PERAN
PESANTREN DALAM MEMBANGUN MORALITAS BANGSA MENUJU INDONESIA EMAS 2045
Ahmad
Fikri Sabiq
IAIN Salatiga, Indonesia
E-mail: ahmadfikrisabiq@gmail.com
Abstract
The purpose of this study
is to formulate the role of pesantren in educating the millennials to become a
generation that is ready to become the golden generation in 2045. This is a
qualitative descriptive analysis method reserch. The data are secondary data
obtained from various sources of journal articles, documents, and other
relevant sources. The data were analyzed by descriptive methods to obtain a
comprehensive understanding of the subject. The research finding describes that
pesantren which is the oldest educational institution in Indonesia hopefully gives
important contribution in building a golden generation. Due to the hope, there
aret three mine roles of pesantren as follow: (1) Building independence
attitude in the millennial to become independent citizen. (2) Teach millenail
tobe role models and teacher; and (3) Improve nationaity and as part of their
preparation to be patriotic citizen.
Keywords:
pesantren, demographic
bonus, morality
Abstrak
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk merumuskan peran pesantren dalam membangun generasi
millennial agar bisa menjadi generasi yang siap menjadi generasi emas 2045. Penelitian
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Data yang digunakan adalah
data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber artikel jurnal ilmiah,
dokumen dan sumber lain yang relevan. Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan metode deskriptif untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang subjek penelitian. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa
pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia menjadi salah
satu harapan agar bisa melahirkan generasi yang berkarakter dan bermoral.
Selanjutnya, agar pesantren bisa melahirkan generasi emas, ada 3 hal yang harus
diberikan kepada santri selama di pesantren, yaitu: (1) Kemandirian sebagai
bekal untuk kehidupan kelas setelah keluar dari pesantren sehingga bisa eksis
berdiri di tengah masyarakat; (2) Mendidik generasi millennial agar menjadi pigur/teladan
teladan dan pendidik agama bagi masyarakat yang membutuhkan; dan (3) Mengajarkan
wawasan kebangsaan agar siap dalam pembangunan kehidupan berbangsa dan
bernegara setelah keluar dari pesantren.
Kata kunci: generasi
emas, pesantren, moralitas
PENDAHULUAN
Pemuda merupakan generasi masa
depan bangsa yang akan mengisi tatanan kehidupan di masa depan. Pemuda harus
menyiapkan diri sebaik mungkin agar nantinya siap menjadi pemimpin dan
pengelola negeri ini.
Sejarah telah
membuktikan peran pemuda dalam memerjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal ini
bisa dilihat dari peristiwa Sumpah Pemuda serta pejuang melawan penjajah yang
selalu diisi oleh generasi pemuda. Ke depan, pemuda akan menjadi tulang
punggung bangsa, dimana melalui tangan pemuda inilah pembangunan negeri ini
terus berkembang.
Namun, fenomena
dekadensi moral di kalangan remaja atau pemuda saat ini cukup memprihatinkan.
Pemuda yang akan menjadi generasi masa depan bangsa ini, mereka disibukkan
dengan perilaku-perilaku yang tidak semestinya dilakukan. Dari aksi tawuran,
vandalisme, tidak mau belajar, serta aksi-aksi lain sering ditemukan di
berbagai media sosial misalnya seks bebas, kehamilan di luar nikah, aborsi,
perjudian, alkohol dan penggunaan narkoba. Beragam perilaku tidak terpuji ini
tentu meresahkan masyarakat, khususnya orang tua.
Beragam perilaku
ini terjadi karena sifat atau karakteristik remaja sebagai petualang yang
mengambil risiko (risk taker). Dengan kata lain, faktor keingintahuan
remaja sebagai faktor yang bertanggung jawab atas perilaku ini. Namun sifat
remaja sebagai pengambil risiko atau faktor rasa ingin tahu remaja bukanlah
satu-satunya faktor penyebab merosotnya akhlak remaja (Ningrum,
2015).
Faktor lain adalah
perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi. Selain memberikan dampak
positif, perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi juga memiliki dampak
negatif yang dapat merugikan akhlak terutama bagi anak-anak, dan remaja.
Melalui keterbukaan informasi ini banyak disajikan informasi buruk atau
negatif, seperti informasi pornografi, informasi game online yang tidak
mendidik, konsumerisme, dan lain-lain. Keterbukaan ini juga menyebabkan
munculnya prostitusi online, penggunaan narkoba, ujaran kebencian, jurnalisme
fitnah, permusuhan, cara mencuri, cara merakit bom, ideologi radikal dan
ekstrem, baik sekuler maupun agama, dan berbagai perilaku buruk lainnya (Wantimpres.go.id,
2017).
