PERAN PESANTREN DALAM MEMBANGUN MORALITAS BANGSA MENUJU INDONESIA EMAS 2045

 

Ahmad Fikri Sabiq

IAIN Salatiga, Indonesia

E-mail: ahmadfikrisabiq@gmail.com

 

Abstract

The purpose of this study is to formulate the role of pesantren in educating the millennials to become a generation that is ready to become the golden generation in 2045. This is a qualitative descriptive analysis method reserch. The data are secondary data obtained from various sources of journal articles, documents, and other relevant sources. The data were analyzed by descriptive methods to obtain a comprehensive understanding of the subject. The research finding describes that pesantren which is the oldest educational institution in Indonesia hopefully gives important contribution in building a golden generation. Due to the hope, there aret three mine roles of pesantren as follow: (1) Building independence attitude in the millennial to become independent citizen. (2) Teach millenail tobe role models and teacher; and (3) Improve nationaity and as part of their preparation to be patriotic citizen.

Keywords: pesantren, demographic bonus, morality

 

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan peran pesantren dalam membangun generasi millennial agar bisa menjadi generasi yang siap menjadi generasi emas 2045. Penelitian menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber artikel jurnal ilmiah, dokumen dan sumber lain yang relevan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode deskriptif untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang subjek penelitian. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia menjadi salah satu harapan agar bisa melahirkan generasi yang berkarakter dan bermoral. Selanjutnya, agar pesantren bisa melahirkan generasi emas, ada 3 hal yang harus diberikan kepada santri selama di pesantren, yaitu: (1) Kemandirian sebagai bekal untuk kehidupan kelas setelah keluar dari pesantren sehingga bisa eksis berdiri di tengah masyarakat; (2) Mendidik generasi millennial agar menjadi pigur/teladan teladan dan pendidik agama bagi masyarakat yang membutuhkan; dan (3) Mengajarkan wawasan kebangsaan agar siap dalam pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara setelah keluar dari pesantren.

Kata kunci: generasi emas, pesantren, moralitas



 

PENDAHULUAN

Pemuda merupakan generasi masa depan bangsa yang akan mengisi tatanan kehidupan di masa depan. Pemuda harus menyiapkan diri sebaik mungkin agar nantinya siap menjadi pemimpin dan pengelola negeri ini.

Sejarah telah membuktikan peran pemuda dalam memerjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari peristiwa Sumpah Pemuda serta pejuang melawan penjajah yang selalu diisi oleh generasi pemuda. Ke depan, pemuda akan menjadi tulang punggung bangsa, dimana melalui tangan pemuda inilah pembangunan negeri ini terus berkembang.

Namun, fenomena dekadensi moral di kalangan remaja atau pemuda saat ini cukup memprihatinkan. Pemuda yang akan menjadi generasi masa depan bangsa ini, mereka disibukkan dengan perilaku-perilaku yang tidak semestinya dilakukan. Dari aksi tawuran, vandalisme, tidak mau belajar, serta aksi-aksi lain sering ditemukan di berbagai media sosial misalnya seks bebas, kehamilan di luar nikah, aborsi, perjudian, alkohol dan penggunaan narkoba. Beragam perilaku tidak terpuji ini tentu meresahkan masyarakat, khususnya orang tua.

Beragam perilaku ini terjadi karena sifat atau karakteristik remaja sebagai petualang yang mengambil risiko (risk taker). Dengan kata lain, faktor keingintahuan remaja sebagai faktor yang bertanggung jawab atas perilaku ini. Namun sifat remaja sebagai pengambil risiko atau faktor rasa ingin tahu remaja bukanlah satu-satunya faktor penyebab merosotnya akhlak remaja (Ningrum, 2015).

Faktor lain adalah perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi. Selain memberikan dampak positif, perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi juga memiliki dampak negatif yang dapat merugikan akhlak terutama bagi anak-anak, dan remaja. Melalui keterbukaan informasi ini banyak disajikan informasi buruk atau negatif, seperti informasi pornografi, informasi game online yang tidak mendidik, konsumerisme, dan lain-lain. Keterbukaan ini juga menyebabkan munculnya prostitusi online, penggunaan narkoba, ujaran kebencian, jurnalisme fitnah, permusuhan, cara mencuri, cara merakit bom, ideologi radikal dan ekstrem, baik sekuler maupun agama, dan berbagai perilaku buruk lainnya (Wantimpres.go.id, 2017).

Lebih lanjut berkenaan dengan perilaku buruk ini, Iskarim menyebutkan ada empat faktor yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, kurang menjadikan agama sebagai pegangan hidup. Dengan hilangnya pegangan hidup ini, maka hilang pula kekuatan kontrol yang ada dalam diri pemuda. Sehingga hanya hukum dan peraturan yang menjadi alat kontrol diri maupun sosial dalam bersikap. Semakin jauhnya antara masyarakat dengan agama, maka semakin susah memelihara moral orang dalam masyarakat.

Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah, maupun masyarakat. Ketiga institusi ini memegang peran penting akan pembinaan moral seseorang. Rumah tangga merupakan pendidikan dasar (basic-education), dan sekolah pun memiliki peranan penting dalam pembinaan moral anak didik. Selanjutnya, masyarakat juga memiliki peran dalam pembinaan moral sebagai kontrol yang bersifat eksternal. Hadirnya masyarakat yang buruk moralnya akan sangat berpengaruh pada perkembangan moral seseorang. Hal ini dikarenakan sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral seseorang.

Ketiga, derasnya arus budaya materialisme, hedonisme, dan sekularisme. Adanya banyak ketimpangan moral di kalangan pemuda terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu, serta tidak mematuhi akan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap perbuatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya materialistis, hedonistis, dan sekuleristis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, siaran, pertunjukan, film, lagu, permainan, dan sebagainya. Bahkan fenomena game online yang menjamur di kalangan pemuda juga menjadi bagian dari budaya hedonisme ini. Arus budaya tersebut merupakan faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi tunas bangsa.

Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah yang memiliki kekuasaan, dana, teknologi, dan sumber daya manusia belum menunjukkan kemauan sunggung-sungguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa. Hal ini juga menjadi salah satu faktor penyebab dekadensi moral di kalangan remaja. Apalagi ditambah dengan sikap elit penguasa yang melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta sekedar untuk mencari kekuasaan dan kekayaan, menjadikan peran pemerintah tidak berfungsi dengan baik untuk masa depan generasi penerus bangsa (Iskarim, 2016).

Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai Pancasila, menyaksikan fenomena dekadensi moral ini sungguh sangat jauh dari hal tersebut. Pancasila memiliki seperangkat nilai, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan. Nilai-nilai dasar Pancasila ini bersifat universal dan objektif, artinya nilai-nilai tersebut dapat digunakan dan diakui oleh bangsa lain. Pancasila bersifat subjektif, artinya nilai-nilai Pancasila melekat pada pengemban dan pendukung nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yaitu rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah keseluruhan pandangan, cita-cita, keyakinan, dan nilai yang harus diterapkan oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan, masyarakat, bangsa, dan negaranya (Asmaroini, 2016)

Fenomena krisis moralitas yang terjadi di kalangan remaja ini salah satu indikator penyebab terbesarnya adalah kegagalan dari dunia pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Diharapkan ketiga lembaga ini saling mengisi dan diharapkan akan dapat membentuk anak didik sebagai generasi masa depan, yang bermoral luhur mulia (Asmaroini, 2016).

Dalam hal ini, Habibah menambahkan bahwa pendidikan adalah misi suci menyiapkan kecakapan peserta didik. Pendidikan harus menyentuh aspek kemanusiaan, tidak sekedar kebijakan pendidikan dalam hal fisik sarana dan prasarana. Tawaran pendidikan yang menyentuh manusia menjadi solusi yang mendesak (Habibah, 2018). Penekanan pengajaran di taraf moral harus terlebih dulu diutamakan karena itu yang menentukan benteng anak dalam mengarungi kehidupan mendatang. Sehingga tujuan pendidikan bisa mengakomodir kesalehan individu dan kesalehan sosial sekaligus.

Lebih lanjut, menurut Sukidi sebagaimana dikutip oleh Manullang, bahwa bahwa fenomena krisis hidup atau krisis karakter tidak hanya semata-mata krisis intelektual dan moral, namun juga bermuara pada krisis spiritual (Manullang, 2013). Oleh karenanya, sebagaimana di atas, pendidikan agama menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan.

Di Indonesia, ada lembaga pendidikan yang usianya sangat tua, jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu pesantren. Lembaga ini merupakan lembaga yang dikelola oleh masyarakat, bukan negara, yang sudah melahirkan alumni-alumni yang sudah mengakar di masyarakat. Dengan bekal pengetahuan agama, pembiasaan sikap spiritual, serta penanaman budi luhur yang sudah ditanamkan secara bayi, pesantren telah melahirkan alumni yang memiliki prinsip hidup kuat. Selain itu, wejangan dan do’a dari seorang Kyai selaku pengasuh di pesantren merupakan suatu kelebihan tersendiri bagi lembaga ini yang tidak bisa ditemukan di model lembaga pendidikan formal, bahkan sampai perguruan tinggi. Oleh karenanya, pesantren ini merupakan harapan bangsa untuk melahirkan generasi Indonesia emas 2045 yang memiliki wawasan agama dan karakter dan moral yang luhur.

