STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM
MENGANTISIPASI PAHAM RADIKAL DAN INTOLERAN DI SEKOLAH
Retno Widyastuti
Madrasah Tsanawiyah
Negeri 22 Jakarta, Indonesia
E-mail: enomts22@gmail.com
Abstract
The purpose of this study is to review the
results of a survey conducted by LaKIP and PPIM from
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta as published in BBC Indonesia and Republika,
regarding radicalism and intolerance in school. The method used is a literature
review. The review concluded that the strategy anti-radicalism and intolerance
can be done with two strategies. The first is a school cultural development
strategy through collaboration in Wiyata Mandala
program. The second, integrated learning strategies that integrate the five
characters in every subject’s area. For the supervision and guidance of
teachers in carrying out their profession as teachers, two strategies can be
used. The first is the strategy for supervising teachers in carrying out their
duties according to the discipline of civil servants regualtion.
The second supervise, monitor and training for teachers.
Keywords:
radicalism, intolerance, character education, teacher character competence.
Abstrak
Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengomentari
hasil survey yang dilakukan
oleh LaKIP dan PPIM dari
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta seperti yang dimuat
di BBC Indonesia dan Republika mengenai
paham radikalisme dan intoleransi yang terjadi di sekolah. Metode yang digunakan adalah studi literatur yang membahas mengenai pendidikan karakter siswa dan karakter guru. Hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa strategi penanaman anti radikalisme dan intoleran dapat dilakukan dengan dua strategi. Pertama strategi pengembangan
budaya melalui kolaborasi melalui pogram wawasan wiyata mandala. Kedua
strategi pembelajaran terintegrasi
yaitu guru mengajarkan nilai-nilai lima karakter ke dalam mata
pelajaran yang diampunya. Untuk pengawasan dan pembinaan terhadap guru dalam menjalankan profesinya sebagai guru dapat dilakukan 2 strategi. Pertama strategi pengawasan guru dalam
menjalankan tugasnya sesuai disiplin pegawai negeri. Kedua strategi pembinaan
dengan menerapkan pembinaan melalui pendidikan dan latihan bagi guru.
Kata kunci: radikalisme, intoleransi, pendidikan karakter, kompetensi karakter guru.
PENDAHULUAN
Hasil survei
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof.
Dr. Bambang Pranowo, yang juga guru besar sosiologi Islam di UIN
Jakarta, pada Oktober 2010 hingga
Januari 2011, mengungkapkan
hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21%
guru menyatakan Pancasila tidak
relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2%
guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di
Indonesia. Jumlah yang menyatakan
setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.
Sejalan dengan pendapat Abdullah Darraz, peneliti Maarif Institute, yang mengatakan bahwa institusi sekolah dari aspek sisi
kebijakan, proses pembelajaran
di kelas dan proses eskrakulikuler
terlalu permisif membolehkan kelompok radikal masuk ke
dalam institusi mengatasnamakan bimbingan belajar dan konseling, sehingga membuat radikalisme itu menguat di sekolah negeri. Oleh sebab itu melemahnya
nilai Pancasila dan kebangsaan
di sekolah berbanding lurus dengan maraknya
radikalisme itu (Lestari, 2016).
Pada tahun 2017 hasil penelitian dari PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN (Universitas Islam
Negeri) Syarif Hidayatullah
Jakarta (Yukianto,
2018), dilakukan terhadap siswa/mahasiswa dan guru/dosen dari 34 provinsi di Indonesia, menyatakan sebanyak 34,3 persen responden memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama lain selain Islam.
Sebanyak 48,95 persen responden siswa/mahasiswa merasa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak
bergaul dengan pemeluk agama lain. Sebanyak 58,5
persen responden mahasiswa/siswa memiliki pandangan keagamaan dengan opini yang radikal. Pemahaman radikal dan intoleransi masuk ke sekolah melalui;
(1) aktivitas pembelajaran
di kelas oleh guru, (2) melalui
buku pelajaran yang diduga memuat konten
intoleransi, (3) melalui pengaruh dan intervensi alumni dalam kegiatan kesiswaan di sekolah dan (4) lemahnya kebijakan kepala sekolah/yayasan dalam mencegah
masuknya pengaruh radikalisme.