Lebih lanjut
berkenaan dengan perilaku buruk ini, Iskarim menyebutkan ada empat faktor yang
menyebabkan hal tersebut. Pertama, kurang menjadikan
agama sebagai pegangan hidup. Dengan hilangnya pegangan hidup ini, maka hilang
pula kekuatan kontrol yang ada dalam diri pemuda. Sehingga hanya hukum dan
peraturan yang menjadi alat kontrol diri maupun sosial dalam bersikap. Semakin jauhnya
antara masyarakat dengan agama, maka semakin susah
memelihara moral orang dalam masyarakat.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga,
sekolah, maupun masyarakat. Ketiga
institusi ini memegang peran penting akan pembinaan moral seseorang. Rumah tangga merupakan pendidikan dasar (basic-education), dan sekolah pun
memiliki peranan penting dalam pembinaan moral anak didik. Selanjutnya, masyarakat
juga memiliki peran dalam
pembinaan moral sebagai kontrol yang bersifat eksternal. Hadirnya
masyarakat yang buruk moralnya akan
sangat berpengaruh pada perkembangan moral seseorang. Hal ini dikarenakan sangat besar
pengaruhnya dalam pembinaan moral seseorang.
Ketiga, derasnya arus budaya materialisme, hedonisme, dan
sekularisme. Adanya banyak
ketimpangan moral di kalangan pemuda terjadi karena pola hidup yang semata-mata
mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu, serta tidak mematuhi akan
nilai-nilai agama. Timbulnya sikap perbuatan tersebut tidak bisa
dilepaskan dari derasnya arus budaya materialistis, hedonistis, dan sekuleristis
yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, siaran, pertunjukan, film, lagu,
permainan, dan sebagainya. Bahkan fenomena game online yang
menjamur di kalangan pemuda juga menjadi bagian dari budaya hedonisme ini. Arus budaya tersebut merupakan faktor yang paling
besar andilnya dalam menghancurkan moral para
remaja dan generasi tunas bangsa.
Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah.
Pemerintah yang memiliki kekuasaan, dana, teknologi, dan sumber daya
manusia belum menunjukkan kemauan sunggung-sungguh untuk melakukan pembinaan
moral bangsa. Hal ini juga
menjadi salah satu faktor penyebab dekadensi moral di kalangan remaja. Apalagi
ditambah dengan sikap elit penguasa yang melakukan tindakan korupsi, kolusi,
dan nepotisme, serta sekedar untuk mencari kekuasaan dan kekayaan, menjadikan
peran pemerintah tidak berfungsi dengan baik untuk masa depan generasi penerus
bangsa (Iskarim,
2016).
Sebagai negara
yang menjunjung tinggi nilai Pancasila, menyaksikan fenomena dekadensi moral
ini sungguh sangat jauh dari hal tersebut. Pancasila memiliki seperangkat
nilai, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan.
Nilai-nilai dasar Pancasila ini bersifat universal dan objektif, artinya
nilai-nilai tersebut dapat digunakan dan diakui oleh bangsa lain. Pancasila
bersifat subjektif, artinya nilai-nilai Pancasila melekat pada pengemban dan
pendukung nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yaitu rakyat, bangsa, dan negara
Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah keseluruhan pandangan,
cita-cita, keyakinan, dan nilai yang harus diterapkan oleh bangsa Indonesia
dalam kehidupan, masyarakat, bangsa, dan negaranya (Asmaroini,
2016)
Fenomena krisis
moralitas yang terjadi di kalangan remaja ini salah satu
indikator penyebab terbesarnya adalah kegagalan dari dunia pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal, maupun
informal. Diharapkan ketiga lembaga ini
saling mengisi dan diharapkan
akan dapat membentuk anak didik sebagai
generasi masa depan, yang bermoral luhur mulia (Asmaroini,
2016).
Dalam hal ini,
Habibah menambahkan bahwa pendidikan adalah misi suci menyiapkan kecakapan peserta didik. Pendidikan harus menyentuh aspek
kemanusiaan, tidak sekedar kebijakan pendidikan dalam hal fisik sarana dan
prasarana. Tawaran pendidikan yang menyentuh manusia menjadi solusi yang mendesak (Habibah,
2018). Penekanan
pengajaran di taraf moral harus terlebih dulu diutamakan karena itu yang menentukan
benteng anak dalam mengarungi kehidupan mendatang. Sehingga tujuan pendidikan
bisa mengakomodir
kesalehan individu dan kesalehan sosial sekaligus.
Lebih lanjut, menurut Sukidi sebagaimana dikutip oleh
Manullang, bahwa bahwa fenomena krisis hidup atau krisis karakter tidak hanya
semata-mata krisis intelektual dan moral, namun juga bermuara pada krisis
spiritual (Manullang,
2013). Oleh karenanya,
sebagaimana di atas, pendidikan agama menjadi salah satu hal penting yang harus
diperhatikan.
Di
Indonesia, ada lembaga pendidikan yang usianya sangat tua, jauh sebelum
Indonesia merdeka, yaitu pesantren. Lembaga ini merupakan lembaga yang dikelola
oleh masyarakat, bukan negara, yang sudah melahirkan alumni-alumni yang sudah
mengakar di masyarakat. Dengan bekal pengetahuan agama, pembiasaan sikap
spiritual, serta penanaman budi luhur yang sudah ditanamkan secara bayi,
pesantren telah melahirkan alumni yang memiliki prinsip hidup kuat. Selain itu,
wejangan dan do’a dari seorang Kyai selaku pengasuh di pesantren merupakan
suatu kelebihan tersendiri bagi lembaga ini yang tidak bisa ditemukan di model
lembaga pendidikan formal, bahkan sampai perguruan tinggi. Oleh karenanya,
pesantren ini merupakan harapan bangsa untuk melahirkan generasi Indonesia emas
2045 yang memiliki wawasan agama dan karakter dan moral yang luhur.
