EFEKTIVITAS
PENDIDIKAN ETIKA DAN KODE ETIK BAGI APARATUR SIPIL NEGARA UNTUK MENCEGAH KECURANGAN
Ujang
Hamdani
Universitas Brawijaya, Indonesia
E-mail: hamdaniujang9@gmail.com
Abstract
This research aims to describe
effective, ethical programs and codes of ethics for civil servants to prevent
fraud in government institutions. We used qualitative descriptive analysis to
describe our research. We used secondary data from various reputated journal
articles, documents, and other relevant sources. The data were analyzed with
descriptive methods to understand the research objects comprehensively. The
research shows that government institutions should implement ethical programs
and codes of ethics to regulate the behavior of civil servants. The Head of the
agency should be a role model in ethical implementation. Top management must
also address special units to monitor the implementation of ethical codes.
Keywords: ethics programs, code of ethics, internal control,
fraud prevention.
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan
pelaksanaan pendidikan etika dan kode etik yang efektif bagi ASN untuk mencegah
kecurangan di lingkungan instansi pemerintah. Penelitian menggunakan metode
analisis bibliometric. Data penelitian ini bersumber dari berbagai artikel jurnal ilmiah, dokumen dan
sumber lain yang relevan. Data tersebut dianalisis untuk memperoleh pemahaman
yang komprehensif mengenai obyek penelitian. Simpulan penelitian ini
menunjukkan bahwa instansi pemerintah perlu menyusun
program etika dan kode etik, sebagai bagian dari pengendalian internal, untuk
menjaga integritas ASN. Pimpinan instansi perlu menjadi role model
dalam pelaksanaan nilai etika. Pimpinan instansi juga perlu menunjuk
unit tertentu untuk melakukan pemantauan atas penegakan etika.
Kata kunci:
pendidikan etika, kode etik, pengendalian
internal, aparatur sipil
negara, pencegahan fraud.
PENDAHULUAN
Setiap organisasi memiliki sumber daya dan kemampuan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Sumber daya tersebut dapat berupa struktur,
strategi, dan sistem yang dibentuk di dalam organisasi. Selain itu, organisasi
juga memiliki sumber daya untuk mengatur perilaku anggota berupa ketentuan etika
dan budaya organisasi. Ketentuan etika ini merupakan energi sosial yang
mempunyai kekuatan besar dalam mengontrol perilaku setiap anggota (Ferine
et al., 2021). Etika merupakan suatu kesepakatan
mengenai standar perilaku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam
suatu kelompok, grup, atau entitas (Cressy
et al., 2010). Etika organisasi ini dapat berperan
sebagai panduan bagi pegawai dalam menegakkan prinsip moral dan perilaku (Laczniak,
1993). Nilai-nilai etika juga mempunyai
peran penting dalam mencegah kecurangan di
tempat kerja (Cassell
et al., 1997).
Agar menjadi panduan formal yang mengikat seluruh anggota
organisasi, banyak organisasi modern mengatur ketentuan etika organisasi dalam peraturan
tertulis seperti kode etik organisasi, nilai-nilai etika, prinsip umum bisnis,
tata perilaku dan aturan lainnya. Penyusunan kode etik ini menjadi karakter yang
menonjol dalam organisasi-organisasi professional. Webley
& Werner (2008) menyebutkan bahwa kode etik adalah
cara yang dipilih untuk meningkatkan standar etika organisasi. Kode etik
merupakan upaya untuk menjadikan nilai-nilai organisasi dalam tataran praktis
sebagai panduan perilaku bagi anggota organisasi. Penyusunan regulasi etika
tersebut efektif mengatur perilaku dari anggota organisasi sebagaimana hasil
riset Duong et
al. (2021) dan Kaptein
& Schwartz (2008). Singh et
al. (2018) juga menyebutkan bahwa kode etik dapat
meningkatkan reputasi dari sebuah organisasi.
Dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia, kode etik yang
mengatur perilaku Aparatur Sipil Negara (ASN) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri
Sipil. Peraturan ini merupakan ketentuan formal kode etik bagi ASN
penyelenggara pemerintahan yang terdiri atas etika bernegara, etika
berorganisasi, etika bermasyarakat, serta etika terhadap diri sendiri dan
sesama PNS. Selain itu, ASN juga diikat oleh kode etik tertentu yang diatur
dalam lingkungan internal instansinya. Kode etik tersebut ditetapkan oleh
masing-masing pimpinan instansi pemerintah.
Kode etik tersebut menjadi panduan sikap dan perilaku
penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya melayani kepentingan
masyarakat dan negara. Penerapan kode
etik ini selayaknya mampu mendorong etos kerja PNS yang bermutu tinggi dan
sadar terhadap tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi
masyarakat sesuai nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia.
Sesuai hasil survey KPMG
(2020) yang menunjukkan bahwa sebagian besar
pelaku kecurangan adalah pegawai internal organisasi, maka untuk menjalankan
pemerintahan, diperlukan individu-individu mempunyai nilai etika yang tinggi. Adanya
kasus-kasus kecurangan di
sektor pemerintahan menunjukkan bahwa kode etik yang ada di lingkungan ASN ternyata
belum menjadi panduan etika yang efektif terhadap sikap dan perilaku anggota
organisasi.