Merujuk penelitian yang sudah ada, dalam penelitian yang dilakukan oleh Idi dan Sahrodi, disebutkan bahwa pendidikan karakter (akhlak) melalui optimalisasi peranan pendidikan agama diharapkan sebagai salah satu upaya reduksi dan preventif terhadap perilaku demoralisasi sosial yang sedang melanda generasi muda (pelajar, remaja dan mahasiswa/ pemuda) yang diharapkan dapat meneruskan estafet kepemimpinan masa depan (Idi & Sahrodi, 2017). Kemudian dalam penelitian yang dilakukan oleh Mas’udi, disebutkan bahwa pesantren telah berperan aktif dalam mencetak kader-kader bangsa yang bermoral dan berpihak pada kebenaran (Mas’udi, 2015).

Selanjutnya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Silfiyasari dan Zhafi disebutkan bahwa peranan pesantren dalam pendidikan karakter yaitu pesantren memerankan diri sebagai pengawal dan pelestari nilai-nilai agama, pesantren sebagai lembaga pendidikan, tentu juga dituntut untuk memerankan diri sebagai pembaru pemahaman keagamaan, dan sebagai lembaga pendidikan keagamaan dan pendidikan sosial-kemasyarakatan, pesantren juga dapat mengemban peranan, tugas, misi, dan fungsinya sebagai inspiratory, motivator, dan dinamistor pelaksanaan pembangunan pada tingkat lokal dan regional di daerahnya masing-masing (Mita Silfiyasari & Ashif Az Zhafi, 2020).

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, posisi dari penelitian ini adalah sebagai pelengkap dari penelitian yang sudah ada. Artinya, berkenaan dengan bonus demografi dan generasi emas 2045 sebagai momentum 100 tahun berdirinya bangsa ini, falsafah Pancasila sebagai jati diri bangsa harus bisa diemban oleh kalangan santri dari pesantren. Sehingga pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan para santri bisa bersama-sama berperan dalam mewujudkan generasi emas 2045 maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana peran pesantren dalam membangun moralitas bangsa menuju indonesia emas 2045?

 

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian konseptual yang berisi tentang konsep dan pengenalan suatu ide. Penelitian menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah analisis yang mengomunikasikan data secara lisan dan menekankan pada persoalan kontekstual serta tidak mengandalkan angka dan perhitungan. Data yang digunakan dalam artikel ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber artikel jurnal ilmiah, dokumen dan sumber lain yang relevan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang subjek penelitian ini (Fathoni & Rohim, 2019).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Generasi Indonesia Emas 2045

Pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045 (Indonesiabaik.com, 2021)

Bonus demografi adalah kesempatan sekali seumur hidup bagi suatu negara untuk dinikmati, karena sebagian besar penduduk produktifnya berusia antara 15 dan 40 tahun dalam evolusi demografinya. Menurut Noor sebagaimana dikutip oleh Mukri, disebutkan bahwa bonus demografi ini merupakan masa transisi demografi, yaitu terjadinya penurunan tingkat kematian yang diikuti dengan penurunan tingkat kelahiran dan dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan penduduk usia produktif secara optimal. Oleh karena itu, jika jumlah penduduk usia produktif diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja, maka bonus demografi akan menjadi peluang yang baik (Mukri, 2018)

Diperkirakan negara Indonesia akan mengalami bonus demografi dari tahun 2012-2028. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan penduduk usia produktif, yang merupakan efek utama dari penggunaan bonus demografi. Usia melahirkan berkisar antara 20 hingga 30 tahun, dimana usia tersebut dapat menunjukkan jati dirinya di tingkat nasional. Menurut data penduduk Indonesia, ada 60 juta anak muda dari 200 juta penduduk Indonesia, dan Kabupaten Bogor saja memiliki 5 juta orang, sedangkan 60% atau 3 juta dari total penduduk Bogor adalah anak muda (Mukri, 2018)

Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan Indonesia akan menikmati era bonus demografi pada 2020-2035. Selama periode ini, jumlah penduduk usia kerja diperkirakan akan mencapai angka tertinggi sepanjang masa. Ciri lain dari era bonus demografi adalah dominasi penduduk usia produktif (15-64 tahun) relatif terhadap penduduk non-produktif (0-14 tahun dan di atas 65 tahun), terlihat dari rendahnya rasio ketergantungan. Rasio ketergantungan adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia tidak produktif dengan jumlah penduduk usia produktif. Bonus demografi adalah keuntungan ekonomi yang berasal dari rasio ketergantungan akibat rendahnya angka kematian bayi dan fertilitas (kelahiran) jangka panjang. Menurunnya proporsi penduduk muda (0-14 tahun) dan besarnya proporsi penduduk produktif (15-64 tahun) mengurangi biaya investasi untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga menggeser biaya tersebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.

