mampu menjadi penggerak dan melahirkan penerus bangsa yang
unggul dalam segala bidang
Sedangkan
pondok pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan tradisional/informal
khusus mempelajari ilmu agama yang biasanya dipimpin oleh seorang kyai. Pondok
pesantren merupakan lembaga pengembang masyarakat tradisional islam yang memiliki tujuan antara lain; memberikan
pemahaman, penghayatan, pengamalan ajaran islam untuk menekankan kembali pentingnya
moral agama sebagai pedoman hidup bermasyarakat
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesetaraan gender di pondok
pesantren adalah proses belajar mengajar di suatu lembaga informal yang
mempelajari ilmu agama islam dimana pengajar yakni ustad/ustadzah membahas dan
menjelaskan secara detail mengenai persamaan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan (santri dan santriwati) agar memiliki peluang yang sama dan setara
dalam berbagai hal di lingkungan masyarakat dengan cara memberikan pemahaman
dan wawasan bahwa manusia memiliki hak yang sama untuk bermanfaat bagi orang
lain dan tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin.
2. Pendidikan kesetaraan Gender di Pondok Pesantren
Pendidikan
dalam pondok pesantren memiliki 3 pola sikap pesantren dalam menghadapi era
globalisasi atau modernisasi yakni pertama, pondok pesantren akan menerima
modernisasi secara total dan keseluruhan sehingga materi dan kurikulum
disamakan dengan sekolah formal. Kedua, pondok pesantren tetap selektif
terhadap modernisasi dengan mengkombinasikan kedua jenis pesantren sebelumnya
dimana modernisasi tidak dapat dihindari sehingga peran pondok pesantren
ditegakkan sebagai lembaga ilmu pengetahuan agama islam dan pengkaderan ulama.
Ketiga, pondok pesantren tidak mengubah seluruh sistem yang telah dibangun
tetapi hanya mengubah beberapa saja seiring perkembangan zaman sehingga
nilai-nilai asli pesantren tidak hilang
Dari
ketiga pola pendidikan tersebut, tidak jarang pondok pesantren di Indonesia
tidak menerapkan salah satu dari ketiga pola diatas. Padahal penerapan
pendidikan untuk menghadapi era globalisasi merupakan hal yang penting karena
semua yang kita lakukan saat ini serba digital. Pondok pesantren yang tidak mau berubah akan
tergerus dengan perubahan itu sendiri sehingga tidak dapat dipungkiri jika ilmu
pengetahuan dan teknologi sangat penting dan berkaitan dengan pendidikan ilmu
agama islam.
Peran
kiai dan ustad dalam memberikan bimbingan dan pandangan terkait persamaan
kedudukan antara perempuan dan laki-laki dalam mencapai kemajuan di berbagai
aspek kehidupan harus diajarkan seperti membekali santriwati untuk menjadi
pribadi yang sukses, bertanggung jawab, tangguh dan mandiri sehingga tidak
bergantung terhadap siapa pun apalagi kelak pada suaminya. Menurut penelitian ,
kiai dan pengurus pondok pesantren DDI Mangkoso, Sulawesi Selatan memiliki
pemahaman yang cukup baik tentang kesetaraan gender dimana kiai telah
memperbolehkan ustad dan ustadzah mengajar mata pelajaran di pesantren bagi
santri dan santriwati. Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler di pesantren yang
tidak membeda-bedakan keduanya seperti pramuka
Kedua, Mengubah pola
pikir mengenai perempuan adalah makhluk lemah harus segera diluruskan dimana
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di dunia ini,
Sebagaimana firman Allah dalam surah At-Tin ayat 4 “Sesungguhnya kami telah
ciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya”. Dan surah Al-isra ayat 70 “Dan
sungguh, kami telah memuliakan anak cucu adam, dan kami angkut mereka di darat
dan dilaut, dan kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan
mereka diatas banyak makhluk yang kami ciptakan dengan kelebihan yang
sempurna”. Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia merupakan ciptaan Allah yang sempurna sehingga tidak
ada ciptaannya yang bersifat sia-sia.
Ketiga, Menggali
potensi diri yakni mendorong santriwati untuk menanamkan jiwa yang haus akan
ilmu pengetahuan. Untuk menghadapi tantangan di era globalisasi seperti saat
ini, maka kaum perempuan seperti tiang pondasi dalam membangun peradaban
bangsa, oleh sebab itu, harus menggali potensi diri untuk bisa berkontribusi
dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Sebagaimana firman Allah dalam surah Assyam ayat 7-10 “Demi jiwa serta
penyempurnaan (ciptaan)nya, maka dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan
dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu). Dan
sungguh rugi orang yang mengotorinya”. Dari firman tersebut Allah
menerangkan bahwa manusia dibekali dengan akal sempurna untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan.
Keempat, Mendorong keaktifan santriwati untuk terjun langsung ke
ranah sosial dan masyarakat seperti menjadi pendakwah, ustadzah bahkan pendiri
pondok pesantren. Sehingga ilmu yang mereka dapatkan selama di pondok pesantren
dapat bermanfaat terlebih bagi masyarakat sekitarnya dan seluruh umat manusia.
