RESEPSI
TRADISI YASINAN PASAR OLEH PENDUDUK MIGRASI DI DESA PADANG TIKAR, KABUPATEN
KUBU RAYA,
KALIMANTAN
BARAT
Muhafizah*
M. Riyan Hidayat**
*UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
**UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Indonesia
*E-mail:
muhafizahvije@gmail.com
**E-mail:
mrhidayat28@gmail.com
Abstract
The research on the Living Qur'an in this
paper discusses the reception of the yasinan Pasar tradition, which was revived
as a form of response to the revelation of Allah, namely Al-Qur'an. The
transmission of societal traditions must be distinct from the informative and
performative side of a figure in some places. This research focuses on the
yasinan Pasar tradition of migrating residents in Padang Tikar village, Kubu
Raya district, West Kalimantan province. Through this writing, two things
become the author's concern, namely, how is the reception of yasinan Pasar
tradition by migratory residents in the village of Padang Tikar? and how do
migrate populations strengthen relationships among people? To answer these
concerns, observation, interview, and documentation techniques are used by
presenting the research results in receptions of the yasinan Pasar tradition by
migratory residents in the village of Padang Tikar. This research was
strengthened by observations and interviews conducted by researchers with
authoritative parties in carrying out this tradition. Thus, the results of this
study found that there are two of the three typologies in the reception study,
namely the available reception of the yasinan Pasar tradition as an amaliah
worship and the aesthetic reception of the yasinan tradition (reciting with
tadwir at moderate speed).
Keywords: reception, yasinan Tradition, migration population,
padang tikar village.
Abstrak
Penelitian Living Qur’an
dalam tulisan ini membahas tentang resepsi tradisi yasinan pasar yang
dihidupkan sebagai bentuk respon atas diturunkannya wahyu Allah, yakni
Al-Qur’an. Transmisi tradisi kemasyarakatan tidak akan lepas dari
sisi informatif dan performatif dari seorang figur di sebuah tempat. Fokus pada
penelitian ini yaitu tradisi yasinan pasar penduduk migrasi di desa Padang
Tikar, kabupaten Kubu Raya, provinsi Kalimantan Barat. Melalui tulisan ini,
terdapat dua hal yang menjadi keresahan penulis yakni bagaimana resepsi tradisi
yasinan pasar oleh penduduk migrasi di desa Padang Tikar? dan bagaimana
penduduk migrasi memperkuat hubungan antar sesama?. Untuk menjawab keresahan
tersebut, maka menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi, dengan
menyajikan hasil dari penelitian berupa resepsi tradisi yasinan pasar oleh
penduduk migrasi di desa Padang Tikar. Penelitian ini diperkuat dengan
pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti kepada pihak otoritatif dalam
pelaksanaan tradisi tersebut. Dengan demikian, hasil dari penelitian ini
ditemukan ada dua tipologi dari tiga tipologi dalam kajian resepsi, yaitu
resepsi fungsional tradisi yasinan sebagai ibadah amaliah dan resepsi estetis
tradisi yasinan (pembacaan dengan tadwir dengan kecepatan sedang).
Kata kunci: resepsi,
tradisi yasinan, penduduk migrasi, desa padang tikar.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw., melalui perantara malaikat Jibril, yang tertulis di dalam
mushaf, yang diturunkan secara mutawatir, merupakan petunjuk bagi manusia, dan
membacanya adalah suatu amal ibadah. (Abdullah Saeed, 2012, 10;
Hitami, 2012, 15) Membaca ayat-ayat Al-Qur’an adalah salah satu bentuk
respon atas diturunkannya wahyu dalam berbagai macam bentuk, seperti
berorientasi pada pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an,
hingga menjadikannya sebagai ibadah yang menjadi kebutuhan jiwa untuk mencapai
ketenteraman dan mendekatkan diri kepada Allah swt.(Qattan, 2000, 25)
Dahulu, di zaman
Rasulullah saw., ayat-ayat Al-Qur’an pernah difungsikan di luar dari konteks tekstualnya. M. Mansur
mengatakan bahwa menurut riwayat-riwayat, Rasulullah pernah mengaplikasikan
cara ini, seperti digunakan untuk meruqyah. Dalam hal ini, sebagai contoh yaitu
surah Al-fatihah sebagai perantara untuk menyembuhkan penyakit, atau bahkan
menolak sihir menggunakan surah al-mu’awwizatain. (Syamsuddin, 2007, 17) Kemudian, hal
inilah yang kini menjadi contoh bagi umat manusia dan ditiru dari generasi ke
generasi. Dalam perjalanan sejarah yang panjang, Al-Qur’an telah menjadi
penerang jalan kehidupan manusia dan telah mengisi berbagai peradaban dan
budaya. (Darmalaksana et al., 2019,
38) Berdasarkan konteks, ada yang meletakkannya tetap pada
fungsi awal dan ada pula yang meletakkannya sebagai kitab suci yang difungsikan
di luar kapasitas tekstualnya. (Qudsy, 2016, 180)
Salah satu contoh
bentuk respon dari diturunkannya wahyu yaitu Al-Qur’an adalah membaca yasin
yang dijadikan sebagai sebuah tradisi. Selain itu, ada juga yang menjadikan
ayat-ayat Al-Qur’an yang dituliskan di kertas lalu dipotong-potong hingga
menjadi beberapa bagian dan membentuk sebuah jimat, ada juga yang menjadikan
ayat-ayat Al-Qur’an sebagai sarana agama dalam menyampaikan pesan-pesan melalui
media-media, bahkan seiring berkembangnya zaman, kini Al-Qur’an tidak hanya
dalam bentuk mushaf kertas, melainkan ada juga dalam bentuk aplikasi mushaf
Al-Qur’an di dalam handphone. (Rafiq, 2021, 3) Demikian hal tersebut di atas, merupakan bagian dari
fenomena sosial yang merupakan bentuk-bentuk kecil untuk merespon Al-Qur’an. (Hidayat, 2021, 199)
Umumnya, masyarakat