Bonus demografi pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari generasi milenial. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, rasio ketergantungan Indonesia sebesar 49,20 pada tahun 2015 secara tidak langsung berarti proporsi penduduk usia produktif mencapai sekitar 67,02% dari total penduduk. Juga, jika persentase penduduk usia produktif dikaitkan dengan persentase generasi milenial pada tahun 2017, adalah 33,75% dari total penduduk. Artinya, kontribusi kaum milenial dalam membentuk demografi usia produktif cukup tinggi, karena sekitar 50,36% dari total penduduk usia produktif pada dasarnya adalah kaum milenial (dengan asumsi rasio ketergantungan yang sama pada 2015 dan 2017). Menurut data BPS 2018, jumlah milenial usia 20-35 tahun mencapai 24% atau setara dengan 63,4 juta dari 179,1 juta penduduk usia produktif (Prasarti & Prakoso, 2020).

Kaitannya dengan wacana generasi emas 2045, fenomena dekadensi moral ini harus menjadi perhatian khusus bagi semua pihak. Sehingga nilai-nilai pancasila bisa menjadi jati diri generasi bangsa Indonesia ini. Umairah menyebutkan bahwa konsep pendidikan karakter menuju generasi Indonesia emas 2045 ini juga harus didukung dengan penanaman nilai-nilai religius yang akan menjadi kebiasaan serta tanda pengenal dari generasi bangsa sehingga genarasi emas 2045 dapat terwujud dengan adanya pendidikan karakter yang dibangun dengan nilai-nilai religius (Umairah, 2016). Dalam hal ini, peran pendidikan agama sangat diharapkan untuk mewujudkan generasi penerus bangsa yang berbudi luhur.

Generasi Indonesia emas 2045 merupakan generasi 100 tahun setelah Indonesia merdeka. Melihat dari bonus demografi, generasi ini harus diisi oleh generasi muda yang memiliki wawasan luas, jiwa kreatif dan berbudi luhur. Oleh karenanya, pendidikan merupakan sarana penting untuk mempersiapkan generasi emas ini, terutama dalam hal karakternya. Karakter yang dibangun haruslah bersifat holistik dan komprehensif dan berakar pada nilai Pancasila sebagai jati diri bangsa. Penanaman karakter ini penting karena pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga nilai-nilai. Ade Darman menambahkan bahwa pendidikan berkaitan erat dengan generasi emas Indonesia karena pendidikan merupakan kunci untuk menghadirkan sumber daya manusia yang andal dan dapat mengubah sikap dan menambah ilmu seseorang (Darman, 2017). Arah dari generasi emas 2045 ini adalah membawa negara Indonesia menjadi negera yang lebih maju.

Remigius Abi menyebutkan bahwa karakter yang ditanamkan pada diri generasi emas haruslah berbasis tiga aspek yakni nilai kejujuran, nilai kebenaran dan nilai keadilan. Nilai-nilai tersebut sangat bersesuaian dengan nilai-nilai Pancasila yang sangat mengedepankan nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan dalam hidup dan kehidupan bagi generasi emas (Abi, 2017). Lebih lanjut, Manullang menambahkan bahwa karakter generasi emas 2045 berlandaskan pada IESQ meliputi empat dimensi, yaitu: 1) sikap positif terhadap nilai Pancasila dan nilai kemanusiaan menjadi kebiasaan hidup keseharian; 2) pola pikir esensial menggunakan pendekatan esensi dalam menyelesaikan masalah dan tugas-tugas kehidupan; 3) komitmen normatif yakni kesetiaan dan
kesediaan berkorban untuk institusi
atau kepada bangsa; 4) kompetensi abilitas dengan cara menjalankan tugas profesional sebagai seni (Manullang, 2013).

Generasi emas adalah generasi yang memiliki nilai-nilai budi pekerti yang luhur serta dipandang sebagai generasi yang berwatak religius dan sarat dengan nilai-nilai kebaikan. Jadi generasi emas yang diharapkan adalah pribadi yang mengamalkan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam pancasila dan agama yang dianutnya dan mampu menjadikan nilai-nilai tersebut menjadi sikap yang utuh dalam kesehariannya (Darman, 2017).

 

Peran Pesantren dalam Membangun Moralitas Bangsa

Membangun karakter bangsa merupakan hal penting dan mendesak untuk dilakukan. Menurut Firdaus, setidaknya ada tiga alasan yang menjadikan tindakan membangun karakter bangsa menjadi penting. Pertama, Bangsa Indonesia telah mengalami babak perkembangan yang dipengaruhi oleh kehidupan global dan dikenal dengan era disrupsi yang sangat berpengaruh pada tatanan kehidupan masyarakat. Kedua, dari sisi mentalitas, bangsa Indonesia masih perlu membenahi diri. Ketiga, secara bersamaan, bangsa ini memasuki era informasi sekaligus era reformasi. Era ini membawa perubahan yang sangat drastis pada atmosfer politik bangsa dengan kebebasan berpendapat yang jauh berbeda dengan era sebelumnya (Firdaus, 2016).

