Nazia Nuril Fuadia
Balai Diklat Keagamaan Jakarta, Indonesia
E-mail: nazia.sabdho@gmail.com
Abstract
This study aims to describe the theory
of social and emotional development of children so that child development is
achieved optimally. This research uses literature study method. The data
obtained were compiled, analyzed, and concluded to get a conclusion. The
results of this study show that the development of social emotions is
determined by two factors, namely internal factors, namely the human nature
itself (humanistic theory) and external factors, namely the surrounding
environment (Psychosocial theory). Children's social and emotional development
is also obtained not only from the maturation process, but also from learning
opportunities and responses from their environment. Social competence is
determined by emotional competence. Children with good emotional intelligence
tend to be socially competent individuals. Children who can control themselves
and easily show affection to others will be easy to socialize with people
around them. Therefore, the emotional and social devlopment of children
develops well. so that they are ready for the next life.
Keywords: early childhood, social
development, emotional development
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan teori perkembangan sosial dan emosi anak. Penelitian ini menggunakan metode
studi literatur. Data yang diperoleh dikompilasi, dianalisis, dan disimpulkan sehingga
mendapatkan kesimpulan. Adapun hasil penelitian ini bahwa perkembangan emosi sosial
ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor internal yaitu bawaan manusia itu
sendiri (teori humanistik) dan faktor eksternal yaitu lingkungan sekitar (teori
Psikososial). Perkembangan
sosial dan emosi anak juga diperoleh tidak hanya dari proses kematangan,
melainkan diperoleh dari kesempatan belajar dan respon dari lingkungannya.
Kompetensi sosial ditentukan oleh kompetensi emosi. Anak dengan kecerdasan
emosi yang baik cenderung menjadi pribadi yang kompeten secara sosial. Anak
yang dapat mengendalikan diri dan mudah menunjukkan kasih sayang kepada orang
lain maka akan mudah bersosialisasi dengan orang disekitarnya. Oleh karena itu,
perkembangan emosi dan sosial anak berkembang dengan baik sehingga memiliki
kesiapan dalam kehidupan selanjutnya.
Kata kunci: anak usia dini, perkembangan sosial, perkembangan
emosi
PENDAHULUAN
Masa
usia dini yang kita kenal dengan istilah golden age adalah masa rentang anak
usia 0-6 tahun, yang merupakan periode emas bagi pertumbuhan dan perkembangan
anak, dimana terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Stimulasi
pada anak kelompok usia ini sangat penting karena merupakan fondasi untuk
pembangunan human capital, karena anak yang berkembang dengan optimal
akan tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat jasmani dan rohani serta produktif.
Bukti
empirik menunjukkan investasi terhadap anak usia dini menghasilkan rate of return
yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Pendidikan anak usia dini
terbukti meningkatkan kesiapan bersekolah (school readiness) pada
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Menjadi penting dilakukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak dan diberikannya stimulasi dini
yang tepat dan optimal pada tahapan perkembangannya.
Usia
dini disebut juga sebagai tahap perkembangan kritis atau usia emas (golden age). Pada tahap ini sebagian
besar jaringan sel-sel otak berfungsi sebagai pengendali setiap aktivitas dan
kualitas manusia. Enam tahun pertama
kehidupan manusia sangat penting bagi perkembangan anak, yakni perkembangan
pada usia dini menentukan karakter pada
saat kelak ia dewasa. Oleh karena itu, guru maupun orang tua harus memiliki
bekal pengetahuan dan keterampilan terkait pertumbuhan dan perkembangan anak, agar
dapat memberikan stimulasi yang tepat sehingga tumbuh kembang anak dapat
tercapai dengan optimal.
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan atau
keterampilan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola
yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari pengalaman dan proses
pematangan. Perkembangan berkaitan juga dengan kemampuan gerak, intelektual,
sosial dan emosional.
Salah
satu aspek perkembangan anak adalah perkembangan sosial dan emosi, dimana perkembangan
sosial emosi dipahami sebagai sebuah krisis dalam perkembangan anak. Perkembangan
sosial dan emosi terbentuk melalui sebuah proses perkembangan yang merupakan
hasil kematangan organis tubuh dan proses belajar. Mulai dari proses masa
perkembangan awal, yaitu usia 0-1 tahun menujukkan rasa aman dalam keluarganya
apabila kebutuhannya terpenuhi oleh lingkungannya. Bayi akan mengeksplorasi
melalui sentuhan, rasa, dll. Dari mengeksplorasi itulah bayi akan belajar dan
merasa aman sehingga perkembangan tercapai dengan baik. Sebaliknya, apabila
bayi merasa tidak aman dalam lingkungan keluarganya, maka bayi akan menghabiskan
energinya untuk mengatur dirinya sehingga bayi tidak memiliki kesempatan untuk
mengeksplorasi dirinya, dan ketika bayi tidak dapat kesempatan untuk
bereksplorasi, maka bayi tidak memiliki kesempatan untuk belajar dan akan
merasa tidak aman, sehingga pencapaian perkembangan tidak optimal.
Proses
belajar pada masa usia dini inilah yang akan mempengaruhi perkembangan pada
tahapan selanjutnya (Briggs, 2012). Masa
perkembangan bayi hingga memasuki sekolah dasar menjadi “fondasi” belajar yang
kuat bagi anak untuk mengembangkan kemampuan sosial emosinya menjadi lebih
sehat dan anak menjadi siap dalam menghadapi tahapan perkembangan selanjutnya
yang lebih kompleks.
Pada
tahap krisis inilah menjadi waktu yang tepat dalam meletakkan dasar-dasar
pengembangan kemampuan sosial emosi anak. Orang
tua dan guru perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait
pertumbuhan dan perkembangan anak, khususnya aspek perkembangan sosial dan
emosi anak, sehingga tumbuh kembang anak dapat tercapai dengan optimal.