Merujuk
penelitian yang sudah ada, dalam penelitian yang dilakukan oleh Idi dan
Sahrodi, disebutkan bahwa pendidikan karakter (akhlak) melalui optimalisasi
peranan pendidikan agama diharapkan sebagai salah satu upaya reduksi dan
preventif terhadap perilaku demoralisasi sosial yang sedang melanda generasi
muda (pelajar, remaja dan mahasiswa/ pemuda) yang diharapkan dapat meneruskan
estafet kepemimpinan masa depan (Idi & Sahrodi, 2017). Kemudian dalam penelitian yang
dilakukan oleh Mas’udi, disebutkan bahwa pesantren telah berperan aktif dalam mencetak kader-kader
bangsa yang bermoral dan berpihak pada kebenaran (Mas’udi, 2015).
Selanjutnya, dalam penelitian yang
dilakukan oleh Silfiyasari dan Zhafi disebutkan bahwa peranan pesantren dalam pendidikan karakter yaitu pesantren memerankan diri sebagai pengawal
dan pelestari nilai-nilai agama, pesantren sebagai lembaga
pendidikan, tentu juga dituntut untuk memerankan diri sebagai pembaru pemahaman
keagamaan, dan sebagai lembaga
pendidikan keagamaan dan pendidikan sosial-kemasyarakatan, pesantren juga dapat
mengemban peranan, tugas, misi, dan fungsinya sebagai inspiratory, motivator,
dan dinamistor pelaksanaan pembangunan pada tingkat lokal dan regional di
daerahnya masing-masing (Mita
Silfiyasari & Ashif Az Zhafi, 2020).
Berdasarkan
beberapa penelitian tersebut, posisi dari penelitian ini adalah sebagai pelengkap
dari penelitian yang sudah ada. Artinya, berkenaan dengan bonus demografi dan
generasi emas 2045 sebagai momentum 100 tahun berdirinya bangsa ini, falsafah
Pancasila sebagai jati diri bangsa harus bisa diemban oleh kalangan santri dari
pesantren. Sehingga pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan para
santri bisa bersama-sama berperan dalam mewujudkan generasi emas 2045 maka
rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana peran pesantren
dalam membangun moralitas bangsa menuju indonesia emas 2045?
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian konseptual yang berisi tentang
konsep dan pengenalan suatu ide. Penelitian menggunakan metode analisis
deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah analisis yang
mengomunikasikan data secara lisan dan menekankan pada persoalan kontekstual serta
tidak mengandalkan angka dan perhitungan. Data yang digunakan dalam artikel ini
adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber artikel jurnal ilmiah,
dokumen dan sumber lain yang relevan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis
menggunakan metode deskriptif untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang subjek penelitian ini (Fathoni &
Rohim, 2019).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Generasi Indonesia Emas 2045
Pada
tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk
Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30%
merupakan penduduk yang tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan diatas 65
tahun) pada periode tahun 2020-2045 (Indonesiabaik.com,
2021)
Bonus demografi
adalah kesempatan sekali seumur hidup bagi suatu negara untuk dinikmati, karena
sebagian besar penduduk produktifnya berusia antara 15 dan 40 tahun dalam
evolusi demografinya. Menurut Noor sebagaimana dikutip oleh Mukri, disebutkan
bahwa bonus demografi ini merupakan masa transisi demografi, yaitu terjadinya
penurunan tingkat kematian yang diikuti dengan penurunan tingkat kelahiran dan
dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan
penduduk usia produktif secara optimal. Oleh karena itu, jika jumlah penduduk
usia produktif diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja, maka bonus
demografi akan menjadi peluang yang baik (Mukri,
2018)
Diperkirakan
negara Indonesia akan mengalami bonus demografi dari tahun 2012-2028. Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan
penduduk usia produktif, yang merupakan efek utama dari penggunaan bonus
demografi. Usia melahirkan berkisar antara 20 hingga 30 tahun, dimana usia tersebut
dapat menunjukkan jati dirinya di tingkat nasional. Menurut data penduduk
Indonesia, ada 60 juta anak muda dari 200 juta penduduk Indonesia, dan
Kabupaten Bogor saja memiliki 5 juta orang, sedangkan 60% atau 3 juta dari
total penduduk Bogor adalah anak muda (Mukri,
2018)
Sedangkan Badan
Pusat Statistik (BPS) memperkirakan Indonesia akan menikmati era bonus
demografi pada 2020-2035. Selama periode ini, jumlah penduduk usia kerja
diperkirakan akan mencapai angka tertinggi sepanjang masa. Ciri lain dari era
bonus demografi adalah dominasi penduduk usia produktif (15-64 tahun) relatif
terhadap penduduk non-produktif (0-14 tahun dan di atas 65 tahun), terlihat
dari rendahnya rasio ketergantungan. Rasio ketergantungan adalah perbandingan
antara jumlah penduduk usia tidak produktif dengan jumlah penduduk usia
produktif. Bonus demografi adalah keuntungan ekonomi yang berasal dari rasio
ketergantungan akibat rendahnya angka kematian bayi dan fertilitas (kelahiran)
jangka panjang. Menurunnya proporsi penduduk muda (0-14 tahun) dan besarnya
proporsi penduduk produktif (15-64 tahun) mengurangi biaya investasi untuk
memenuhi kebutuhan mereka, sehingga menggeser biaya tersebut untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.