Peran santriwati dalam kemajuan bangsa sangat penting, apabila mereka memiliki
keluasan pemikiran dan kemandirian berpikir akan mampu berperan dalam
kepemimpinan serta membuat keputusan yang berdampak positif terhadap
masyarakat. Bahkan, dalam pernikahan sekalipun seorang suami wajib untuk
merawat istrinya saat jatuh sakit. Kepemimpinan bukan karakter eksklusif bagi
laki-laki melainkan sama seperti merawat anak juga bukan eksklusif pekerjaan
istri
Menurut
Ulama, pria dan wanita memiliki persamaan hak dalam berpolitik. Hal ini
didasarkan pada Surat Asy-Syura ayat 38 yang artinya: “Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” Penjelasan
ayat tersebut mengungkapkan bahwa pria dan wanita mampu menjadi pemimpin bagi umat
ketika dalam suatu masyarakat timbul permasalahan dapat diselesaikan dengan
musyawarah bersama
Salah
satu pondok pesantren yang memiliki figur ulama perempuan adalah Pon-pes Nurul Jadid,
beliau adalah Ny. Hj. Aisyah Zaini yang dikenal oleh masyarakat sebagai sosok
pemimpin arif, bijaksana, wara’, zuhud, tawadhu dan memiliki kedalaman ilmu
agama. Dalam kegiatan sehari-hari di pesantren beliau mengajarkan mengenai
pembentukan moral dan karakter santri melalui pengajaran baca tulis Al-Quran,
hafalan dan setoran Quran, mengaji, shalat berjama’ah, wiridan, sorogan, terapi
qalbu, dan lain sebagainya. Beliau merupakan sosok yang dermawan dan suka
membantu masyarakat sekitar. Bu nyai Aisyah memiliki pesantren yang bernama
Fathimatuzzahro’ yang bertujuan untuk mendidik dan mempersiapkan santri dan
santriwati yang memiliki pengetahuan luas, berbudi pekerti luhur, dan selalu
bertakwa kepada Allah SWT
Implementasi keadilan gender juga telah
dilakukan salah satunya di pondok pesantren Sabilurrosyad dimana mereka
mengadopsi modernisasi tanpa menghilangkan pengetahuan islam dan pengkaderan
ulama, mereka berhasil menciptakan nuansa religiusitas yang kuat, mampu menjadi
pondasi harmoni sosial masyarakat tanpa adanya bias gender. Pesantren ini
berupaya mengimplementasikan keadilan gender seperti sektor pendidikan maupun
kepengurusan
Dari
berbagai implementasi pembelajaran yang diterapkan di pondok pesantren
tersebut, diharapkan dapat membuka wawasan dan pengetahuan terkait kesetaraan
gender dikalangan pondok pesantren. Sehingga dapat membuka pola pikir
santriwati untuk bergotong-royong membangun peradaban kaum muslimah sehingga
dapat bermanfaat bagi kehidupan dirinya, sosial masyarakat dan bangsa.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan kesetaraan gender di
pondok pesantren merupakan sebuah proses belajar mengajar di lembaga informal yang
dipimpin oleh seorang kyai atau bu nyai yang membahas maupun menerangkan secara
detail mengenai persamaan kedudukan antara santri dan santriwati untuk mendapatkan
hak yang setara di lingkungan masyarakat.
Penerapan
pendidikan kesetaraan gender di pondok pesantren dapat dilakukan sebagai
berikut; Pertama, Kurikulum pondok pesantren harus disesuaikan dengan perubahan
zaman. Hal ini dilakukan agar santri/santriwati mampu beradaptasi dengan
perkembangan zaman saat ini. Kedua, Mengubah pola pikir santriwati sebagai
makhluk yang mandiri dan tangguh. Ketiga, Menggali dan mengembangkan potensi
diri bagi santriwati untuk menanamkan
jiwa yang haus akan ilmu pengetahuan. Keempat, Mendorong keaktifan santriwati untuk berpartisipasi
aktif terjun ke ranah sosial, politik dan masyarakat.
Dari
beberapa penelitian sebelumnya, kita mengetahui bahwa masih banyak pondok
pesantren di Indonesia yang belum menerapkan pendidikan kesetaraan gender dan
tidak mengajarkannya. Mereka masih berpegang teguh pada peraturan dan kebijakan
yang sudah dilakukan bertahun-tahun tanpa adanya evaluasi ulang, padahal
peraturan ini merupakan hambatan bagi pondok pesantren karena tidak mampu eksis
di zaman sekarang. Tidak jarang pondok pesantren yang akhirnya tutup karena
sudah tidak memiliki santri lagi, mereka terlalu mengekang bahkan memberikan
banyak peraturan bagi santriwati yang pada akhirnya melahirkan generasi yang
pasif. Mereka sulit beradaptasi di
lingkungan masyarakat dan cenderung mengikuti arus tanpa mengetahui arah dan
tujuan kehidupan mereka.