muslim, sehari-hari telah berinteraksi langsung dengan Al-Qur’an. Mempraktikkan
respon dan apresiasi terhadap Al-Qur’an, baik itu dalam bentuk membaca
Al-Qur’an, proses memahami, serta megamalkannya, kemudian ada juga yang
meresponnya dalam bentuk sosio-kultural. Semua itu dilakukan karena mereka
mempunyai iman/keyakinan bahwa hidup berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan
semaksimal mungkin akan memberikan kebahagiaan bagi diri sendiri. (Mustaqim, 2015, 67)
Pada masa kini,
tradisi yasinan telah menjadi tradisi yang familiar di lingkungan sehari-hari
yang merupakan bentuk respon sosial masyarakat terhadap Al-Qur’an. Oleh karena
itu, sebagai salah satu contohnya adalah tradisi yasinan yang dilestarikan oleh
penduduk migrasi di desa Padang Tikar, Kabupaten Kubu Raya, provinsi Kalimantan
Barat. Kegiatan ini dilaksanakan rutin setiap hari Kamis malam ba’da shalat
Isya dan bertempat di pasar Padang Tikar. Kegiatan rutin ini kemudian
disepakati disebut dengan nama kegiatan “yasinan pasar”.
Sejauh penelusuran
penulis, kajian mengenai tradisi yasinan terklasifikasi pada tiga poin yaitu pertama,
tradisi yasinan di masjid. Kajian ini dilakukan oleh Sri Purwaningsih dan Hasim
Ahroni (2019),(Ahroni, 2019) Novita Siswayanti (2018),(Siswayanti, 2018) Ahmad Naufal Hafidh (2021).(Hafidh, 2021) Kedua, tradisi yasinan pesantren. Kajian ini
dilakukan oleh Ahmad Zainuddin dan Faiqotul Hikmah (2019),(Hikmah, 2019) Linda Liswati dkk (2021).(Linda Lisnawati, Bambang
Husni Nugroho, 2021) Ketiga, tradisi yasinan di makam dan tempat
kramat. Kajian ini dilakukan oleh Titi Mumfangati (2007),(Mumfangati, 2007) dan Idham Hamid (2019).(Hamid, 2016) Berdasarkan peta penelitian terdahulu tersebut
membuktikan urgensi penelitian ini yang berkaitan tradisi yasinan pasar di
Padang Tikar.
Fokus penelitian ini
adalah untuk meneliti dan mengkaji tentang bagaimana resepsi tradisi yasinan
pasar oleh penduduk migrasi di Desa Padang Tikar, Kabupaten Kubu Raya,
Kalimantan Barat. Dengan menjadikan penduduk migrasi sebagai objek, peneliti
merasa tertarik untuk meneliti bagaimana penduduk migrasi hidup di daerah yang
merupakan bukan daerah asalnya, bagaimana mereka menjalin kekompakan antar
sesama penduduk migrasi hingga lahirlah kegiatan-kegiatan positif seperti
tradisi yasinan, sehingga darinya ditemui berbagai resepsi terhadap tradisi
yasinan. Kegiatan ini telah berjalan selama kurang lebih 13 tahun pada tahun
2008, yang diadakan dan diikuti oleh khusus masyarakat dari Jawa yang
bermigrasi ke desa Padang Tikar dengan tujuan merantau untuk memperbaiki
perekonomian keluarga. Tradisi yasinan ini memiliki nama komunitas tersendiri,
yaitu Yasinan Pasar karena letak tempat tinggal penduduk migrasi dan tempat
diadakannya yasinan pasar adalah berada di pasar di mana pasar merupakan pusat
berbagai macam usaha dan tempat belanja memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
METODE
Penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi, dengan
menyajikan hasil dari penelitian berupa resepsi tradisi yasinan pasar oleh
penduduk migrasi di desa Padang Tikar. Penelitian ini diperkuat dengan
pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti kepada pihak yang merupakan
pengurus inti dari kegiatan Yasinan Pasar tersebut. Hasil dari observasi ini,
peneliti menemukan jawaban dari pertanyaan bagaimana resepsi penduduk migrasi
desa Padang Tikar terhadap tradisi yasinan pasar.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Sekilas
tentang Desa Padang Tikar dan Tradisi Yasinan Pasar Penduduk Migrasi
Nama lain dari desa Padang Tikar adalah Tanjung Padang Tikar atau Tanjung Belimbing yang pertama kali dibuka
oleh seorang dari keturunan Bugis Melayu Deli bernama Pak Ude Muse pada tahun
1780. Setelah meninggal, Pak Ude Muse dimakamkan di dekat Sungai Lundu, namun
letak makamnya hingga kini belum diketahui. (Arafah, 2018) Desa Padang Tikar ini juga adalah sebuah
pulau yang jauh dari perkotaan, hingga tidak jarang jika banyak masyarakat
perkotaan yang tidak mengetahui bahwa ada sebuah pulau terpencil di Kalimantan
Barat. Untuk mengunjunginya, tidak bisa menggunakan kendaraan darat seperti
sepeda dan motor, melainkan harus menggunakan kapal kelotok (kapal laut)
menelusuri laut dan menyeberangi lautan lepas selama lebih kurang 4 jam lama
perjalanan. (Hamisah, 2021)
Seiring berjalannya waktu, desa ini mengalami perkembangan yang
lebih baik dari sebelumnya. Walaupun mengunjunginya tidak bisa menggunakan
kendaraan darat, orang-orang sudah bisa menggunakan kendaraan laut yang bernama
speed untuk sampai lebih cepat daripada kapal air umumnya, biasanya hanya
memakan waktu selama 1,5 jam dengan kapasitas penumpang yang terbatas. Akses
desa ke perkotaan sudah mudah, banyak kapal-kapal laut yang digunakan sebagai
antar jemput barang. Selain itu, Padang Tikar adalah sebuah desa yang terkenal
akan hasil perkebunan kelapa dan hasil lautnya dan hasilnya dijual di pusat
pasar padang tikar dan dikirim ke daerah perkotaan, sedangkan barang-barang kebutuhan
lainnya dari perkotaan dibawa ke desa Padang Tikar untuk dijual kepada
masyarakat. (Hamisah, 2021)
Jumlah penduduk semakin
hari semakin bertambah, banyak penduduk dari luar pulau yang bermigrasi ke
Padang Tikar untuk menyambung hidup dan membangun usaha. Berbagai macam suku
dan agama kini bersatu mewujudkan desa yang tenteram, damai dan makmur. Salah
satu contoh penduduk migrasi adalah penduduk Jawa yang bermigrasi dan menetap
sudah puluhan tahun di Padang Tikar.