Bonus demografi
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari generasi milenial. Berdasarkan
penjelasan sebelumnya, rasio ketergantungan Indonesia sebesar 49,20 pada tahun
2015 secara tidak langsung berarti proporsi penduduk usia produktif mencapai
sekitar 67,02% dari total penduduk. Juga, jika persentase penduduk usia
produktif dikaitkan dengan persentase generasi milenial pada tahun 2017, adalah
33,75% dari total penduduk. Artinya, kontribusi kaum milenial dalam membentuk
demografi usia produktif cukup tinggi, karena sekitar 50,36% dari total
penduduk usia produktif pada dasarnya adalah kaum milenial (dengan asumsi rasio
ketergantungan yang sama pada 2015 dan 2017). Menurut data BPS 2018, jumlah
milenial usia 20-35 tahun mencapai 24% atau setara dengan 63,4 juta dari 179,1
juta penduduk usia produktif (Prasarti
& Prakoso, 2020).
Kaitannya dengan
wacana generasi emas 2045, fenomena dekadensi moral ini harus menjadi perhatian
khusus bagi semua pihak. Sehingga nilai-nilai pancasila bisa menjadi jati
diri generasi bangsa Indonesia ini. Umairah menyebutkan bahwa konsep
pendidikan karakter menuju generasi
Indonesia emas 2045 ini juga harus didukung
dengan penanaman nilai-nilai religius yang akan menjadi kebiasaan serta tanda
pengenal dari generasi bangsa sehingga genarasi emas 2045 dapat terwujud dengan adanya pendidikan karakter yang
dibangun dengan
nilai-nilai religius (Umairah,
2016). Dalam hal ini, peran pendidikan
agama sangat diharapkan untuk mewujudkan generasi penerus bangsa yang berbudi
luhur.
Generasi
Indonesia emas 2045 merupakan generasi 100 tahun setelah Indonesia merdeka.
Melihat dari bonus demografi, generasi ini harus diisi oleh generasi muda yang
memiliki wawasan luas, jiwa kreatif dan berbudi luhur. Oleh karenanya,
pendidikan merupakan sarana penting untuk mempersiapkan generasi emas ini,
terutama dalam hal karakternya.
Karakter yang dibangun haruslah bersifat holistik dan komprehensif dan berakar
pada nilai Pancasila sebagai jati diri bangsa. Penanaman karakter ini penting
karena pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga nilai-nilai. Ade
Darman menambahkan bahwa pendidikan berkaitan erat dengan generasi emas Indonesia karena pendidikan merupakan
kunci untuk menghadirkan sumber daya manusia
yang andal dan dapat mengubah sikap dan menambah
ilmu seseorang (Darman,
2017). Arah dari generasi emas 2045
ini adalah membawa negara Indonesia menjadi negera yang lebih maju.
Remigius
Abi menyebutkan bahwa karakter yang ditanamkan pada diri generasi emas haruslah
berbasis tiga aspek yakni nilai kejujuran, nilai kebenaran dan nilai keadilan.
Nilai-nilai tersebut sangat bersesuaian dengan nilai-nilai Pancasila yang
sangat mengedepankan nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan dalam hidup dan
kehidupan bagi generasi emas (Abi, 2017). Lebih lanjut, Manullang menambahkan bahwa karakter generasi emas 2045
berlandaskan pada IESQ meliputi
empat dimensi, yaitu: 1) sikap positif
terhadap nilai Pancasila dan nilai
kemanusiaan menjadi kebiasaan hidup keseharian; 2) pola pikir esensial
menggunakan pendekatan esensi dalam menyelesaikan masalah dan tugas-tugas
kehidupan; 3) komitmen
normatif yakni kesetiaan dan
kesediaan berkorban untuk institusi atau kepada bangsa; 4) kompetensi
abilitas dengan cara menjalankan
tugas profesional
sebagai seni (Manullang,
2013).
Generasi emas adalah generasi yang
memiliki nilai-nilai budi pekerti yang luhur serta dipandang sebagai generasi yang
berwatak religius dan sarat dengan nilai-nilai kebaikan. Jadi generasi emas
yang diharapkan adalah pribadi yang mengamalkan nilai-nilai karakter yang
terkandung dalam pancasila dan agama yang dianutnya dan mampu menjadikan
nilai-nilai tersebut menjadi sikap yang utuh dalam kesehariannya (Darman, 2017).
Peran
Pesantren dalam Membangun Moralitas Bangsa
Membangun karakter bangsa merupakan hal penting dan mendesak untuk
dilakukan. Menurut Firdaus,
setidaknya ada tiga alasan yang menjadikan tindakan membangun karakter
bangsa menjadi penting. Pertama,
Bangsa Indonesia telah
mengalami babak perkembangan yang
dipengaruhi oleh kehidupan global dan
dikenal dengan era disrupsi yang sangat berpengaruh pada tatanan
kehidupan masyarakat. Kedua, dari sisi
mentalitas, bangsa Indonesia
masih perlu membenahi diri. Ketiga, secara bersamaan, bangsa ini memasuki era informasi sekaligus era reformasi. Era
ini membawa perubahan yang
sangat drastis pada atmosfer
politik bangsa dengan kebebasan
berpendapat yang jauh berbeda dengan
era sebelumnya (Firdaus,
2016).