Di lingkungan pemerintah Indonesia, kasus-kasus tidak etis
seperti penyalahgunaan wewenang, penyelewengan anggaran, perjalanan dinas
fiktif, dan honor fiktif yang dilakukan oleh ASN mengindikasikan adanya jurang
antara kode etik dengan implementasi di Indonesia (KPK,
2018). Laporan dari Komisi
Aparatur Sipil Negara (2018) juga menunjukkan bahwa jumlah narapidana
yang berstatus PNS pada masa tahanan 2014-2017 sebanyak 1.879 pegawai dengan
jenis kasus terbanyak yang dilakukan oleh PNS adalah korupsi. Selain itu,
kelemahan dalam pelayanan publik oleh ASN sering dijumpai karena ASN tidak
bersikap profesional dan kurang beretika (Rafrianika,
2022).
Beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa kode etik yang
dimiliki instansi pemerintah masih belum dipahami, tidak dirasakan
kehadirannya, dan tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, artikel ini mencoba untuk mendeskripsikan efektivitas pendidikan etika
dan kode etik di lingkungan instansi pemerintah. Rumusan masalah dalam artikel ini adalah
bagaimana melaksanakan pendidikan etika dan kode etik yang efektif bagi ASN di
lingkungan organisasi pemerintah.
Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan
untuk membahas efektivitas dari program etika dan kode etik. Penelitian dari Kaptein
(2015) menunjukkan pengaruh signifikan
pelatihan etika, kode etik organisasi, dan kebijakan etika terhadap perilaku etis pegawai. Selain
itu, Park
& Blenkinsopp (2013) juga membuktikan bahwa program etika
efektif dalam mencegah perbuatan tidak sesuai aturan di lingkungan pegawai.
Di Indonesia, penelitian tentang pengaruh kode etik
dilakukan oleh Khalisah
et al. (2022) pada karyawan PT PLN dengan hasil
menunjukkan bahwa kode etik mempunyai pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.
Selain itu, Claresta
(2017) juga melakukan penelitian pada akuntan
di Kota Malang dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa kode etik berpengaruh
positif terhadap perilaku etis.
Penelitian ini memiliki novelty
berupa analisis deskriptif mengenai tahapan pelaksanaan program etika dan kode
etik yang efektif di sektor pemerintahan. Sepanjang pengetahuan penulis, artikel
untuk mengungkap upaya mengefektifkan pelatihan etika dan kode etik, terutama
di lingkungan pemerintahan di Indonesia belum banyak dianalisis dalam
penelitian. Penelitian sebelumnya
tidak secara khusus
membahas pendidikan etika sebagai bagian dari pendidikan kompetensi ASN seperti
penelitian dari Ferine
et al. (2021); Sigler
& Pearson, (2000), dan Widapratama
& Raharjo, (2017). Penelitian ini bersifat melengkapi
penelitian-penelitian sebelumnya dalam bidang etika organisasi, sehingga pendidikan
etika dan kode etik menjadi mekanisme efektif dalam mencegah penyelewengan dan
korupsi di instansi pemerintah.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian konseptual
mengenai konsep dan ide penelitian. Penelitian dilakukan pada Bulan Juni 2022. Lingkup penelitian adalah telaahan atas sejumlah
artikel mengenai efektivitas pendidikan etika dan kode etik untuk mencegah
kecurangan instansi pemerintah. Analisis penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif kualitatif untuk mengkomunikasikan data dan menekankan pada tema kontekstual
serta tidak menggunakan angka dan perhitungan statistika. Hal ini digunakan
untuk menjelaskan data sesuai persepsi peneliti menurut data dan pengalaman
atau kejadian yang dialami peneliti (Sandelowski,
2000). Data yang digunakan dalam artikel ini
merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber artikel jurnal
ilmiah, dokumen dan sumber lain yang relevan. Artikel ilmiah dan dokumen diperoleh dari
jurnal yang berkualifikasi terpercaya serta publikasi resmi dari instansi
pemerintah. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis
bibliometric untuk melihat trend penelitian mengenai implementasi kode etik di
instansi pemerintah.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan
pentingnya pendidikan etika bagi aparatur sipil negara untuk mencegah
kecurangan instansi pemerintah. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini
menjelaskan motivasi-motivasi pelaku kecurangan dan diikuti dengan pembahasan
elemen penting pentingnya Pendidikan etika tersebut.
Kecurangan
dan Motivasi Pelaku
Fraud (kecurangan) merupakan istilah yang
luas dari konsep ketidakwajaran atau pelanggaran (Petraşcu
& Tieanu, 2014). Wells
(2017) mendefinisikan fraud dengan
penggunaan kedudukan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penggunaan
sumber daya organisasi yang tidak benar. Lembaga Association of
Certified Fraud Examiners (ACFE) membagi fraud ke dalam 3 (tiga)
kelompok yaitu kecurangan dalam penyusunan laporan, penyalahgunaan asset, dan
korupsi. ACFE juga menyebutkan bahwa tipe kecurangan yang mempunyai dampak
paling besar di Indonesia adalah korupsi (ACFE
Indonesia, 2019).