Kebanyakan dari penduduk migrasi berasal dari daerah Jawa
Tengah, lebih tepatnya di kabupaten Demak. Menurut salah satu penduduk migrasi
yang diwawancarai, mereka datang ke Desa Padang Tikar tidak serta merta datang
beramai-ramai, melainkan terpisah-pisah dengan jarak bertahun-tahun, baru
kemudian penduduk migrasi terhitung ramai. Penduduk yang tergolong paling baru
bermigrasi yakni datang pada tahun 2001. Dengan demikian, penduduk migrasi
lainnya datang sebelum tahun 2001. (Luthfi, 2021)
Mayoritas dari penduduk migrasi hidup di pasar desa Padang
Tikar, membangun usaha dan toko-toko seperti toko mebel, toko pakaian,
kosmetik, dan lain sebagainya. Mereka hidup saling berdekatan, saling membangun
usaha, menciptakan kerukunan antar sesama serta saling mendukung satu sama
lainnya, bahkan kini mereka telah banyak membuat kegiatan-kegiatan rutin yang
bermanfaat, seperti kegiatan tahlilan, santunan anak yatim, maulidan, dan
yasinan. Namun, penulis hanya memfokuskan penelitian ini pada salah satu tema
living Qur’an, yaitu tradisi yasinan oleh penduduk migrasi di desa Padang
Tikar, kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Tradisi yasinan pasar
di desar Padang Tikar telah dijalankan sudah 13 tahun lamanya dan hingga saat ini
masih terus digalakkan. Salah satu tempat di pasar menjadi tempat berjalannya
kegiatan ini rutin setiap kamis malam setelah shalat Isya.
Penduduk setempat lebih sering menyebutnya dengan istilah malam jumat bukan
kamis malam. Menurut Luthfi bahwa
kegiatan
ini diadakan sebagai bentuk respon atas Al-Qur’an, sebagai bentuk amal ibadah
membaca Al-Qur’an, mengisi waktu dengan kegiatan positif yang secara tidak
langsung memperkokoh tali persaudaraan dan kekompakan antar sesama penduduk
migrasi. (Luthfi, 2021) Berikut penulis tampilkan kegiatan yasinan pasar di
Padang Tikar:
Gambar 1. Tradisi yasinan
pasar putri
Gambar 2. Tradisi yasinan
pasar putra
Pemilihan “pasar”
sebagai tempat yasinan karena dianggap sebagai rumah kedua bagi masyarakat yang
mata pencariannya di pasar. Hamisah mengungkapkan alasan pemilihan pasar
sebagai tempat diberlakukannya tradisi ini, ia mengungkapkan:
“Pasar bukan cume untok beli-beli dan jual-jual barang jak, tapi untok
ibadah yang dibuat ramai-ramai pun bise
macam yasinan ni lah”
Pasar bukan hanya
sebagai tempat bertransaksi antara pembeli dan penjual, tetapi ia juga bisa
difungsikan sebagai tempat melakukan kegiatan sosial-keagamaan seperti membaca
yasinan seperti ini”
Dengan demikian,
tradisi yang berjalan secara kontinu ini, harus tetap dilestarikan agar pasar
difungsikan sebagai kegiatan kemasyarakatan berbasis pada persatuan dan
kerukunan antar sesama masyarakat sekitar.