Fenomena krisis
moral pada remaja dan generasi muda telah menjadi problem nasional bahkan internasional.
Namun, di Indonesia telah mendapatkan warisan sebuah sistem pendidikan yang
diharapkan bisa menjadi alternatif solusi akan hal tersebut, yaitu Pesantren.
Pesantren merupakan ujung tombak pendidikan Islam yang menuntun kehidupan yang
bahagia di dunia dan akhirat.
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Kata “Pesantren” lebih dikenal
dengan sebutan pondok, istilah pondok berasal dari kata Arab funduq, yang berarti pesangrahan atau penginapan
bagi para musafir. Ada juga yang
menyebutkan bahwa pesantren
mengandung makna ke-Islaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia.
Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid
pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta
“sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang
berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Selain itu juga
menyebutkan bahwa Kata
pesantren yang berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe"
dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Para ahli berpendapat
bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji, dari
sini kita memahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni;
Santri, Kyai dan Asrama. Sehingga dengan demikian dari asal kata, maka dapat
kita ambil benang merah mengenai pengertian pesantren secara istilah yakni, pesantren
merupakan sebuah lembaga pendidikan islam yang menampung sejumalah santri
maupun santriwati dalam rangka mempelajari ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan
seorang kyai (Herman, 2013). Model
pendidikan pesantren menjamur jauh sebelum lembaga
pendidikan formal didirikan di Indonesia, sehingga kontribusinya sangat besar
dalam pembangunan bangsa ini (Jamaluddin,
2012).
Untuk mencapai tujuan tersebut pesantren mempunyai sumber daya yang meliputi
tradisi, dan sumber daya manusia, yang membuktikan bahwa pesantren
merupakan bengkel moral yang bisa diandalkan. Perlu dicatat pula, bahwa
masing-masing pesantren mempunyai potensi dan tradisi yang berbeda, sehingga
aplikasi penanaman moral mungkin akan sedikit-banyak berbeda, dan perbedaan
inilah yang membutuhkan adanya modifikasi dalam pembinaan moral santri yang
akan membawa pada tingkat moral yang lebih tinggi (Nuqul,
2008). Jadi, berkenaan dengan moralitas
bangsa ini, pondok pesantren menjadi harapan bisa melahirkan generasi penerus
bangsa, terlebih menjadi generasi Indonesia emas 2045 yang bisa menjadikan
Indonesia menjadi negeri yang maju.
Selanjutnya,
strategi pesantren yang mengusung pendidikan berbasis agama Islam dalam
menumbuhkan moralitas bangsa ini bisa dilakukan dengan beberapa hal. Pertama,
pendidikan akhlak dapat dilakukan melalui demonstrasi dan demonstrasi, yaitu
berusaha dan membiasakan peserta didik dan seluruh lingkungan pendidikan dengan
memberikan teladan atau contoh untuk mengembalikan dan menegakkan nilai-nilai
yang benar. Kedua, pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan penguatan
penyelenggaraan pendidikan agama, karena sebagaimana tersebut di atas, nilai
dan ajaran agama pada akhirnya untuk pembentukan akhlak yang baik.
Ketiga, pendidikan
agama yang dapat menghasilkan perbaikan akhlak harus diubah dari model
pendidikan agama menjadi model pendidikan agama. Pendidikan agama dapat berupa
pemberian ilmu agama atau membiarkan anak memahami ilmu agama, dan pendidikan
agama dapat berupa perilaku membina dan mewujudkan manusia sesuai dengan
tuntutan agama. Keempat, pendidikan akhlak dapat dilakukan secara
terpadu, yaitu dengan melibatkan semua disiplin ilmu. Kelima, pendidikan
akhlak harus dilibatkan secara penuh dalam arti yang bertanggungjawab dalam
pendidikan akhlak adalah semua unsur yang ada di suatu lembaga pendidikan
meliputi guru, pegawai, dan lainnya.
Keenam, pendidikan
akhlak harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang erat dan usaha yang
sungguh-sungguh dari keluarga/rumah, lembaga pendidikan dan masyarakat. Ketujuh, pendidikan moral harus menggunakan seluruh
kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Kesempatan berekreasi, pameran,
kunjungan, berkemah, dan sebagainya harus digunakan sebagai peluang untuk
membina moral. Kedelapan, penenaman moral dapat dilakukan dengan
membangun dan meningkatkan kekuatan hati nurani moral (moral consequence)
dengan cara meningkatkan rasa keagamaan yang mendalam (spiritualitas) terlebih dahulu.
Pendidikan diarahkan untuk menyentuh hati (touching) bukan pada aspek pembelajaran
(teaching) semata. (Iskarim, 2016).