Dalam sektor pemerintahan, tindakan kecurangan merupakan
upaya mengambil dan menggunakan dana serta sumber daya pemerintah secara tidak
benar demi kepentingan pribadi pelaku. Tindakan kecurangan merupakan tindakan
yang berbahaya karena mempengaruhi perekonomian dan menyebabkan kerugian
finansial serta menghilangkan kepercayaan kepada institusi negara. Data dari Transparency
International, (2022) menunjukkan bahwa Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) Indonesia Tahun 2021 berada pada skor 38 dengan peringkat negara
paling bersih ke-96 dari 179 negara.
Untuk mencegah terjadinya fraud, pimpinan instansi
pemerintah perlu memahami terlebih dahulu motivasi dari pelaku kecurangan
tersebut. Dengan memahami motivasi psikologis tersebut, maka pimpinan instansi
dapat merancang pengendalian internal yang memadai untuk mencegah kecurangan.
Menurut
Bologna (1993), motivasi pelaku fraud terdiri atas 4 (empat) aspek yaitu Greed,
Opportunity, Need, dan Ekspose atau dapat disingkat dengan GONE. Greed
merupakan sifat keserakahan para pelaku fraud yang potensinya ada di
setiap orang. Opportunity atau kesempatan merupakan kelemahan sistem di
organisasi yang membuka peluang terjadinya kecurangan. Need merupakan
kebutuhan dari seseorang atas sesuatu yang mendorong dia untuk melakukan
kecurangan sedangkan ekspose adalah hukuman yang dianggap terlalu rendah
dan tidak membuat jera pelaku.
Motivasi pelaku kecurangan juga dikemukakan oleh
Cressey (1953) yang dikutip dalam Schuchter
& Levi, (2013) dengan konsep fraud triangle
yaitu pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization
(rasionalisasi). Pressure (tekanan) merupakan motivasi individu
karena tekanan psikologis yang tidak bisa diatasi oleh pelaku, baik
permasalahan internal maupun permasalahan eksternal. Factor opportunity merupakan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki pelaku
fraud dengan memanfaatkan status atau jabatan yang dia miliki, kelemahan
pengendalian intern organisasi, dan informasi yang dia miliki terkait bagaimana
melakukan fraud (Wells,
2017). Ketika adanya tekanan yang besar
ditambah dengan kesempatan pelaku, maka peluang melakukan fraud menjadi besar.
Dimensi ketiga dari fraud triangle adalah adanya rationalization
(rasionalisasi). Pelaku fraud akan merasionalisasikan perbuatannya
menjadi perbuatan yang bisa diterima oleh semua pihak. Hal ini merupakan sikap
pembenaran dari pelaku fraud atas perbuatannya.
Untuk mencegah tindakan korupsi, Bologna
merekomendasikan peningkatan program anti-fraud dengan meningkatkan
kualitas pengendalian intern pada organisasi pemerintah. Selain itu,
peningkatan kualitas pengendalian internal organisasi juga diiringi dengan
peningkatan integritas dan etika dari ASN. Kelemahan pengendalian internal
organisasi akan membuka peluang pegawai melakukan kecurangan organisasi (Wardiwiyono,
2012).
Pendidikan
Etika dan Kode Etik untuk Mencegah Kecurangan
Brenner
(1992) mendefinisikan program dan pendidikan
etika sebagai sejumlah nilai, kebijakan, dan kegiatan yang mendorong perilaku
pegawai dalam organisasi. Terdapat dua dimensi dari program etika yaitu dimensi
etika eksplisit seperti kode etik, kebijakan etika bagi pegawai, pelatihan
pegawai, seminar etika, dan arahan dari pimpinan. Selain itu, terdapat dimensi
etika yang berlaku secara implisit dalam organisasi yaitu budaya organisasi, nilai-nilai
etika, gaya kepemimpinan, dan nilai-nilai organisasi. Kedua dimensi etika
tersebut perlu dibangun dan dijalankan secara bersama-sama. Dimensi etika
eksplisit perlu mendasarkan pada nilai dan budaya organisasi yang berkembang di
suatu instansi.
Dari beberapa dimensi eksplisit dalam pelatihan etika tersebut,
Kaptein
(2015) menyebutkan bahwa komponen etika sangat
erat mempengaruhi perilaku etis pegawai yaitu kode etik, pelatihan etika,
komunikasi, kebijakan akuntabilitas, monitoring, dan kebijakan investigasi pelanggaran.
Agar menjadi efektif program dan kebijakan tersebut harus disampaikan secara
jelas dan tegas. Pimpinan instansi perlu memberikan keteladanan (modelling)
agar memberikan dampak perilaku bagi seluruh anggota organisasi. Kode etik
tersebut juga harus mengatur seluruh aktivitas penting dari organisasi,
mendorong transparansi, keterbukaan, dan mendorong perilaku etis pegawai.