Tradisi yasinan pasar desa Padang Tikar oleh penduduk migrasi
dimulai sekitar tahun 2008. Berangkat dari inisiatif penduduk-penduduk migrasi
yang menyampaikan usulan bahwa daripada hidup hanya sibuk bekerja mencari uang
dari pagi sampai malam dan hanya sibuk menghitung penghasilan, akan lebih baik
diadakan kegiatan rutin yang bermanfaat untuk terus menghidupkan Qur’an di
tengah-tengah perjalanan mencari nafkah dan agar mendapat berkah dari Allah
Swt. Sebagaimana firman Allah di dalam Q.S. Qashas (28) ayat 77:
وَابْتَغِ
فِيْمَآ
اٰتٰىكَ
اللّٰهُ الدَّارَ
الْاٰخِرَةَ
وَلَا تَنْسَ
نَصِيْبَكَ
مِنَ
الدُّنْيَا
وَاَحْسِنْ
كَمَآ
اَحْسَنَ
اللّٰهُ
اِلَيْكَ وَلَا
تَبْغِ
الْفَسَادَ
فِى
الْاَرْضِ
ۗاِنَّ
اللّٰهَ لَا
يُحِبُّ
الْمُفْسِدِيْنَ
Artinya: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu
di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh,
Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat di atas mengingatkan bahwa urusan dunia dan akhirat
harus seimbang dengan menjadikan kehidupan akhirat sebagai visi, karena segala
sesuatu akan kembali kepada Rabb dan akan menempuh kehidupan akhirat. Dunia
hanya sebuah tempat untuk berikhtiar, mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk
akhirat, namun di sela-sela mencari bekal akhirat, juga penting untuk bekerja,
karena jasmani juga memiliki kebutuhan. (Hamisah, 2021)
Jangan sampai kita terlalu sibuk mengejar dunia, lalu melupakan akhirat, dan
begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, hidup seimbang antara akhirat dan dunia
menjadi sangat penting. (Hikmah, 2019)
Tradisi yasinan
pasar ini menurut Luthfi sebagai bentuk kesadaran bahwa kegiatan agama memiliki
unsur-unsur penguatan sosial dan solidaritas. Luthfi menegaskan pada tuturannya
yang berbunyi:
““iye, dengan dilaksanakannye
kumpul-kumpul macam ni dan di sinik (pasar), semue orang bise saling kenal dan
bisa menguatkan kerukonan bersame, agar menjadi pelekat hubongan antar sesame.
Jadi, bile ade masalah yang sulet bise saling tolong”
“Iya, dengan
terlaksananya perkumpulan seperti ini dan di sini (pasar), semua orang bisa
saling mengenal. Juga mampu memperkuat kerukunan sesama, agar menjadi perekat
sosial masyarakat yang ada. Jadi, bila ada tragedi yang sulit bisa saling
gotong royong”(Luthfi, 2021)
Penduduk Migrasi Desa Padang Tikar dan Resepsi Tradisi
Yasinan Pasar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resepsi memiliki arti
penerimaan. Sedangkan secara definisi, asal kata resepsi adalah reseption (Inggris)
yang artinya adalah penerimaan atau penyambutan. Teori resepsi fokus kepada
bagaimana khalayak memberikan makna kepada isi pesan media. Artinya, khalayak
punya kebebasan untuk mengartikan makna dari isi pesan tersebut.(Rahmi, 2018) Dengan demikian, dapat dipahami bahwa teori
resepsi adalah teori tentang pemaknaan pesan oleh khalayak dalam bentuk
penerimaan terhadap pesan tersebut yang kemudian berpengaruh bagi kehidupan
sehari-hari. (Luthfi, 2021)
Jika dikaitkan dengan
Al-Qur’an, maka definisi secara terminologinya adalah kajian sambutan pembaca
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Sambutan yang dimaksud adalah tentang bagaimana
cara masyarakat memaknai pesan-pesan dari ayat-ayat Al-Qur’an, bentuk
pengaplikasian pelajaran moral dari ayat-ayat tersebut, serta bagaimana
ayat-ayat tersebut dibaca. Artinya, yang menjadi konsentrasi kajian ini adalah
bagaimana interaksi pembaca dengan Al-Qur’an, (Fathurosyid, 2015, 220) sehingga dari interaksi
tersebut memberikan sebuah pengaruh yang khas bagi masyarakat dan menjadi sebuah tradisi yang rutin
dilakukan. (Sholeha, 2015)
Kajian resepsi merupakan termasuk kajian fungsi, yaitu fungsi
informatif dan performatif sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ahmad Rofiq.
Fungsi pertama menunjukkan bahwa kitab suci Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci
yang dibaca, dipahami serta diamalkan atau diaplikasikan. Sedangkan fungsi
keduanya, bagi sebagian masyarakat muslim, Al-Qur’an diperlakukan layaknya
wirid bahkan suwuk. (Albadriyah, 2019) Ahmad
Rafiq mengatakan bahwa ada tiga macam tipologi resepsi, di antaranya sebagai
berikut: (Rafiq, 2004; Syamsuddin, 2007, 67)
a. Resepsi Eksegesis, yaitu resepsi yang
digunakan dalam bentuk sebuah wujud penafsiran secara lisan, seperti
diadakannya pengajian tentang penafsiran-penafsiran Al-Qur’an. Kemudian, juga
ada penafsiran secara tulisan, seperti karya-karya tafsir yang sering dijumpai
(Tafsir jalalain, Ibn Katsir, dan lain-lainnya).
b. Resepsi Estetis, yaitu Al-Qur’an sebagai
teks suci yang memiliki nilai estetis atau keindahan-keindahan di dalamnya.
Artinya Al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang penuh dengan keindahan.
Jadi, membaca Al-Qur’an pun juga secara estetis (dinyanyikan seperti tilawah
maupun tartil), ditulis, dan ditampilkan secara estetik.
c. Resepsi Fungsional, yaitu yang menunjukkan
bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang diperuntukkan kepada manusia untuk digunakan
agar memperoleh tujuan tertentu dan memiliki fungsi tertentu. Resepsi
fungsional terhadap Al-Qur’an ini p[ada akhirnya akan mewujudkan fenomena
sosial budaya di dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menemukan
resepsi-resepsi tradisi yasinan oleh penduduk migrasi desa Padang Tikar, di
antaranya ialah:
1.