Dikarenakan
pesantren berperan dalam pendidikan dan pembelajaran berbasis agama Islam, maka
pesantren memiliki peran besar dalam membangun akhlak. Menurut Edy Supriyono sebagaimana dikutip oleh Raikhan,
minimal ada
tiga alasan mengapa pesantren mempunyai peran
dan kesempatan yang lebih besar dibanding dengan lembaga lain. Pertama,
pesantren ditempati generasi penerus bangsa dengan pendidikan yang tidak
terbatas oleh waktu sebagaimana di
lembaga pendidikan umum. Hal ini akan semakin
mempermudah dan menunjang
pesantren untuk semakin
menyemaikan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga bisa dijadikan
sebagai benteng dalam menghadapi globalisasi.
Kedua, pendidikan
pesantren yang mencoba memberikan keseimbangan antara pemenuhan
lahir batin, pendidikan agama dan umum, merupakan usaha yang sangat sesuai
dengan kebutuhan pendidikan di era globalisasi yang membutuhkan keseimbangan
antara kualitas SDM dan keluhuran moral. Ketiga, paparan Nur Cholish Majid
memberikan contoh masyarakat yang terkena ‘dislokasi’, yaitu kaum marjinal
atau pinggiran di kota-kota besar, seharusnya menyadarkan pesantren.
Mengingat pesantren adalah tempat kaum pinggiran atau kaum pedesaan yang
ekonominya pada posisi menengah ke bawah yang juga rentan akan dihinggapi
‘dislokasi’, sehingga dalam hal ini pesantren tentu lebih mempunyai kesempatan
untuk memberdayakan dan mengangkat kaum tersebut (Raikhan, 2018).
Eksistensi
pesantren telah terbukti mampu survival di tengah derasnya arus modernisasi
dengan beragam tantangan dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Dalam konteks
ini pesantren telah terbukti mampu berperan sebagai benteng moralitas bangsa.
Sisi lain yang tak kalah pentingnya adalah peran pesantren sebagai lembaga
pendidikan mau dan mampu menampung semua kalangan masyarakat, khususnya kelas
bawah masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pesantren harus dipertahankan
keberadaanya dengan memelihara dan mempertahankan nilai-nilai keaagamaan
(salaf) dan mengambil yang baru yang lebih baik (Safradji, 2020).
Pengaruh pemahaman tentang keagamaan
mempunyai peran penting dalam penalaran moral santri. Ada beberapa cara yang biasa
dipakai di pesantren untuk membangun moralitas sanntri. Pertama, dengan
pemahaman agama, remaja mengetahui perilaku-perilaku moral yang berlaku, dan
berdasar pada standar nilai agama. Kedua, pemahaman agama akan menimbulkan motivasi yang kuat bagi santri remaja
untuk berfikir, dan berperilaku sesuai dengan nilai agama yang diyakini sebagai
bentuk ibadah dan yang dapat diterima oleh lingkungannya, sehingga dari
penelitian ini juga menemukan semakin lama anak bermukim di pesantren, maka
penalaran moral remaja santri akan lebih baik. Pemahaman agama atau
religiusitas santri terhadap penalaran moral remaja santri berimplikasi pada
kedalaman mereka terhadap keyakinan dan kemantapan mereka dalam berperilaku
yang didasarkan pada nilai-nilai kegamaan disamping juga nilai sosial yang di
integralkan pada nilai dan norma yang ada di pesantren. Peran pesantren dalam
penalaran moral remaja santri terimplikasi dalam kegiatan dan
program-program dalam pesantren, baik dari tradisi pesantren maupun dalam kegiatan
harian, mingguan, bahkan kegiatan bulanan (Raikhan,
2018).
Selanjutnya,
Ikhwan Sawaty menyebutkan, dalam melaksanakan
pembinaan akhlak santri, bisa dilakukan
dengan beragam
strategi seperti strategi formal, strategi non
formal, strategi alami, strategi teladan,
strategi nasehat, strategi ceramah, dan strategi kisah-kisah (Sawaty,
2018). Menurut
Abdullah Nasih Ulwan, ada lima metode yang dapat digunakan dalam pendidikan karakter,
yaitu metode keteladanan, pembiasaan, nasihat, memberikan perhatian, dan
hukuman yang mendidik (Ulwan,
1981). Lima hal ini merupakan hal yang
sudah terbiasa ada di dalam pesantren sehingga bisa terlahir orang-orang yang
memiliki karakter dan moral yang baik.
Pesantren
untuk Membangun Generasi Emas 2045
Dalam rangka meneguhkan eksistensi santri agar tetap bisa
berkontribusi langsung kepada masyarakat, ada beberapa hal yang harus dilakukan
oleh santri dan pesantren di masa sekarang selain aspek keilmuan keagamaan. Pertama,
kemandirian. Kemandirian dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika
seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, mampu
mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas tugasnya, dan bertanggung
jawab terhadap apa yang dilakukannya (Zainun, 2002).
Perlu diketahui bahwa eksistensi pesantren dewasa ini,
tidak hanya mencetak para alumni santri yang hanya dapat menjadi ulama, ustadz
ataupun orang ahli dalam bidang agama saja, tetapi juga mampu menghasilkan
output yang siap menghadapi tantangan zaman yang semakin global. Para alumni pesantren
dewasa ini harus dapat menjawab problematika yang terjadi di masyarakat.