Fenomena krisis moral pada remaja dan generasi muda telah menjadi problem nasional bahkan internasional. Namun, di Indonesia telah mendapatkan warisan sebuah sistem pendidikan yang diharapkan bisa menjadi alternatif solusi akan hal tersebut, yaitu Pesantren. Pesantren merupakan ujung tombak pendidikan Islam yang menuntun kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Kata Pesantren lebih dikenal dengan sebutan pondok, istilah pondok berasal dari kata Arab funduq, yang berarti pesangrahan atau penginapan bagi para musafir. Ada juga yang menyebutkan bahwa pesantren mengandung makna ke-Islaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Selain itu juga menyebutkan bahwa Kata pesantren yang berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Para ahli berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji, dari sini kita memahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama. Sehingga dengan demikian dari asal kata, maka dapat kita ambil benang merah mengenai pengertian pesantren secara istilah yakni, pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan islam yang menampung sejumalah santri maupun santriwati dalam rangka mempelajari ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan seorang kyai (Herman, 2013). Model pendidikan pesantren menjamur jauh sebelum lembaga pendidikan formal didirikan di Indonesia, sehingga kontribusinya sangat besar dalam pembangunan bangsa ini (Jamaluddin, 2012).

Untuk mencapai tujuan tersebut pesantren mempunyai sumber daya yang meliputi tradisi, dan sumber daya manusia, yang membuktikan bahwa pesantren merupakan bengkel moral yang bisa diandalkan. Perlu dicatat pula, bahwa masing-masing pesantren mempunyai potensi dan tradisi yang berbeda, sehingga aplikasi penanaman moral mungkin akan sedikit-banyak berbeda, dan perbedaan inilah yang membutuhkan adanya modifikasi dalam pembinaan moral santri yang akan membawa pada tingkat moral yang lebih tinggi (Nuqul, 2008). Jadi, berkenaan dengan moralitas bangsa ini, pondok pesantren menjadi harapan bisa melahirkan generasi penerus bangsa, terlebih menjadi generasi Indonesia emas 2045 yang bisa menjadikan Indonesia menjadi negeri yang maju.

Selanjutnya, strategi pesantren yang mengusung pendidikan berbasis agama Islam dalam menumbuhkan moralitas bangsa ini bisa dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, pendidikan akhlak dapat dilakukan melalui demonstrasi dan demonstrasi, yaitu berusaha dan membiasakan peserta didik dan seluruh lingkungan pendidikan dengan memberikan teladan atau contoh untuk mengembalikan dan menegakkan nilai-nilai yang benar. Kedua, pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan penguatan penyelenggaraan pendidikan agama, karena sebagaimana tersebut di atas, nilai dan ajaran agama pada akhirnya untuk pembentukan akhlak yang baik.

Ketiga, pendidikan agama yang dapat menghasilkan perbaikan akhlak harus diubah dari model pendidikan agama menjadi model pendidikan agama. Pendidikan agama dapat berupa pemberian ilmu agama atau membiarkan anak memahami ilmu agama, dan pendidikan agama dapat berupa perilaku membina dan mewujudkan manusia sesuai dengan tuntutan agama. Keempat, pendidikan akhlak dapat dilakukan secara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua disiplin ilmu. Kelima, pendidikan akhlak harus dilibatkan secara penuh dalam arti yang bertanggungjawab dalam pendidikan akhlak adalah semua unsur yang ada di suatu lembaga pendidikan meliputi guru, pegawai, dan lainnya.

Keenam, pendidikan akhlak harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang erat dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga/rumah, lembaga pendidikan dan masyarakat. Ketujuh, pendidikan moral harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Kesempatan berekreasi, pameran, kunjungan, berkemah, dan sebagainya harus digunakan sebagai peluang untuk membina moral. Kedelapan, penenaman moral dapat dilakukan dengan membangun dan meningkatkan kekuatan hati nurani moral (moral consequence) dengan cara meningkatkan rasa keagamaan yang mendalam (spiritualitas) terlebih dahulu. Pendidikan diarahkan untuk menyentuh hati (touching) bukan pada aspek pembelajaran (teaching) semata. (Iskarim, 2016).

Dikarenakan pesantren berperan dalam pendidikan dan pembelajaran berbasis agama Islam, maka pesantren memiliki peran besar dalam membangun akhlak. Menurut Edy Supriyono sebagaimana dikutip oleh Raikhan, minimal ada tiga alasan mengapa pesantren mempunyai peran dan kesempatan yang lebih besar dibanding dengan lembaga lain. Pertama, pesantren ditempati generasi penerus bangsa dengan pendidikan yang tidak terbatas oleh waktu sebagaimana di lembaga pendidikan umum. Hal ini akan semakin mempermudah dan menunjang pesantren untuk semakin menyemaikan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga bisa dijadikan sebagai benteng dalam menghadapi globalisasi.