Hasil
temuan menunjukkan bahwa kesetaraan gender dalam bidang pendidikan di pondok
pesantren harus terus digaungkan di setiap lembaga pondok pesantren.
Perkembangan teknologi informasi yang semakin maju harus diikuti, jika tidak
akan memberikan boomerang bagi lembaga informal tersebut. Hal ini bukan
berarti menghapus seluruh peraturan yang ada, melainkan mengadopsi hal positif
saja yang akan diimplementasikan di suatu pondok pesantren. Terwujudnya
keadilan gender di kalangan pesantren akan menumbuhkan rasa saling menghormati,
menghargai kaum santriwati dan ustadzah bahwa mereka juga memiliki akses dan
kemampuan yang setara. Dengan pendidikan kesetaraan gender di pondok pesantren
akan membawa dampak positif bagi lulusan yang memiliki sifat akhlakul karimah,
mandiri, cerdas, dan berprestasi. Selain itu, adanya pola pendidikan ini
menjadikan ajang bagi santriwati untuk lebih berekplorasi dalam meningkatkan softskill
dan hardskill yang mereka miliki guna mencapai kemajuan bangsa.
Adapun
penelitian yang dapat dilakukan selanjutnya yakni mengenai tantangan dan
strategi pendidikan kesetaraan gender di pondok pesantren, hal ini ditujukan
agar mampu mengetahui hambatan pondok pesantren tidak menerapkan pola
pendidikan kesetaraan gender sehingga dapat dicarikan solusi kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Archer, J., & Lloyd, B. (2002). Sex and Gender.
Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9781139051910
Astuti, S. A., Astuti, A., Jurai, S.,
& Metro, S. (2014). Pesantren dan Globalisasi. In Jurnal Tarbawiyah
(Vol. 11).
Fadhilatus, B., Nafisah, W., Mukmina, M. Z., Cholid, S. A.,
& Prayoga, T. A. (2021). IMPLEMENTASI KEADILAN
GENDER DI PONDOK PESANTREN SABILURROSYAD KOTA MALANG. In Jurnal Sosiologi
Reflektif (Vol. 16, Issue 1).
Hamalik, O. (2013). Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara.
Haslita, R., Samin, R., Kurnianingsih,
F., Okparizan, O., Subiyakto,
R., Elyta, R., Anggraini,
R., Muhazinar, M., & Ardiansya,
A. (2021). Implementasi Kebijakan pada Kesetaraan Gender dalam Bidang
Pendidikan. Takzim : Jurnal Pengabdian Masyarakat, 1(1), 81–86.
https://doi.org/10.31629/takzimjpm.v1i1.3845
Kasmawati, A., Perlindungan, /, Perempuan, H., Persfektif, D., &
Gender, K. (2017). PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DALAM PERSFEKTIF KEADILAN
GENDER. Seminar Nasional LP2M UNM.
https://ninanurmilah.wordpress.com/2013/12/11/peremp
Khairani, D. R. (2018). STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER
DALAM BERBAGAI ASPEK Tugas artikel View project.
https://www.researchgate.net/publication/329554835
Ma’ruf Ch, M. (2009). Membendung Gerakan Feminisme, Mencari
Perspektif Islam. At-Ta’dib, 4(1).
Muafiah, E. M. (2013). Pendidikan Perempuan di Pondok
Pesantren. Jurnal Pendidikan Islam, 7(1).
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/
Mubarok, A. Z. (2019). Model pendekatan pendidikan karakter
di pesantren terpadu. Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Islam, 8(1),
134. https://doi.org/10.32832/tadibuna.v8i1.1680
Mursidah, S. (2020). KESETARAAN GENDER DI PONDOK
PESANTREN.
Rifa’ah, S. (2016). Konstruksi Sosial Tentang Kekerasan
Pada Santriwati Yang Ada Di Pondok Pesantren Salafi (MQ) di Blitar. FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA, 5(1).
Sumaryati. (2018). KEADILAN GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM
DI PONDOK PESANTREN Sumaryati Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam
Lampung. Tarbawiyah: Jurnal Ilmiah Pendidikan, 02(2).
Ulum, B., & Fairuz, N. (2021). KEPEMIMPINAN WANITA
SEBAGAI GERAKAN EMANSIPASI BERBASIS GENDER AWARNESS DI PONDOK PESANTREN. Salwatuna,
1(1).
Wahyudin. (2017). IMPLEMENTASI NILAI KESETARAAN JENDER
DALAM PENDIDIKAN KARAKTER. Jurnal Ushuluddin Media Dialog Pemikiran Islam,
21(2).
Yuliani, W. (2018). METODE PENELITIAN DESKRIPTIF KUALITATIF DALAM
PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING. QUANTA , 2(2).
https://doi.org/10.22460/q.v2i1p21-30.642
Zahara, V., Indria Liestyasari,
S., & Nurhadi. (2015). IMPLEMENTASI PENDIDIKAN
ADIL GENDER DI PONDOK PESANTREN AL-MUAYYAD SURAKARTA. SOSIALITAS; Jurnal
Ilmiah Pend. Sos Ant, 5(2).