Resepsi Fungsional
Tradisi Yasinan sebagai
Ibadah Amaliah
Kegiatan-kegiatan yang bernafaskan Al-Qur’an di tengah-tengah masyarakat
di desa Padang Tikar selalu mendapat respon positif. Ini dapat dilihat dari
banyaknya lembaga-lembaga pendidikan Al-Qur’an, pengajian ibu-ibu majelis
ta’lim, termasuklah kegiatan Yasinan Pasar yang diadakan oleh penduduk migrasi.
Fenomena tradisi yasinan pasar oleh penduduk migrasi di desa Padang Tikar memiliki
daya tarik tersendiri dan layak mendapat apresiasi. Hal ini dilihat dari
resepsi tradisi yasinan secara fungsional sebagai ibadah amaliyah yang dapat
memberikan derajat kemuliaan di sisi Allah Swt., karena membaca Al-Qur’an
merupakan suatu kegiatan yang bernilai ibadah.
Dengan berlandasan kepada Q.S. Adz-Dzariyat: 56, bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya tidak
lain adalah untuk beribadah kepada Allah Swt., terlepas itu ibadah ritual
maupun sosial seperti tradisi yasin, karena salah satu bentuk tanda sedang
beribadah kepada Allah adalah dengan membaca Al-Qur’an, dan membaca surah yasin
yang kemudian menjadi rutinitas kelompok tertentu adalah bentuk ibadah yang
tidak hanya membaca tetapi juga menghidupkan Al-Qur’an dalam bentuk tradisi
yang dilaksanakan rutin pada waktu yang telah disepakati oleh kelompok. (Luthfi,
2021)
Bagi siapa saja yang membaca surah yasin, diyakini bahwa nilai yasin ini
memiliki nilai pahala yang tinggi, mendatangkan kedamaian dan keberkahan di
dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum, dalam membaca Al-Qur’an adalah
sebuah keharusan dan kewajiban bagi seluruh umat Islam, salah satunya adalah
surah yasin baik itu secara tekstual maupun di luar konteks tekstualnya. (Rafiq,
2021) Dengan demikian, dipahami
bahwa surah yasin adalah sebagai dasar pengembangan nilai-nilai Islami di dalam
kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya bergantung pada teksnya saja, namun lebih
kepada makna inti dari nilai keagamaan dan kemanusiaan. (Sumarni,
2018, 78)
Lebih dari sebagai kegiatan ibadah selaku umat muslim, tradisi yasinan
yang dihidupkan bahkan memiliki tempat penting di dalam kehidupan sehari-hari
penduduk migrasi. Di tengah-tengah usaha mencari rezeki, merantau dari pulau
jawa, jauh-jauh mencari nafkah, ada rasa yang kurang jika hanya fokus mencari
rezeki tetapi pendekatan hubungan antara hamba dengan Rabb terlupakan. Kegiatan
ini diadakan sebagai bentuk membangun hubungan sosial yang baik antarsesama
serta dengan harapan dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan setempat.
Selain tradisi yasinan, sebenarnya ada beberapa kagiatan positif lainnya yang
juga diadakan oleh penduduk migrasi, namun kegiatan yang memang rutin seminggu
sekali adalah kegiatan pasar desa Padang Tikar. (Luthfi,
2021)
Tradisi yasinan ini yang dihidupkan dan telah menjadi bagian dalam
kehidupan sehari-hari khususnya diadakan oleh sekelompok orang atau dalam
bentuk komunitas tertentu seperti yasinan pasar oleh penduduk migrasi, mampu
mempererat tali silaturahmi antar sesama, membangun kekompakan, mengikat rasa
kebersamaan yang tinggi, dan rasa kepedulian antar sesama, serta masih banyak
lagi fungsi positif lainnya. Setelah kagiatan yasinan selesai, diadakan acara
makan bersama (saprahan), mendengarkan permainan hadrah yang diiringi
sholawatan, serta membuka forum diskusi untuk menyatukan hati dan pikiran dan bermusyawarah
untuk kepentingan bersama. (Luthfi,
2021)
2.
Resepsi Estetis
Terhadap Tradisi Yasinan: Pembacaan Tadwir dengan Kecepatan Sedang
Membaca Al-Qur’an ada bermacam tingkatan yang disepakati oleh para ahli
tajwid, di antaranya ialah, pertama, membaca dengan menggunakan tingkatan
tahqiq yaitu tingkatan membaca yang paling lambat dan perlahan-lahan. Kedua,
menggunakan tingkatan tartil, yaitu membaca dengan cara pelan-pelan dan tenang.
Ketiga, menggunakan tingkatan tadwir, yaitu membaca dengan kecepatam sedang,
berada di antara tartil dan hadr. Keempat, menggunakan tingkatan hadr, yaitu
membaca dengan kecepatan tinggi. (Hikmah,
2019)
Tingkatan membaca yang digunakan
pada kegiatan yasinan pasar desa Padang Tikar adalah pembacaan dengan tingkatan
tadwir (membaca dengan kecepatan sedang), yakni dengan tidak terlalu cepat dan
terlalu lama, demikian hal ini agar tidak terkesan terburu-buru di dalam
membaca Al-Qur’an dan tidak terlalu lama. Hal ini dilakukan agar fasih dan
jelas makhrajnya, sifatnya, dan hukum-hukum tajwidnya. Selain daripada itu,
pada tempo yang sedang ini dapat mengimbangi penduduk yang tidak bisa membaca
dengan cepat dan penduduk yang tidak bisa membaca dengan lambat, maka dengan
tempo sedang ini, semua penduduk bisa memadukan tempo masing-masing menjadi
sedang, dan lama kelamaan menjadi terbiasa.