Kedua, pendidikan pesantren yang mencoba memberikan keseimbangan antara pemenuhan lahir batin, pendidikan agama dan umum, merupakan usaha yang sangat sesuai dengan kebutuhan pendidikan di era globalisasi yang membutuhkan keseimbangan antara kualitas SDM dan keluhuran moral. Ketiga, paparan Nur Cholish Majid memberikan contoh masyarakat yang terkena dislokasi, yaitu kaum marjinal atau pinggiran di kota-kota besar, seharusnya menyadarkan pesantren. Mengingat pesantren adalah tempat kaum pinggiran atau kaum pedesaan yang ekonominya pada posisi menengah ke bawah yang juga rentan akan dihinggapi ‘dislokasi’, sehingga dalam hal ini pesantren tentu lebih mempunyai kesempatan untuk memberdayakan dan mengangkat kaum tersebut (Raikhan, 2018).

Eksistensi pesantren telah terbukti mampu survival di tengah derasnya arus modernisasi dengan beragam tantangan dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Dalam konteks ini pesantren telah terbukti mampu berperan sebagai benteng moralitas bangsa. Sisi lain yang tak kalah pentingnya adalah peran pesantren sebagai lembaga pendidikan mau dan mampu menampung semua kalangan masyarakat, khususnya kelas bawah masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pesantren harus dipertahankan keberadaanya dengan memelihara dan mempertahankan nilai-nilai keaagamaan (salaf) dan mengambil yang baru yang lebih baik (Safradji, 2020).

Pengaruh pemahaman tentang keagamaan mempunyai peran penting dalam penalaran moral santri. Ada beberapa cara yang biasa dipakai di pesantren untuk membangun moralitas sanntri. Pertama, dengan pemahaman agama, remaja mengetahui perilaku-perilaku moral yang berlaku, dan berdasar pada standar nilai agama. Kedua, pemahaman agama akan menimbulkan motivasi yang kuat bagi santri remaja untuk berfikir, dan berperilaku sesuai dengan nilai agama yang diyakini sebagai bentuk ibadah dan yang dapat diterima oleh lingkungannya, sehingga dari penelitian ini juga menemukan semakin lama anak bermukim di pesantren, maka penalaran moral remaja santri akan lebih baik. Pemahaman agama atau religiusitas santri terhadap penalaran moral remaja santri berimplikasi pada kedalaman mereka terhadap keyakinan dan kemantapan mereka dalam berperilaku yang didasarkan pada nilai-nilai kegamaan disamping juga nilai sosial yang di integralkan pada nilai dan norma yang ada di pesantren. Peran pesantren dalam penalaran moral remaja santri terimplikasi dalam kegiatan dan program-program dalam pesantren, baik dari tradisi pesantren maupun dalam kegiatan harian, mingguan, bahkan kegiatan bulanan (Raikhan, 2018).

Selanjutnya, Ikhwan Sawaty menyebutkan, dalam melaksanakan pembinaan akhlak santri, bisa dilakukan dengan beragam strategi seperti strategi formal, strategi non formal, strategi alami, strategi teladan, strategi nasehat, strategi ceramah, dan strategi kisah-kisah (Sawaty, 2018). Menurut Abdullah Nasih Ulwan, ada lima metode yang dapat digunakan dalam pendidikan karakter, yaitu metode keteladanan, pembiasaan, nasihat, memberikan perhatian, dan hukuman yang mendidik (Ulwan, 1981). Lima hal ini merupakan hal yang sudah terbiasa ada di dalam pesantren sehingga bisa terlahir orang-orang yang memiliki karakter dan moral yang baik.

 

Pesantren untuk Membangun Generasi Emas 2045

Dalam rangka meneguhkan eksistensi santri agar tetap bisa berkontribusi langsung kepada masyarakat, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh santri dan pesantren di masa sekarang selain aspek keilmuan keagamaan. Pertama, kemandirian. Kemandirian dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas tugasnya, dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya (Zainun, 2002).

Perlu diketahui bahwa eksistensi pesantren dewasa ini, tidak hanya mencetak para alumni santri yang hanya dapat menjadi ulama, ustadz ataupun orang ahli dalam bidang agama saja, tetapi juga mampu menghasilkan output yang siap menghadapi tantangan zaman yang semakin global. Para alumni pesantren dewasa ini harus dapat menjawab problematika yang terjadi di masyarakat. Kemandirian santri ketika berada di lingkungan pesantren dapat menumbuhkan sikap optimis ketika hidup di masyarakat. Optimis adalah yakin, percaya diri, punya harapan untuk berhasil. Optimis berarti orang yang selalu berpengharapan (berpandangan). Kemandirian santri yang diperoleh ketika berada di pondok pesantren dapat memberikan bekal dalam hidup di masyarakat. Dengan kata lain kemandirian santri berpengaruh terhadap sikap optimis dalam kehidupan di masyarakat.