Hal tersebut cukup mengagetkan dan mengkhawatirkan bahwa nilai-nilai pancasila sebagai dasar negara terancam oleh paham radikal islamisme yang intoleran terhadap keragaman di dalam negara
Indonesia. Selain sikap permisif dari institusi
sekolah, paham intoleran, kekerasan dan anti pancasila dapat masuk karena tidak
adanya penyeleksian dan pengawasan yang cukup ketat sehingga kemungkinan guru-guru yang berpaham
radikal dan intoleran dapat menyebarkan paham ideologinya di sekolah. Tentu diperlukan penelitian khusus bagaimana proses perekrutan dan prosedur pengawasan aparat pemerintah terkait dalam memberikan ruang bagi paham
radikal dan intoleran berada di institusi sekolah.
Pentingnya peran guru itu dapat dilihat dari
tugas guru pada umumnya dibedakan tiga hal (Dzukifli & Inda, 2015), meliputi:
1.
Tugas Pribadi. Tugas ini mengenai kepribadian
guru sebagai orang yang digugu
dan ditiru, guru memahami
dan menetapi konsep siapa dirinya. Bahwa guru memiliki tiga konsep pribadi
yaitu; konsep diri (Self Concept),
ide diri (Self Idea),
dan realitas diri (Self Reality).
2.
Tugas Sosial. Tugas ini adalah tugas
misi kemanusiaan atau pemanusiaan manusia. Guru berperan sebagai pelayan manusia (gogos humaniora) atau sebagai pelayan masyarakat.
3.
Tugas Profesional. Tugas melaksanakan peran profesi yang mana guru harus memenuhi kualifikasi sebagai guru sehingga ia dapat memberikan
sejumlah pengetahuan kepada siswa dengan
hasil yang baik.
Ilustrasi di atas, penulis maksudkan bahwa pendidikan tidak hanya mengenai kecerdasan, kreativitas dan kecakapan semata juga termasuk pembentukan karakter dari siswa
atau peserta didik. Sebagai negara yang berbhineka tunggal ika atau negara yang menjunjung keragaman dalam satu kesatuan
bangsa dan negara membutuhkan
pembangunan karakter yang menunjang dari cita-cita kebangsaan dan kenegaraan. Tertuang di dalam konstitusi dan norma dasar negara Pancasila.
Pendidikan karakter juga sebagai
wujud ketahanan nasional dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kajian literatur ini dimaksudkan untuk mejawab dua
pertanyaan. Pertama: Bagaimana strategi pendidikan karakter untuk menagkan radikalisme dan intoleran? Kedua: bagaimana strategi pengawasan terhadap guru dalam menanamkan sikap non-radikal dan intoleran?
METODE
Sumber pembahasan berasal dari berita di portal berita di internet yakni BBC
Indonesia dan Republika mengenai
paham radikalisme dan intoleransi mengutip hasil penelitian oleh Lembaga
Kajian Islam dan Perdamaian serta
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat dari UIN Syarif Hidayatullah. Metode penelitian menggunakan studi literatur yang membahas mengenai pendidikan karakter siswa dan kompetensi karakter guru. Serta menggunakan peraturan perundang-undangan yang terkait. Sehingga didapatkan gambaran seharusnya guru menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidikan sesuai yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan nasional. Bahwa profesi guru memiliki kompetensi yang harus dipenuhi oleh mereka yang berprofesi sebagai guru.
Dengan metode studi literatur
diharapkan memperlihatkan kaitannya profesi guru dengan sistem pendidikan
nasional dan program pendidikan
karakter dalam membina karakter siswa dalam proses pembelajaran. Sedangkan hasil penelitian mengenai paham radikalisme dan intoleransi yang terjadi di sekolah sebagai sumber bahasan untuk menunjukkan
kritik dari pemenuhan kompetensi guru dan
program pendidikan karakter
belum terlaksana dengan baik, karena
hal tersebut harus dipenuhi terlebih dahulu kompetensi karakter guru sebagai pelaksana pendidikan karakter dalam rangka terbentuknya
karakter siswa yang sesuai dengan harapan
ketahanan nasional seperti yang dikehendaki oleh pemerintah dalam sistem pendidikan nasional.