Terdapat beberapa jurnal yang
releven dengan kajian
penulis yaitu pentingnya pembentukan aspek perkembangan sosial emosi pada saat
anak usia dini, diantaranya adalah:
1.
Mira
Yanti Lubis “Mengembangkan Sosial Emosional Anak Usia Dini Melalui
Bermain”. Dari
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan melalui metode bermain di PAUD dapat
meningkatkan kemampuan sosial emosional anak khususnya pada usia 4-5 tahun (Lubis,
2019).
2.
Inarah Huwainah dengan judul “Perkembangan Sosial
Emosional Anak Melalui Permainan Gerak dan Lagu Di Taman Kanak-Kanak Assalam
Sukarame Lampung”. Dari hasil penelitian dapat disimpulan secara umum bahwa gerak dan lagu yang diberikan pada pembelajaran
di TK dapat mengembangkan sosial emosional anak (Huwainah,
2017).
3.
Mukhlis, A., & Mbelo, F. H, dengan judul “Analisis
Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini Pada Permainan Tradisional”. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa permainan yang dilakukan anak dengan lingkungannya (factor
eksternal) akan membentuk perkembangan social emosi anak (Mukhlis,
A., & Mbelo, 2019).
Ketiga jurnal terdahulu tersebut
relevan dengan penelitian penulis, namun di sini penulis lebih fokus kepada library research atau
kajian pustaka, sehingga hasilnya tentu akan berbeda. Penelitian
penulis akan menghasilkan konsep-konsep melalui penganalisisan konsep yang telah dipaparkan oleh para pakar terkait perkembangan sosial
dan emosi anak. Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana
perkembangan sosial dan emosi anak usia dini terbentuk?”dikaji dari berbagai
teori.
METODE
Pendekatan penelitian yang penulis pilih dalam penyusunan tulisan
ini adalah pendekatan kualitatif yaitu berupa kajian literatur. Pendekatan ini diambil karena penulis ingin mendapatkan
gambaran berupa uraian yang detil dan jelas
terkait teori perkembangan anak usia dini khususnya pada perkembangan sosial
dan emosi.
Metode penelitian dalam tulisan
ini adalah deskriptif, yaitu mendeskripsikan kajian dari konsep perkembangan sosial emosi anak khususnya
pada anak usia prasekolah yaitu Raudhatul Athfal yang dikaji dari berbagai
teori.
Teknik pengumpulan data dalam penyusunan tulisan
ini adalah dengan cara mengambil
data dari berbagai sumber bacaan kemudian dianalisis dan disimpulkan.
Analisis data mengandung dua unsur penting
yakni mendeskripsikan data yang telah
diperoleh dan dikumpulkan melalui berbagai literasi, lalu dikelompokkan sesuai
dengan karakteristiknya sehingga tergambar utuh secara komprehensif.
Teknik analisis data dalam penyusunan karya tulis ini adalah deduktif. Suatu analisis dari umum ke khusus.
Penarikan kesimpulan dari keadaan yang umum menuju khusus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Anak Usia Dini
Anak usia dini yaitu anak yang berada pada rentang usia
0-6 tahun yang memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan pada aspek fisik, kognitif,
sosial emosional, kreativitas, bahasa dan komunikasi yang khusus yang sesuai
dengan tahapan yang sedang dilalui oleh anak tersebut. Berbagai penelitian
menyimpulkan bahwa pada anak usia dini sedang dalam tahap pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat, baik fisik maupun mental.
Anak usia dini mengalami perubahan pada fase
kehidupan sebelumnya. Masa anak usia dini sering disebut dengan “golden age” atau masa emas. Pada masa
ini hampir seluruh potensi anak mengalami masa peka dan pesat untuk tumbuh dan
berkembang secara tepat. Perkembangan setiap anak tidak sama karena setiap
individu memiliki perkembangan yang berbeda.
Pada taman kanak-kanak maupun raudhatul athfal sebagai
salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang berada di jalur pendidikan formal
yang memberikan layanan bagi anak usia dini hingga siap memasuki pendidikan selanjutnya yaitu pendidikan dasar.
Pengertian
anak prasekolah yaitu “Anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6
tahun. Di Indonesia, umumnya mereka mengikuti program kelompok bermain (usia 3
tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya mereka mengikuti pendidikan di taman
kanak-kanak atau raudhatul athfal (Patmonodewo, 2003).”
Pendidikan pada taman kanak-kanak ataupun raudhatul athfal
diarahkan untuk mengembangkan potensi anak semaksimal mungkin sesuai dengan
tahapan perkembangan anak melalui kegiatan bermain sambil belajar. Selain itu, di
raudhatul athfal juga mengembangkan segi kepribadian anak dalam rangka
menjembatani pendidikan di keluarga dan di lingkungan sekolah. Karena pada
tahapan ini, anak tidak lagi berkumpul dan bergaul bersama keluarga di rumah
saja, namun sudah berkumpul bersama dengan figur baru yaitu guru dan teman
sebayanya. Anak harus dibimbing untuk memperoleh keterampilan sosial emosi,
sehingga guru dan orang tua harus memiliki pengetahuan dan keterampilan
perkembangan anak.
Perkembangan Sosial Anak
Perkembangan sosial merupakan perkembangan tingkah
laku pada anak dimana anak dapat menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku
dalam lingkungan masyarakat. Dengan kata lain, perkembangan sosial merupakan
proses belajar anak dalam menyesuaikan diri dengan norma, moral dan tradisi
dalam kelompok (Yusuf, 2016).