Dalam mengefektifkan program etika, Proenca
(2004) menyebutkan 5 tahapan program etika yaitu
penyusunan kode etik yang berkualitas, penetapan unit penegakan etika, pelaksanaan
internalisasi etika, penyusunan sistem pemantauan dan mekanisme pengaduan
etika. Kode etik organisasi merupakan salah satu bagian penting dan pertama yang
perlu dibangun dalam program etika organisasi.
Valentine
et al. (2019) menunjukkan bahwa manajer yang
memiliki kode etik akan memperoleh komitmen pegawai yang lebih besar. Kode etik
juga menjadi alasan pegawai untuk berbuat sesuai etika. Schwartz
(2004) menunjukkan bahwa kode etik
mempengaruhi perilaku pegawai.
Dalam menyusun kode etik, ketentuan tersebut harus berakar pada
budaya organisasi. Budaya organisasi menunjukkan berbagai aspek aktivitas
sosial anggota seperti pola komunikasi, perilaku bekerja, bahkan pengambilan
keputusan dalam suatu organisasi. Schein
(2017) menyebutkan bahwa budaya organisasi
adalah sejumlah asumsi dasar yang dipelajari di dalam suatu kelompok sebagai
sarana adaptasi eksternal dan integrasi internal. Langton
et al. (2016) juga menyebutkan bahwa budaya
organisasi adalah sebuah pandangan umum atau sistem pembagian makna di kalangan
anggota organisasi. Budaya organisasi merupakan sejumlah nilai yang diciptakan
dalam organisasi dan dilaksanakan oleh anggota organisasi dalam mencapai
produktivitas organisasi.
Agar berkualitas, kode etika juga harus bisa menjangkau seluruh
aspek kegiatan dan anggota organisasi (Webley
& Werner, 2008). Kode etik dalam organisasi saat ini
cenderung hanya mengatur tentang aspek tertentu seperti pelayanan dan
penanganan pengaduan masyarakat. Regulasi tersebut belum mengatur tentang
komitmen bersama yang harus dibangun seperti konflik kepentingan, gratifikasi,
dan larangan penggunaan aset organisasi untuk kepentingan pribadi. Tidak adanya
aspek-aspek tersebut dalam kode etik menunjukkan bahwa kode etik tersebut belum
cukup relevan bagi pegawai pemerintahan dalam beraktivitas di pekerjaannya.
Kode etik yang disusun organisasi juga harus secara spesifik
dalam lingkup organisasi tertentu (Schein, 2017). Jika kode etik tersebut tidak bisa
menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam lingkungan organisasi, maka
anggota organisasi akan menganggap bahwa kode etik tersebut tidak relevan. Pimpinan
instansi pemerintah selayaknya membangun kode etik yang relevan dan berakar
dari budaya organisasi dimana instansi pemerintah berada. Kode etik yang
berasal dari nilai-nilai budaya dalam organisasi akan lebih relevan dan dapat
diterima oleh ASN di lingkungan pemerintah.
Dalam menyusun kode etik organisasi, seluruh bagian anggota
organisasi perlu dilibatkan. Hal ini penting karena pedoman perilaku tersebut
akan mengikat kegiatan anggota organisasi. Sebagai pengguna dari kode etik
tersebut, seluruh anggota akan menghormati peraturan tersebut jika mereka
dilibatkan dalam proses penyusunannya. Setiap lini pegawai dari pejabat eselon,
pegawai fungsional, dan staf perlu dilibatkan dalam diskusi penyusunan. Setelah
kode etik tersebut didiskusikan pimpinan instansi dapat menentukan poin-poin
tertentu agar dimasukkan dalam regulasi.
Setelah kode etik yang berkualitas ditetapkan, maka tahap
berikutnya adalah pelatihan etika bagi pegawai untuk memahami perilaku etis dan
nilai organisasi serta meningkatkan kemampuan mereka menghadapi
perilaku-perilaku yang tidak etis (Proenca,
2004). Kurangnya internalisasi kode etik
dapat menghambat efektivitas kode etik (Webley
& Werner, 2008). Internalisasi sangat penting agar
dapat dipahami oleh seluruh anggota organisasi. Internalisasi perlu
terus-menerus dilakukan agar kode etik tersebut menjadi panduan praktis dalam
setiap aktivitas perilaku ASN sehingga nilai-nilai positif menjadi pemahaman
bersama oleh seluruh anggota organisasi. Program internalisasi bisa dilakukan
dengan memanfaatkan berbagai media komunikasi. Selain sosialisasi yang harus
dilakukan secara rutin, misalnya dalam kegiatan arahan pagi bersama di instansi
pemerintah, internalisasi etika bisa dilakukan dalam bentuk sosialisasi lain
berupa stiker-stiker integritas, pengetikan kata sandi (password) komputer kantor berupa nilai etika, dan program-program
pelatihan terkait kode etik dan kasus-kasus dilema etika dalam birokrasi
pemerintahan.
Tahap program etika selanjutnya adalah adalah tahap yang
sangat penting dalam program etika organisasi, yaitu implementasi kode etik.