PEMBAHASAN
Karakter Sebagai Ketahanan Nasional
Perlu kiranya
kita membahas karakter sebagai ketahanan nasioal. Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa
yang berisi keuletan dan ketangguhan, dalam membentuk kekuatan nasional yang mampu menghadapi dan mengatasi segala macam ancaman,
tantangan, halangan, dan gangguan yang datang dari luar dan dari
dalam negeri secara langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan tujuan pencapaian nasionalnya (Suryodiprojo, 1997). Selain dari aspek geografis,
kependudukan, dan kekayaan alamnya, ketahanan nasional juga terdiri dari aspek ideologi,
politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keaamanan.
Secara sederhana ketahanan nasional dirumuskan sebagai strategi bangsa Indonesia membentuk kekuatan dalam menangani segala macam serangan terhadap kelangsungan hidup bangsa dalam
mencapai tujuannya. Sebab keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut di atas sangat akan rawan
konflik kepentingan dan diperlukan pengelolaan keragaman tersebut di kehidupan modern yang kompleks. Dapat disimpulkan ketahanan nasional adalah kondisi dimana sebagai bangsa memiliki kekuatan mampu menghadapi segala sesuatu yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa dalam mencapai
cita-cita bersamanya.
Karakter sebagai
bagian ketahanan nasional adalah yang berkaian dengan sosial-budaya dalam membentuk sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku lingkungan sosial, atau bisa
disebut sebagai alat untuk membentuk
karakter kolektif. Menurut Otto Bauer yang disebut dengan bangsa adalah
persamaan, karakter, dan kesatuan karakter yang dihasilkan oleh kesatuan pengalaman (Rahmawati, Linda Cibya &
Dewi, 2021). Terbentuknya karakter
kolektif haruslah melalui pendidikan nasional. Sangatlah tepat ketika pemerintah
mencanangkan pendidikan karakter masuk dalam sistem pendidikan
nasional dalam rangka mengatasi segala ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang timbul dari kompleksitas kepentingan yang tentunya menimbulkan konflik. Karakter kolektif sebagai bangsa akan menjadi penangkal
dari konflik kepentingan yang ada dalam segi geografis,
kependudukan, dan sumber daya alam serta
dalam segi ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Konsep Pendidikan Karakter
Konsep pendidikan karakter berkaitan dengan amanat UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 3 yang menyatakan
bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan (kompetensi) dan membentuk watak (karakter) serta peradaban bangsa (sistem sosial politik
dan budaya). Menurut Thomas
Lickona (Yaumi, 2014), karakter adalah mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan segala sesuatu yang baik. Kebaikan dan segala sesuatu yang baik tentunya berdasarkan nilai-nilai yang disepakati oleh bangsa Indonesia, sebagaimana pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 selanjutnya menyebutkan yaitu menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Landasannya adalah norma dasar negara yakni Pancasila dan konstitusi
negara UUD 1945 yang telah di amandemen.
Terdapat
program yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan yaitu penguatan pendidikan karakter (PPK) dengan mengembangkan lima karakter utama yang berasal dari nilai Pancasila yaitu: religius, nasionalisme, integritas, mandiri, dan gotong royong. Kelima
kakarter utama ini dikembangkan melalui pengembangan budaya sekolah juga melalui kolaborasi bersama komunitas-komunitas di luar lingkungan pendidikan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).
1. Religius. Nilai karakter yang mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan
dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan
lain, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Implementasi nilai karakter religius ini ditunjukkan dalam sikap cinta
damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama
antar pemeluk agama dan kepercayaan, anti perundungan dan
kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mencintai lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih.
2. Nasionalisme. Nilai karakter yang merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Sikap nasionalis ditunjukkan melalui sikap apresiasi budaya bangsa sendiri,
menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin,
menghormati keragaman budaya, suku, dan agama.
3. Integritas. Nilai karakter yang mendasari perilaku pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya
dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga
negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran. Seseorang yang berintegritas juga menghargai martabat individu (terutama penyandang disabilitas), serta mampu menunjukkan keteladanan.
4. Mandiri. Nilai karakter yang merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada orang lain dan mempergunakan
segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Siswa yang mandiri memiliki etos kerja yang baik, tangguh, berdaya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
5. Gotong royong. Nilai karakter
yang mencerminkan tindakan
menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/pertolongan pada
orang-orang yang membutuhkan. Diharapkan
siswa dapat menunjukkan sikap menghargai sesama, dapat bekerja sama,
inklusif, mampu berkomitmen atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolong menolong, memiliki empati dan rasa solidaritas, anti diskriminasi,
anti kekerasan, dan sikap kerelawanan.