Piaget menunjukkan adanya sifat egosentris yang
tinggi pada anak karena anak belum dapat memahami perbedaan perspektif pikiran
orang lain. Pada tahapan ini anak hanya mementingkan dirinya sendiri dan belum
mampu bersosialisasi secara baik dengan orang lain. Anak belum mengerti bahwa
lingkungan memiliki cara pandang yang berbeda dengan dirinya (Suyanto, 2005).
Awal perkembangan sosial pada anak tumbuh dari
hubungan anak dengan orang tua atau pengasuh di rumah terutama anggota
keluarganya. Anak mulai bermain bersama orang lain yaitu keluarganya. Tanpa
disadari anak mulai belajar berinteraksi dengan orang di luar dirinya sendiri
yaitu dengan orang-orang di sekitarnya. Interaksi sosial kemudian diperluas,
tidak hanya dengan keluarga dalam rumah namun mulai berinteraksi dengan
tetangga dan tahapan selanjutnya yaitu sekolah/madrasah.
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh
proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan
berbagai aspek kehidupan sosial atau norma dalam masyarakat. Proses ini
biasanya disebut dengan sosialisasi. Tingkah laku sosialisasi adalah sesuatu
yang dipelajari, bukan sekedar hasil dari kematangan. Perkembangan sosial anak
diperoleh selain dari proses kematangan juga melalui kesempatan belajar dari
responss terhadap tingkah laku.
Perkembangan sosial mulai agak kompleks ketika anak
menginjak usia 4 tahun, anak mulai memasuki ranah pendidikan yang paling dasar
yaitu taman kanak-kanak atau raudhatul athfal. Pada masa ini anak belajar
bersama-sama dengan temannya. Anak sudah mulai bermain bersama teman sebaya (cooperative play). Vygotsky dan Bandura
menyebutnya dengan teori belajar sosial melalui perkembangan kognitifnya (Hurlock, 1996) bahwa anak usia 4-6 tahun perkembangan sosialnya sudah
mulai berjalan. Hal ini tampak dari kemampuan mereka dalam melakukan kegiatan
secara berkelompok (peer group). Kegiatan bersama berbentuk seperti
sebuah permainan. Tanda-tanda perkembangan pada tahap ini adalah (1) Anak mulai
mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan
bermain; (2) Sedikit demi sedikit anak sudah mulai mengikuti aturan; (3) Anak
mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain; dan (4) Anak mulai dapat
bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebayanya (peer group) yang kemudian meluas dengan dewasa lainnya.
Dari sisi sosial emosional, kegiatan bermain dalam
melatih anak dalam memahami perasaan teman lainnya. Konflik dalam interaksi
keduanya akan membantu anak dalam memahami bahwa orang selain dirinya yaitu
temannya memiliki cara pandang yang berbeda dari dirinya.
Perkembangan sosial dapat dipetakan dalam beberapa
aspek (Yahro, 2009). Perkembangan sosial meliputi kompetensi sosial dan
tanggung jawab sosial. Kompetensi sosial menggambarkan keefektifan kemampuan
anak dalam beradaptasi dengan lingkugan sosialnya. Misalnya mau bergantian
dengan teman lainnya dalam sebuah permainan. Tanggung jawab sosial menunjukkan
komitmen anak terhadap tugasnya, menghargai perbedaan, sadar dan memperhatikan
lingkungannya dan mampu menjalankan fungsinya.
Perkembangan sosial anak diperoleh dari kematangan
dan kesempatan belajar dari berbagai respons lingkungan terhadap anak.
Perkembangan sosial yang optimal diperoleh dari respons sosial yang sehat dan
kesempatan yang diberikan kepada anak untuk mengembangkan konsep diri yang
positif. Melalui kegiatan bermain, anak dapat mengembangkan minat dan sikapnya
terhadap orang lain. Sebaliknya aktivitas yang
terlalu banyak didominasi oleh guru akan menghambat perkembangan sosial emosi
anak.
Tahap Perkembangan Sosial pada usia 4-5 tahun antara
lain adalah
1.
Menunjukkan sikap mandiri dalam
memilih kegiatan.
2.
Mau berbagi, menolong, dan membantu
teman.
3.
Menunjukan antusiasme dalam
melakukan permainan kompetitif secara positif.
4.
Mengendalikan perasaan.
5.
Menaati aturan yang berlaku dalam
suatu permainan.
6.
Menunjukkan rasa percaya diri.
7.
Menjaga diri sendiri dari
lingkungannya.
8.
Menghargai orang lain.
Kemudian untuk tahap perkembangan sosial usia 5-6
tahun adalah
1.
Bersikap kooperatif dengan teman.
2.
Menunjukkan sikap toleran.
3.
Mengekspresikan emosi yang sesuai
dengan kondisi yang ada (senang-sedih- antusias dsb.)
4.
Mengenal tata krama dan sopan
santun sesuai dengan nilai sosial budaya setempat.
5.
Memahami peraturan dan disiplin.
6.
Menunjukkan rasa empati.
7.
Memiliki sikap gigih (tidak mudah
menyerah).
8.
Bangga terhadap hasil karya
sendiri.
9.
Menghargai keung- gulan orang.
Perkembangan
Emosi Anak
Campos mendefinisikan emosi sebagai perasaan atau
afeksi yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan yang dianggap
penting oleh individu tersebut (Santrock, 2007). Emosi diwakilkan oleh ekspresi perilaku dari kenyamanan atau
ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Emosi
dapat berbentuk rasa senang, marah, kecewa, senang, takut, senang dan
sebagainya. Begitupun juga dengan Goleman mengatakan bahwa emosi
merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan
biologis dan psikologis serta seraikaian kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 2006).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
perkembangan emosi adalah suatu keadaan yang kompleks, dapat berupa perasaan yang
disadari dan diungkapkan melalui ekspresi wajah atau tindakan, yang berfungsi
sebagai inner adjustment (penyesuaian
dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan
individu.