Kedua, santri harus melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Santri memiliki keilmuan keagamaan yang lebih yang dia pelajari selama belajar di pondok pesantren. Sehingga, bisa dikatakan bahwa santri merupakan sosok yang serba tahu perihal urusan agama, baik itu tentang hal mendasar dalam Islam seperti akidah, fiqih, akhlak, ilmu alat dan ilmu bahasa, serta bidang ilmu keagamaan Islam yang lain.

Di satu sisi, ada banyak masyarakat masih membutuhkan sosok teladan umat yang bisa membimbing mereka dalam hal agama. Terlebih masyarakat yang berada di daerah-daerah pinggiran yang belum banyak memiliki tokoh agama yang mumpuni. Misal saja, di daerah pinggiran, untuk mencari orang yang bisa mengajari membaca Al-Qur’an saja sangat sulit. Melihat dua fenomena tersebut, perlu ada jembatan agar keduanya muncul solusi, yaitu dengan program pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh santri. Pengabdian ini akan memberikan pengalaman tersendiri bagi santri sebelum mereka benar-benar terjun di tengah masyarakat setelah keluar dari pesantren nanti.

Ketiga, wawasan kebangsaan dan nilai nasionalisme. Sudah tidak diragukan lagi bahwa santri memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi sejak Indonesia belum merdeka. Resolusi Jihad yang merupakan manifesto dari nasionalisme ulama Indonesia telah menunjukkan pentingnya peran ulama dalam menegakkan pembangunan kemerdekaan Indonesia. Fatwa mengenai resolusi jihad juga menunjukkan bahwa santri tidak hanya faham tentang agama namun juga aktif berperan dalam memberikan solusi strategis kehidupan berbangsa dan bernegara. Semangat untuk menjaga bangsa dan tanah kelahirannya dengan penuh perjuangan baik dari kerusakan-kerusakan yang ada dalam bangsa tersebut untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman bagi seluruh warga negara (Munir, 2020).

Di era modern ini, selain jiwa nasionalisme, santri juga harus dibekali dengan wawasan kebangsaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah lulus dari pesantren, para santri yang merupakan sosok jujur, sederhana, dan beintegritas ini akan sangat dibutuhkan perannya di masyarakat. Termasuknya juga berperan dalam bidang birokrasi dan pemerintahan. Oleh karenanya, wawasan kebangsaan ini menjadi penting sebagai bekal santri untuk siap berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara.

KESIMPULAN

Indonesia akan menghadapi bonus demografi atau penduduk dengan usia produktif yang banyak. Bonus demografi ini akan menjadi keuntungan karena Indonesia akan menghadapi momentum generasi emas 2045 sebagai peringatan 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Untuk menuju kepada momentum tersebut, Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis moral yang terjadi di berbagai kalangan, khususnya kalangan remaja dan pemuda. Krisis moral yang dihadapi bangsa ini menjadi hal yang harus diperhatikan untuk mewujudkan generasi emas 2045. Untuk mengatasi krisis moral ini bisa dilakukan salah satunya melalui pendidikan, khususnya pendidikan agama. Dalam hal pendidikan agama, pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia menjadi salah satu harapan agar bisa melahirkan generasi yang berkarakter dan bermoral. Gererasi inilah yang merupakan generasi Indonesia emas 2045 yang akan membawa Indonesia menjadi negara maju. Selanjutnya, agar pesantren bisa melahirkan generasi emas, ada 3 hal yang harus diberikan kepada santri selama di pesantren, yaitu: (1) kemandirian sebagai bekal untuk kehidupan kelas setelah keluar dari pesantren sehingga bisa eksis berdiri di tengah masyarakat; (2) melakukan pengabdian masyarakat untuk menjadi teladan dan pendidik perihal agama kepada masyarakat yang membutuhkan; dan (3) diajarkan wawasan kebangsaan dan nilai nasionalisme sebagai bagian dari persiapan mereka agar siap dalam pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara setelah keluar dari pesantren.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abi, A. R. (2017). Paradigma Membangun Generasi Emas Indonesia Tahun 2045. JIPPK, 2(2), 85–90.

Asmaroini, A. P. (2016). Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Bagi Siswa Di Era Globalisasi. Citizenship Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan, 4(2), 440. https://doi.org/10.25273/citizenship.v4i2.1076

Darman, R. A. (2017). MEMPERSIAPKAN GENERASI EMAS INDONESIA TAHUN 2045 MELALUI PENDIDIKAN BERKUALITAS. Jurnal Edik Informatika, 3(2), 73–87.