Selain itu
pemerintah melalui program
PPK membuat konsep sinergi tiga pusat
pendidikan yakni sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketiganya bersinergi membentuk ekosistem pendidikan atau dapat dikatakan
sejalan dengan konsep wawasan wiyata mandala, yang mana sekolah
berperan sebagai pusat pendidikan dan lingkungan sekitar (keluarga dan masyarakat) sebagai sumber-sumber belajar dan ketahanan sekolah. Program PPK ini sudah dimulai dari
tahun 2016, dan diharapkan sudah diimplementasikan ke seluruh sekolah
di Indonesia pada tahun 2020 (Sumber
infografis, www.kemdikbud.go.id). Pendidikan karakter itu sendiri
adalah upaya mengintegrasikan nilai-nilai sosial, moral, etika, budaya, dan agama ke dalam mata pelajaran
atau aktivitas pembelajaran tanpa harus membahasnya secara terpisah. Karenanya guru perlu membuat strategi pengembangan bahan ajar yang berbasis karakter.
Dalam pendidikan karakter
selain siswa memiliki lima karakter utama yakni religius,
integritas, nasionalisme, mandiri, dan gotong royong. Dilengkapi
dengan kecakapan yang menunjang lima karakter tersebut meliputi; kecakapan itu adalah
berpikir kritis dan analitis, kreatif dan inovatif, komunikatif dan kolaboratif. Kritis dan analitis, siswa memiliki daya nalar
untuk mengolah informasi/ pengetahuan sehingga dapat mengetahui dan memahami kebenaran dari informasi/pengetahuan yang diterima. Kreatif dan inovatif, siswa mampu berpikir pemecahan masalah serta menemukan cara atau pendekatan
yang baru atau yang efektif dari masalah
yang ditemukan. Komunikatif
dan kolaboratif, Siswa mampu mengungkapkan pendapatnya sehingga diskusi dan kerjasama dengan orang lain dalam menemukan dan memecahkan masalah atau dalam
membagi informasi/pengetahuan yang diperolehnya (Sumber infografis,
www.kemdikbud.go.id). Dalam membangun lima karakter tersebut di atas diperlukan suatu strategi penguatan pendidikan karakter, sejalan dengan pendapat Otto Bauer sebagai bangsa memerlukan karakter kolektif bersama dan hal tersebut perlu
dibangun melalui pendidikan.
Strategi Penguatan
Pendidikan Karakter
Strategi penguatan pendidikan karakter kiranya dapat tergambarkan
dalam menerapkan strategi deradikalisasi dengan menerapkan konsep mata pelajaran Sejarah, PPKn, Bimbingan Konseling, dan Agama menjadi model perpaduan/ integrasi dengan cara pengajar menentukan
konsep dan ketrampilan yang
akan diajarkan pada satu semester (Hergianasari,
2019). Dengan
mengkonsepkan sebagai berikut:
1. Konsep dari
mata pelajaran Sejarah:
a. Konsep sejarah
perjuangan bangsa melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan,
membuktikan bahwa kedamaian adalah sesuatu yang diperjuangkan dengan harga yang mahal.
b. Perjuangan kemerdekaan
Indonesia bersama-sama dengan
suku, ras, agama yang berbeda.
2. Konsep dari
mata pelajaran PPKn:
a. Konsep tenggang
rasa,
b. Ketertiban,
c. Toleransi,
d. Falsafah Pancasila,
e. Konstitusional Indonesia yaitu UUD 1945.
3. Konsep dari
mata pelajaran Agama:
a. Bagaimana agama dapat
mengatur dimensi jiwa atau rohani
seseorang untuk hidup damai sebagai
kerangka inti pemahaman kedamaian dari agama yaitu sebagai tuntunan
hidup manusia yang paling dasar.
b. Konsep pemahaman
agama hendaknya sesuai dengan tujuan bahwa
agama sebagai pilar kebangsaan
yang damai dan bertoleransi.
c. Pengajar pendidikan
agama harus terkoordinasi dengan baik sehingga
muatan-muatan pelajaran
yang diajarkan tidak mengandung unsur paham radikal.