Karakteristik emosi pada anak berbeda dengan
karakteristik yang terjadi pada orang dewasa, dimana karekteristik emosi pada
anak itu antara lain (1) Berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba; (2)
Terlihat lebih hebat atau kuat; (3) Bersifat sementara atau dangkal; (4) Lebih
sering terjadi; (5) Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya; dan (6)
Reaksi mencerminkan individualitas. Emosi dapat diklasifikasikan menjadi dua
yaitu, emosi positif maupun negatif.
Emosi dipengaruhi oleh dasar biologis dan juga
pengalaman masa lalu. Terutama ekspresi wajah dari emosi, disini dituliskan
bahwa emosi dasar seperti bahagia, terkejut, marah, dan takut memiliki ekspresi
wajah yang sama pada budaya yang berbeda.
Emosi memiliki peranan yang sangat penting dalam
perkembangan anak, baik pada usia prasekolah maupun pada tahap-tahap
perkembangan selanjutnya, karena memiliki pengaruh terhadap perilaku anak. Hyson menyebutkan bahwa anak memiliki kebutuhan
emosional, seperti ingin dicintai, dihargai, rasa aman, kompeten dan
mengoptimalkan kompetensinya (Hyson, 2004).
Pada usia prasekolah anak-anak belajar menguasai dan
mengekspresikan emosi. Pada usia enam tahun anak memahami konsep emosi yang
lebih kompleks seperti kecemburuan, kebanggaan, kesedihan dan kehilangan,
tetapi anak-anak masih memiliki kesulitan di dalam menafsirkan emosi orang
lain. Pada tahapan ini anak memerlukan pengalaman pengaturan emosi, yang
mencakup kapasitas untuk mengontrol dan mengarahkan ekspresi emosional, serta
menjaga perilaku yang terorganisir ketika munculnya emosi-emosi yang kuat dan
untuk dibimbing oleh pengalaman emosional. Seluruh kapasitas ini berkembang
secara signifikan selama masa prasekolah dan beberapa diantaranya tampak dari
meningkatnya kemampuan anak dalam mentoleransi frustasi dan kecemasannya.
Kemampuan untuk mentoleransi frustasi ini, yang
merupakan upaya anak untuk menghindari amarah dalam situasi frustasi yang
membuat emosi tidak terkontrol dan perilaku menjadi tidak terorganisir.
Anak-anak tampak meningkat kemampuannya dalam mentoleransi frustasi ketika
diminta melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan mereka. Mereka juga
mulai belajar bagai- mana menegosiasikan konflik tersebut.
Kemampuan untuk menunjukkan kontrol diri terhadap
emosi akan menjadi anugerah yang dilematis bagi anak apabila anak tidak mampu
menyesuaikan levelnya terhadap situasi tertentu. Pada beberapa situasi anak
diharapkan mampu menahan diri, tetapi pada situasi yang lain anak-anak dapat
berperilaku impulsif dan ekspresif seperti yang mereka inginkan. Intinya, anak
pra sekolah diharapkan mampu untuk mengekspresikan emosinya dengan baik dan
tanpa merugikan orang lain, serta dapat belajar melakukan regulasi emosi.
Perkembangan emosi pada masa kanak-kanak awal
ditandai dengan munculnya emosi evaluatif yang disadari rasa bangga, malu, dan
rasa bersalah, dimana kemunculan emosi ini menunjukkan bahwa anak sudah mulai
memahami dan menggunakan peraturan dan norma sosial untuk menilai perilaku
mereka (Santrock, 2007). Berikut penjelasannya:
1)
Rasa bangga. Perasaan ini akan
muncul ketika anak merasakan kesenang setelah sukses melakukan perilaku
tertentu. Rasa bangga sering diasosiasikan dengan pencapaian suatu tujuan
tertentu.
2)
Malu. Perasaan ini muncul ketika
anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi standar atau target tertentu. Anak
yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa bersembunyi atau menghilang
dari situasi tersebut.
3)
Rasa bersalah. Rasa ini akan muncul
ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah kegagalan. Dalam mengekspresikan
perasaan ini biasa anak terlihat seperti melakukan gerakan-gerakan tertentu
seakan berusaha memperbaiki kegagalan mereka.
Terdapat beberapa hal penting dalam perkembangan
emosional anak yaitu (Hurlock, 1996):
1)
Usia berpengaruh pada perbedaan
perkembangan emosi. Setiap rentang usia menunjukkan beberapa perbedaan yang
paling mencolok dalam ekspresi dan regulasi emosi. Selama usia prasekolah, anak
juga mengalami stress dan meresponsnya, namun di usia ini mereka juga berusaha
untuk mengatur perasaan dan dorongan dirinya sendiri.
Perbedaan kemampuan dalam mengekspresikan dan meregulasi
emosi pada anak ini juga terkait dengan perkembangan kognitif anak, dimana
perkembangan kognitif anak akan mempengaruhi kemampuan untuk mengontrol diri
dan menghambat impuls.
2)
Perubahan ekspresi wajah terhadap
emosi. Seperti halnya orang dewasa, ekspresi perasaan anak-anak juga terlihat
dari ekspresi wajahnya. Seiring dengan bertambahnya usia mereka, anak-anak
semakin mampu dalam mengekspresikan emosi mereka melalui tersenyum, mengerutkan
kening, dan ekspresi lainnya perasaan. Kemampuan menggambarkan ekspresi emosi
mereka semakin kompleks dan terlihat dari raut wajah mereka.