Ini berlandaskan kepada firman Allah:
وَرَتِّلِ
الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ
Artinya: “Bacalah Al-Qur'an itu dengan tartil.” (Q.S. Al-Muzzammil
(73: 4).
K.H. Ahmad Fathoni mendefinisikan tartil berdasarkan kepada Q.S.
Al-Muzzammil ayat 4, bahwa perintah dalam membaca Al-Qur’an dengan tartil di
sini bukan sekedar membaca Al-Quran dengan tartil, tetapi dengan tartil yang
mempunyai kualitas sebagaimana pendapat Ali bin Abi Thalib r.a., yakni membaca
dengan dengan membaguskan bacaan Al-Qur’an dengan disertai memahami waqaf.
Allah swt., di dalam firman-Nya memerintahkan membaca Al-Qur’an bukan dengan
asal-asal membaca, melainkan dengan tartil yang bagus dan maksimal. (Fathoni,
2016) Hal inilah yang dimaksud
dengan Pak Sofi Lthfi ketika diwawanacarai, bahwa membaca Al-Qur’an dengan
tempo sedang dan tartil dengan memerhatikan hukum-hukum tajwidnya. (Luthfi,
2021)
Selanjutnya, teknik membaca yasin pada tradisi yasinan ini, adalah dengan
menunjuk salah satu orang sebagai pemimpin membaca yasin menggunakan mikrofon.
Para peserta lainnya duduk membentuk lingkaran panjang sambil memegang mushaf
masing-masing. Ketika pemimpin membaca yasin, para peserta lainnya pun ikut
membaca mengikuti pemimpin dengan menyesuaikan kecepatan membaca oleh pemimpin
membaca yasin tersebut hingga yasin selesai dibaca bersama-sama. (Muhafizah,
2021) Maka, kecepatan yang harus
diterapkan oleh pemimpin membaca yasin disepakati adalah tempo sedang, guna
untuk mengimbangi para pembaca lainnya sampai selesai.
Sedangkan resepsi eksegesis, secara eksplisit, pada kegiatan yasinan
pasar ini, tidak serta merta diadakan dalam bentuk seperti kajian yang
disampaikan oleh tokoh agama atau orang yang dianggap lebih memahami agama
untuk menyampaikan makna dari ayat-ayat surah Yasin. Namun, secara implisit,
penduduk migrasi masing-masing telah memahami apa makna dan terjemahan dari
ayat-ayat surah yasin. Beberapa remaja yang merupakan anak-anak mereka juga
telah menempuh pendidikan pesantren, penduduk-penduduk migrasi lainnya juga
merupakan orang-orang yang taat beragama. Pemahaman terhadap surah Yasin ini
tergambar dari bagaimana kegiatan yasinan pasar ini menjadi tradisi serta
bagaimana para penduduk migrasi menghidupkan kegiatan-kegiatan yang bernafaskan
Al-Qur’an di desa Padang Tikar. Oleh
sebab itu, penduduk migrasi terus menggalakkan tradisi yasinan pasar, selain
memperkuat hubungan sosial, juga sebagai amaliyah di tengah-tengah mencari
nafkah di desa orang dan memperoleh berkah dari Allah swt.
Rasulullah saw., sosok yang paling bertanggung jawab dalam menyebarkan
pesan-pesan moral baik secara tersirat maupun tersurat ketika Al-Qur’an
diwahyukan kepadanya oleh Allah swt. Beliau adalah sang pembawa risalah yang dipilih oleh Allah
untuk mendakwahkan isi Al-Qur’an kepada umatnya yang belum dapat memahami teks
wahyu dengan baik. Dengan demikian, Rasulullah adalah orang pertama yang
meresepsi Al-Qur’an secara eksegesis-interpretatif dan yang menafsirkan
Al-Qur’an, meskipun tidak semua ayat beliau tafsirkan. (Fathurosyid,
2015, 222)
Sebagaimana diketahui bahwa surah yasin merupakan surah yang ke 36 yang
terdiri dari 83 ayat. Surah ini juga disebut sebagai Qalbu Al-Qur’an. Imam
Al-Ghozali menerangkan bahwa disebut sebagai jantung Al-Qur’an karena surah
yasin ini menguraikan secara mendalam tentang hari kebangkitan. Kebenaran iman
terletak pada kepercayaan terhadap hari kebangkitan dengan sepenuh hati. Dengan
demikian, iman atas hari kebangkitan mendorong manusia untuk terus beramal
sholeh hingga menghindarkan manusia kepada kedurhakaan. (M.
Quraish Shihab, 2015) Oleh karena itu, dengan keutamaan yasin yang
bergitu besar, Pak Sofi Luthfi sewaktu diwawancarai, dengan penuh harapan agar
yasinan pasar tetap berjalan dan digalakkan secara terus menerus, dan terus
berkembang, jika mampu kegiatan-kegiatan positif lainnya yang bernafaskan
Al-Qur’an pun akan banyak diadakan suatu hari nanti. (Luthfi,
2021)
Analisis Terhadap Tradisi Yasinan Pasar Penduduk Migrasi
di Desa Padang Tikar
Sebagaimana fenomena tradisi Yasinan Pasar oleh penduduk migrasi di desa
padang Tikar, yang telah diresepsi ke beberapa bentuk, yakni resepsi fungsional
dan estetis. Secara eksplisit, tidak terdapat resepsi eksegesis di dalam
kegiatan yasinan pasar desa Padang Tikar. Namun, secara implisit penduduk
migrasi di desa Padang Tikar telah memahami makna dari surah yasin tersebut.