4. Konsep mata
pelajaran Bimbingan Konseling:
a. Menyentuh psikologis
siswa secara mendalam,
b. Sebagai media untuk
melihat karakteristik dasar manusia dalam
berinteraksi dengan lingkungan,
c. Sebagai bentuk
pelatihan untuk peningkatan secara praktis dan aktif untuk memahami kebutuhan hidup bertoleransi kebangsaan yang majemuk sesuai dengan pilar universal/ interaksi
kemanusiaan yang adil dan beradab.
d. Motor kampanye
gerakan anti teroris. Dapat diringkas bahwa setiap mata
pelajaran tersebut di atas secara simultan
dan sistematis memuat lima nilai karakter yang hendak ditanamkan kepada siswa atau
peserta didik namun tetap dengan
menerapkan kecakapan dalam berpikir
kritis dan analitis, kreatif dan inovatif, komunikatif dan kolaboratif.
Strategi pendukungnya
adalah pengembangan budaya sekolah dan kolaborasi dengan komunitas-komunitas/masyarakat di
luar lingkungan pendidikan dalam mengembangkan wawasan lingkungan sekolah terhadap nilai-nilai yang dimiliki secara inheren dalam lima karakter bangsa yaitu religius, integritas, nasionalisme, mandiri, dan gotong royong sebagai
karakter kolektif suatu bangsa. Sekolah
dapat mengadakan kegiatan bersama masyarakat di sekitar sekolah, lembaga swadaya masyarakat, karang taruna, organisasi ekstra kulikuler, organisasi masyarakat, instansi pemerintah pusat maupun daerah dan lain-lain. Misalnya ikut bersama-sama
mengawasi kegiatan atau perilaku warga
sekolah khususnya siswa supaya tidak
terlibat tindak kenakalan remaja dan kriminal yang dapat merusak masa depannya. Strategi ini dikenal dengan
ketahanan sekolah atau dengan istilah
wiyata mandala.
Kompetensi Karakter Guru
Presiden Joko Widodo
menyatakan bahwa peran guru sangat penting dalam pendidikan dan ia harus menjadi
sosok yang mencerahkan,
yang membuka alam dan pikir serta jiwa,
memupuk nilai-nilai kasih sayang, nilai-nilai
keteladanan, nilai-nilai perilaku, nilai-nilai moralitas, nilai-nilai kebhinnekaan (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2017). Inilah sejatinya
pendidikan karakter yang menjadi inti dari pendidikan yang sesungguhnya. Dari
pernyataan tersebut dapat disimpulkan terdapat kedekatan hubungan antara guru dengan siswanya. Kedekatan itu terungkapkan
dari konsep guru menurut Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional. Dari ungkapan beliau: Ing ngarso sungtulodo, ing madyo mangunkarso, dan tut wuri handayani. Maksudnya adalah guru menjadi teladan bagi siswanya, menjadi inspirasi bagi siswanya, dan menjadi motivator mendorong siswanya maju.
Guru adalah pelayan publik yang memberikan jasa dalam melakukan pengajaran kepada peserta didik (Hidayat, 2016). Definisi guru menurut undang-undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Untuk menjadi guru seseorang
harus memenuhi empat kompetensi, menurut Permendiknas No. 16 Tahun 2007 disebutkan kompetensi guru antara lain:
1. Kompetensi Pedagogik
a.
Menguasai karakteristik peserta
didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
b.
Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik.
c.
Mengembangkan kurikulum yang terkait
dengan mata pelajaran/ bidang pengembangan yang diampu.
d.
Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.
e.
Memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran.
f.
Memfasilitasi pengembangan potensi
peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
g.
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
h.
Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar.
i.
Memanfaatkan hasil penilaian dan
evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
j. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
2. Kompetensi Kepribadian
a.
Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
b.
Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan teladan bagi peserta
didik dan masyarakat.
c.
Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
d. Menunjukkan etos kerja, tanggung
jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri. 5. Menjunjung kode etik profesi guru.
3. Kompetensi Sosial:
a.
Bersikap inklusif, bertindak
obyektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik,
latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
b.
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat.
b.