Pimpinan instansi perlu menetapkan unit kerja yang mempunyai kewenangan dalam
memantau penegakan etika pegawai. Unit kerja tersebut perlu secara rutin
memberi saran, menginvestigasi permasalahan etika, mengembangkan dan
mengkoordinasikan kebijakan etika (Smith,
2003). Unit kerja tersebut juga perlu
menyediakan saluran pelaporan yang sifatnya anonim bagi pegawai yang hendak
melaporkan terjadinya pelanggaran etika di lingkungan organisasi. Pelaporan
anonim ini dapat menjadi sarana dalam mengurangi ketakutan adanya pembalasan
atau ketakutan dari pihak yang dilaporkan (Johansson
& Carey, 2016).
Setelah internalisasi dan implementasi, elemen selanjutnya
dalam program etika adalah evaluasi atas kinerja etika pegawai. Sistem reward
dan punishment perlu ditegakkan agar kode etika menjadi efektif memandu
perilaku pegawai. Mekanisme untuk meningkatkan ketaatan pegawai terhadap etika
adalah perasaan adanya pengawas dalam penegakan etika. Evaluasi perilaku etika
digunakan sebagai sarana untuk memberikan insentif pegawai bertindak sesuai
mekanisme etis (Baucus
& Beck-Dudley, 2005).
Program pelatihan etika dan kode etik bagi ASN perlu
dilakukan untuk menginternalisasi kode etika kepada seluruh anggota organisasi dari
level pimpinan, manajer, sampai ke jajaran staf operasional. Program pelatihan
etika, implementasi, dan pemantauan perlu dilakukan secara terus-menerus untuk
meminimalisasi jurang antara kode etik dan efektivitasnya. Dengan demikian,
penyelewengan dan kecurangan pada instansi pemerintah bisa dicegah sedini
mungkin.
Pendikan
Etika dan Kode Etik sebagai Sarana Pengendalian Internal Organisasi
Pengendalian internal dengan berbagai metodenya telah lama digunakan
dalam pengelolaan organisasi. Kegiatan ini dilakukan untuk menjaga sumber daya
organisasi dari kecurangan, menjaga keakuratan laporan, dan meningkatkan
efisiensi organisasi (Lee,
1971). Pengendalian internal merupakan bagian
utama dalam tata kelola berbagai organisasi, termasuk instansi pemerintah.
Menurut Committee
of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO, 2013), Pengendalian
intern adalah sebuah proses yang dipengaruhi
oleh pimpinan, manajemen, dan pegawai lainnya yang dirancang untuk bisa
memberikan jaminan bahwa tujuan organisasi tercapai. Pengendalian intern
organisasi didesain untuk memberikan keyakinan terhadap pencapaian tiga tujuan
organisasi yaitu: (1) efektivitas dan efisiensi kegiatan; (2) laporan
organisasi dapat diandalkan; dan (3) tidak terjadi pelanggaran regulasi berupa fraud
dan korupsi.
Kualitas pengendalian internal suatu organisasi
berbanding lurus dengan kinerja organisasi secara keseluruhan. Studi dari Doyle et al., (2007) menemukan bahwa organisasi yang memiliki pengendalian intern yang
lemah cenderung organisasi yang kecil, sering mangalami masalah keuangan,
kegiatannya tidak tertata, dan pertumbuhannya tidak cepat. Rahman & Anwar (2014) juga menyebutkan bahwa program pengendalian intern merupakan
teknik yang efektif dalam mencegah dan mendeteksi fraud. Dengan
demikian, setiap organisasi termasuk organisasi pemerintah, perlu mendesain dan
memperhatikan efektivitas dari aspek pengendalian internal organisasinya.
Dalam sektor pemerintahan di Indonesia,
pemerintah telah mengadopsi konsep pengendalian internal COSO untuk membangun kebijakan
pengendalian intern pada instansi pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor
60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Dalam regulasi
tersebut dijelaskan bahwa pengendalian internal organisasi pemerintah terdiri
atas 5 (lima) aspek utama yaitu lingkungan pengendalian yang kondusif,
penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi yang efektif,
dan pemantauan atas pengendalian intern.
Dari 5 (lima) unsur pengendalian internal
tersebut, unsur lingkungan pengendalian merupakan unsur yang sangat penting
karena merupakan keseluruhan standar, proses, dan struktur bagi pelaksanaan
pengendalian intern lainnya. Unsur
lingkungan pengendalian yang kondusif merupakan landasan agar organisasi dan
anggota organisasi beraktivitas sesuai nilai-nilai etika. Pimpinan instansi
pemerintah perlu membangun nilai-nilai integritas dan budaya organisasi yang
positif agar kegiatan pengendalian internal lainnya dapat dijalankan oleh
anggota organisasi.
Dalam PP 60 Tahun 2008 juga dijabarkan bahwa
untuk membangun lingkungan pengendalian yang kondusif, perlu membangun 8 sub
unsur pendukung dengan “Penegakan integritas dan nilai etika” menjadi sub unsur
pertama. Dengan demikian, pimpinan instansi harus menciptakan lingkungan
pengendalian kondusif dengan membangun penegakan integritas dan nilai etika
yang memadai sehingga lingkungan organisasi pemerintah menjadi lingkungan yang
positif.