Ini didasarkan kepada background masing-masing penduduk migrasi adalah
terbilang paham dalam hal keagamaan, terlebih tentang keutamaan dari surah
Yasin. Bahkan, remaja-remajanya pun merupakan alumni pesantren.
Pandangan terhadap bentuk-bentuk
resepsi yasinan pasar, perlu untuk dijelaskan, guna mengetahui inti dan makna
dari resepsi tersebut. Hal ini bisa dilihat melalui resepsi-resepsi oleh
penduduk migrasi, yaitu resepsi fungsional tradisi yasinan sebagai ibadah
amaliah, dan resepsi estetis terhadap tradisi yasin: pembacaan dengan tadwir
dengan kecepatan sedang pada pembacaan yasin di desa Padang Tikar.
Pertama, resepsi fungsional. Tradisi yasinan pasar
bagi penduduk migrasi merupakan bentuk ibadah amaliyah. Ini dapat dilihat dari
inti pelaksanaannya. Tradisi yasinan yang dihidupkan dan telah menjadi sebuah
tradisi adalah bentuk ibadah yakni kegiatan membaca Al-Qur’an yang rutin
dilaksanakan oleh sekelompok orang. Sebagaimana diketahui bahwa membaca
Al-Qur’an bernilai ibadah. Lebih dari pada itu, tradisi yasinan pasar adalah
sebagai media dan sarana meningkatkan solidaritas hubungan sosial antar sesama
penduduk migrasi dan memiliki pengaruh positif terhadap hubungan sosial antara
penduduk migrasi dan non migrasi. Demikian seperti yang dikatakan pak Sofi
Luthfi ketika diwawancarai, bahwa kegiatan ini bukan hanya sebagai sarana
positif bagi sesama penduduk migrasi, tetapi juga mendapat respon yang sangat
baik dari penduduk-penduduk asli desa Padang Tikar, sehingga kehidupan
bermasyarakat menjadi tenteram dan damai.
Kedua, resepsi estetis.
Pembacaan yasin dengan tempo pembacaan tingkatan tadwir (membaca dengan
kecepatan sedang). Sehingga, membacanya tidak terkesan buru-buru, sehingga
fasih dan jelas makhrajnya, sifatnya, dan hukum-hukum tajwidnya. Sebagaimana
firman Allah di dalam Q.S. Al-Muzzammil ayat 4, bahwa membaca Al-Qur’an harus
dengan tartil. Tartil yang dimaksud adalah tidak asal-asalan dalam membaca.
Membaca Al-Qur’an harus dengan kualitas yang baik, mulai dari makhraj hingga
hukum-hukumnya.
Tradisi yasinan pasar ini
dilaksanakan karena mengingat besarnya faedah dari hari Jumat dibandingkan hari-hari
lainnya. Ibnu Qayyim al-jauziah berkata, “Hari Jumat adalah hari ibadah.” Hari
Jumat itu seperti bulan Ramadham yang memiliki keutamaan-keutamaan yang besar
dibandingkan bulan-bulan lainnya, demikian pula hari perbandingan hari Jumat
dengan hari-hari lainnya. Kemudian, kemustajaban hari Jumat seperti
kemustajaban di saat malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan. Selain itu, hari
Jumat dikenal sebagai sayyidul ayyam.
(Sanusi,
2013, 57)
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan
di atas, mengenai resepsi tradisi yasinan pasar desa Padang Tikar, Kabupaten
Kubu Raya, provinsi Kalimantan Barat, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Penduduk
jawa yang bermigrasi ke desa Padang Tikar
merupakan penduduk yang hendak membangun usaha untuk memperbaiki
perekonomian keluarga. Namun, seiring berjalannya waktu, para penduduk migrasi
menyadari bahwa apa artinya jika hidup hanya terfokus untuk mencari nafkah
memperbaiki perekonomian keluarga tetapi tidak menghidupkan ibadah lainnya yang
dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. Berawal dari usulan salah
satu penduduk migrasi, maka disepakatilah dan terbentuklah yasinan pasar yang
kemudian menjadi sebuah tradisi rutin setiap kamis malam. 2) Tipologi atau
kaedah resepsi tradisi yasinan pasar oleh penduduk migrasi yang diadakan di
desa Padang Tikar adalah pertama, resepsi fungsional yang terwujud dalam
fungsinya yaitu sebagai ibadah amaliyah yang dapat memberikan derajat kemuliaan
di sisi Allah Swt., karena membaca Al-Qur’an merupakan suatu kegiatan yang
bernilai ibadah dan merupakan sarana mempererat tali silaturahmi dan kekompakan
antar sesama penduduk migrasi. Kedua, yaitu resepsi estetis, yaitu bentuk
tingkatan dalam membaca Al-Qur’an saat pembacaan surah yasin pada kegiatan yasinan
pasar. Dengan demikian, pembacaan yasinan penduduk migrasi desa Padang Tikar
yakni menggunakan pembacaan dengan tingkatan tadwir (membaca dengan kecepatan
sedang), guna untuk mengimbangi bacaan antar sesama, fashih, jelas makhraj, dan hukum-hukum tajwidnya, sehingga tercipta
bacaan Al-Qur’an yang berkualitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Saeed. (2012). Pengantar Studi
Al-Qur’an (Ter. Shulkhah dkk (ed.)). Baitul Hikmah Press.