Kemandirian santri ketika berada di lingkungan pesantren dapat menumbuhkan
sikap optimis ketika hidup di masyarakat. Optimis adalah yakin, percaya diri,
punya harapan untuk berhasil. Optimis berarti orang yang selalu berpengharapan
(berpandangan). Kemandirian santri yang diperoleh ketika berada di pondok
pesantren dapat memberikan bekal dalam hidup di masyarakat. Dengan kata lain
kemandirian santri berpengaruh terhadap sikap optimis dalam kehidupan di
masyarakat.
Kedua,
santri harus melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Santri memiliki
keilmuan keagamaan yang lebih yang dia pelajari selama belajar di pondok
pesantren. Sehingga, bisa dikatakan bahwa santri merupakan sosok yang serba
tahu perihal urusan agama, baik itu tentang hal mendasar dalam Islam seperti
akidah, fiqih, akhlak, ilmu alat dan ilmu bahasa, serta bidang ilmu keagamaan
Islam yang lain.
Di
satu sisi, ada banyak masyarakat masih membutuhkan sosok teladan umat yang bisa
membimbing mereka dalam hal agama. Terlebih masyarakat yang berada di
daerah-daerah pinggiran yang belum banyak memiliki tokoh agama yang mumpuni.
Misal saja, di daerah pinggiran, untuk mencari orang yang bisa mengajari
membaca Al-Qur’an saja sangat sulit. Melihat dua fenomena tersebut, perlu ada
jembatan agar keduanya muncul solusi, yaitu dengan program pengabdian
masyarakat yang dilakukan oleh santri. Pengabdian ini akan memberikan
pengalaman tersendiri bagi santri sebelum mereka benar-benar terjun di tengah
masyarakat setelah keluar dari pesantren nanti.
Ketiga, wawasan kebangsaan dan nilai nasionalisme. Sudah tidak
diragukan lagi bahwa santri memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi sejak
Indonesia belum merdeka. Resolusi Jihad yang merupakan manifesto dari
nasionalisme ulama Indonesia telah menunjukkan pentingnya peran ulama dalam
menegakkan pembangunan kemerdekaan Indonesia. Fatwa mengenai resolusi jihad
juga menunjukkan bahwa santri tidak hanya faham tentang agama namun juga aktif
berperan dalam memberikan solusi strategis kehidupan berbangsa dan bernegara.
Semangat untuk menjaga bangsa dan tanah kelahirannya dengan penuh perjuangan
baik dari kerusakan-kerusakan yang ada dalam bangsa tersebut untuk menciptakan
kedamaian dan ketentraman bagi seluruh warga negara (Munir,
2020).
Di
era modern ini, selain jiwa nasionalisme, santri juga harus dibekali dengan
wawasan kebangsaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah lulus dari pesantren,
para santri yang merupakan sosok jujur, sederhana, dan beintegritas ini akan
sangat dibutuhkan perannya di masyarakat. Termasuknya juga berperan dalam
bidang birokrasi dan pemerintahan. Oleh karenanya, wawasan kebangsaan ini
menjadi penting sebagai bekal santri untuk siap berkontribusi dalam pembangunan
bangsa dan negara.
KESIMPULAN
Indonesia
akan menghadapi bonus demografi atau penduduk dengan usia produktif yang
banyak. Bonus demografi ini akan menjadi keuntungan karena Indonesia akan
menghadapi momentum generasi emas 2045 sebagai peringatan 100 tahun kemerdekaan
Indonesia. Untuk menuju kepada momentum tersebut, Indonesia saat ini sedang
menghadapi krisis moral yang terjadi di berbagai kalangan, khususnya kalangan
remaja dan pemuda. Krisis moral yang dihadapi bangsa ini menjadi hal yang harus
diperhatikan untuk mewujudkan generasi emas 2045. Untuk mengatasi krisis moral
ini bisa dilakukan salah satunya melalui pendidikan, khususnya pendidikan
agama. Dalam hal pendidikan agama, pesantren yang merupakan lembaga pendidikan
tertua di Indonesia menjadi salah satu harapan agar bisa melahirkan generasi
yang berkarakter dan bermoral. Gererasi inilah yang merupakan generasi
Indonesia emas 2045 yang akan membawa Indonesia menjadi negara maju.
Selanjutnya, agar pesantren bisa melahirkan generasi emas, ada 3 hal yang harus
diberikan kepada santri selama di pesantren, yaitu: (1) kemandirian sebagai
bekal untuk kehidupan kelas setelah keluar dari pesantren sehingga bisa eksis
berdiri di tengah masyarakat; (2) melakukan pengabdian masyarakat untuk menjadi
teladan dan pendidik perihal agama kepada masyarakat yang membutuhkan; dan (3)
diajarkan wawasan kebangsaan dan nilai nasionalisme sebagai bagian dari
persiapan mereka agar siap dalam pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara
setelah keluar dari pesantren.
DAFTAR
PUSTAKA
Abi, A. R. (2017). Paradigma Membangun
Generasi Emas Indonesia Tahun 2045. JIPPK, 2(2), 85–90.