Untuk mendukung penegakan integritas dan nilai
etika, pimpinan instansi perlu menyusun aturan perilaku (kode etik) secara
formal, menyosialisasikan kode etik tersebut dan mengimplementasikan dalam
setiap aktivitas. Sosialisasi kode etik bisa berupa kegiatan arahan dan seminar
mengenai kode etik. Hal ini perlu dilakukan secara terus menerus agar seluruh
anggota organisasi merasakan kehadiran dari kode etik tersebut.
Komitmen dan peran pimpinan instansi
pemerintahan menjadi sangat penting karena menjadi role model (tone at the top)
dalam pelaksanaan integritas dan nilai etika. Jika manajemen puncak tidak
membangun dan menunjukkan komitmen terhadap praktik-praktik etika, maka
pelaksanaan program-program etika menjadi tidak efektif (Webley & Werner, 2008). Peran dari pegawai senior dalam lingkungan pengendalian
adalah faktor yang sangat penting dalam membangun integritas organisasi. D’Aquila (2001) menyebutkan peran pegawai senior dalam penegakan etika. Jika
menginginkan tindakan tidak beretika berkurang, maka manajemen puncak harus
mendorong dan menjadi pihak pertama yang melakukannya. Manajemen puncak harus
menunjukkan perilaku etis, tidak hanya secara verbal, namun dalam tindakan
nyata.
Dalam konteks penerapan sub unsur “penegakan
integritas dan nilai etika” dalam Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, maka
jajaran pimpinan instansi, pejabat eselon, dan unsur pimpinan lainnya harus
menunjukkan keteladanan terlebih dahulu dalam membangun dan mengimplementasikan
budaya etis di lingkungan instansi pemerintah. Dengan demikian, sehingga
keteladanan akan perilaku dan etika akan diikuti oleh seluruh ASN di lingkungan
pemerintah dan budaya etis menjadi panduan merata di instansi pemerintah dan
pengendalian internal organisasi akan efektif.
Peran
Pemantauan atas Implementasi Kode Etik
Walaupun implementasi etika
diharapkan berasal dari kesadaran masing-masing anggota organisasi, namun dalam
tata kelola manajemen pemerintahan, diperlukan suatu mekanisme pemantauan atau
pengawasan untuk memastikan bahwa seluruh pegawai dalam instansi pemerintah
bertindak sesuai dengan nilai yang terkandung dalam kode etik. Hal ini penting
karena tindakan melanggar ketentuan organisasi jika dilakukan terus menerus dan
dalam waktu yang lama akan menurunkan moralitas pegawai secara keseluruhan dan
menurunkan reputasi dari organisasi (Near
& Miceli, 1996).
Mekanisme pemantauan atas implementasi kode etik profesi
selayaknya dilakukan dalam sistem informasi yang memadai sehingga informasi
rinci mengenai track record pegawai
ASN yang melakukan pelanggaran terekam dengan baik. Basis data ini bermanfaat
untuk menciptakan sistem reward and punishment bagi ASN. Selain itu, data
ini dapat dimanfaatkan untuk memastikan pegawai ASN yang mendaftar pada posisi
tertentu tidak pernah melakukan pelanggaran berat terkait perilaku dan etika.
Mekanisme lain dalam melakukan pemantauan atau pengawasan
atas implementasi kode etik adalah membangun whistleblowing system. Menurut Jubb,
(1999), whistleblowing
adalah suatu mekanisme yang ada dalam organisasi untuk melaporkan perilaku
illegal, tidak bermoral, atau perilaku melanggar hukum lain yang dilakukan oleh
anggota organisasi lain untuk dilakukan tindakan perbaikan. Rekan kerja
merupakan seorang whistleblower yang
efektif karena mengetahui perilaku seharian pegawai. Walaupun mekanisme whistleblowing system belum menjadi
budaya di Indonesia, terutama atas pelanggaran etika dan moral, namun mekanisme
ini dapat digunakan sebagai sarana alternatif dalam menyampaikan laporan atas
penegakan etika, terutama dalam kondisi bawahan yang dibatasi oleh budaya
hierarki jabatan di Indonesia. Untuk itu, mekanisme pengawasan kode etik dan
moral pegawai melalui whistleblowing
system harus dibangun dengan jaminan adanya perlindungan yang diberikan
kepada pelapor pengaduan.
Pimpinan instansi perlu menunjuk unit tertentu untuk
melakukan pemantauan atas penegakan etika. Unit kerja tersebut juga perlu
diberi kewenangan dalam menerima, menilai kelayakan, dan melakukan investigasi
terhadap laporan pelanggaran etika. Unit kerja tersebut harus dipastikan
memiliki sumber daya yang cukup, kompeten, dan memiliki integritas. Materi
laporan pengaduan perlu disampaikan secara rutin kepada pimpinan untuk
memastikan proses tindak lanjutnya. Komitmen manajemen puncak penting dalam
menentukan status dan peran dari unit organisasi ini. Dengan demikian,
mekanisme pemantauan akan efektif mendorong ASN untuk bisa berperilaku sesuai
kode etik yang telah ditetapkan sehingga perilaku fraud bisa dicegah sedini mungkin.