Ahroni, S. P. dan H. (2019). Yasinan dan
Tahlilan Sebagai Strategi Dakwah pada Jamaah Yasin dan Tahlil Masjid Sabilil
Mustaqim Desa Jimbe Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. JCD: Journal of
Community Development and Disaster Management, 1(2), 98.
Albadriyah, N. H. dan A. S. (2019). Living
Qur’an: Resepsi Al-Qur’an di Pondok Pesantren Al-Husna Desa Sidorejo Pamotan
Rembang. Al-Munqidz: Jurnal Kajian Keislaman, 8(3), 363.
Arafah. (2018). Sejarah Awal Mula Pulau
Padang Tikar dan Keindahannya. Laduni.Id.
https://www.laduni.id/post/read/50005/sejarah-awal-mula-pulau-padang-tikar-dan-keindahannya
Darmalaksana, W., Alawiah, N., Thoyib, E.
H., Sadi’ah, S., & Ismail, E. (2019). Analisis Perkembangan Penelitian
Living Al-Qur’an dan Hadis. Jurnal Perspektif, 3(2).
https://doi.org/10.15575/jp.v3i2.49
Fathoni, A. (2016). Petunjuk Praktis
Tahsin Tartil Al-Quran Metode Maisura. Institut PTIQ Jakarta dan Pesantren
Takhasus IIQ Jakarta.
Fathurosyid. (2015). Tipologi Ideologi
Resepsi Al-Qur’an di Kalangan Masyarakat Madura Sumenep Madura. Jurnal
El-Harakah, 17(2), 222.
Hafidh, A. N. (2021). Tradisi Pembacaan
Surat Yasin Sebelum Salat Jumat (Studi Living Qur’an Di Masjid Taaroful
Muslimin). MASHAHIF: Journal of Qur’an and Hadits Studies, 1(2),
18.
Hamid, I. (2016). Tradisi Ma’baca Yasin Di
Makam Annangguru Maddappungan (1884-1953M). Tafsere, 4(2),
81–100.
Hamisah, B. (2021). Wawancara Penduduk
Desa Padang Tikar.
Hidayat, A. A. H. dan M. R. (2021). LIVING
HADIS TRADISI SHOLAWAT KUNTULAN DI DESA BENGLE KABUPATEN TEGAL. Jurnal Studi
Hadis Nusantara, 3(2), 185–193.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.24235/jshn.v3i2.9706
Hikmah, A. Z. dan F. (2019). Tradisi
Yasinan (Kajian Living Qur’an di Ponpes Ngalah Pasuruan). Jurnal MAFHUM:
Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 4(1), 17.
Hitami, M. (2012). Pengantar Studi
Al-quran : Teori dan Pendekatan. LKiS.
Linda Lisnawati, Bambang Husni Nugroho, Z.
M. (2021). RISET LIVING QUR’AN MENGENAI RITUAL PEMBACAAN YASIN 41 DI PONDOK
PESANTREN MUSTHAFAWIYAH PURBABARU. Jurnal AT-TAHFIZH Jurnal Ilmu Al-Qur’an
Dan Tafsir, 2(02), 50–65.
Luthfi, P. S. (2021). Wawancara.
M. Quraish Shihab. (2015). Tafsir
al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an (7th ed.). Lentera Hati.
Muhafizah. (2021). Observasi dan
Pengamatan Padang Tikar.
Mumfangati, T. (2007). Tradisi Ziarah Makam
Leluhur Pada Masyarakat Jawa. Jantra, II(3), 191–197.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/wp-content/uploads/sites/24/2014/06/Jantra_Vol._II_No._3_Juni_2007.pdf#page=25
Mustaqim, A. (2015). Metode Penelitian
Al-Qur’an dan Tafsir. Idea Press.
Qattan, M. K. (2000). Mabahis Fi Ulum
Al-Qur’an. Maktabah al-Ma’arif.
Qudsy, S. Z. (2016). LIVING HADIS:
GENEALOGI, TEORI, DAN APLIKASI. Jurnal Living Hadis, 1(1).
https://doi.org/10.14421/livinghadis.2016.1073
Rafiq, A. (2004). Pembacaan yang Atomistika
terhadap Al-Qur’an; Antara Penyimpangan dan Fungsi. Jurnal Ilmu Al-Qur’an
Dan Hadis, 5(1), 3.
Rafiq, A. (2021). Living Qur ’ an : Its Texts and Practices in the Functions
of the. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis, 22(2),
469–484. https://doi.org/10.14421/qh.2021.2202-10
Rahmi. (2018). Resepsi Masyarakat tentang
Isi Siaran Bima TV. Jurnal Komunikasi Dan Kebudayaan, 5(1), 64.
Sanusi, M. (2013). Fadhilah Hari Jumat.
Diva Press.
Sholeha, I. (2015). Pembacaan
Surat-Surat Pilihan Dari Al-Qur’an Dalam Tradisi Mujahadah Di Pondok Pesantren
Putri Nurul Ummahat Kotagede Yogyakarta”(Studi Living Qur’an). UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Siswayanti, N. (2018). Knowing The
Nahdliyin Masjid In The Role Of Jami Kajen Masjid Mengenal Masjid Nahdliyin
dalam Peranan. Jurnal Bimas Islam, 11(2), 277–300.
Sumarni. (2018). Persepsi Masyarakat
Islam Terhadap Tradisi Yasinan Pada Malam Jumat. Universitas Hasanuddin
Makassar.
Syamsuddin, S. (2007). Metodologi
Penelitian Living Qur’an dan Hadis. Teras.