Berdaptasi di tempat bertugas
di seluruh wilayah Republik
Indonesia yang memiliki keragaman
sosial budaya.
c. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
4. Kompetensi Profesional:
Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
Dari keempat kompetensi tersebut di atas, ada dua
kompetensi yang menekankan
pada sikap diri dan pandangan hidup seorang guru yakni kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Keduanya dapat dikatakan sebagai kompetensi karakter yang harus dimiliki seorang guru. Terkait dengan pernyataan Presiden Jokowi mengenai peran guru, kompetensi guru sebagai pembawa nilai-nilai luhur bangsa terwakili dalam kompetensi pribadi dan kompetensi sosial dari empat
kompetensi yang wajib dimiliki oleh guru. Keduanya sangat diperlukan dimiliki oleh guru dalam rangka mendukung program penguatan pendidikan karakter siswa. Dapat dikatakan guru harus selesai dulu
tentang karakter dirinya sebelum dia membina karakter
siswanya. Karakter yang diinginkan negara terhadap profesi guru yang harus di garis bawahi bahwa guru harus bertindak sesuai norma hukum,
agama, sosial dan kebudayaan
nasional Indonesia serta bersikap inklusif, obyektif, dan tidak diskriminatif.
Karakter Ideal Guru Versus Realitas
Karakter Radikal dan Intoleransi
Program penguatan pendidikan karakter menempatkan guru sebagai pengajar yakni mampu menyampaikan
mata pelajaran agar dimengerti dan dipahami anak didik. Guru sebagai penghubung, mampu menghubungkan anak didik dengan sumber-sumber
belajar yang beragam baik di dalam maupun
di luar sekolah. Guru sebagai fasilitator, mampu membantu anak didik
dalam proses pembelajaran, menjadi teman diskusi
dan bertukar pikiran. Guru sebagai katalisator, mampu mengidentifikasi, menggali, dan mengoptimalkan potensi anak didik. Guru sebagai penjaga gawang, membantu anak didik untuk
mampu menyaring pengaruh negatif (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Dari program penguatan pendidikan
karakter dimaksudkan terdapat perubahan perilaku dari siswa
atau anak didik sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah. Tujuannya adalah menangkal paham-paham yang tidak sesuai dengan
karakteristik bangsa
Indonesia yakni religius, nasionalisme, integritas, mandiri, dan gotong-royong. Sedangkan
guru itu sendiri harus memiliki kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial seperti yang sudah diuraikan di atas mengenai kompetensi guru yang merupakan karakter ideal seorang guru. Namun realitasnya konsep ideal tersebut belum terjadi darihasil penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap siswa/mahasiswa dan guru/dosen dari 34 provinsi
di Indonesia, menyatakan sebanyak
34,3 persen responden memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama lain selain Islam.
Sebanyak 48,95 persen responden siswa/mahasiswa merasa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak
bergaul dengan pemeluk agama lain. Sebanyak 58,5
persen responden mahasiswa/siswa memiliki pandangan keagamaan dengan opini yang radikal. Para ahli sepakat bahwa pemahaman
radikal dan intoleransi masuk ke sekolah
melalui;
1.
Aktivitas pembelajaran di kelas oleh guru,
2.
Melalui buku pelajaran yang diduga memuat konten
intoleransi,
3.
Melalui pengaruh dan intervensi alumni dalam kegiatan kesiswaan di sekolah dan
4.
Lemahnya kebijakan kepala sekolah/yayasan dalam mencegah masuknya pengaruh radikalisme.
Bagaimana cara mengatasi ketimpangan antara ideltas dan realitas. Perlu adanya strategi pelaksanaan di lapangan agar idealitas yang diharapkan bisa terwujud dengan
melakukan strategi pengawasan
dan pembinaan di dalam institusi sekolahyang terkait semua unsur
yang ada di sekolah seperti kepala sekolah, guru-guru, kepala tata usaha, dan karyawan yang ada di sekolah. Namun dalam tulisan ini fokus kepada
pengawasan dan pembinaan
guru yang berkaitan langsung
dalam pendidikan karakter.
Strategi Pengawasan dan Pembinaan Guru
Strategi yang bisa dijalankan dalam rangka pengawasan guru dalam memenuhi kompetensinya dengan menerapkan sanksi seperti yang termaktub dalam PP No. 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil junto Permen PAN-RB No.16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya. Peraturan tersebut memberikan sanksi kehilangan hak tunjangan profesi,
tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan jika guru tidak melakukan tugasnya sebagai guru dan sebagai pegawai negeri sipil. Guru yang mendapat hukuman disiplin tingkat sedang dan disiplin berat berupa penurunan
pangkat atau yang terkena hukuman diberhentikan sementara sebagai aparat sipil negara, guru tersebut dibebaskan sementara dari jabatan fungsionalnya
sebagai guru dan pemberhentian
secara permanen jika terbukti bersalah
di pengadilan. Pemerintah
juga menerapkan angka kredit sebagai penilaian seorang guru meniti jenjang karirnya dalam kenaikan pangkat sebenarnya dalam rangka pengawasan terhadap kompetensi guru dalam melaksanakan profesinya sebagau guru. Dengan cara tersebut
pemerintah benar-benar melakukan pengawasan dan mengevaluasi kinerja guru apakah telah memenuhi
syarat kompetensi yang berlaku yang menjadikannya berhak menyandang profesi sebagai guru termasuk dalam kaitannya melaksanakan pendidikan karakter terhadap pesera didik.