3)
Menunjukkan emosi yang kompleks.
Anak-anak di usia prasekolah memperlihatkan ekspresi wajah yang menunjukkan
kebanggaan, malu-malu, malu, jijik, dan rasa bersalah yang tidak terlihat pada
bayi atau anak yang lebih muda. Ekspresi yang lebih kompleks dapat di tunjukkan
dan kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitif untuk mereka
mengalami dan mengekspresikan perasaan-perasan tersebut.
4)
Bahasa tubuh. Ternyata wajah tidak
cukup bagi anak untuk mengekspresikan emosi, anak juga menggunakan seluruh
tubuhnya untuk mengekspresikan perasaannya. Mereka mengekspresikannya melalui
gerak gerik dan bahasa tubuhnya.
5)
Suara dan kata. Anak-anak semakin
baik dalam mengekspresikan perasaan mereka melalui suara dan kata seiring
bertambahnya usia. Mereka mulai memberi label yang sederhana terhadap apa yang
mereka rasakan kemudian berkembang menjadi pelabelan yang semakin kompoleks
seiring dengan perasaan yang semakin kompleks yang mereka alami.
6)
Representasi simbolik. Anak usia
dini semakin baik dalam menggunakan simbol, memainkan permainan, menggambar,
dan memanipulasi material, untuk mengkomunikasikan dan mengontrol, mengarahkan
emosi.
7)
Pengetahuan emosi. Anak mulai mampu
mengidentifikasi dan memberi nama perasaan yang dialaminya dan orang lain,
dimana kemampuan ini sangat dibutuhkan untuk regulasi emosi anak dalam
berempati dan menunjukkan sikap pro-sosial yang sesuai. Batita sudah mampu
memberi label pada emosinya yang sederhana, walaupun mereka membutuhkan waktu
lebih lama untuk melabel emosi yang lebih kompleks atau campuran dari beberapa
emosi yang terjadi dalam satu waktu. Perubahan dari batita ke masa prasekolah,
anak berfikir bahwa orang akan merasa apa yang mereka rasakan menjadi bahwa
perasaan mereka sendiri mungkin berbeda dari orang lain. Serta belajar kapan
mereka perlu dan tidak perlu mengungkapkan perasaan mereka sesuai dengan
tuntutan social.
8)
Perubahan usia dalam regulasi emosi.
Anak usia ini lebih dapat menyamarkan atau melebihkan emosi yang mereka rasakan
dari reaksi yag biasanya mereka tampilkan di usia yang lebih muda. Anak yang
lebih tua lebih mampu untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan tidak
tertulis apa pun yang ada dalam budaya dan masyarakat, tentang menunjukkan atau
menyembunyikan emosi.
9)
Respons pada perasaan lainnya. Anak
menikmati dalam menunjukkan emosi yang kuat, dan tampaknya kegiatan ini menjadi
salah satu cara mereka belajar tentang perasaan. Kemampuan berempati juga
semakin berkembang. Dan ekspresi emosi yang ditampilkan untuk satu keadaan yang
sama dapat saja berbeda dari setiap rentang usia, misalnya batita akan merasa
takut saat melihat anjing yang besar berlari kencang, namun anak yang lebih tua
akan menunjukkan perasaan tertarik.
10)
Ikatan emosional dengan orang lain
mulai berkembang, dan akan berkembang lebih cepat pada anak-anak yang
dibesarkan dalam lingkungan yang mendukung seperti banyak menghabiskan waktu
bersama saudara kandung atau ditempat pengasuhan atau penitipan yang banyak
terdapat orang.
11)
Perkembangan anak-anak prasekolah
itu selalu akan bergerak maju. Seperti: (a) Semakin luas, dan memiliki hubungan
emosional yang semakin
kompleks, b) Kemampuan yang lebih baik dalam mengkoordinasikan dan
mengontrol emosi dan menghubungkan emosi, (c) Lebih mampu untuk merefleksikan
perasaan mereka sendiri dan orang lain, (d) Representasi emosi melalui bahasa,
bermain, dan dan (e) Terintegrasi, positif, dan otonom, namun berhubungan
secara emosional, perasaan diri fantasi, (f) Menghubungkan emosi
individual terhdapa nilai dan standar budaya.
Salah satu teori Perkembangan Sosial Emosi adalah Teori Psikosoaial Erik Erikson, seorang
penganut aliran Psikoanalisis dari Sigmund Freud yang kemudian menjadi
neofreudian (psikoanalisa yang didasarkan pada hubungan sosial). Ia berpendapat
bahwa setiap individu berjuang melakukan pencarian identitas diri dalam tiap
tahap kehidupannya. Hal ini dikarenakan identitas merupakan pengertian dan
penerimaan, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat. Menurut Erikson,
masyarakat khususnya keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam
perkembangan psikososial seorang individu. Peranan ini dimulai dari pola asuh
orangtua hingga aturan atau budaya masyarakat.
Berikut ini merupakan tahapan perkembangan emosi yang
dicetuskan oleh Eric Erickon dalam (Santrock, 2007) yaitu:
1.
Kepercayaan vs Ketidakpecyaan (usia
0-1 tahun). Pada tahap ini harus belajar menumbuhkan kepercayaan pada
oranglain, contohnya anak kepada ibunya. Jika anak tidak berhasil dalam tahap
ini, maka ia akan jadi anak yang mudah takut dan rewel.
2.
Otonomi vs Malu dan Ragu-Ragu (usia
1-3 tahun). Pada tahap ini anak mulai belajar kemandirian (otonomi), seperti
makan atau minum sendiri. Jika anak tidak berhasil pada tahap ini karena selalu
ditegur dengan kasar ketika proses belajar, maka anak akan menjadi pribadi yang
pemalu dan selalu ragu-ragu dalam melakukan sesuatu.