KESIMPULAN
Laporan dari KPK menyebutkan bahwa sejak Tahun 2016-2021
lembaga tersebut telah menangani 677 kasus tindak pidana korupsi dengan 58,19%
kasus terjadi di lingkungan pemerintah daerah. Kecurangan
yang terjadi disebabkan
lemahnya pengendalian internal organisasi pemerintah. Aspek utama dari
pengendalian intern adalah penegakan integritas dan etika yang dilaksanakan
oleh seluruh anggota organisasi.
Oleh karena itu, instansi pemerintah perlu menyusun program
etika untuk menjaga integritas ASN. Program etika tersebut perlu dijalankan
secara rutin dan kontinyu agar menjadi panduan bagi perilaku ASN. Agar menjadi efektif, program etika tersebut
terdiri atas beberapa tahapan yaitu penyusunan kode etik yang berkualitas, penetapan
unit penegakan etika, pelaksanaan pelatihan etika, pembentukan sistem
pemantauan etika dan mekanisme pengaduan etika.
Dalam konteks penelitian, pengaruh dari beberapa aspek dalam
penelitian ini perlu dilakukan pengujian empiris lebih mendalam. Beberapa aspek
tersebut seperti kode etik yang berkualitas, pelatihan etika, dan anonimitas pengaduan
terhadap efektivitas perilaku etis ASN di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Association of Certified Fraud Examiners
(ACFE) Indonesia. (2019). Survei Fraud Indonesia 2019.
Baucus, M. S., &
Beck-Dudley, C. L. (2005). Designing ethical organizations: Avoiding the
long-term negative effects of rewards and punishments. Journal of Business
Ethics, 56(4), 355–370. https://doi.org/10.1007/s10551-004-1033-8
Brenner, S. N. (1992).
Ethics programs and their dimensions. Journal of Business Ethics, 11(5–6),
391–399. https://doi.org/10.1007/BF00870551
Cassell, C., Johnson,
P., & Smith, K. (1997). Opening the Black Box: Corporate Codes of Ethics in
Their Organizational Context. Journal of Business Ethics, 16(10),
1077–1093. https://doi.org/10.1023/A:1017926106560
Claresta, O. (2017).
Pengaruh Pemahaman Kode Etik Akuntan terhadap Perilaku Etis Akuntan di Malang. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, 5(2), 1–20.
Committee of
Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO). (2013). COSO
Internal Control Integrated Framework (2013).
Cressy, R., Cumming,
D., & Mallin, C. (2010). Entrepreneurship, Governance and Ethics. Journal
of Business Ethics, 95(SUPPL. 2), 117–120.
https://doi.org/10.1007/s10551-011-0848-3
D’Aquila, J. M.
(2001). Financial accountants’ perceptions of management’s ethical standards. Journal
of Business Ethics, 31(3), 233–244.
https://doi.org/10.1023/A:1010707303007
Doyle, J., Ge, W.,
& McVay, S. (2007). Determinants of weaknesses in internal control over
financial reporting. Journal of Accounting and Economics, 44(1–2),
193–223. https://doi.org/10.1016/j.jacceco.2006.10.003
Duong, H. K., Fasan,
M., & Gotti, G. (2021). Living up to your codes? Corporate codes of
ethics and the cost of equity capital. Management Decision, 60(13),
1–24. https://doi.org/10.1108/MD-11-2020-1486
Ferine, K. F., Aditia,
R., Rahmadana, M. F., & Indri. (2021). An empirical study of leadership,
organizational culture, conflict, and work ethic in determining work
performance in Indonesia’s education authority. Heliyon, 7(7),
e07698. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e07698
Johansson, E., &
Carey, P. (2016). Detecting Fraud: The Role of the Anonymous Reporting Channel.
Journal of Business Ethics, 139(2), 391–409.
https://doi.org/10.1007/s10551-015-2673-6
Jubb, P. B. (1999).
Whistleblowing: A restrictive definition and interpretation. Journal of
Business Ethics, 21(1), 77–94.
https://doi.org/10.1023/A:1005922701763
Kaptein, M. (2015).
The Effectiveness of Ethics Programs: The Role of Scope, Composition, and
Sequence. Journal of Business Ethics, 132(2), 415–431.
https://doi.org/10.1007/s10551-014-2296-3
Kaptein, M., &
Schwartz, M. S. (2008). The effectiveness of business codes: A critical
examination of existing studies and the development of an integrated research
model. Journal of Business Ethics, 77(2), 111–127.
https://doi.org/10.1007/s10551-006-9305-0
Kartika, M. (2021). 58
persen pidana korupsi yang ditangani KPK terjadi di pemda. Republika.
Khalisah, N., Akib,
H., Darwis, M., Aslinda, A., & Rizal, M. (2022). Pengaruh Kode Etik (Code
of Conduct) Terhadap Kinerja Karyawan PT. PLN (Persero) Unit Pelaksana
Pengendalian dan Pembangkitan Tello. Jurnal Ilmu Administrasi Bisnis, 1(1),
43–48.
Kilmann, R. H. (1985).
Corporate Culture: Managing the Intangible Style of Corporate Life May Be the
Key to Avoiding Stagnation. In Psychology Today.