Strategi dalam
hal pembinaan
1. In
House Training
merupakan pelatihan yang dilakukan kalangan sendiri dalam Kelompok
Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran, pelatihan
ini dilakukan oleh guru
yang memiliki kompetensi terhadap guru yang belum memiliki kompetensi.
2. Program magang
adalah program pelatihan yang
dilaksanakan di industry/institusi
yang terkait dengan pengembangan kompetensi guru.
3. Kemitraan Sekolah
adalah pelatihan yang diselenggarakan melalui kerjasama sekolah dengan pihak institusi
pemerintah atau swasta dalam bidang
keahlian tertentu.
4. Belajar Jarak Jauh
adalah pelatihan yang dilaksanakan tanpa menghadirkan instruktur dan peserta pelatihan dalam satu tempat
tertentu, melainkan dengan sistem pelatihan
melalui internet dan sejenisnya.
5. Pelatihan berjenjang
dan pelatihan khusus adalah pelatihan yang dilaksanakan di P4TK (Pusat Pengembangan
dan Pemberdayaan Pendidik
dan Tenaga Kependidikan) dan atau
LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan) dan lembaga lain yang diberi
wewenang, di mana program pelatihan
disusun secara berjenjang mulai dari jenjang dasar,
menengah, lanjut dan tinggi.
6. Kursus singkat
di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) atau lembaga pendidikan
lainnya. Dimaksudkan untuk melatih meningkatkan
kompetensi guru dalam beberapa kemampuan seperti menyusun karya ilmiah, merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi
pembelajaran, dan lain-lain.
7. Pendidikan lanjut, pengikutsertaan guru dalam pendidikan lanjut ini dapat
dilaksanakan dengan memberikan tugas belajar, baik di dalam maupun luar
negeri, bagi guru yang berprestasi.
Pelaksanaan pendidikan lanjut akan menghasilkan
guru-guru pembina yang dapat
membantu guru-guru lain dalam
upaya pengembangan profesi guru.
Pembinaan non diklat
pun dapat dilakukan
1. Diskusi masalah
pendidikan. Diskusi ini diselenggarakan secara berkala dengan topik sesuai
dengan masalah yang di alami di sekolah.
2. Seminar. Pengikutsertaan guru dalam kegiatan seminar dan pembinaan publikasi ilmiah juga dapat menjadi model pembinaan berkelanjutan profesi guru dalam meningkatkan kompetensi guru. Melalui kegiatan ini memberikan peluang kepada guru untuk berinteraksi secara ilmiah dengan
kolega seprofesinya berkaitan dengan hal-hal terkini dalam upaya peningkatan
kualitas pendidikan.
3. Workshop. Workshop dilakukan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi pembelajaran, peningkatan kompetensi maupun pengembangan karirnya.
4. Penelitian. Penelitian
dapat dilakukan guru dalam bentuk penelitian
tindakan kelas, penelitian eksperimen ataupun jenis yang lain dalam rangka peningkatan
mutu pembelajaran
5. Penulisan buku/bahan ajar. Bahan ajar yang dibuat guru dapat berbentuk diktat, buku pelajaran ataupun buku dalam bidang
pendidikan
6. Pembuatan media pembelajaran.
Media pembelajaran yang dibuat
guru dapat berbentuk alat peraga, alat
praktikum sederhana, maupun bahan ajar elektronik (animasi pembelajaran)
7. Pembuatan karya
teknologi/karya seni. Karya teknologi/seni yang dibuat guru dapat berupa karya
teknologi yang bermanfaat untuk masyarakat dan atau pendidikan dan karya seni yang memiliki nilai estetika yang diakui oleh masyarakat.