3.
Inisiatif vs Rasa Bersalah (usia
3-6 tahun). Pada tahp ini anak mulai memiliki gagasan (inisiatif) berupa
ide-ide sederhana. Jika anak mengalami kegagalan pada tahap ini, maka ia akan
terus merasa bersalah dan tidakmampu menampilkan dirinya sendiri.
4.
Kerja Keras vs Rasa Inferior (usia
6-12 tahun). Pada tahap ini anak mulai mampu berkerja keras untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya dengan baik. Jika pada tahap ini anak tidak berhasil, maka
kedepannya anak akan menjadi pribadi yang rendah diri (minder) dan tidak mampu
menjadi pemimpin.
5.
Identitas vs Kebingungan. Identitas
(usia 12-19 tahun). Pada tahap ini individu melakukan pencarian atas jati
dirinya (identitasnya). Jika ia gagal pada tahapan ini maka ia akan merasa
tidak utuh.
6.
Keintiman vs Isolasi (usia 20-25
tahun). Pada tahap ini individu mulai keintiman psikologis dengan oranglain.
Jika ia gagal pada tahap ini, maka ia akan merasa kosong dan terisolasi.
7.
Generativitas vs Stagnasi (usia
26-64 tahun). Pada tahap ini individu memiliki keinginan untuk menciptakan dan
mendidik generasi selanjutnnya. Jika ia tidak berhasil dalam tahap ini, maka ia
akan merasa bosan dan tidak berkembang.
8.
Integritas vs Keputusan (usia 65
tahun ke atas). Pada tahap ini individu akan menelaah kembali apa saja yg sudah
ia lakukan dan ia capai dalam hidupnya. Jika ia berhasil pada tahp ini, maka ia
akan mencapai integritas (penerimaan akan kekurarangan diri, sejarah kehidupan,
dan memiliki kebijakan), sebaliknya jika ia gagal, maka ia akan merasa menyesal
atas apa yg telah terjadi dalam hidupnya.
Selanjutnya ada pandangan terkait perkembangan emosi menurut teori
humanistik Abraham Maslow yang memandang manusia dari segi positif. Maslow
berpendapat bahwa manusia tidak hanya harus melawan kesedihan, ketakutan, dan
hal negatif lainnya, tetapi manusia juga harus mencari kebahagian dan
kesejahteraan (Briggs, 2012).
Menurut Maslow ada 4 hal yang harus ditekankan yaitu:
1.
Manusia memiliki struktur psikologis yang beranalagi sperti
struktur fisik, yaitu kebutuhan (needs), kapasitas (capacities),
dan kecenderungan (tendencies) yang didasari oleh keadaan genetis.
2.
Perkembangan yang sehat diharapkan selalu melibatkan
aktualisasi dari karakteristik.
3.
Keadaan patologis setiap manusia berasal dari penyangkalan
(denial), frustasi (frustration), atau memutar (twisting)
keadaan manusia.
4.
Manusia memiliki keinginan dan kemampuan aktif untuk
mencapai kesehatan mental dalam perkembangan aktualisasi dirinya.
Menurut Maslow seorang individu dapat berhubungan dengan dunia melalui
dua cara, yaitu D-realm atau Deficiency (kekurangan) dimana
manusia bertahan hidup dengan cara berusaha memenuhi seluruh kebutuhan
dasarnya. Setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi, maka manusia akan beranjak ke
tahap B-realm atau being (menjadi), dimana manusia memiliki
motivasi untuk mencari aktuailisasi dirinya.
Maslow juga mencetuskan sebuah teori yang berkaitan dengan motivasi
manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Teori ini disebut sebagai Hierarki Kebutuhan Maslow, yang meliputi:
1.
Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan fisik yang paling
dasar seperti rasa lapar, haus, dan lelah.
2.
Kebutuhan akan rasa aman, yaitu kebutuhan akan rasa
keselamatan, kestabilan, proteksi, struktur, keteraturan, hukum, dan bebas dari
rasa takut.
3.
Kebutuhan memiliki dan cinta, yaitu kebutuhan memiliki
hubungan yang harmonis dengan oranglain, seperti keluarga, pasangan, anak, dan
teman.
4.
Kebutuhan rasa percaya diri, yaitu kebutuhan akan perasaan
kuat, menguasai sesuatu, kompetensi, dan kemandirian. Juga kebutuhan akan
perasaan dihormati oleh oranglain, status, ketenaran, dominansi menjadi orang
penting, serta harga diri dan penghargaan.
5.
Kebutuhan aktualisasi diri dan metaneeds, yaitu kebutuhan
untuk mengaktualisasikan diri dengan mengembangkan diri dan melakukan sesuatu
yang dikuasai. Kebutuhan aktualisasi diri ini memayungi metaneeds, dimana
sebagian metaneeds ini merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
Sedangkan menurut Hyson perkembangan seorang anak mengikuti
beberapa prinsip yaitu bahwa perkembangan merupakan rangkaian perubahan yang
bersifat progresif, teratur, berkelanjutan, berkesinambungan dan setiap anak
berbeda, dan perkembangan dimulai dari respon (Hyson, 2004).
Hyson juga mengatakan bahwa secara
umum pola perkembangan emosi anak meliputi 9 aspek, yaitu
rasa takut, malu, khawatir, cemas, marah, cemburu, duka
cita, rasa ingin tahu dan gembira (Hyson, 2004). Berikut
penjelasannya secara terperinci:
1.