Fathoni, M. A., & Rohim, A. N. (2019). Peran pesantren dalam pemberdayaan ekonomi umat di Indonesia. Conference on Islamic Management, Accounting, and Economics (CIMAE) , 2, 133–140.

Firdaus. (2016). Eksistensi pendidikan dalam membangun moralitas bangsa. Ash-Shahabah: Pendidikan Dan Studi Islam, 2(1), 29–38.

Habibah, S. (2018). Filsafat Pendidikan Islam dan Tameng Moralitas Bangsa. Ta’lim: Jurnal Studi Pendidikan Islam, 1(1), 40–58.

Herman. (2013). Sejarah Pesantren Di Indonesia. Jurnal Al-Ta’dib, 6(2), 145–158.

Idi, A., & Sahrodi, J. (2017). Moralitas Sosial dan Peranan Pendidikan Agama. Intizar, 23(1), 1. https://doi.org/10.19109/intizar.v23i1.1316

Indonesiabaik.com. (2021). Siapkah Kamu jadi Generasi Emas 2045. Https://Indonesiabaik.Id/Infografis/Siapkah-Kamu-Jadi-Generasi-Emas-2045.

Iskarim, M. (2016). Dekadensi Moral Di Kalangan Pelajar (Revitalisasi Strategi PAI Dalam Menumbuhkan Moralitas Generasi Bangsa). Edukasia Islamika, 1(1), 1–20.

Jamaluddin, M. (2012). METAMORFOSIS PESANTREN DI ERA GLOBALISASI. KARSA, 20(1), 127–139.

Manullang, B. (2013). Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045. Jurnal Pendidikan Karakter, 1, 1–14. http://journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/view/1283

Mas’udi, M. A. (2015). M. Ali Masudi Peran Pesantren Dalam Pembentukan Karakter Bangsa. Jurnal Paradigma, 2(November), 2.

Mita Silfiyasari, & Ashif Az Zhafi. (2020). Peran Pesantren dalam Pendidikan Karakter di Era Globalisasi. Jurnal Pendidikan Islam Indonesia, 5(1), 127–135. https://doi.org/10.35316/jpii.v5i1.218

Mukri, S. G. (2018). Menyongsong Bonus Demografi Indonesia. ’Adalah, 2(6), 51–52. https://doi.org/10.15408/adalah.v2i6.8223

Munir, F. S. (2020). Implementasi Pendidikan Nasionalisme di Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing Parakan Temanggung Tahun 2019.

Ningrum, D. (2015). Kemerosotan Moral Di Kalangan Remaja: Sebuah penelitian Mengenai Parenting Styles dan Pengajaran Adab Diah Ningrum Sekolah Menengah Islam Terpadu (SMIT) Al Marjan. Unisia, XXXVII(No. 82), 18–30.

Nuqul, F. L. (2008). PESANTREN SEBAGAI BENGKEL MORAL: OPTIMALISASI SUMBER DAYA. Psikoislamika, 5(2), 163–182.

Prasarti, S., & Prakoso, E. T. (2020). Karakter Dan Perilaku Milineal: Peluang Atau Ancaman Bonus Demografi. Consilia: Jurnal Ilmiah Bimbingan Dan Konseling, 3(1), 10–22. https://doi.org/10.33369/consilia.v3i1.11981

Raikhan. (2018). Peran Pesantren Dalam Perkembangan Penalaran Moral Santri: Studi Kasus Di Pesantren Tarbiyatut Tholabah Lamongan. Madinah: Jurnal Studi Islam, 5(1), 51–79.

Safradji. (2020). Multi Sistem Pendidikan Pesantren dan Tantangan Masa Depan. Tafhim Al-‘Ilmi, 11(2), 241–264.

Sawaty, I. (2018). PESANTREN UNTUK MENANGGULANGI KENAKALAN REMAJA. Jurnal Al-Mau’izhah, 1(1), 33–47.

Ulwan, A. N. (1981). Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam (Syaifullah Kamalie (ed.); Pedoman Pe). Asy-Syifa’.

Umairah, S. J. (2016). REKONSTRUKSI NILAI-NILAI RELIGIUS SEBAGAI LANDASAN MENYONGSONG GENERASI EMAS 2045. Proceeding International Seminar on Education 2016 Faculty of Tarbiyah and Teacher Training.

Wantimpres.go.id. (2017). Mencegah Degradasi Moral Generasi Muda. Https://Wantimpres.Go.Id/Id/Mencegah-Degradasi-Moral-Generasi-Muda/.

Zainun, M. (2002). Kemandirian sebagai Kebutuhan Psikologis Remaja. Jurnal Penelitian, 6(2), 51–62.