Pembinaan tersebut
diharapkan akan mengarahkan dan dapat memantau pola pikir
dan cara pandang guru apakah sudah memenuhi
kompetensi guru yang dikehendaki
oleh pemerintah atau belum. Serta menjadi acuan bagi pemerintah
langkah apa yang dapat diambil jika
ditemukan guru yang berpaham
radikal, intoleransi dan melakukan tindak kekerasan dalam mengajar di sekolah.
KESIMPULAN
Dapat diterimanya paham radikalisme dan intoleransi oleh
guru dan siswa menandakan acuan nilai-nilai yang terumuskan dalam lima karakter (religius, integritas, nasionalisme, mandiri, dan gotong-royong) belum
secara konsekwen diajarkan oleh guru di sekolah.
Hal itu juga menunjukkan masih adanya sikap
permisif sekolah, karena belum dipahami
bahwa nilai-nilai karakter suatu bangsa adalah bagian
dari sistem pendidikan nasional yang merupakan amanat konstitusi negara.
Untuk tidak tersebarnya paham radikalisme dan intoleransi penerapan lima karakter bangsa sesuai program penguatan pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah dapat dilakukan dengan melakukan beberapa strategi, antara lain pertama strategi pengembangan budaya sekolah dan kolaborasi bersama masyarakat diluar lingkungan pendidikan dalam menjaga ketahanan
sekolah atau dikenal dengan wawasan wiyata mandala. Kedua strategi pembelajaran
terintegrasi yaitu guru mengajarkan nilai-nilai lima karakter ke dalam
mata pelajaran yang diampunya khususnya mata pelajaran Sejarah, PPKn, Bimbingan Konseling, dan Agama.
Untuk pengawasan dan pembinaan terhadap guru dalam menjalankan profesinya sebagai guru, antara lain menerapkan 2
strategi. Pertama Strategi pengawasan guru dalam menjalankan tugasnya sesuai disiplin pegawai negeri sipil dan memenuhi kompetensinya dengan menerapkan sanksi bila terjadi
pelanggaran dengan tidak diindahkannya kewajiban dan larangan oleh guru
yang bersangkutan seperti termaktub dalam Peraturan Pemerintah No.94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil junto Peraturan Menteri
PAN-RB No.16 Tahun 2009 tentang
Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya. Kedua strategi pembinaan dengan menerapkan pembinaan melalui pendidikan dan latihan bagi guru atau melalui kegiatan
non pendidikan dan pelatihan,
yaitu dapat dilakukan dengan pembinaan internal oleh sekolah dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru-guru yang memiliki
kewenangan membina, melalui rapat dinas,
rotasi tugas mengajar, pemberian tugas-tugas internal tambahan, diskusi dengan rekan sejawat dan sejenisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dzukifli & Inda, P. (2015). Karakteristik Guru
Ideal, Seminar Psikologi dan Kemanusiaan. Pshychology Forum UMM.
Hergianasari,
P. (2019). No Title. Scholaria: Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 9(3),
239–244. https://ejournal.uksw.edu
Hidayat,
S. (2016). Profesi Kependidikan. Pustaka Mandiri.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Penguatan Pendidikan Karakter Jadi Pintu
Masuk Pembenahan Pendidikan Nasional.
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/07/penguatan-pendidikan-karakter-jadi-pintu-masuk-pembenahan-pendidikan-nasional
Lestari,
S. (2016). Ketika paham radikal masuk ke ruang kelas sekolah.
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160519_indonesia_lapsus_radikalisme_anakmuda_sekolah.
Rahmawati,
Linda Cibya & Dewi, D. A. (2021). Pendidikan Kewarganegaraan Perpektif
Pancasila Sebagai Landasan Ketahanan Nasional. Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan Undiksha, 9(2).
Suryodiprojo,
S. (1997). Ketahanan Nasional Indonesia. Jurnal Ketahanan Nasonal, 2(1).
Yaumi,
M. (2014). Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar, dan Implementasi.
Prenadamedia Group.
Yukianto,
A. (2018). Strategi Mencegah Radikalisme di Sekolah. Republika.
https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/06/01/p9nc8j396-strategi-mencegah-radikalisme-di-sekolah
Permendiknas No. 16 Tahun 2007.
Permen PAN-RB No. 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya.
Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil.
Sumber infografis, www.kemdikbud.go.id
Undang-undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.