Komisi Aparatur Sipil
Negara. (2018). Pengawasan Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai
Aparatur Sipil Negara.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2018). Survei Penilaian Integritas Laporan Ilmiah Gabungan 2018.
KPMG. (2020). Covid-19:
Fraud Survey.
Laczniak, G. R.
(1993). Marketing Ethics: Onward toward Greater Expectations. Journal of
Public Policy & Marketing, 12(1), 91–96.
https://doi.org/10.1177/074391569501200109
Langton, N., Robbins,
S. P., & Judge, T. A. (2016). Organizational behaviour Concept,
Controversies, Applications. In Psychology and People: A Tutorial Text
(7 ed.). Pearson. https://doi.org/10.1007/978-1-349-16909-2_19
Lee, T. A. (1971).
Seventeenth Century The Historical Development of Internal. Journal of
Accounting Research, 9(1), 150–157.
Near, J. P., & Miceli,
M. P. (1996). Whistle-Blowing : Myth and Reality. Journal of
Management, 22(3), 507–526.
Park, H., &
Blenkinsopp, J. (2013). The impact of ethics programmes and ethical culture on
misconduct in public service organizations. International Journal of Public
Sector Management, 26(7), 520–533.
https://doi.org/10.1108/IJPSM-01-2012-0004
Petraşcu, D.,
& Tieanu, A. (2014). The Role of Internal Audit in Fraud Prevention and
Detection. Procedia Economics and Finance, 16(May), 489–497.
https://doi.org/10.1016/s2212-5671(14)00829-6
Proenca, E. J. (2004).
Ethics Orientation as a Mediator of Organizational Integrity in Health Services
Organizations. Health Care Management Review, 29(1), 40–50.
https://doi.org/10.1097/00004010-200401000-00006
Rafrianika. (2022).
Kualitas Pelayanan pada UPT Asrama Haji Embarkasi Bekasi. Jurnal Kediklatan
Balai Diklat Keagamaan Jakarta, 3(1), 123–133.
Rahman, R. A., &
Anwar, I. S. K. (2014). Effectiveness of Fraud Prevention and Detection
Techniques in Malaysian Islamic Banks. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 145(February 2016), 97–102.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.06.015
Sandelowski, M.
(2000). Focus on Research Methods Whatever Happened to Qualitative Description?
Research in Nursing & Health, 23, 334–340.
https://doi.org/10.1016/S0009-9260(05)82940-X
Schein, E. H. (2017).
Organizational Culture and Leadership. In The Innovator’s Discussion (5
ed.). John Wiley & Sons. https://doi.org/10.4324/9781351017510-15
Schuchter, A., &
Levi, M. (2013). The Fraud Triangle revisited. Security Journal, 29(2),
107–121. https://doi.org/10.1057/sj.2013.1
Schwartz, M. S.
(2004). Effective corporate codes of ethics: Perceptions of code users. Journal
of Business Ethics, 55(4), 323–343.
https://doi.org/10.1007/s10551-004-2169-2
Sigler, T. H., &
Pearson, C. M. (2000). Creating an empowering culture: examining the
relationship between organizational culture and perceptions of empowerment. Journal
of Quality Management, 5(1), 27–52.
https://doi.org/10.1016/s1084-8568(00)00011-0
Singh, J. B., Wood,
G., Callaghan, M., Svenson, G., & Andersson, S. (2018). Operationalizing
Business Ethics in Organizations: The Views of Executives in Australia, Canada
and Sweden. European Business Review, 30(4), 494–510.
Smith, R. W. (2003).
Corporate ethics officers and government ethics administrators comparing apples
with oranges or a lesson to be learned? Administration and Society, 34(6),
632–652. https://doi.org/10.1177/0095399702239168
Transparency
International. (2022). Corruption Perceptions Index.
Valentine, S. R.,
Hanson, S. K., & Fleischman, G. M. (2019). The Presence of Ethics Codes and
Employees’ Internal Locus of Control, Social Aversion/Malevolence, and Ethical
Judgment of Incivility: A Study of Smaller Organizations. Journal of
Business Ethics, 160(3), 657–674.
https://doi.org/10.1007/s10551-018-3880-8
Wardiwiyono, S.
(2012). Internal control system for Islamic micro financing: An exploratory
study of Baitul Maal wat Tamwil in the City of Yogyakarta Indonesia. International
Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, 5(4),
340–352. https://doi.org/10.1108/17538391211282836
Webley, S., &
Werner, A. (2008). Corporate codes of ethics: necessary but not sufficient. Business
Ethics: A European Review, 17(4), 405–415.
https://doi.org/10.1111/j.1467-8608.2008.00543.x
Wells, J. T. (2017).
Corporate Fraud Handbook. In Corporate Fraud Handbook (5 th). John Wiley
& Sons. https://doi.org/10.1002/9781119351962
WIDAPRATAMA, F. R. W.,
& RAHARJO, S. T. (2017). Pentingnya Memahami Peran Dan Fungsi Serta Kode
Etik Supervisi Pekerja Sosial Dalam Profesi Pekerja Sosial Di Indonesia. Prosiding
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 4(2), 257–262.
https://doi.org/10.24198/jppm.v4i2.14342