Rasa takut, yaitu perasaan yang khas pada anak. Hamper
setiap fase usia, seorang anak mengalami ketakutan dengan kadar yang
berbeda-beda. Rangsangan yang umumnya menimbulkan rasa takut pada bayi adalah
suara yang terlalu keras, binatang menyeramkan, kamar gelap, tempat yang
tinggi, dan kesendirian.
2.
Rasa malu, yaitu ketakutan yang ditandaioleh penarikan diri
dari hubungan dengan orang lain yang tidak dikenal. Rasa malu ini selalu
disebabkan oleh sesama manusia. Rasa malu baru akan dimiliki bayi yang usianya
di atas 6 bulan. Alasannya, pada usia ini bayi telah mengenal orang yang sering
dilihatnya dan orang yang asing sama sekali.
3.
Rasa khawatir, yaitu khayalan ketakutan atau gelisah tanpa
alasan. Perasaan ini timbul karena membayangkan situasi berbahaya yang mungkin
akan meningkat. Biasanya, kekhawatiran ini terjadi pada anak di atas usia 3
tahun. Bahkan semakin besar atau semakin bertambah usianya, rasa khawatir
tersebut semakin sering dialami.
4.
Rasa cemas, yaitu keadaan mental yang tidak enak berkenaan
dengan sakit yang mengancam atau yang dibayangkan. Rasa cemas ditandai dengan
kekhawatiran, ketidakenakan, dan prasangka yang tidak baik dan tidak bisa
dihindari oleh seseorang, disertai dengan perasaan tidak berdaya dan
pesimistis.
5.
Rasa marah, yaitu sikap penolakan yang kuat terhadap apa
yang tidak ia sukai. Dalam pandangan anak, ekspresi kemarahan merupakan jalan
yang paling cepat untuk menarik perhatian orang lain. Semakin tinggi kemarahan
anak, semakin keras pula ia menunjukkan sifat marahnya, mulai dari diam,
berkata keras, gerak verbal, hingga tindakan-tindakan anarkis lainnya.
6.
Rasa cemburu, yaitu perasaan ketika anak kehilangan kasih
sayang. Anak yang sedang cemburu merasa dirinya tidak tenteram dalam
hubungannya dengan orang yang dicintainya. Perilaku cemburu menunjukkan bahwa
anak-anak berusaha membenarkan atau membuktikan diri mereka tidak mempunyai
saingan.
7.
Rasa duka cita, yaitu suatu kesengsaraan emosional (trauma
psikis) yang disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang dicintai. Reaksi anak ketika
duka cita adalah menangis atau situasi tekanan, seperti sukar tidur, hilangnya
selera makan, hilangnya nikmat terhadap hal-hal yang ada di depannya, dan
sebagainya.
8.
Rasa ingin tahu. Setiap anak memiliki naluri ingin tahu
yang sangat tinggi. Mereka menaruh minat terhadap segala sesuatu di lingkungan
mereka, termasuk diri mereka sendiri. Rasa ingin tahu ini biasanya
diekspresikan dengan membuka mulut, menengadahkan kepala, dan mengerutkan dahi.
9.
Kegembiraan atau kesenangan, yaitu merupakan emosi
keriangan atau rasa bahagia. Di kalangan bayi, emosi kegembiraan ini berasal
dari fisik yang sehat, dan permainan yang mengasyikkan
Kemudian menurut Fischer menyatakan bahwa model
perkembangan emosi 3-5 tahun adalah berkembangnya penggunaan simbol-simbol
untuk mewakili emosi, antara lain (Briggs, 2012):
1.
Penggunaan emosi pura-pura dalam
permainan dramatis dan menggoda.
2.
Dengan berkomunikasi dengan orang
lain, belajar lebih banyak tentang bagaimana berperilaku dalam situasi sosial.
3.
Bersimpati pada anak-anak lain;
membantu perilaku dalam meningkatkan wawasan emosi yang lain.
Selanjutnya untuk usia 5-7 tahun adalah sebagai
berikut:
1.
Mencoba untuk mengatur/ menyadari
emosi sendiri (malu, bangga, malu).
2.
Masih membutuhkan orang dewasa
untuk membantu tetapi lebih memilih untuk mengatasi dan pemecahan masalah
sendiri.
3.
Mengadopsi emosi yang tenang dengan
rekan-rekan.
4.
Keterampilan sosial lebih
terkoordinasi dengan perasaan sendiri maupun orang lain. Mulai dapat mengkoordinasikan
emosi yang sesuai dengan harapan orang lain.
Keterkaitan Perkembangan Sosial dan Emosi Anak
Dalam konteks sosial
emosi, emosi cenderung mendorong aktivitas sosial seseorang. Kompetensi sosial
ditentukan oleh kompetensi emosi seseorang. Seseorang dengan kecerdasan
emosional yang tinggi cenderung menjadi pribadi yang kompeten secara sosial.
Kematangan emosi seseorang
anak merupakan kunci keberhasilan dalam menjalin hubungan sosialnya (Goleman,
2006). Kecakapan tersebut merupakan
faktor utama dalam menunjang keberhasilan dalam pergaulan. Ia juga menyebutkan
bahwa salah satu kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik atau buruk
seseorang mengungkapkan perasaannya, hal ini dapat diketahui bahwa perkembangan
emosi sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan sosial anak.
Interaksi sosial juga membutuhkan keterampilan khusus yang didorong
oleh kondisi emosi anak seperti motivasi, empati dan menyelesaikan konflik.
Anak yang dapat mengendalikan diri dan mudah menunjukkan empati dan kasih
sayang akan mudah bersosialisasi dengan orang disekitarnya.
Tentunya diharapkan setiap
anak dapat memenuhi tingkat pencapaian atau tugas perkembangan berdasarkan
kelompok usianya. Anak memiliki kesiapan dalam menapaki kehidupan selanjutnya,
dimana dibekali dengan kematangan sosial dan emosi yang dimilikinya.