Asmaroini, A. P. (2016). Implementasi
Nilai-Nilai Pancasila Bagi Siswa Di Era Globalisasi. Citizenship Jurnal
Pancasila Dan Kewarganegaraan, 4(2), 440. https://doi.org/10.25273/citizenship.v4i2.1076
Darman, R. A. (2017). MEMPERSIAPKAN
GENERASI EMAS INDONESIA TAHUN 2045 MELALUI PENDIDIKAN BERKUALITAS. Jurnal
Edik Informatika, 3(2), 73–87.
Fathoni, M. A., & Rohim, A. N. (2019).
Peran pesantren dalam pemberdayaan ekonomi umat di Indonesia. Conference on
Islamic Management, Accounting, and Economics (CIMAE) , 2, 133–140.
Firdaus. (2016). Eksistensi pendidikan
dalam membangun moralitas bangsa. Ash-Shahabah: Pendidikan Dan Studi Islam,
2(1), 29–38.
Habibah, S. (2018). Filsafat Pendidikan
Islam dan Tameng Moralitas Bangsa. Ta’lim: Jurnal Studi Pendidikan Islam,
1(1), 40–58.
Herman. (2013). Sejarah Pesantren Di
Indonesia. Jurnal Al-Ta’dib, 6(2), 145–158.
Idi, A., & Sahrodi, J. (2017).
Moralitas Sosial dan Peranan Pendidikan Agama. Intizar, 23(1), 1.
https://doi.org/10.19109/intizar.v23i1.1316
Indonesiabaik.com. (2021). Siapkah Kamu
jadi Generasi Emas 2045. Https://Indonesiabaik.Id/Infografis/Siapkah-Kamu-Jadi-Generasi-Emas-2045.
Iskarim, M. (2016). Dekadensi Moral Di
Kalangan Pelajar (Revitalisasi Strategi PAI Dalam Menumbuhkan Moralitas
Generasi Bangsa). Edukasia Islamika, 1(1), 1–20.
Jamaluddin, M. (2012). METAMORFOSIS
PESANTREN DI ERA GLOBALISASI. KARSA, 20(1), 127–139.
Manullang, B. (2013). Grand Desain
Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045. Jurnal Pendidikan Karakter, 1,
1–14. http://journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/view/1283
Mas’udi, M. A. (2015). M. Ali Mas‟udi –
Peran Pesantren Dalam Pembentukan Karakter Bangsa. Jurnal Paradigma, 2(November),
2.
Mita Silfiyasari, & Ashif Az Zhafi.
(2020). Peran Pesantren dalam Pendidikan Karakter di Era Globalisasi. Jurnal
Pendidikan Islam Indonesia, 5(1), 127–135.
https://doi.org/10.35316/jpii.v5i1.218
Mukri, S. G. (2018). Menyongsong Bonus
Demografi Indonesia. ’Adalah, 2(6), 51–52.
https://doi.org/10.15408/adalah.v2i6.8223
Munir, F. S. (2020). Implementasi
Pendidikan Nasionalisme di Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing Parakan
Temanggung Tahun 2019.
Ningrum, D. (2015). Kemerosotan Moral Di
Kalangan Remaja: Sebuah penelitian Mengenai Parenting Styles dan Pengajaran
Adab Diah Ningrum Sekolah Menengah Islam Terpadu (SMIT) Al Marjan. Unisia,
XXXVII(No. 82), 18–30.
Nuqul, F. L. (2008). PESANTREN SEBAGAI
BENGKEL MORAL: OPTIMALISASI SUMBER DAYA. Psikoislamika, 5(2),
163–182.
Prasarti, S., & Prakoso, E. T. (2020).
Karakter Dan Perilaku Milineal: Peluang Atau Ancaman Bonus Demografi. Consilia : Jurnal Ilmiah Bimbingan Dan Konseling, 3(1), 10–22.
https://doi.org/10.33369/consilia.v3i1.11981
Raikhan. (2018). Peran Pesantren Dalam Perkembangan
Penalaran Moral Santri: Studi Kasus Di Pesantren Tarbiyatut Tholabah Lamongan. Madinah:
Jurnal Studi Islam, 5(1), 51–79.
Safradji. (2020). Multi Sistem Pendidikan
Pesantren dan Tantangan Masa Depan. Tafhim Al-‘Ilmi, 11(2),
241–264.
Sawaty, I. (2018). PESANTREN UNTUK
MENANGGULANGI KENAKALAN REMAJA. Jurnal Al-Mau’izhah, 1(1), 33–47.
Ulwan, A. N. (1981). Tarbiyah al-Awlad
fi al-Islam (Syaifullah Kamalie (ed.); Pedoman Pe). Asy-Syifa’.
Umairah, S. J. (2016). REKONSTRUKSI
NILAI-NILAI RELIGIUS SEBAGAI LANDASAN MENYONGSONG GENERASI EMAS 2045. Proceeding
International Seminar on Education 2016 Faculty of Tarbiyah and Teacher
Training.
Wantimpres.go.id. (2017). Mencegah
Degradasi Moral Generasi Muda.
Https://Wantimpres.Go.Id/Id/Mencegah-Degradasi-Moral-Generasi-Muda/.
Zainun, M. (2002). Kemandirian sebagai
Kebutuhan Psikologis Remaja. Jurnal Penelitian, 6(2), 51–62.