KESIMPULAN
Dalam perkembangan anak tentunya kita akan menemukan
berbagai macam permasalahan perkembangan. Sering kali kita temui permasalahan
emosi anak yang tentunya harus segera diatasi sedini mungkin agar tidak
berkembang lebih luas lagi dimasa yang akan datang yang nantinya akan berpengaruh
ke masa selanjutnya.
Pada dasarnya fondasi emosi yang sehat dibangun atas
dasar penerimaan dan penghargaan terhadap dirinya. Perwujudan dari perasaan
ini, yang paling awal adalah anak dapat merasakan kasih sayang dari orang-orang
terdekatnya. Jika anak kehilangan perasaan ini maka sulit ia akan memiliki
emosi yang sehat. Mengembangkan aspek sosial emosional harus dilakukan sejak
dini terutama pada usia taman kanak-kanak/ raudhatul athfal. Hal ini disebabkan
karena pada masa tersebut anak berkembang sangat pesat yang mulai dikembangkan melalui pergaulan
dengan teman sebaya (peer group) di lingkungannya.
Melalui pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
oleh orangtua maupun guru tentang perkembangan anak khususnya perkembangan
sosial dan emosi anak, maka anak dapat berkembang secara optimal dan kelak
dapat beradaptasi dalam kehidupannya baik terhadap diri maupun lingkungannya.
Ada beberapa teori terkait perkembangan sosial emosi
anak diantaranya adalah teori Psikosoaial Erik Erikson, yaitu seorang penganut aliran
Psikoanalisis dari Sigmund Freud yang kemudian menjadi neofreudian
(psikoanalisa yang didasarkan pada hubungan sosial). Ia berpendapat bahwa
setiap individu berjuang melakukan pencarian identitas diri dalam tiap tahap
kehidupannya. Hal ini dikarenakan identitas merupakan pengertian dan
penerimaan, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat. Menurut Erikson,
masyarakat khususnya keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam
perkembangan psikososial seorang individu. Peranan ini dimulai dari pola asuh
orangtua hingga aturan/ budaya masyarakat.
Sedangkan perkembangan emosi menurut teori humanistik Abraham Maslow yaitu
memandang manusia dari segi positif. Maslow berpendapat bahwa manusia tidak
hanya harus melawan kesedihan, ketakutan, dan hal negatif lainnya, tetapi
manusia juga harus mencari kebahagian dan kesejahteraan (Briggs, 2012).
Menurut Maslow seorang individu dapat berhubungan dengan dunia melalui
dua cara, yaitu D-realm atau Deficiency (kekurangan) dimana
manusia akan bertahan hidup dengan cara berusaha memenuhi seluruh kebutuhan
dasarnya. Setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi, maka manusia akan beranjak ke
tahap B-realm atau being (menjadi), dimana manusia memiliki
motivasi untuk mencari aktuailisasi dirinya dan pengayaan dari keberadaannya. Artinya wajar jika seorang individu didominasi
oleh emosi tertentu karena memang manusia itu sangat dinamis.
Kedua teori ini tentunya saling menguatkan satu sama lain, dimana
perkembangan emosi social ditentukan oleh dua faktor yaitu factor internal
yaitu bawaan manusia itu sendiri (teori humanistik) dan factor eksternal yaitu
lingkungan sekitar (teori Psikososial). Oleh karena itu, guru dan orang tua
harus dapat mengembangkan perkembangan emosi anak dengan tepat dan baik, agar
perkembangan emosi anak berkembang dengan baik sesuai tahap perkembangannya. Perkembangan
sosial dan emosi yang positif memudahkan anak untuk bergaul dengan sesamanya
dan belajar dengan lebih baik, juga dalam aktivitas lainnya di lingkungan
sosial. Maka sangat penting bagi kita untuk membantu anak-anak dalam memahami
perasaannya sendiri dan perasaan orang lain, sehingga terbentuk mental yang
sehat dan dapat mengembangkan rasa
hormat dan kepedulian terhadap orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Briggs. (2012). The Importance of Social
Emotional Development in Early Childhood. Pediatrics For Parent, 2.
Goleman, D. (2006). Emotional Intelligence (Kecerdasan
Emosional): Mengapa IE Lebih Penting daripada IQ.
Hurlock, E. B. (1996). Perkembangan Anak Jilid I
(Keenam). Erlangga.
Huwainah, I. (2017). Perkembangan Sosial Emosional Anak
Melalui Permainan Gerak dan Lagu Di Taman Kanak-Kanak Assalam Sukarame Bandar
Lampung. PAUD Lectura, Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1).
Hyson, M. (2004). The Emotional Development of Young
Children. In Teachers College. Columbia University.
Lubis, M. Y. (2019). Mengembangkan Sosial Emosional Anak Usia
Dini Melalui Bermain. Generasi Emas, Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini,
2(1).
Mukhlis, A., & Mbelo, F. H. (2019). Analisis Perkembangan
Sosial Emosional Anak Usia Dini Pada Permainan Tradisional. Preschool:
Jurnal Perkembagan Dan Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1), 11–28.
Patmonodewo, S. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah.
Rineka Cipta.
Santrock, W. J. (2007). Perkembangan Anak. Erlangga.
Suyanto, S. (2005). Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini.
Hikayat Publishing.
Yahro, S. U. (2009). Upaya Guru dalam Mengembangkan
Sosial-Emotional Anak Usia Dini dengan Pendekatan Beyond Centers and Circle
Times. UIN Sunan Kalijaga.
Yusuf, S. (2016). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
PT. Remaja Rosdakarya.